Kisah Perjalanan Paku Bumi (11), Habislah Pusaka-pusaka Kami (?)


Hasil gambar untuk badai

“Di saat hujan turun dan jalanpun licin, dia berjalan menentang waktu yang selalu mengejar. Tak peduli basah kuyup. Dia berharap itu tak sia-sia. Meski dingin menggigill dia kuatkan diri. Kalau dapat berlari agar cepat sampai. Jauh, masih jauh, 0h jauh makin jauh. (Song Rita Rubby Hartlad, 1982)

Jauh, masih jauh.
Jejak hayuning brata niskala Ayu verda, ing dharma mukti badra
Sesungguhnya dalam setiap perjalanan, ada yang singgah dan berhenti,
ada yang berjalan tertatih-tatih,
Meski jeritnya tinggi membelah langit,
seakan mengejar sesuatu yang sudah pasti
Sirihnya dengan menyimpan sejuta laksa,
dalam kembang yang berpendar
Batu-batu cadas merintih kesakitan
Ditikam belatimu yang pernah tak ayal
Selamat tinggal kamu, bukan karena ku benci kau

+++
Satu perjalanan yang tidak pernah usia. Sejauh langkah, kini berujung pada waktu yang semakin sulit dimaknai. Tidak saja suasana langit, suasana jiwapun kadang hening dalam kegaduhan yang misteri. Hujan dan petir, silih berganti. Angin menandai para makhluk tataran kesadaran yang silih salah menyambangi kediaman Mas Thole. Siapa yang menduga jika rumah kecil dipinggiran, kini ramai dengan celoteh para makhluk kesadaran. Fenomena yang nampak biasa saja, angin mendadak menampar dari muka dan belakang. Daun-daun bergoyang dengan gerak yang tak senanda. Menandakan gerakan itu disengaja. Pusaran yang turun dari atas dan memutar, kemudian bermain-main di halaman depan sebrang jalan rumah Mas Thole semakin memperperkuat keyakinan. Mengapa dedaunan pohon mangga tepat dihalaman tidak bergerak sama sekali? Diam kokoh bagai patung. Maka pertanyaan menggumpal. “Siapakah yang datang?!?”

Di dalam rumah hanyalah seorang pemuda yang baru pertama datang di rumah Mas Thole. Sekedar hanya silaturahmi. Selama ini komunikasi hanya melalui WA saja. Keluhannya biasa saja sebagaimana yang lainnya. Badan yang tidak enak, dan suara ghaib terus berdentam di kepala, susah kosentrasi. Gelisah, resah, seperti sakit magh, masuk angina dll bermacam keluhan lainnya. Tidak ada yang istimewa.Gejala yang serupa dengan serangan ghaib, santet, makhluk ghaib, dan juga adanya entitas leluhur, atau lainnya yang masuk di badan. Gejala yang jika di ranah kedokteran akan dinamakan sakit kejiwaan. Sulit diejlaskan secara medis. Sebab gejala-gejalanya sulit diprediksi. Secara empiris sulit di analisa. Syukurlah, dengan dialog yang intens dengan Mas Thole, kesehatannya semakin lama membaik.

Menyimak apa yang tersirat dari sebuah pertemuan. Mengapa kedatangan pemuda itu diikuti makhluk tak kasat mata. Pesan apakah yang ingin disampaiakn mereka. Maka Maas Thole mencoba khidmat mendengarkan cerita. Syahdan, asal muasal sakitnya berawal dari kesukaannya akan ilmu ghaib. Ingin menambah kewibawaan, agar di tempat kerjanya disegani dan ditakuti. Apa yang diinginkannya terkabul. Berkat bantuan orang sakti dia mendapatkan isian bermacam makhluk yang membuat diirnya disegani dan ditakuti di tempat kerja. Takut yang benar-benar takut. Teman sejawatnya karena takutnya menjauhi dirinya. Setiap bersapa, selalu diakhiri teman-temannya menjauhi dengan menunduk dan tak banyak bicara. Belum cukup sampai disitu saja. Dia juga menambah dnegan ilmu yang lainnya. Kemampuannya luar biasa, mampu menarik benda-benda pusaka dari alam ghaib.

Entah sudah berapa banyak benda-benda pusaka yang ditariknya. Ada keris, tongkat naga, dan banyak rupa lainnya. Betapa bangganya dirinya. Banyak orang yang memuji kesaktiannya itu. Semakin seganlah orang-orang disekeliling terhadapnya. Betapa tidak, kemampuannya menarik benda dan pusaka tergolong langka. Jika benda pusaka itu dijual, berapa ratus juta harganya. Mas Thole cukup terkesima mendengar kisahnya. Masih semuda itu sudah memeiliki kemampuan yang luar biasa. Betapa banyak sekali orang-orang ingin belajar ilmu tersebut. Mas Thole tanpa sadar juga turut takjub dengan kesaktiannya itu.

Seiring waktu berjalan, kebanggan, hanyalah tinggalkebanggaan. Orang lain mungkin menyangka bahwa dirinya berbahagia dengan kesaktiannya tersebut. Orang lain tentu menyangka betapa beruntungnya dia memiliki kemampuan dan kesaktian tersebut. Prasangka tinggallah prasangka, namun kenyatannya sungguh berbalik serratus delapan puluh derajat. Semakin hari dirinya semakin sulit mengendalikan emosi jiwanya. Dirinya mudah marah, mudah tersinggung, sangat temperamental sekali. Tidak saja ayah dan ibu saja yang jadi korban kemarahannya, adik-adiknya pun juga tak luput dari hardikannya. Dia sudah menjelma menjadi sosok yang berkuasa, Berjaya, apapun perintahnya tidak ada satupun keluarga yang berani membantahnya. Benar-benar adang, adigung, dan adiguno.

Hampir setiap malam dirinya mengalami serangan ghaib. Sebuah hukum yang harus siap diterimanya. Siapapun yang terjun sebagai petinju, harus siap dipukul dan diadu. Siapapun yang mencoba belajar ilmu kesaktian maka bersiaplah untuk menerima serangan ghaib dan juga tantangan lawan. Hidupnya harus siap menghadapi segala macam ancaman dari orang-orang yang menguji kesaktiannya. Sebuah dunia yang keras. Begitulah yang dialami oleh Mas Thole juga. Walau sekedar hanya mengkisahkan saja pengalaman orang lain dan pengalaman apa-apa yang dialaminya. Sudah dianggap sebagai lawan. Kebencian dan juga dendam terus memburu disepanjang harinya. Jikalau Mas Thole memang sudah bertekad di jalan ini demi bangkitnya kesadaran nusantara baru. Nusantara yang berkesadaran ‘ingat Allah’. Maka Mas Thole sudah siap dengan segala konsekuensinya. Ada tujuang yang lebih besar dari itu semua. Namun tidak dengan pemuda tersebut. Jiwanya masih senang di materi. Maka akibatnya amuk jiwa dan raga adanya. Serangan ghaib dianggapnya sebuah ‘musibah’ baginya.

Mas Thole menghela nafas getun, beginilah keadaannya. Manusia dalam setiap melakukan pilihan selalu saja mencari bagian enaknya. Padahal setiap pilihan disana telah melekat konsekuensinya. Jika menjadi seorang Petinju maka melekat disana konsekuensi ‘Memukul dan/atau dipukul”. Kesiapan dipukul harus lebih kuat dari kesiapan kita memukul. Apalah jadinya jika seorang Petinju hanya mau memukul namun tidak mau kena pukulan. Cobalah perhatikan diri kita semua. Manakala kita kena pukulan yang disalahkan adalah wasitnya. Sungguh aneh periangai manusia itu. Fenoeman model beginilah yang sering terjadi. Maka Mas Thole mengingatkan, “Jangan begitu, sungguh jangalah begitu.”

Bagaimana dia tidak mau menerima kenyatan bahwa dirinya mengalami serangan ghaib. Orang yangmenyerangnya dianggap telah dzolim. Bahkan kemudian dirinya menyalahkan keadaan bahkan nyaris menyalahkan Tuhan. Dia tidak sadar, bahwa dia sudah berlaku dzolim kepada makhluk tak kasat mata. Menarik pusaka-pusaka dari alam ghaib, tanpa maksud yang jelas Hanya sebagai permainan belaka. Tahukah dia bahwanya pusak-pusaka tersebut adalah juga makhluk Allah. Pusaka tersebut yang menjadi patok-patok bagi ghaib bagi nusantara. Tahukah dia bahwa apa-apa yang dilakukannya itu telah mengacak-acak alam ghaib. Semisal dia masuk ke sarang ular dan kemudian menangkapi ular-ularnya untuk dibuat pajangan. Kemudian jika ada salah satu ular yang menggigitaya dia menyalahkan sang ular? Sungguh manusia memang melampaui batas!

Tentu saja alam ghaib akan mengadu kepada Tuhan, memohon keadilan Tuhan atas perlakukan manusia kepada mereka. Benar saja, pemuda tersebut menceritakan di bagian akhirnya. Teman atau guru yangmengajari ilmu tersebut, di kehidupan nyata, porak poranda. Raganya sakit-sakitan, pekerjaan terbengkelai, anak dan istrinya juga meninggalkannya. Kini dia hidup sendirian dnegan pusaka-pusaka yang menjadi kebanggannya. Meskipun itu adalah sebuah pilihan hidupnya. Namun Mas Thole mengingatkan, jika ada kehidupan yang lebih baik. Maka carilah kehidupan yang lebih baik. Janganlah mengabaikan kenikmatan hidup di dunia. Sesungguhnya banyak kita amati fenomena kehidupan realita model begini. Mas Thole sendiri mengalami. Bagaimana kehidupan sang Ayahnya yang memiliki banyak kesaktian. Tidak tanggung-tanggung Ayahnya mampu terbang diatas daun-daunan. Kebal terhadap senjata apapun, dan banyak kemampuan lainnya. Nyatanya beliau meninggal dalam keadaan menyedihkan. Ilmunya tidak mampu menolong dirinya.

Sungguh pengajaran itu amat berat bagi Mas Thole, makanya sejak kecil Mas Thole menafikan segala rupa hal-hal ghaib. Menafikan siapa jatidirinya. Menafikan apapun yang dilakukan Ayahnya yang berkaitan dengan ghaib. Ilmu ghaib, kesaktian dan segala rupa lainnya hanyalah akan menyusahkan kehidupan realitas kita. Benar ilmu tersebut sangat bermanfaat manakala kita di medan perang ataupun kita hidup di jaman kerajaan.l Tidak di jaman sekarang ini. Kalau ingin  memiliki kemampuan terbang, kita cukup mengumpulkan uang tak lebih 500rb rupiah saja. Kita bisa terbang menggunakan Lion Air, sangat mudah. Siapapun bisa memiliki ilmu ini. Mengapakah jaman sekarang ini kita harus bersusah payah menyakiti diri untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang sudah tidak pada peruntukannya lagi? Marilah kita nikmati takdir kita yang dilahirkan di masa kini. Hidup di perdaban yang sudah modern ini Marilah kita konversi dan kita upgrade ilmu warisan leluhur, kita sesuaikan dengan jamannya.

Perlahan angin berhenti, apa-apa yang disampaikan makhluk ghaib. Kegundahan meerka bisa dipahami oleh Mas Thole. Kemudian Mas THole menjdai saksi atas kebenaran mereka itu. Syukurlah  jauh sebelum datang ke rumah Mas Thole pemuda tersebut telah menyerahkan semua pusaka-pusaka yang diambilnya dari alam ghaib ke sebuah museum. Hal ini memperingan keadaan raganya. Mendapatkan semua pesana telah diterima.l Mas Thole memerintahkan pemuda tersebut untuk memanggil makhluk yang merupakan isi dari ajian/ilmu yang dimilikinya. Makhluk tersebut diminta untuk menghadap Allah dan Mas Thole akan menjadi saksi disitu. Sedetik kemudian pemuda tersbeut meditas. Muncul pergolakan luar biasa di badannya. Dengan lemah dia berkata, “Makhluknya tidka mau menghadap Allah, dia minta dikeluarkan dari badan saya.”  Aneh saja, makhluk yang diundang dengan dzikir dan wiridan, mengapa tidak mau menghadap Allah? Hhh…betapa manusia sesungguhnya tertipu dengan ini.

Pusaka-pusaka yang hilang, entah kapan akan kembali. Sementara manusia terus saja mencari dan mengambili pusaka-pusaka negri ini. Mereka manusia tidak merasa bersalah atas habisny apusaka ghaib di bumi nusantara ini. Pusaka yang menjadi penjaga-penjaga ghaib nusantara. Satu persatu ditukarkan dengan periuk nasi atau sekedar hanya menjadi koleksi. Jika terus begini, jika terus diambili apakah tidak akan habis pusaka negri ini? Lihatlah kabuyutan dan tempat-tempat suci telah kehilangan spiritnya. Pusaka penjaga tempat-tempat ini telah habis untuk koleksi pribadi. Bumi ini menjadi panas. Batu-batu cadas menjadi begitu keras. Angin terasa sakit menusuk tulang. Apakah upaya Mas Thole akan berarti. Menancapkan paku-paku bumi untuk menggantikan peranan pusaka-pusaka yang sudah hilang dari bumi ini. Mereka manusia sakti yang terus mengambili. Akankah tidak mengerti?


 +++

Diam menatap, hujan yang berhenti. Minggu sore (21/1), Mas Thole tersungkur bersama guntur yang pergi. Sebut saja Wening mendapat pesan, agar mengambil gerabah di tempat Mas Thole. Untuk dibersihkan dan diisi air Tirta. Ilapat itu sudah sedari sore. Prosesi harus dilakukan di bulan purnama. Sayang sekali realitas tidak memungkinkan. Mas Thole mampu merasakan bagaimana rahsa siksa. Sepanjang malam Wening meronta, tugas yang tidak terlaksana akan menjadi beban di raga. Sebuah janji yang tidak di tepati akan berbalik menjadi gemuruh dan gelombang. Apakah harapan akan hilang. Apakah semua sudah didahului. Mengapa dirinya bisa terlena begini? Tidak ada rahsa, tidak ada ilapat apa-apa. Dirinya merasa benar-benar telah tertinggal, bahkan mungkin ditinggal oleh Kami.

Rahsa sesal tertelan dengan kehampaan, sebab ketidak mengertian. Apa yang salah, adakah yang terlewat. Kosong dan normal saja. Ghaib sekarang telah berada di posisinya kembali. Benar-benar aneh. Sensor ketubuhan Mas Thole kembali normal menjadi manusia biasa. Bukankah itu yang dicarinya? Mengaoa sekarang dia merasa ada yang hilang? Ingin dia menjerit. Perasan kehilanngan menggamitnya. Sehingga manakal ada pesan inbox yang disampaikan kepadanya sudah tidak dipedulikannya lagi. Sebuah pesan kesombongan, yang menyatakan bahwa jikalau tidak karena pertolongan ‘sang anonim’ ini, Mas Thole sudah mati dari kemarin ini saat menghadapi NImas Pandansari. Dialah yangmengalahkan Nimas Pandansari. Berkat pertolongannyalah Mas Thole sekarang masih hidup. SUngguh pesan yang tidak penting untuk ditanggapi. Mas Thole masih sibuk dengan realitas yang dialami. AKankah perjalanan Paku Bumi yangterakhir ini bisa terwujud. Entahlah itu…?!?

Tatkala hujan reda, dan dia tersungkur, batin telah hilang, bersama guntur yang pergi. Harapannya hilang musnah. Dan  tahu pasti telah didahului. Meski jeritnya tinggi membelah langit. Kesempatan lewat sudah tunggu hari esok. Jauh masih jauh..oh jauh makin jauh.” (Song Rita Rubby Hartlad, 1982)


Komentar

  1. bagaimana kita tahu, jika ada entitas lain yang berada dalam diri kita?.apakah serta merta tubuh mengalami gejala fisik tertentu seperti pening, mual dan sebagainya ?...termasuk sesak/susah bernafas ?, sy beberapa kali mengalaminya, tp tdk tahu apa yg menjadi penyebab, bahkan untuk menggerakkan tubuh saja susah, hanya bisa menyebut asmanya dlm hati..memohon pertolongan, mhn pencerahannya.mtr nuwun, rahayu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali, gejala yang anda rasakan adalah salah satu diantara gejala adanya entitas. Interaksi dnegan entitas tersebut menyebabkan keadaan tersebut. Reaksi yang saudara alami adalah salah satunya sebab adanya leluhur

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali