Kisah Perjalanan Paku Bumi (11), Misteri Bukit Rancamaya
Aku
tak akan menyerah,
Sebab
cinta tak katakan itu
sembunyi
karena malu, takut atau merindu
Hanya
ada dalam kesungguhan
Akan
ku sampaikan, “Nusantaraku, jiwa, dan itu nadiku!”
Maka
biarkan kukisahkan sekali lagi, Jika nanti suatu masa,
“Apabila telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan.
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.”
(QS, An Nasrh 1-3)
Lalui hari, menyusuri kesadaran
kelak aku dapati dan tahu kebenaran
biarkan langit terluka, dan aku bicara disana
terabaikan, terbuang dalam kenistaan
Menggali
petak-petak yang tertinggal,
Ketidak-mengertian, dan libatkan kekhilafan
Menunggu
bersama Kami yang menunggu,
Keputusan
dari Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan kita
Genggam Nusantara Baru dalam sebuah impian!
"Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong," (QS, An Nasrh, 2)
Tidakkah kau lihat kepastian itu?
+++
Bukit
Rancamaya (18/1), padang , bukit dan lembah penyapu
sukma, dalam kisaran sang waktu. Menunggui hari yang mencumbui, dalam kelam
pikiran serta hasrat penantian. Kirab
alam, semesta dalam gulita dan anomali keadaan. Menggiriskan, menafikan logika
dan kelaziman. Bayangkanlah, bagaimana rambut yang hitam mendadak memutih dan tanah
yang hitam kini memerah. Lautan yang
biru menjaadi darah. Daun yang hijau mendadak menguning. Udara yang dingin mendadak
memanas. Sebaliknya, iklim yang
semestinya panas terik membakar, justru dingin membekukan. Tidak saja disini di
bumi yang sekarang kita pijak ini, namun telah merambah seantero dunia, australia,
amerika, dan juga lainnya. Saudi Arabia gurun tandus berpasir, diguyuri hujan
salju yang menutupi jalan raya. Dan
mereka bertanya tidak mengerti, “Ada apa dengan
alam ini?” Kisah fatamorgana yang
menjadi nyata. Sangat nyata bagi mereka yang memiliki kesadaran (akal).
Begitu
juga, sebagaimana yang dialami oleh Mas Thole, dalam perjalanannya kali ini.
Perasaan baru saja siang tadi dia merasakan siang yang begitu panasnya, saat
kereta commuter line yang di tumpanginya memasuki stasiun Bogor. Langit terang benderang tiada awan. Keadaan
berubah saat rombongan mereka memasuki bukit Rancamaya. Pekat kabut, turun
bersama hujan, menutup pandangan arah
gunung salak. Di atas bukit Rancamaya, halilintar menggelegar, menampilkan
kegarangannya, kilat sambung menyambung
mengguncangkan alam lelembut. Layaknya Dewa Halilintar sedang bersuka ria. SUngguh
kontras sekali dengan keadaan satu jam tadi. Sontak keghaiban disana kacau,
mencari darimana muasal kejadian. Sehingga alam bergolak, tidak sebagaimana
biasanya. Bukit indah yang dahulu banyak menyimpan misteri situs-situs leluhur
kini telah berubah menjadi gundukan bukit reumputan. Tempat para petinggi negri
bermain golf disana. Berkali-kali Mamang yang mengantar rombongan mengatakan
bahwa kejadian seperti ini baru kali ini terjadi setelah bertahun-tahun.
Penjaga
bukit Rancamaya berkilah bahwa dibukit sana kemungkinan hujan terjadi hanya 10%
saja. Bukit tersebut sudah dijaga para pawang hujan yang akan siap sedia
mengamankan acara-acara penting. Taetapi faktanya hari ini hujan demikian
lebatnya. Maka kejadian di sore menjelang ashar itu adalah kejadian yang langka
bagi mereka (18/1). Alam merespon
kedatangan para kesatria, alam ingin berkata bahwa memang sudah saatnya bumi
harus dibersihkan. Logika manusia harus dijungkir balikkan agar manusia sadar
bahwa ada kekeuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan manusia. Ada sebuah system
yang mengatur sedemikian rupa agar bumi ini tetap terjaga dari ulah serakah
manusia. Semisal sistem detoksifikasi yang ada pada tubuh manusia saja. Bumi
akan memulai pembersihan dirinya. Energy kesadaran akan memutar, kutub utaraa
dan selatan akan berpindah. Selatan pindah utara, dan utara akan pindah ke
selatan. Maka utara dan selatan akan menjadi dua. Bayangkan bagaiaman medan
magnet bumi tidak bertabrakan. Bagaimana memory kesadaran tidak berguguran.
Bagaimana alam dimensi tidak kiamat. Smeua akan bagai laron-laron berterbangan.
Gunung-gunung akan bagai bulu tertiup angin.
+++
Rombongan
Mas Thole datang sendiri-sendiri ke kota Bogor. Mas Thole di jemput rekannya di
stsiun Bogor. Kemudian bersama-sama menjemput Mamang. Selanjutnya mereka naik
ke puncak. Memasuki bukit Rancamaya tentu saja tidak mudah. Bukit ini dijaga
oleh beberapa lapisan penjaga. Layaknya penjagaan istana kerajaan. Maklum
tempat ini sering digunakan oleh petinggi istana. Walaupun saat itu sedang
tidak ada acara, namun penjagaan tetaplah di level waspada, apalagi baru saja
Jakarta di goncang isue bom. Mas THole dan kawan-kawan harus memutar otak untuk
dapat sampai di koordinat yang ditunjukan Kami. Sebuah tempat yang disakralkan
di masa lalu, sebuah kabuyutan yang teah dihillangkan sebab keserakahan. Konon
pada saat pembangunannya kabuyutan ini sangat sulit sekali di bongkar. Ada
beberapa batu menhir, berupa petilasan yang tidak mampu dirobohkan meskipun pihak
kontraktor sudah mengerahkan alat-alat berat. Hingga akhirnya petilasan
tersebut hanya ditutupi dengan tanah dan rumput saja. Sehingga terkesan sebagai
bukit biasa. Kesanalah Paku Bumi akan ditancapkan.
Nampak
rombongan Mas Thole menerobos hujan, terbagi menjadi dua rombongan.
Masing-masing rombongan melaksanakan kepentingan alam. Mas Thole membawa misi
untuk menancapkan paku bumi, sementara rombongan lainnya, mengamankan pusaka
leluhur, yang disinyalir akan muncul disana dan menjadi rebutan. sebagaimana
yang diperintahkan Kami. Satu orang menjaga kendaraan. Dua wanita memecah ke kanan, berjalan ke samping
bukit. Mas Thole dan Mamang mengajak berbincang sang penjaga bukit. Entah apa
yang dilakukan dua orang wanita di balik punggung bukit sana. Mereka berjalan
begitu cepat, meskipun hujan sedikit agak reda, namun tetap saja mereka tidak
menggunakan payung, maka basahlah sekujur badan mereka. Layaknya adaan dalam film-film action, Mas
Thole harus terus mengajak ngobrol penjaga bukit, mengalihkan perhatiannya dari
kelompok pertama yang menuju arah kanan bukit. Jangan sampai penjaga ini
curiga. Tidak beberapa lama, dua orang wanita rombongan Mas Thole, hilang di
balik bukit. Rasanya sudah agak aman dari penjagaan di depan. Hampir
seperempatan minum teh, mereka kembali. Lega hati Mas Thole. Misi pertama telah
berhasil. Kitab Brataloka sudah di
tangan.
Tanpa
memberi kesempatan sang penjaga untuk banyak bertanya. Rombongan kedua bergerak.
Mamang ditemani satu rekan wanita menuju ke sebelah kiri punggung bukit. Dari arah
sang penjaga, arah kiri merupakan tanah lapang, sehingga cukup jelas dari
pandangan. Sulit rahsanya untuk
melakukan prosesi. Maka Mamang pun
melakukan prosesi seperlunya. Setelah selesai keduanya kembali ke rombongan.
Masih terlihat dari sudut mata Mas Thole, salah satu rekan wanitanya, terus
mengalami sensasi tak biasa. Batuk-batuk hebat, dan juga tubuhya semakin lama
semakin limbung, seperti sempoyongann menahan beban. Pandangan Mas Thole
menyapu keadaan. Banyak sekali jiwa-jiwa yang mati mengenaskan di bukit ini
Mereka yang berusaha mempertahankan kabuyutan disini. Jiwa mereka tidak tenang.
Mereka terus saja mengikuti rombongan Mas Thole.
Selesai
prosesi tahap pertama, Mas Thole dan rombongan menuju tempat pusat titik
koordinat. Titik dimana alat-alat berat tidak mampu merobohkan kabuyutan. Batu
menhir sebagai penanda adanya kabuyutan tetap berdiri kokoh disana. Hanya saja
sekarang tertutup tanah, dan rerumputan hijau. Mas Thole tanpa menghiraukan hujan yang
semakin deras, lari menuju pusat portal. Rekan-rekannya berusaha mengikuti.
Syang mereka tidak mampu menegjar. Alam terlihat mulai menghablur. Mas Thole
seaaakn berada di dua dimensi. Lengang, tenang, namun sangat misteri. Sepanjang
mata memandang, hanya hamparan rumpur tak bertepi. Pepohonan ada satu-satu
menghiasi taman. Hawa bergerak bagai gelombang kejut dari arah muka, seperti
sebuah layar yang diganti. Pandangan mata Mas Thole mulai nanar. Maka tanpa
menunda-nunda, segera saja ditancapkan Paku Bumi disana. Seiring dengan itu
hawa magic melipat pandanganMas Thole. Dalam kesadarannya, suara jauh terdengar
sangat dekat. Suara dekat terdengar sangat jauh sekali. Sistem ketubuhan Mas
Thole benar-benar kacau sekali. Di panjatkan doa seingatnya, dilatunkan tasbih
semampunya. Sampai dirasakan cukup. Mas Thole bergegas lari kembali ke
rombongan yang sudah menunggu di mobil.
+++
Dalam
besutan pesan dan ancaman yang bernada kebencian yang terus memasuki inbox dan
juga portal kesadaran, Mas Thole terus meneruskan perjalanannya. Mereka akan terus melakukan apa saja. Demi tercapainya maksud mereka itu. Rangkaian pesan perang yang dimaksudkan agar Mas Thole dan kawan-kawannya mengurungkan niatnya, untuk terus melacak
kebenaran akan bangkitnya Pajajaran. Pesan yang juga bernada penistaan para leluhur bangsa ini, hinaan, dan juga penghasutan, dengan maksud agar Mas Thole dan kawan-kawannya tidak meneruskan prosesi
penancapan Paku Bumi. Alasan mereka katanya perjalanan Mas Thole tidak direstui
alam. Mas Thole tak pedulikan itu. Walaupun begitu hujatan itu tetap menambah perih di dada. Mas Thole maklum sebab orang-orang tersebut pasti penikmat status quo. Mereka yang tidak ingin kebenaran tegak di bumi nusantara ini. Biarlah mereka begitu!
Mas
Thole akan tetap mencari jejak-jejak penanda yang akan menjadi keyakinan
dirinya bahwa Nusantara Baru pasti akan lahir kembali. Telah berulang kali
disampaikan kepada para ‘penghujat’. Biarpun peluru menembus kulit mereka, luka,
busuk dan bernanah. Mereka akan tetap berlari, dan terus berlari hingga hilang
pedih dan perih. Ini bukan saja tentang nusantara, tetapi ini lebih kepada keyakinan sebuah
mimpi. Inilah mimpi anak-anak negri. Sebuah mimpi dari negri yang sudah mati. Sebab
para pemimpinnya sudah tidak punya hati. Lihatlah desa kami ditenggelamkan,
rumah kami di hancurkan, kabuyutan tempat istirah leluhur kami di tenggelamkan.
Masihkah ini negri kami? Sungguh kami sudah tidak merasakan tanah ini sebagai
negri kami. Keserakahan, kesombongan, dan kebencian telah membutakan pemimpin negri. Maka layakah negri
seperti ini untuk anak-anak kami nanti?
Maka
mimpi akan lahirnya sebuah negeri yang akan mengayomi kehidupan kami, inilah satu-satunya
harapan kami. Inilah harapan yang
membuat kami semangat untuk bertahan hidup, ditengah kehancuran moral bangsa
ini. Biarkan kami dengan mimpi ini. Mimpi
akan datangnya seorang Kesatria Piningit yang mampu membawa Nusantara ini
kepada kejayaannya. Mimpi akan datangnya seorang kesatrai ‘Budak Angon’ yang
akan mampu memberikan ketenangan dan ketetraman bagi masyarakat Indonesia. Mimpi
akan bangkitnya ‘spirit’ Pajajaran yang akan mengawal lahirnya Nusantara Baru. Pergiliran trah Aji Putih sudah seharusnya terjadi, Ini
adalah mimpi kami sendiri. “Mengapakah
kami semua tidak boleh bermimpi?”
Aku
tak akan menyerah,
Sebab
cinta tak katakan itu
sembunyi
karena malu, takut atau merindu
hancurkan
saja aku dengan alibimu yang menyaru
Pecahkan
seluruh urat darahku
Aku
akan kembali berhamburan, terbang
menjadi
bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang
menjadi
jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan
baru akan muncul dari kematian
Engkaulah
yang bermata satu, pemburu mimpi
maka
perintahkan lagi olehmu wahai pecundang,
’bunuhlah
aku, duhai teman setia,’
…
Kemenangan
akan menanti setelah matiku,
’Lihatlah,
karena dibunuh aku hidup,’
Aku
hidup dalam setiap atom-atom
Di awan,
di sungai, di tumbuhan, di jiwamu,
Di pori-porimu
Di anak
keturunanmu akan mewarisi seluruh darahku,
Mengalir
mimpiku, Jayalah Nusantara!
…
Bunuhlah
aku dengan pedang katamu!
Aku
tak akan menyerah
Cinta
ta pernah katakan itu!
…
“Apabila telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan.
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.”
(QS, An Nasrh 1-3)
Akan
ku tunggu saat-saat kemenangan itu,
Janji
Tuhanku adalah benar!
Dan
engkau akan dapati kebenaran itu,
Dari sisi
manapun engkau berdiri
Kemenangan
tetap akan ada padaku!
Maka jika
saat itu datang, menangislah engkau untukku!
Agar kalian
tahu betapa sakitnya kematian itu!
“Jayalah
Nusantara jaya!”
+++
Hampir
menjelang tengah malam Mas Thole pulang ke rumah. Hujan yang mengguyur di
Rancamaya, ternyata tidak sampai ke Jakarta. Jalan tol begitu lengang. Seakan
memeberikan kesempatan agar Mas Thole dan rombongan bisa pulang lebih awal. Sungguh
sebuah kerberkahan. Tanpa disadari makhluk ghaib berebutan mengikuti dari
belakang. Tentu saja energy mereka menggangu system ketubuhan. Salah satu rekan
wanita Mas Thole sampai harus diberisihkan. Begitu juga lainnya mengalami hal
yang sama. Rancamaya tidak sebagaimana yang kita bayangkan. Dendam dan kebencian
atas dihancurkannya kabuyutan meninggalkan residu yang sangat dalam disana.
Para ghaib mengkahabarkan akan melakukan balas dendam. Kembali kepada mereka
diingatkan. Bahwa tidak ada hak bagi kita menghukum manusia. Biarlah Allah yang akan menghukum makhluk yang DIA ciptakan sendiri. Kita jalani saja takdir kita
masing-masing. Syukurilah apa yang sudah Allah berikan kepada kita saat
terkini. Inilah nikmat Tuhan.
Sambil
menenangkan gejolak di dada Mas Thole, Banyak Wide menyampaikan pesan;
Aku terlahir bersama duabelas leluhur di
setiap langit,
dalam tanda-tanda bintang,
berulangkali hidup dan mati, mati dan
hidup
bersama kesedihan dan kenistaan.
Berbusana koran dan tembikar,
Sulam permata aku sematkan dalam gincu dan
aroma pengakuan
dalam sebuah mantel jasmani, aku
menyibukkan
Akulah kepedihan dari si pencemburu,
akulah nyeri dari si sakit. Akulah awan dan hujan:
Kuhimpun bunga kelopak lima dalam taman keabadian
…
Kekayaan bukanlah dari air maupun api, bukanlah dari angin
Akulah yang mewartakan, meniadakan dari
segala kehampaan
Menandakan dari setiap kepedihan
Aku ada dalam setiap pemaknaan
Dalam setiap penantian dalam impian
Aku terlahir bersama duabelas kematian
“Bunuhlah
aku wahai kawan setia!”
Dan aku akan lahir bersama tigabelas kehidupan
Di hari kemudian (By Banyak Wide)
…
Terlihat
Banyak Wide terpekur, ada saja di setiap kehidupan Manusia-manusia yang dengan
arogansinya memaksakan keinginannya kepada manusia lainnya. Mereka tidak sadar
jika setiap manusia berhak atas mimpi-mimpinya sendiri. Disisi lainnya, Banyak
Wide juga turut bersyukur, pertemuannya dengan Guru Bumi telah menjadi penanda.
Dimensi tak kasat mata akan terus bekerja. Mereka para leluhur dan pasukan-pasukan
alam terus melakukan mobilisasi. Rasanya tidak ada yang perlu dikhawatiri lagi.
Jikalaupun ada satu dua penghalang itu sudah menjadi bagian dari perjalanan.
Saatnya Mas Thole harus memperbaiki system ketubuhannya. Melakukan meditasi dan
juga tafakur untuk lebih memperdalam kemampuan spiritualnya. Sedih rahsanya
menyaksikan raga terkininya ini menjadi bulan-bulanan hantaman energy para tokoh-tokoh sakti. Jaman sudah berubah,
namun tabiat manusia makin beringas. Sambil menghela nafas berat, Banyak Wide
beranjak untuk mempersiapkan penancapan Paku Bumi terakhir.
Bersambung…
Assalamualaikum, sampurasun, abdi ti sunda beulah kulon ngucapkeun wilujeung sumping nusantara jaya, smoga di gampilkeun sakabeh cita2 sadayana, amin..salam sadulur "damar wulan ora sumbu" jeung "barisan benteng raya pajajaran (BBRP).
BalasHapus