Kisah Spiritual Mawangi: Membuka Selendang Biru (2)

Hasil gambar untuk shakuntala
Babat Sakuntala

Seumpama langit terbelah, kemana akan kau cari rindu di hati. Sang putri menjelma pada setiap diri yang lahir dengan tetesan air yang tercurah di hamparan Pertiwi. Seumpama laksana semesta, putri hadir sebagai bumi, bumi yang mengandung banyak fungsi dengan segala hal yang berada pada setiap hal.

Seorang putri terlahir bukan sekedar saja, atau begitu saja tanpa hal yang memiliki tujuan pasti. Seringkali ada yang bertanya, kenapa Hawa terlahir di bumi? Tanpa ada penjelasan pasti, semua menjawab dengan berbagai referensi.

Sang putri adalah Hawa itu sendiri, sebagai bagian yang hadir di setiap diri, makhluk bumi yang menyerap berbagai kehidupan.

Aku Pertiwi? Iya, aku seorang putri yang terlahir dengan perpaduan bumi dengan saripati alam semesta yang menjadi suatu organisasi sistem yang ada pada tubuh ini.

Aku bumi? Iya, aku bumi yang menyimpan semua dalam diri, sehingga setiap yang ditemukan ataupun belum menjadi bahan energi bagi penghuni bumi. Aku sendiri energi yang akan memengaruhi alam semesta ini.

Akukah Hawa? Iya, aku Hawa yang terlahir bukan hanya sekedar pelengkap Adam. Aku lahir dengan Kehendak Tuhan. Lahir dari Kun Fayakun. Selaksa rasa menjadi cerita atas kehadiranku, tetapi itu menjadi pilihan yang mendengarkannya, apakah akan menjadi yakin akan Kehendak Tuhan atau tidak? Lalu, apa fungsiku berada di dunia ini? Apakah hanya menemani Adam?

Wanita (An-Nisā'):1 - "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."

Ah, jiwa-jiwa yang berada dalam kegamangan, tak pernah merasa bahwa semua atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Aku putri. Ini catatanku tentang putri, yang akan bercerita pada kisah perjalananku ketika singgah di Sakuntala. Aku, Putri. Catatan ini sebagai kisah perjalanan yang tak perlu kau jadikan rujukan dalam bermanifestasi keyakinan kepada Tuhan. Karena tanpa aku bercerita pun, seorang yang beriman, akan tetap iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Aku ada ketika Sakuntala bertebar. Tak ada seorang pun yang mengenaliku sebagai putri, karena aku berada pada putaran waktu sebagai Mawangi. Lahir di antara getaran sang waktu, dan senyapnya sang rindu, rembulan yang menemani dalam senyapnya sang surya.

Awan hitam tak terlihat di antara langit terang abu-abu, aku ada di sana, dalam rahimku, rahim yang bernama ibu. Itu sesungguhnya aku yang menjadi bagian dari separuh napasku berada di bumi.

Ayam berkokok, dari jauh terlihat kelelawar berarak siap pulang ke peraduan, di antara batu karang dan deburan ombak, mereka berlarian sambil tertawa riang setelah semaleman berjalan-jalan mencari makan sambil hiburan.

Debur ombak sayup-sayup terdengar, dengan dinding hutan, tinggi menjulang seakan menjadi perpaduan laut dan gunung yang bersanding di atas bumi Pertiwi.

Aku lahir dibantu oleh seorang ibu. Ibu tua yang cantik ini memberiku harapan dan motivasi untuk lahir ke bumi sebagai anak yang berbakti, tanpa tahu bahwa aku seorang putri.

Mawangi. Nama yang dipilih ibu untukku, di antara ribuan nama-nama yang tertera. Ayunda, itu panggilanku, sebagai perempuan yang lahir dari seorang ibu yang sedang berada pada dua sisi perpaduan langit dan bumi.

Ingin sekali aku membantu ibu, namun apa daya aku hanya bisa berdoa. Doaku atas perempuan yang melahirkanku, semoga menjadi jalan keselamatan baginya. Alhamdulillah, segala puji bagi-Nya, ibu pun selamat dengan proses yang hadir atas motivasi dan kekuatannya untuk melihat dan membesarkanku.

Aku dalam tangis sangat berterima kasih pada ibu. Tak terperi pada rahimnyalah aku dilahirkan. Terima kasih, Ibu...

Sakuntala, sayup-sayup nama itu aku dengar dalam lelap tidurku yang panjang. Sakuntala sedang dalam berduka, ibu. Terdengar suara lirih dari perempuan yang berada di hadapanku.

Sakuntala, bukan putri Raja Damarwulan. Itu yang kami dengar. Aku pun diam. Bukan untuk mendengarkan, tetapi menyimak perbincangan. Sakuntala berada pada titik perpaduan antara rindu dan penghayatan pada keinginan untuk menapaki kehidupan di Segara Anakan.

Kenapa demikian?

Ah, aku pun tak tahu, tuan. Semua berada pada lajur tak menentukan keinginan, semoga Tuhan memberkati perjalanan. Aku kembali terdiam. Sakuntala, kenapa kau bersedih? Aku hadir untuk menemanimu dalam perjalananmu yang tak pasti dalam menjalankan perjalanan.

Sakuntala terdiam. Seakan mendengar suara bayi Ayunda yang bergumam dalam diam. Sungguh, siapakah itu? Aku ingin mengenalmu?

Bukan saatnya Sakuntala, berjalanlah sesuai dengan kehendak Tuhan. Bila tangan kanan kau sentuh pada jari kurimu, kamu akan mengetahui getaran pada dirimu. Tidakkah kau tahu, di sana ada detak suara? Sakuntala kembali terdiam. Tak ada yang dapat dia lakukan. Dengan ragu mulai melakukan apa yang Ayunda katakan.

Ah, itu aku. Aku ada pada dirimu. Mawangi Ayunda, Sakuntala. 

Seorang putri cantik jelita yang berada dalam Titian waktu. Menceritakan keadaannya disini.

Demi sebuah waktu yang menjadi pandu, maka itu yang akan mengitarimu dg berbagai hal yang memang ada di sekitar hal-hal yang berbeda. Tundukkan diri pada kehendak Yang Maha Kuasa. Serahkan semua dengan suatu hakikat bahwa semua berada dalam kehendak-Nya. Saat ini, menuju ke negeri yang berada pada dimensi yang belum kalian mengerti tetapi sudah kalian ketahui.

Seumpama langit membelah, tak ada yang menjadi pada dalam setiap jiwa yang masih meragu akan Tuhan Yang Maha Esa. Sekalipun itu sudah ada dlm penerimaan akal, itu menjadi bagian yang alam kehendaki. Sekali-kali lihat kembali, tanyakan pd diri dg segenap yg hadir, apa yang tidak dimengerti.

Yang paling tinggi (Al-'A`lá):14 - "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),"

Yang paling tinggi (Al-'A`lá):15 - "dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang."

"Pembelajaran kehidupan yang mungkin kamu sdh tau
Tapi kadang ‘saru’
Yang ada dalam jiwa yg sdh berlalu
Rindu akan masa lalu
Malah terba bawa oleh rasa itu
Tak mesti sampai hilang separuh kalbu
Karena itu bukan bagianku

Seperti mengenang dalam rindu, 
lihat dalam bingkai kenangan biru
Bukan dengan mengumpamakan dengan aku
Karena memang bukan untukmu
Dia telah pergi membawa masa lalu
Jadi jangan ikut dengan kenangan itu
Kalbumu ada dlm nuranimu

Bukan dengan perginya jiwa masa lalu
Perginya bukan karena sesuatu.
Kesalahan atau kebenaran, belum tentu kamu tau
Sekotak rindu, itu bukan kalbu
Perginya karena Kami telah merindu
Mengajaknya pulang pada pangkuanku
Ingat, yang kau cari bukan aku
Tapi Aku

Dalam kesucian tanpa ibamu
Luruskanlah hal itu
Jangan biarkan kepergiannya 
sebagai salah atau benarnya dengan pilu
Luruskanlah itu
Karena yang kau anggap satria 
telah melangkah melampaui konsep ibu

Ada angkuh yang tak bertalu
Aku malu menyaksikan itu
Seakan semua dalam aturan waktu
Padahal waktu adalah bingkai 
dalam perjalanan kehidupan yang terus melaju
Sebelum titik balik yang sebentar lagi 
aku bentangkan dalam urusan waktu.

Aku harap kamu dapat menjelaskan itu
Putarannya bukan karena aku
Tapi aku hanya memberi tahu
Dan aku hanya melaksanakan tugasku
Termasuk memperingatimu
Sejak itu dalam hitungan waktu
Kami telah menetapkannya dalam helaian sapu

Ingatkan hal itu pada para satriamu!
Jangan melihat masa lalu
Melihat dengan kaca pembesar 
seakan berada pada masa itu
Portal waktu Kami sembunyikan 
kembali di balik batu
Kalian tidak akan menemukannya sebelum menyadari hal itu.

Runtuhkan ilah-ilah itu, wahai anak-anakku
Aku tak ingin pintu yang terbuka 
menjadi bencana pada nestapa
tanpa tuan tak berkehidupan
Selama itu, 
menjadi bayangan-bayangan tak menentu
Hanya itu pesanku.”

***

Tak pernah lelah jiwa untuk merasa. Bersama derita, bersama air mata. Bersama duka nestapa. Untuk senantiasa ada, menantikan sepenuh jiwa dalam pengajaran cinta. Biar dicerca dan dicela. Biar dibenci dan dihina. Biar didera disiksa. Relakan raga menderita demi satu kata dalam pemahaman-Nya. Menantikannya sepenuh jiwa. Pengajaran CINTA dari-Nya. Karena cinta demi cinta dari cinta dengan cinta dalam cinta. Meski itu tak semudah kata. Meski hari hari kian sepi. Tiada yang menemani. Merasa kelam betapa kelam hidup. Betapa suram nasib diri. Mungkin sudah suratan dalam tingkatan pemahaman dalam kasih. Terjebak di dalam lorong kesadaran. Hitam terlalu hitam. Terlalu sayang terlalu cinta.  Langkah mana yang harus di tempuh dalam menempuh jalan. Kelam betapa kelam hidup. Suram betapa suram hidup. Terlalu dalam mendamba.”

Apa yang dirahsa telah dilontarkannya, merasa rahsa di jiwa. Menebus mega dan pekatnya prasangka. Perjalanan menembus raga terkini melelahkannya. Sesaat setelahnya, jiwanya kemudian menjelajah kerangkaian DNA nya. Mencari serpihan yang terasa. Disana rangkaian kesedihannya serentak saja  terbaca, mengisi langit. Derita! Betapa cinta telah membutakan dirinya. Kecintaannya kepada anak-anaknya, dan juga kepada para keponakannya, telah menghancurkan hidupnya. Kesaktian dan pengabdiannya kepada Raja menjadi sia-sia di mata alam semesta.  Sebagaimana  Pendeta Dorna pada kisah Mahabarata yang dibutakan kecintaan kepada Aswatama. Sehingga pada saat perang di padang Kuruseta Kresna meminta kematiannya untuk menebus kesalahannya. Jika Pendeta Dorna tersadar atas kesalahnnya dan menebus dengan kematiannya.

***

Dan kisah ini dibuka dengan sebuah pesan Kami. Agar manusia membuka hatinya. Pesan berada dimana-mana. Pada daun yang jatuh, pada kelopak yang membisu. Pada deru angin yang saru. Pada serpihan masa lalu. Pendek kata dimanapun aku kita memandang disitulah pesan dihamparkan. “Dimanapun engkau memandang disanalah wajah Allah.”

Maka yang menolak pesan adalah diri kita sendiri. Karena itu janganlah pernah khawatir bahwa pesan itu tidak sampai. Pesan akan terus menetap di alam semesta ini. Sebagaimana kita sekarang ini menatap alam semesta dan melihat keadaan diri kita sendiri. Itulah pesan dan kita hanyalah penyambung pesan.

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat, merupakan dalam setiap susunan atau sistem ada tingkatan-tingkatan. Setiap tingkatan ini menjadi siklus dalam perjalanan. Pendaran cahaya yang menebar dalam setiap sistem akan menjadi proses. Ada banyak hal yang tidak dipahami dalam perjalanannya, ketidakpahaman inilah menjadi titian yang tak terbendung seperti irisan dalam perputaran.  Sebuah perjalanan menjadi kasih dan benci sebagai penyeimbang dalam tahapan-tahapan yang menjadi saksi."

Tanpa ada hidup dan kehidupan menjadi padanan yang menyimpan dalam setiap haluan. Jejak itu bukan dalam sebuah kendaraan tetapi seperti ketika angin yang membekas dengan kerlipan debu yang hinggap tak menentu.  Jaring yang menyebar, seperti rangkaian yang tidak teridentifikasi.  Cerita hanya seperti angon bila dalam tatapan menjadi siklus dalam perjalanan. Antara ada dan tidak ada seperti rangkaian. Semua dlm proses, maka perhatikan dan amati.

"Setiap perjalanan, kami yg membawamu kembali.  Setiap perjalanan ada dalam ketidaktauan dan pengetahuan. Jaman yg mengantarkanmu kpd Kami. Perjalanan kemarin menjadi saksi.  Karena dalam prosesi, kami lakukan hari ini. Ratu Kidul sudah menerima semuanya. Dia ada dan hadir dimana saja kamu memanggilnya.  Secarik kertas dalam goresan tinta, bukan berasal dari min ruuhi.  Ruh-Ku. Kami memahami banyaknya entititas dalam setiap perjalanan. Tak ada yg mengetahui beda warna atau rasanya. Seperti jejak tanpa alas kaki. Seringkali dalam iring waktu yg tidak dimengerti.”

Babat Sakuntala. Putri yang terbuang dari Kahyangan, bagian dari alam, yang menapak dengan angin, udara, dan air. Tinggalnya di Awan.Masih dalam poros bumi, karena di berada di Kahyangan, dengan awan2 sebagai jalur perjalanan. Langit itu bumi.



Wolohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali