Kisah Perjalanan Paku Bumi (10), Panji Kuda Waneng Pati
“Pergilah
temui Guru Bumi, serahkan panji kerajaan dan juga naga puspa. Bawa kitab
Batraloka, adanya di sudut istana, sebelah selatan. Semua harus disiapkan jangan sampai ada yang
tertinggal, karena sebentar lagi ada orang yang akan mengambilnya. Maka Kami
secepatnya memerintahkan kalian mengambilnya.”
Perintah itu begitu cepat datangnya,
tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi Mas Thole untuk berfikir.
“Buana
sedang berduka, sebentar lagi mayapada dalam krisis global. Sebetulnya sudah
sejak sebelum pemilihan prseiden, dekadensi kesadaran sudah mulai diserang.
Waktu itu kita sudah membuat pertahanan yang cukup kuat. Tetapi radiasinya
sudah menyebar, dan titiik kulminasinya ketika ada serangan dari luar.
Bentuknya perang. Nusantara bias seperti negara lain. Karena untuk
membersihkannya dengan perang. Tunasnya kan muncul, tetapi semua kan hancur.
Oleh karena itu menjalankan kesadaran harus terus dilanjutkan, dalam diam atau
gerak. Bukan hanya untuk sekarang, tetapi juga untuk masa depan. Abunya akan
menebar, bila kita diam tak berpakupada satu titik acuan.”
Hhh…Mas Thole nampak berkeluh kesah. Menarik
nafas berat yang di hembuskannya berkali-kali, keadaanya ini seringkali menarik
perhatian sekelilingnya. Beban berat yang tak dipahaminya sama sekali. “Untuk apa semua ini?” Berita perihal anamoli cuaca sudah berkali
di dengarnya, baik dari Ki Ageng mapun dari rekan lainnya. Bagaimana tidak anomaly,
daerah yang seharusnya kering dan tandus mendadak mengalami hujan es. Keadaan
ini sudah hampir merambah seluruh dunia. Lantas apa yang bisa dilakukan Mas
Thole? Sering dia bertanya memelas
sekali. Dia hanyalah manusia biasa, tidak memiliki kemampuan apa-apa. Dia juga
bukan seorang kaya raya, atau orang terkenal lainnya. Dia hanya manusia yang
berjalan di pasar-pasar sebagaimana manusia lainnya. Mengapa harus tahu itu?
“Bergeraklah,
jangan pernah pikirkan apa hasilnya. Jangan pernah pertanyakan mengapa. Namun lakukanlah
dengan niat karena Allah semata. Perhatikanlah bagaimana kesadaran manusia.
Perhatikanlah memory apa saja yang diwairiskan manusia dari tahun ke tahun, dari
generasi ke generasi, dari abad ke abad, beulang ribuan masa. Apakah masih sama
saja? Adakah perbaikan disana? Kemanakah kesadaran manusia? Tidakkah sudah
ditunjukan kekuasaanNya di ufuk timur dan juga di diri mereka sendiri.
Tidakkah mereka melihat bahwsanya mereka akan mengikuti hukum gravitasi. Bahawa
mereka semua pasti akan ‘jatuh’ (kembali) kepadaNya. Perhatikanlah hukum kepastian
itu. Lakukanlah saat ini juga, dengan cinta!”
…
Kisah ini dibuka dengan kelengangan,
langit mati dan anginpun diam dalam kisaran. Menjadi jeda lama yang terasa
bagaikan lembah kematian.
“Aku
tak mengerti cinta..”
Bisiknya lirih kepada angin yang meniup
semilir daun telinganya. Terlihat badannya membungkuk membekap ulu hatinya.
Pasti sakitnya tidak terkira. Terlihat miris wajahnya tertengadah, menantap
angkasa. Nelangsa, menghiba dalam balutan asa yang tertinggal jauh di mimpinya
beribu tahun lalu yang hilang bersama masa.
Raden
Panji Kuda Waneng Pati,
sosok tersebut ingin dikenali. Muncul selintas sesaat setelah masuk diperbincangan
para kesatria. Menitipkan rahsa dan sepenggal harap untuk kembali ke mayapada.
“Namaku
Raden Panji Kuda Waneng pati, aku bukan Raden Panji yang kalian maksudkan itu.
Aku bukan Inu Kertapati. Serupa tapi tidak sama. Kisah anak manusia yang mengulang
dan berputaran, itu adalah aku!. Ribuan tahun aku mengelana mengelilingi alam
semesta. Mencari jejak kemanakah cinta akan bermmuara.”
Terbayang sesosok tubuh tanpa gravitasi,
berada di ruang hampa. Bergerak mengikuti medan gaya yang menariknya. Berserah
diri, membiarkan resultan gaya membawa dirinya pergi. Terlintas tanya dalam
pikirannya. Kemanakah dirinya akan pergi jika di alam ini tidak ada gaya
gravitasi antar planet. Bagaimankah keadaan dirinya jika galaksi ini tiba-tiba
berhenti dan diam. Bagaimana keadaan raganya kini? Bagaimana dengan system tata
surya ini? Hancurlah seluruh alam semesta ini. Planet-planet akan saling bertabrakan
kehilangan medan magnet yang melindungi. Serpihan-serpihan planet-planet ini
akan saling menghancurkan. Seluruh manusia akan bagai laron-laron berterbangan.
Kemana lagi setelahnya? Setelah materi tidak memiliki gaya lagi? Apakah yang bakalan
terjadi di semesta ini? “…Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang
berterbangan)..” (QS, 07; 09)
Kemanakah muaranya kerinduan ini?
Dibiarkannya tubuhnya melayang, berada di ruang hampa. Sambil menunggu
dalamharap, ada manusia membuka pintu langit. Pintu langit yang akan terbuka
oleh doa-doa manusia. Pintu yang akan melintasi portal kesadaran manusia
sebelum memasuki alam materi. Maka saat ini adalah saat yang ditungguinya. Saat
dimana manusia mempertanyakan cinta. Saat dimana manusia senantiasa berjalan
dengan cinta. Menjalin satu tali cinta kasih antar sesama. Resultan gaya inilah
yang akan mampumenariknya dari lorong hitam kesadaran. Membangkitkan ulang
kesadaran, dari sebuah tidur panjang. Resultan gaya yang membawa pusaran
magnet, menarik dan membawanya melintasi
dimensi menuju di dimensi kekinian. Kembali berada diantara manusia yang memiliki hati. Dan
sekali, lenguhan panjangnya kemudian menghantarkan kesadaran alam semesta. Sesaat
kemudian ketika dirinya hadir disini.
“Aku
Raden Panji Kuda Waneng Pati..!” Berkata dia lirih, seakan tak ingin
kehadirannya itu mengganggu. Perlahan bersama desahan nafas dia berkata. Nampak
guratan wajahnya penuh nelangsa. Menahan sejuta rahsa dari seluruh cinta di
alam semesta.
“Kita
tak perlu pahami cinta, tak perlu mengerti cinta, tak usah persoalankan cinta.
Kita hanya perlu jalani saja. Maka cinta akan memberitahukan keberadaannya.
Dimanakah muara dan dimanakah asal mula. Ketahuliah, dengan kalimat inilah Allah
menitahkan langit dan bumi untuk menuruti perintahNya. Ini adalah sebuah perintah yang datang
dariNya. “Berikan sebagiannya kepada anak manusia” Begitulah Allah bersabda
dalam firmanNya. Maka mempersoalkan cinta sama saja kalian akan mengelilingi
alam semesta. Sebab seluruh bumi dan langit dan segala isinya adalah
manefestasi cinta. LIhatlah diriku, dalam pengajuanku, dalam kisaran waktu yang
tidak tentu, dan tidak juga satu makhlukpun tahu. Kapan aku akan kembali
kepadaNya.”
“Cinta
manakah yang tak Dia beri.?”
Bertanya, tatap matanya menghiba. Sudut
mata terlihat air menggenang. Jernih menampilkan kilau sesaat sinar bulan melintas
disana. Sendiri di alam semesta tanpa kisar waktu. Hingga terdampar di masa
kini, dalam ingatan raga terkini.
“Aku
adalah kamu, dan kamu adalah aku, dalam kisaran sang waktu”
Menutup perbincangan, dengan segal
pesan. Muara atas duka adaah cinta. Asal mula dari suka adlaah cinta. Semua
nuansa alam semesta adalah manifestasi cinta. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?”
…
Lengang, langit kembali sepi. Raden
Panji Kuda Waneng pati kembali ke peraduannya. Kehadiranya membangkitkan
pemikiran atas sebuah kesadaran. Manakala masih ada saja manusia yang
mempersoalkan keberadaan dan juga kehadiran dirinya di alam semesta . Dan
kemudian berbincang layaknya manusia biasa. Bukankah dirinya mengaku sudah
berumur ribuan tahun? Bagaimanakah bisa? Misteri yang terus saja mengemuka
dalam setiap perdebatan anak manusia. Apakah manusia akan dihidupkan setelah
mati? Kemanakah jiwa manusia jika setelah mati? Sulit menjelaskan pemahaman ini
kepada orang yang sudah menutup semua panca indranya. Jika kepadanya ditanyakan
apakah percaya al qur an? Pasti dirinya akan menjawab, “Yakin dan percaya” Namun
manakala dihadapkan kepadanya berita hidup dan mati. Kebanyakan mereka akan
berpaling. Maka berita yang disampaikan disini wajar jika sulit diterima
logika. “..Maka sabarlah kamu atas apa
yangmereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu…” (QS, 020;130)
Tidakkah manusia perhatikan, kemanakah
memory sebuah komputer saat sudah rusak. Apakah masih terus tersimpan di dalam
hardisknya? Ataukah memory nya bisa dipindahkan kemana saja yang dia mau? Apakah
sama antara laptop yang dilengkapi dengan modem dan laptop yang tidak? Perhatikanlah perumpamaan ini! Memory sebuah komputer
bias disimpan dalam sebuah wadah (chips). Namun tersimpan dimanakah saat memory
tersebut dikirimkan melalui internet. Bagaimana jika memeory yang dikirimkan
tersebut tidak pernah sampai? Kemankah memory tersebut? Apakah akan terus
berkeliling di alam semesta? Ataukah akan menyasar ke wadah-wadah lainnya?
Bukankah manusia hakekatnya adalah rangkaian memory? Pengelaman-pengalaman yang
dialaminya kemudian membentuk jatidirinya? Perhatikanlah orang yang mengalami
insomnia. Baginya saat itu dia bukan
siapa-siapa.
“Begitulah
keadaanku. Aku tunduk kepada sang operator alam semesta. Transportasiku diatur
olehnya. Kapan aku akan disampaikan kepada wadahku, dan kembali ke mayapada, dan kapan terus berputar
bersama kisaran waktu. Sebab ini adalah salahku. Salah dalam menentukan niat dan
arah cintaku. Telah kutambatkan cintaku kepada makhluk yang bernama wanita. Mengejar
ambisi atas dendam dan cinta. Maka saat aku mati, aku di Tarik gaya gravitasi
materi, berputar-putar dalam dimensi waktu. Sama halnya di dalam dimensi
manusia. JIka manusia belum mengunduh pesan maka pesan tersebut masih akan
tersimpan saja. Bahkan akan terus berkelana di alam semesta. Alam semesta ini
adalah hardiks raksasa yang menyimpan memori seluruh makhluk. Aku beritahukan
keadaanku ini, untuk kalian jadikan hikmah.”
…
Manusia selalu disibukan dengan segala
rahsa, mulai dari harta, tahta dan juga syahwat atas lawan jenisnya. Begitulah
keadaannya. Tubuh manusia terdiri dari materi. Setiap materi pasti akan
memiliki sifat fisika dan juga sifat kimiawinya Setiap benda secara kimiawi tersusun
atas komponennya dan juga lengkap dengan rasanya. Setiap benda juga memliki
sifat fisika yang terkait dengan gaya-gaya yang bekerja padanya. Hukum ini
berlaku pada apa saja. Seluruh benda di dunia memiliki sifat kimia dan fisika.
Termasuk juga dengan raga manusia. Sifat kimia suatu benda bisa dikenali salah
satunya dari rahsanya. Misalnya gula, garam, dan juga lainnya. Bagaimana jika
seluruh unsur bersatu dalam diri manusia. Rahsa apa saja yang akan bisa ditimbulkannya.
Kemudian juga dengan sifat fisikanya, gaya-gaya apa saja yang akan bekerja pada
tubuh manusia. Gaya-gaya yang bekerja pada dirinya inilah yang akan menampilkan
karakter dari jiwanya.
Manusia mestinya paham atas keadaan dirnya
bahwa di dalam tubuh manusia pasti akan bekerja gaya-gaya, sebab raga manusia
adalah sebuah benda atau materi yang tersususn dari atom-atom tanah. Begitu
juga manusia harusnya juga paham bahwa di dalam raganya akan banyak rahsa yang
selalu berlintasan, berkecamuk dan akan mengharu birukan, sebab raganya adalah
susunan dari serangkaian seyawaan. Ini
baru unsur materi bumi, belum kita bicarakan materi langit, yaitu ruh manusia.
Jika kita analogikan maka sifat fisika dan kimia pada raga manusia akan
membetuk susunan jiwa manusia. Tarik menarik gaya, dan juga berpaduan rahsa
akan menampilkan wajah-wajah manusia. Manusia akan memiliki wajah berbeda satu
sama lainnya, disebabkan berbedaan tekanan dan gaya yang beerja pada dirinya.
Perbedaan tekanan dan gaya ini akan menyebabkan rahsa yang berbeda atas satu
dan lainnya. Inilah tampilan jiwa manusia. Sebuah ‘experience’, yang akan
menjadi memory.
…
Raden Panji Kuda Waneng Pati. Tokoh
sebuah legenda tanah jawa. Datang membawa nuansa cinta. Cinta yang terus
berputar. Mengitari poros kesadaran manusia. Memberitahukan keberadan manusia atas segala
alam. Menasehati para kesatria. Sementara manusia membuat kerusakan,
menghancurkan apa saja yang ada di muka bumi. Katanya mereka ingin melakukan
perbaikan. Perbaikan kepada ras manusia. Sulit sekali membedakannya. Benarkah mereka
mengikuti jalan ‘cinta’?. Benarkah niatan mereka itu? Tidak, sesungguhnya
mereka melakukan itu atas niat lainnya. Manusia mengeruk kekayaan alam
nusantara, sebab mereka ingin memperkaya dirinya. Mereka ingin terus berkuasa
hingga anak keturunan mereka. Meerka merasa maut tidak akan mendekatinya.
Merasa merasa akan terbebas dari kematian.
“Lihat
sesar terbuka dan air laut murka, menghisap seluruh isinya. Hisapan yang luar
biasa sekali. Pusaran magnet menyapu seisi dunia. Angin bergerak menghisap ke dalam
pusaran. Membuat apapun yang ada di dalamnya seakan melayang, mengitari, hingga
mengkerucut ke sebuah titk tanpa batas akhir. Waktu menjadi sedemikian lambat, kecepatannya
seakan tanpa gerak. Terus memutar apa saja, sehingga tapak kecil hanya di mata manusia. Namun lihatlah kepastiannya
di realitasnya. Bagaimana kalian melihatnya dan mengambil hikmahnya.”
...
“Pergilah temui Guru Bumi, serahkan panji kerajaan dan juga naga puspa. Bawa kitab Batraloka, adanya di sudut istana, sebelah selatan. Semua harus disiapkan jangan sampai ada yang tertinggal, karena sebentar lagi ada orang yang akan mengambilnya. Maka Kami secepatnya memerintahkan kalian mengambilnya.”
Kembali Perintah tersebut terus saja terngiang, Mas Thole harus menyempatkan diri untuk segera kesana. Ke suatu tempat yang sudah ditentukan. Sudah tidak ada waktu untuk bertanya. Atau smeuanya akan hilang percumah. Meskipun mayapada ini akan terguncag, tetaplah berjuang. Menyelamatkan kesadaran, seumpama menyelamatkan memory manusia masa lalu dan sekarang. Sebuah rangkaian perjanan bangsa Nusantara ini. Kini saatnya memberi kepada bumi.
wolohualam..
bersambung
Komentar
Posting Komentar