Kisah Spiritual, Manakala Sang Ibu Menangis
Jembatan batu di sebelahku diam
Pancuran bambu kecil memercikkan air
Menghempas di atas batu hitam
Merintih menikam sepi pagi
Pancuran bambu kecil memercikkan air
Menghempas di atas batu hitam
Merintih menikam sepi pagi
Pucuk-pucuk cemara bergoyang-goyang
Diterpa angin dingin bukit ini
Seperti mengisyaratkan doa
Rahasia alam diam di sekitarnya
Diterpa angin dingin bukit ini
Seperti mengisyaratkan doa
Rahasia alam diam di sekitarnya
Di sini pun aku mencari Engkau
Setiap kali ku panggili namaMu (Lolong by Ebiet G Ade)
Setiap kali ku panggili namaMu (Lolong by Ebiet G Ade)
Biarkan aku menangis, bila dengan tangisku akan merubah
kesadaranmu. Bila dengan tangisku akan menumbuhkan kasih sayangmu. Mas Dikonthole terdiam, dan berkata meradang. "Lihat Ibuku
sedang menangis, lihatlah Ratuku sedang menangis. Dia sang Ratu Sima, sedang bersusah hati, air matanya
berlinang, emas intan entah kemana menghilang." Dia Ibu dari anak-anak bangsa ini. Menangisi keadaan negri ini. Menangis anak-anaknya yang baku hantam, dari dahulu hingga sekarang hanya menyisakan
badai dan pedang, yang menikam dada, memporak porandakan apa saja. karenannya alam sekarang luluh lantak dibuatnya.
Terbentang di sepanjang mata memandang, air menerjang terjang,
membawa apa saja dari hulu sungai. Seputar bantaran kali Jakarta, perkampungan
Kampung Melayu, dari hulunya hingga ke hilir. Banjir menghadang. Semua terjadi
hampir di seluruh kota-kota nusantara. Musim hujan telah tiba. Sungguhkah hujan
adalah berkah alam semesta kepada manusia. Nyatanya, tak sedikit harta benda
tersita, terbawa amuk bah. Bilamanakah jika yang tersisa hanya nelangsa
?.
Di sini pun aku mencari Engkau
Setiap kali ku panggili namaMu
Namun selalu saja hanya gema suaraku
yang terdengar rindu
Setiap kali ku panggili namaMu
Namun selalu saja hanya gema suaraku
yang terdengar rindu
Bila sudah begini kucari Engkau Ya..Allah. Tuhan semesta Alam yang
mengatur jalannya roda kehidupan. Berteriak memanggili nama-MU. Meski hanya
gema suaraku. Meski hanya pantulan nada bisu. Hingga pekik menyesak di dada.
Menikam jantung.
Darimana mata rantai semua ini..?
Dimana harus aku belajar..?
Dalam penatnya hidup, masih ada saja air bah yang mendera raga.
Nanti entah apalagi..?.
Di dera kemiskinan kota, adakah tersisa iman di dada..?.
Setiap detik setiap waktu, masalah demi masalah tak pernah usai,
persoalan demi persoalan tak pernah lekang, cobaan demi cobaan menerjang satu
satu. Selesai satu datang seribu. Hingga waktu tak terasa, kudapati wajahku
letih dan tua.
Selalu saja ku panggili nama-MU. Namun selalu saja hanya gema
suaraku. Sungguh aku rindu pada MU.
Biarkan saja aku menangis, bila saja air mataku, akan mampu
mengubah kesadaranmu. Disana di dataran tinggi, hutan sudah tak ada lagi,
mengalir air tak terkendali. Di sini di saluran air. di kanal kanal sungai, di
kanan kiri tebingnya dan juga di ujung muaranya, nampak sisa-sisa sampah
kota, beserta bangunan kumuh tak tertata menyumbat alirannya, dibantaran
kalinya. Hidup tak nyaman lagi, hidup tak bersih lagi.
Jikalau hidup sudah di dera problematika seperti ini. Mau
apalagi..?. Apakah masih ada waktu untuk duduk sejenak mengingat-NYA. Bahwa
kebersihan adalah sebagian dari Iman, adakah yang peduli. Tidak..!. Tidak
sekarang atau nanti. Entah kapan lagi kita peduli. Tak ada yang peduli.
Kita tak peduli kebersihan itu, sebab hidup sudah susah begini.
Rejeki yang haram saja susah apalagi yang halal..?!?. Huh..!. Sepanjang semua itu
tak menganggu rutinitas kehidupan kita, memang untuk apa peduli..?. Bikin
kerjaan aja. Lue – Gue End..!. Hik..!. Itulah nafsu manusia.
Sementara di belahan dunia sana, kita dapati sekelompok
masyarakatnya, yang tidak pernah mengenal Islam. Nyata-nyata telah menjaga
kebersihan lingkungannya. Jika kebersihan adalah sebagian dari Iman, layakkah
kita di sebut ber-Islam ?.Layakkah diriku di sebut ber-iman..?. Apakah kita
telah ber-Islam. Karena nyatanya sebagian iman kita telah hilang. Hilang karena
tidak menjaga kebersihan. Kita harus meng-Imani bahwa kebersihan adalah bagian
dari ke utamaan Islam. Layaknya kita berkaca atas ini, dari kaum-kaum
yang lain, yang lebih dahulu melaksanakan hal ini dari pada kita.
Maka untuk itu, biarkan saja aku menangis, menangis yang amat
dalam. Jika aku tak mampu berbuat apa saja, untuk merubah itu semua.
Kejadiannya sudah berulang puluhan tahun. Sejak lahirnya negri ini. Maka
biarkan saja para politikus kota yang menanggapi keadaan itu, sesuai dengan
kepentingan mereka sendiri. Bernyanyi entah lagu apa saja yang mereka suka.
Diantara sedih dan nestapa masyarakat kota. Seperti kodok yang bernyanyi saat
hujan tiba. Ber sorak sorai, bila musim pencalonan tiba.
Biarkan saja jika, Inilah saatnya, mereka datang menyambangi
korban luka, terseret air. Di makan banjir. Biarkan saja, jika mereka
mendatangi korban yang berlindung dari derasnya air yang menggenang separuh
rumah mereka. Biarkan mereka berkata apa saja, setelahnya terserah kita,
anda, aku , kamu , atau mereka, yang mau memaknai kunjungannya.
Meskinya bentuk kepahlawanan yang patut kita apresiasi. Itukan
yang mereka para petinggi bisa. Bilakah kita bisa..?. Walau kadang terasa
miring, terasa miris bagi telinga kita, akan maksud kedatangan mereka. Tak
apalah. Bila kita lurus saja, masih untung ada yang peduli kepada mereka,
masyarakat kota yang terkena bencana, setidaknya begitu. Dari pada saya..?!?.
Ups..!.
Maka wajar saja, jika kemudian aku berteriak, atas ketak berdayaan
ini. Kenapa kekuasaan belum dipergilirkan kepada manusia-manusia yang
amanah..?. Belum di berikan kepada wali-wali-MU yang sholeh. Kenapa aku juga
terlibat konspirasi di dalamnya, menjadi saksi, menjadi saksi ulah mereka ?. Di
setiap kota yang terlewati, dan ku sambangi, selalu saja ada sakit dan ketidak
adilan manusia atas manusia lainnya. Ketidak adilan penguasa atas rakyatnya.
Siapakah yang peduli atas mereka, inilah ketidak adilan yang merata. Sila
kelima dari Pancasila kita. Sungguh ketidak adilan yang merata
bagi rakyat Indonesia telah tercapai. Inilah sukses bangsa kita.
Jembatan batu di sebelahku diam
Pancuran bambu kecil memercikkan air
Menghempas di atas batu hitam
Merintih menikam sepi pagi
Pancuran bambu kecil memercikkan air
Menghempas di atas batu hitam
Merintih menikam sepi pagi
Ke-diam-an ini, kediaman rakyat, kediaman penguasa, kediaman alim
dan ulama, kediaman orang siapa saja, kediaman alam semesta, menakutkan ku !.
Apakah alam sedang mempersiapkan rencananya. Mencari titik keseimbangan baru,
agar roda hidup dapat berputar. Agar angin tetap bertiup dari dataran tinggi ke
dataran rendah. Agar siklus iklim sebagaimana keadaannya. Agar hujan dapat
turun lagi dengan sempurna. Apakah yang di persiapkan alam dewasa ini..?.
Alam dalam bisunya..!. Sungguh menakutiku..!.
Bagaimankah alam memperbaiki kerusakannya..?. Apakah akan menutup
permukaan bumi ini dengan tanah-tanah baru, dan mengubur manusia-manusia di
atasnya. Sebagaimana kisah-kisah peradaban dahulu yang hilang lenyap..?.
Sebagaimana kaum Luth, kaum Tsamud yang di ceritakan Al qur’an
kepada kita..?. Sebagaimana juga juga peradaban suatu kaum lainnya yang hilang
dengan misterius, yang kita ketahui lewat ilmu pengetahuan. Begitukah nanti
keadaannya..?.
Jika manusia sudah tidak peduli, jika manusia membuat
kerusakan-kerusakan lagi. Jika manusia sudah tidak arif lagi, jika manusia
tidak takut lagi kepada hukum alam dan yang menyertainya. Jika manusia tidak
takut akan adanya hari pembalasan atas perbuatan-perbuatan mereka di dunia.
Maka biarkan saja aku menangis, jika dengan tangisku, akan meringankan
ketakutanku akan ini. Karena hanya ini yang aku bisa. Selebihnya aku hanyalah
bagian dari komunitas masyarakat ini. Aku adalah bagian dari bangsa Indonesia,
bahkan bisa saja aku seperti mereka itu.
Riuhnya malam sepinya pagi
Maka wajar saja, jika aku berteriak di tengah malam. Itu hanya
sekedar untuk mengurangi beban yang memberat di kedua pundakku. Aku ingin
segera bertemu dengan pagi, untuk ku cumbu, untuk ku canda. Untuk ku khabarkan
hasil perenunganku. Bahwa kotaku kini sudah tak rapi lagi. Lalu lintas sudah
demikian acaknya. Masuknya investasi asing di seluruh sendi-sendi
kehidupan,menyebabkan ini semua. Deregulasi kredit konsumtif memicu
meningkatnya kepemilikan kendaraan ber motor yang fantastik , menyebabkan
kemacetan yang semakin menggila, membuat perilaku pengguna raya yang semakin se
enaknya. Siapakah yang repot..?. Kalau bukan anak cucu kita nanti. Siapakah
yang di untungkan,jika bukan pemodal asing..?. Investasi asing. Siapakah lagi
jika bukan Jepang, Amerika, dan Negara-negara Eropa lainnya. Sosok di belakang
mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Bukankah ini, bentuk penjajahan model
baru..?.
Revitalisasi perusahaan pemerintah oleh asing tak menyisakan
apa-apa bagi bangsa. Disana sini di bangun pusat-pusat perbelanjaan yang super
megah. Coba bandingkan dengan Negara maju lainnya, berapa gelitir mall yang ada
di Negara mereka. Mereka justru sangat selektif memberikan ijin bagi masuknya
penjualan retail di Negara mereka. Jumlah mall di atur sedemikian rupa,
disesuaikan dengan kondisi Negara mereka. Itu disana !. Bagaimana di negara
kita. Sekarang ini, demi globalisasi, setiap pelosok kota, di sudut-sudutnya,
sekarang di bangun mall-mall. Tak peduli apakah masyarakat kita sudah siap
menerima kehadiran mall tersebut atau tidak. Tidak peduli apakah kehadiran
mereka akan merubah perilaku masyarakat atau tidak, tak peduli, tak peduli,
sungguh politisi dan petinggi negri ini tidak pernah memikirkan, tentang apakah
perilaku bangsa ini mau jadi seperti apa. Di biarkan akhlak bangsa ini,
menggelinding bagai bola panas, yang siap membakar apa saja.
Dibiarkannya mall-mall di bangun di setiap sudut kota. Di
biarkannya anak-anak kita bermain disana. Meninggalkan masjid dan pengajiannya.
Sungguh, kehadiran mall-mall di sekeliling kita, menghadirkan mimpi baru bagi
cinderellla-cinderalla kita. Tahukah kita, kalau begitu, mimpi telah kita
tambatkan di otak si kecil anak-anak kita, tentang kemegahan dan kemewahan
kota, dan tentang bagaimana menikmatinya. Bukankah bisa diatur perimbangannya
saja, jumlah penduduk dan kebutuhan mall-nya. Namun siapakah yang peduli..?.
Bagaimana dikatakan, Bumi, air dan udara, serta isinya akan di
pergunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bukankah hanyalah
retorika, nyatanya bangsa ini masih seperti dahulu kala, terjajah harga
dirinya. Tak mampu bersuara, memperjuangkan bagaimana akhlak bangsa, generasi
penerus bangsa, anak-anak kita.
Kebijakan tidak pernah ber pihak untuk pembangunan akhlak manusia.
Tidak pernah berpihak untuk membangun kesadaran peradaban manusia yang lebih
tinggi. Kesadaran yang saling menghargai, kesadaran yang saling peduli, saling
mengingatkan, saling mengkhabarkan dalam kebaikan. Kesadaran Islam telah
di tinggal di pojok-pojok mesjid tua. Kini usang dan ber debu. Siapakah yang
peduli..?.
Sang Durna membawa murka
Kapitalisme menjadi ikon nyata pertumbuhan kota. Kemudian lahirlah para Durna di Ibukota. Lihatlah
kemudahan kredit dari segala kebutuhan alat-alat rumah tangga, dari
telivisi, kulkas, hingga meja dan kursi. Dari motor, mobil,
komputer, hingga hand phone, semudah membalik telapak tangan untuk mendapatkannya.
Cukup punya KTP, dan punya biaya untuk fotokopi, maka motor sudah menjadi milik
anda. Begitu mudahnya..?. Siapakah yang tidak tergiur..?. Apakah ini symbol
kesejahteraan masyarakat kota..?. Apakah ini kebijakan yang kita suka..?.
Ahaa..!. nanti dulu..?.
Dibaliknya, setelah kemudahan tersebut di dapatkan, Ibu-ibu
menangis, mereka ketakutan pada saat akhir bulannya, rasa was-was apakah mampu
membayar angsurannya. Para bapak membabi buta mencari rejeki dari mana saja.
Tidak yang halal yang harampun sudah biasa, tak apa. Itu lebih baik dari pada
berurusan dengan orang-orang gahar, itulah nanti kejadian yang akan mereka
terima jika tidak mampu mamput membayar angsuran.
Setiap hari perbincangan para bapak, di seputar kita, adalah
tentang motornya yang mau di tarik. Tentang bagaimana mereka bersitegang dengan
para debt collector. Para Ibu mengunci rumahnya,pada saatnya tiba.
Berbisik-bisik degan tetangga saking malunya, jika kedapatan tak mampu membayar
angsuran. Perilaku masyarakat telah berubah , sifat masyarakat tanpa di sadari
telah bergeser. Perangai masyarakat menjadi mudah panas, menjadi mudah
tersingung, karena setiap hari harus di himpit dengan kebutuhannya. Di jepit
hutang-hutangnya, yang sesungguhnya tidak pernah mereka pinta. Karena hanya
kebijakan pemerintah saja, yang menyengaja demikian, mereka kemudian ikut serta
mengambil kredit itu. Kerana mereka di buat untuk seperti itu, di kasih
kesempatan,ya di terima saja.
Setiap keluarga di Indonesia dengan terpaksa, sekarang ini,
harus mampu mengelola hutang-hutangnya. Pengajaran yang aneh bagi masyarakat
kota. Setiap keluarga harus belajar ber hutang.Karena kalau tidak akan kalah
dengan tetangga sebelah. Begitulah deregulasi, membawa dampak
kemana-mana. Setiap keluarga di Indonesia di pastikan sekarang ini punya
hutang. Untungnya saya juga tidak ketinggalan dalam menabung hutang.
Terima kasih. Hik.. (He…he..).
Kesadaran yang bergeser
Sifat nrimo sebagai budaya jawa , sekian lama kemudian
terkikis, di gerus ketakutan akan angsuran kredit setiap bulannya. Masyarakat
menjadi membuta, kerja keras tak ingat keluarga. Kesadarannya hanya satu,
bagaimana mempertahankan kenikmatan yang sudah di dapatnya dari alat-alat yang
sudah di kreditnya. Demi gengsi, demi kenikmatan fasilitas tersebut, demi
strata sosialnya. Demi kapitalisme dan perkembangan kemajuan jaman,semua
dilakukan oleh masyarakat kita. kesadaran manusia di dera dan terus di dera
untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya. Kapan jiwa di hadapkan kepada
Tuhannya..?. Masihkah ada waktu bagi masyarakat kita, kaum urban di Ibukota..?.
Menghadapkan dirinya kepada Allah semata..?. Siapakah yang peduli..?.
Dan kita lihat, bagaimana kesudahannya, ketika kesadaran manusia
hanya berada di satu sisi, kesadarannya hanya diperuntukkan bagaimana mencukupi
kebutuhan hidup, kebutuhan akan angsuran kreditnya,di hadapkan kepada selain
Allah. maka sudah dapat di prediksi, jiwa kita akan senantiasa berada di
situ, jiwa kita akan senantiasa berhadapan dengan itu. Itulah bentuk-bentuk
TuhanTuhan baru di era peradaban ini. Persembahan mereka hanya kepada itu.
Bagaimana kondisi jiwa jika selalu di hadapkan kepada Tuhan selain
Allah. Tentu saja, Jiwa akan merana, jiwa akan tersiksa, resah , gelisah,
muncullah perilaku-perilaku tak semestinya. Dan bangsaku kemudian berubah.
Berubah menjadi ganas, berubah menjadi beringas, berubah menjadi tak peduli.
Mestikah aku menangis lagi, jika airmataku saja, sudah habis untuk
kali ini. Kapankah lagi aku sanggup bercumbu bersama pagi, jika Ibuku menangis
lagi.Menagisi tanahnya yang sudah tak cantik lagi. Menangislah Ibu
pertiwiku ?. Indonesiaku, siapakah yang sekarang peduli..?.
Maka biarkan saja, jika sekarang ini aku berkata,
sebelum datang ujian bagiku, karena setelahnya belum tentu aku bisa berkata
begini. Apakah nantinya aku sanggup menggantikan posisi-posisi petinggi negri ,
menggantikan mereka..?. Ugh..!. nanti dulu, janganlah Engkau uji aku ya..Allah.
Sungguh itu bukan bagianku. Nah, maka biarkan dan ijinkan saja sekarang aku
seperti ini saja. Mengomentari apa saja, yang ku lihat dan ku dengar. Sebatas
mengurangi sesak di dada atas keadaan ini.
Sudahlah, sekarang ini aku hanya sanggup berdoa, agar Allah
menurunkan orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing, yang ahli dalam
mengurus semua itu, dialah lelaki yang datang dari sorga, yang akan menjadi
wali Allah di muka bumi ini. Di bumi pertiwi tercinta kita ini nusantara.
Mas Dikonthole terdiam lagi, dalam kesedihan yang membalut. Tak bersuara, sebab suaranya telah hilang tertelan bumi bersama surutnya banjir kemarin pagi.
Mas Dikonthole terdiam lagi, dalam kesedihan yang membalut. Tak bersuara, sebab suaranya telah hilang tertelan bumi bersama surutnya banjir kemarin pagi.
Tetapi ternyata ia lebih banyak berjalan
dengan pikirannya
Dia jelajahi jagat raya ini
Dengan telanjang kaki dan tubuh penuh daki
Meskipun ia lebih lapar dari siapapun
Dengan telanjang kaki dan tubuh penuh daki
Meskipun ia lebih lapar dari siapapun
Meskipun ia lebih sakit dari
siapapun
Ia menempuh lebih jauh dari siapapun
Meskipun ia lebih miskin dari siapapun
Ia menempuh lebih jauh dari siapapun
Meskipun ia lebih miskin dari siapapun
Meskipun ia lebih nista dari
siapapun
Tetapi ternyata ia lebih tegak perkasa dari siapapun
Tetapi ternyata ia lebih tegak perkasa dari siapapun
Ia lelaki ilham dari sorga
Ia lelaki yang selalu berkata
Bahwa kita pasti akan kembali
lagi kepada Nya.
(Lelaki Ilham dari Surga by Ebiet G Ade)
Wallohualam
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar