Kisah Perjalanan Paku Bumi (10), Satria Sang Pemanah Rahsa 2

Hasil gambar untuk dewa pemanah cinta
"Menatap waktu tak berbatas, 
Menatap langit tak berbekas,
Menatap kaki tak beralas,
Menatap jiwa tak berbelas
Menatap angan dalam kilas,
Menatap raga yang berkisas,
Bagaimana kau katakan cinta, jika tak mengerti bahasanya?
Bagaimana kau katakan ini musibah jika kau tak mengerti rencanaNya?
bagaimana kau katakan ini anugrah, jika kau tak mengerti hakekat ujianNya?
janganlah berkata yang tidak engkau pahami,
bagaimana engkau mengerti sepi, jika engkau tak pahami keriuhan
Janganlah kau tanyakan betapa panasnya api, kepada sang api
jangan pula kau tanyakan bagaimana rahsanya dingin kepada sang salju
Bagaimana bisa mengerti...
Nikmatnya air sejuk dan dingin 
kemana mencari nikmat itu, jika tubuh dan angan penuh ilusi
maka janganlah engkau selalu pertanyakan itu!"

...

Angan kembali menorehkan semua disini, kisah spiritual yang mungkin saja sulit dipahami. Kisah masa lalu yang terhimpit di masa kini. Kisah pertarungan kesadaran yang sudah dimulai semenjak Habil dan Qobil. Kisah yang akan terus ber siklus di kesadaran anak manusia. Kisah yang akan turun temurun berlangsung  diantara DNA manusia. Kisah yang akan terus menuntut jawaban bagi pelakunya sendiri. Kebenaran akan disandingkan dengan pembenaran. Keyakinan akan dipertaruhkan. Keteguhan akan dipertanyakan. Masihkah manusia akan peduli dengan ras nya? Masihkah manusia layak disebut sebagai pemimpin? Masikah manusia ikut serta dalam skenario akbar penciptaan alam semesta dan menjadi wakilNya? Manusia berakal yang akan memeikirkan ini semua. Mencari jawaban atas dialetika dan dinamika rahasia ini, baik duduk, berbaring ataupun berdiri. Mencari penjelasan atas fenomena-fenoemana yang terjadi pada raga terkininya.


...


Banyak Wide berdesah lirih, mengapakah manusia masih tidak bisa melihat kenyataan ini. Mengapakah manusia masih menggantungkan hidupnya kepada selain Allah. Mereka beranggapan para kyai tersebut akan dapat menghubungkan mereka dengan Allah. Mereka merasa bahwa para kyai tersebut dapat menyelamatkan diri mereka. Mereka mencintai para kyai, para guru, para habib melebihi cintanya mereka kepada Allah. Dan mereka beranggapan dengan itu mereka telah mencintai Allah dengan benar.  Mereka ikuti apapun yang dikatakan para kyai, guru atau habib mereka. Mereka beranggapan bahwa habib, kyai, dan para guru, suci dan  terbebas dari segala dosa. Sungguh kelirulah anggapan mereka itu. Para kyai, guru, habib dan lain lainnya, yang mereka anggap orang yang suci hakekatnya  adalah mahkluk Allah biasa. Mereka sendiripun tidak akan mampu menyelamatkan diri mereka sendiri dari api neraka. Bagaimana mereka bisa menyelamatkan manusia lainnya?  Sungguh kelirulah angapan mereka itu.

Raga Mas Thole, panas dingin mengkhabarkan ini. Alam kesadaran bergolak, mereka tidak terima atas pernyataan yang dituliskan Mas Thole disini.  Selalu saja keadaannya begitu. Bangun kesadaran manusia disusun atas keadaan ini. Pemujaan dan kultus atas orang-orang yang dianggap suci, para guru, Brahmana, kyai, habib, dan para pejabat istana. Kesadaran manusia ditipu atas penampilan wujud alam nyata. Manusia yang hebat berilmu, memliki keududkan menjadi pemujaan. Mereka tanpa sadar telah menyembah manusia-manusia ini. Mereka mencintai manusia model seperti ini sebagaimana mereka menyintai Allah. Maka perhatikanlah, Allah tidak akan memperdulikan lagi bangsa model begini. “…. Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya..” (QS, 05;054)


Maka apakah manusia tidak memperhatikan, bagaimana sebuah batu jatuh? Kemanakah sebuah batu itu jatuh? Kemudian lebih jauh lagi, mungkinkah bumi akan jatuh? Kemanakah jatuhnya bumi? Apakah akan jatuh ke matahari, mengingat daya hisap (gravitasi) matahari sedemikian kuatnya. Selanjutnya kita eksplorasi lagi pertanyaannya. Mungkinkah matahari bias jatuh? Kalau bias, kemanakah matahari akan jatuh?  Mungkinkah ke pusat galaksi Bima Sakti? Kalau begitu jika seadaianya pusat Galaksi Bima Sakti itu rontok dan jatuh, maka kemanakah jatuhnya galaksi Bima Sakti Ini? Logika kita terus dipaksa untuk berfikir, bagaimanakah susunan pola alam semesta ini. Bagaimana langit didirikan tanpa tiang. Bagaimana kekuatan-kekuatan antara planet ini membentuk keseimbangan dan keharmonisan. Bagaimana daya-daya mereka saling tarik dan menentang satu sama lainnya, sehingga terciptalah daya tegang tali yeng mengikatkan mereka dalam sebuah keadaan.

Kita akan ternganga, sebab mengapa? Ya, Sebuah planet bisa diam di angkasa adalah oleh sebab bekerjanya gaya antar planet atas satu planet dan planet lainnya. Maka jika kita perhatikan, Bumi bisa tetap dalam posisinya karena adanya susunan planet lainnya. Karena sebab bekerjanya resultan gaya atas bumi. Sehingga karena sebab resultan gaya inilah yang menahan bumi pada posisinya. Bumi kemudian menjadi satu diantara planet yang menyusun tata surya. Kemudian kita perhatikan lagi apakah guna bulan? Bulan ternyata di ciptakan sebagai penyeimbang agar bumi tidak berguncang kerena daya Tarik ikatan antara planet ini. Adanya bulan menjadikan lautan bergelombang, adanya pasang surut di lautan. Bukankah ini konsepsi hukum alam semesta secara makro?

Konsepsi mikrokosmos begitu juga adanya. Kemanakah manusia akan jatuh (mati). Sebuah pertanyaan yang terus berguliran disini. Tubuh manusia terbuat dari elemen Bumi?  Maka sangat logis jika raga manusia akan selalu tunduk kepada hukum-hukum yang  berlaku dibumi. Bagaimana dengan jiwa manusia? Bagaimana juga dnegan ruh manusia? Bagaimana impilkasinya raga yang mengikuti hukum-hukum Bumi? Apakah jiwa manusia juga akan mengikuti hukum Bumi? Apakah ruh juga akan mengikuti hukum Bumi? Banyak sekali pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Sayang kesadaran manusia masih sulit menjabarkan pemahaman ini. Bahkan sudah ribuan lebar kitab di tulisa manusia. Setiap diri tetap sulit memahami kensekuensi hukum-hukum ini. Memasuki kedalaman diri manusia, sama saja menguak rahasi jagad raya ini. Maka sungguh sulit sekali menyatukan persepktif antar dimensi, antar muka dimensi dari satu wajah ke wajah lainnya. Semua wajah itu hidup. Hidup dalam sebuah kesatuan.

Apakah entitas penyusun jiwa, raga, dan ruh itu sama? Apakah kepada masing-masingnya akan berlaku hukum yang sama? Pada tataran science telah dikenal hukum gerak klasik Newton dan juga gerak cahaya ala Einsten. Pada level cahayapun sudah banyak sekali dikenalkan hukum-hukumnya. Bilakah hukum gerak ini  ini mampu menjelaskan konsepsi gerak lintasan jiwa dan, taga, dan juga  ruh manusa, yang menyusun tubuh manusia.  Apakah hukum-hukum tersbeut mampu menjelaskan fenomena yang terjadi pada raga manusia? Fenomena reinkarnasi, fenomena surga dan neraka, fenomena dendam dan cinta dan juga fenomena-fenomena lain yang sulit dijelaskan dengan logika? Sungguh sulit menjabarkannya. Mempertemukan pemahaman ghaib dan logika.  Bagaimana kemudian manusia mampu membahasakan cinta?

….

Mas Thole masih terus disibukan dengan realitas kekiniannya. Sentuhanya di realitas selalu menghasilkan ‘musibah’ dalam tataran pandangan manusia. Keadaan yang sulit dipahaminya. Bagamanakah memaknai bahwa ‘musibah’ yang dialaminya ini pada hakektanya adalah ‘anugrah’ Allah atas hamba-hambaNya. Jika kenyataan yang didapati adalah kesedihan adanya? Sungguh sulit sekali memaknai keadaan ini. Sama sulitnya bagi korban teror kemarin ini, memaknai bahwa kejadian yang dialaminya itu teryata telah membangkitkan kesadaran kolektif bangsa ini untuk tidak takut terhadap teror. Yah, untuk apa mereka takut kepada manusia lain. Mereka hanya perlu takut kepada Allah saja. Abaiakan mahul lainnya. Yakinlah kepada Allah. Kesadaran ingat Allah inilah yang penting, yang harus terus digulirkan. Maka tidak layak bagi kesatria untuk takut terhadap kejaidan yang dialaminya. Namun sungguh sulit memahami ini?

Poros portal ghaib telah terbuka, bersama alur kebencian dan juga dendam masa lalu yang tersingkap. Masih saja manusia membawa dendam masa lalu termasuk membenci kelahiran Banyak Wide. Mereka tidak sadar untuk apa benci kepada Banyak Wide dan kemudian menista raga terkininya yang menghantarkan kisah-kisah spiritual ini. Sungguh, mereka tidak menyadari adanya daya dorong yangmembuta mereka begitu dalam kebenciannya. Semisal para teroris yang begitu benci kepada peradaban manusia. Mereka akan selalu menyerukan ‘kebencian kepada kelompok lain yang lebih ‘damai’ mereka menginginkan perang. Nusantara ingin mereka guncang dnegan ‘kebencian’. Mereka butuh pengakuan bahwa merekalah yang paling tinggi, mereka paling hebat, mereka paling suci, dan lain sebagianya. Generasi penuh ‘kebencian’ ingin mereka turunkan di negri ini. Dan itu sangat terasa sekali sini.

“Seumpama langit terbelah, itu bukanlah fatamorgana, sesungguhnya itu ada dalam kurun waktu yang tidak beberapa lama. Ketika itu manusia tidak mengenal rahsa. Hanya luapan emosi yang menjadi kebutuhan semata. Jejak kalian akan sirna, bila tidak menancapkan pakunya sekarang. Sesungguhnya, aku berada bersama kalian. Menjadi bagian kami untuk menyelamatkan bumi. Tetapi itu tetap pada kalian. Apakah bergerak atau berdiam diri.  Sewaktu langit terbelah mayapada terbuka. Dimensi satu persatu terbuka, menjadi satu saru dan lugu. Perpaduan itu ada pada dua kapasitas wibawa, yang disaksikan tenggelam pada cangkang darma, yang mana semua bekerja dalam satu ikatan cinta. Tali yang mengubungkan satu sama lainnya.”

Masih ada dua paku yang belum di pancangkan. Mas Thole telah kehabisan tenaga dan juga persediaan perjalanan. Waktu seperti berburu dengan kejadian. Satu demi satu pesan kepada kesatria lain berdatangan mengingatkan Mas Thole untuk segera bergerak atau apa-apa yang dilakukannya berpuluh tahun ini akan sia-sia. Banyak kesatria yang telah mengalami keadaan yang tidak meneynangkan pada raganya, ada yang mengalami kantuk yang begitu hebatnya sepanjang hari. Ada yang merasa tubuhnya hancur bagai dipukul palu goodam, ada lagi yang mengalami alergi sekujur tubuhnya dan mengeluarkan nanah dan darah yang luar biasa banyaknya dari bisul yangtumbuh di kulitnya. Ada yang pusing-pusing dan juga mabok, hingga mutah-mutah. Demam dan juga flu pilek. Apakah keadaan berhubungan, entahlah itu. Mas Thole hanyalah mengkhabarkan saja.

“Segeralah ke astana Giri Loka, bawakan air bejana yang sudah di mohonkan tirta pada saat bulan purnama. ‘Astana-yadnya-manusia-satria-pamanah rahsa. Berangkatlah pas bulan sabit. Letaknya pada lembah diantara anakan sungai. Segeralah kesana. Penuhilah janji kalian!”

Mas Thole diam dalam sepi dirinya. Banyak sekali lintasan di kepala, tarikan ghaib dan realitas, menyebabkan ambivalensi pemikiran. Apakah dia harus berjalan di alam-alam kesadaran sementara realitasnya tidak terjadi apa-apa di alam semesta ini, juga pada realitas kehidupannya sehari0hari? Ataukah dia terus berjalan meski apa-apa yang dilakukannya ini tidak merubah apapun realitas kehidupannya? Haruskah dia dalam keyakinan ini? Akankah benar Nusantara Baru akan bias dilahirkan dari sebuah ‘keyakinan’. Sementara perjuangan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Bukankah hanya kesakitan dan kepedihan yang harus dilalui sepanjang perjalanan spiritual ini. Haruskah itu diikuti? Haruskah dirinya peduli akan kepedihan jiwa manusia lainnya? Sementara keadaannya sendiri tidaklah lebih baik dari mereka itu?

Tuhan…dalam penat, kulantunkan sendiri. Dalam diam ku ingin menyambangi, dalam resah ku ingin kembali, dalam gundah ku ingin menyebrangi, lautan ini tak bertepi, dan dimanakah adanya Engkau?

“Separuh nafasku,
Kuhembuskan untuk cintaku
Biar rinduku sampai kepada bidadariku”


Kesatria Sang Pemanah Rahsa bersenandung dan pergi meninggalkan Mas Thole sendiri, memikirkan nasib dirinya sendiri. Banyak Wide maklum, sebab dia juga pernah mengalami situasi ini. Sendiri lebih baik bagi Mas Thole dalam keadaan seperti ini…


Bersambung…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali