Kisah Spiritual, Bara Langit di Bukit Argopeni
“Rrr...rrt..BLAAAR...!...Dest...!.”
Begitulah jalannya prosesi. Tidak saja leluhur yang datang,
jenis syetan hantu gentayangan, wewe gombel, kuntilanak, pocong, dan jejadian,
pasti akan muncul dari badan tergantung amalan dari seseorang tersebut. Mereka
biasanya sering tidak mau keluar, karena merasa sudah nyaman di badan. Badan
manusia telah mereka anggap rumah mereka sendiri. Sehingga ada saja bentuk
perlawanan. Dan itulah salah satu makhluk yang hendak melawan (yang) maka dengan
terpaksa dihancurkan. Sebagai salah satu ikhtiar dan upaya dalam rangkaian
membuka hijab .
Manakah yang realitas dan manakah yang ghaib. Bila secara
kasat mata cemeti tidak terlihat, namun akibatnya, nampak jelas sekali luka
bekas sabetan cemeti. Jalur luka dalam yang cukup parah membekas beberapa
centimeter, masuk ke dalam daging, terlihat
sepanjang jalur cemeti dari muka sampai ke badan. Berwarna merah kehijauan. Dan anehnya bajunya
tidak ada yang sobek, mengingat kerasnya sabetan cemeti dan bekas luka yang
ditimbulkannya.
...
Malam itu di bukit Argopeni bara langit terlihat
jelas. Merah diantara pendar sang rembulan. Awan gelap yang sebelumnya menutupi
bulan, telah terbelah menjadi dua, nampak
menyibak ke kiri dan ke kanan. Sementara itu terlihat nun jauh di bawahnya sana,
seorang lelaki terlihat duduk semedi, mengarahkan tangannya ke angkasa. Membuat
gerakan seperti sedang memisahkan sesuatu. Dan secara perlahan awan yang
tadinya begitu pekat, awan yang sudah mulai menjatuhkan tetes hujan, secara
perlahan bergerak menjauhi bukit. Dan dari atas bukit itulah, terlihat pantulan cahaya bulan mengenai sang
awan, menimbulkan bias rona merah seperti bara di langit.
Suasana malam begitu dingin, angin seperti tak bertiup,
lengang seperti mati. Diantara keremangan di halaman belakang rumah, tempat
biasa Mas Dikonthole berdiri. Yaitu tempat dimana saat Mas Dikonthole sering
berada disitu untuk memandangi jauh
perkampungan di bawah. Tempat yang tidak begitu luas hanya seluas lapangan bulu
tangkis dibagian datarannya. Satu meter diatasnya, sedikit berbukit dengna luas
yang hampir sama juga. Di tengahnya ada kolam ikan kecil, dimana sering Mas
Dikonthole memancing. Selokan air dari atas bukit mengarah ke kolam ini, mengaliri sepanjang hari.
Sudah ada 7 orang yang sedang duduk membentuk lingkaran tak
penuh. Di ujung antara kerumunan 7 orang itulah, nampak, lelaki itu khusuk
sekali memainkan tangannya beberapa kali. Menyimbakkan awan, berusaha menghentikan
hujan. Seiring dengan gerakana tangan
yang perlahan namun bertenaga, tiba-tiba dari arah belakang rumah, dari atas pohon,
terdengar, suara berdentam, ada sesuatu yang terjatuh. Mungkin diakibatkan begitu
kuatnya energy yang ditimbulkan oleh lelaki itu. Suara jatuh yang kemudian
diikuti teriakan mengerang. Terdengar berikutnya, sura langkah kaki berat, bergerak menjauh. Seperti melompat ke dalam jurang yang dalamnya lebih dari 500 m. ”Hmm..sepertinya
dua genderuwo lari.” Bisik seorang ustad , yang duduknya mengarah ke tempat
jatuhnya sesuatu tadi.
Lelaki setengah baya itu, cukup lama mengikuti Mas Dikonthole.
Dan secara tidak langsung berada dibawah bimbingan Mas Dikonthole dalam olah spiritual. Saat sekarang ini
pencapaiannya sudah cukup menggembirakan. Kemampuannya mengenal alam sudah cukup baik,
sehingga awan dan hujan dapat dikendalikannya.
Sudah sering Mas Dikonthole sendiri mengingatkannya,
bukan kekuatan bukan kesaktian hakekat dalam berspiritual. Namun lebih bagaimana kita
mengenal Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Jikalaupun kita mengenal daya
yangmenggerakkan alam ini, itu hanyalah bagaimana cara Allah memperkenalkan
diri-Nya kepada kita. Semua atas ijin-Nya semata, sehingga awan mampu bergerak
oleh kehendak kita, sehingga hujan kemudian berhenti, sehingga angin kemudian
mengamuk, semua atas kehendak Allah.
Bukan daya kita manusia yang menggerakan semua itu.
Pengenalan diri, pengenalan raga kita, akan membawa kepada pemahaman bagaimana
daya bekerja di alam semesta. Inilah sebab mengapa kemudian kita seperti
menjadi orang sakti. Sungguh kadang kita sering tertipu dalam berspiritual,
sehingga kita malah keranjingan akan kesaktian-kesaktian seperti ini. Hal
inilah yang sering diingatkan. Jika kita mengusai kesaktian, maka justru kita
akan menjadi ujub. Kita akan mengaku-aku, bisa ini bisa itu. Jauhilah keadaan
hal begini ini. Biarkan hujan turun apa adanya, biarkan angin berhembus kemana
dia suka. Harmonilah dengan alam.
Sementara itu , di bukit Argopeni, prosesi terus
berlangsung. Mas Dikonthole enggan menceritakan bagian ini, sebab keadaannya
hampir sama dengan tontonan yang dapat kita saksikan di televisi dalam acara
dua dunia. Acara tengah malam yang menyajikan fenoma mitos dan legenda suatu
daerah. Kita saksikan di televisi, biasanya sang Ustad menggunakan jasa mediasi untuk memanggil makhluk
yang berada disekitar, yang kemudian ditanya hal ihwalnya daerah tersebut.
Sebuah tontonan yang memberikan nuansa aneh saja bagi para pemirsa. Benarkah
keadaannya ?. Kembali para pemirsa terpecah menjadi beberapa golongan, ada yang
percaya, ada yang tidak, ada yang yakin, ada yang ragu-ragu.
Perhatikanlah, kita melihat sebuah tontonan yang sama,
namun setiap orang akan memaknainya dengan cara yang berbeda-beda. Demikian
pula prosesi yang tengah digelar di bukit Argopeni ini. Bagi yang tidak
mengenali energy para leluhur, bagaimana rahsanya, dan seperti apakah
penampilannya, sering hanya akan terkecoh dengan penampakan para jin dan hantu
getayangan. Kadang jin kita anggap
leluhur, begitu juga sebaliknya. Maka hanya orang-orang yang sudah terlatih,
dan memahami hakekat saja yang akan mampu mengenali leluhur yang reinkarnasi.
Inilah penyebab mengapa Islam membatasi dengan tegas. Sebab dikhawatirkan orang
awam akan beranggapan lain. Mereka bisa terjebak oleh tipu daya syetan yang
berupa jin. Jin yang kemudian
mengaku-ngaku sebagai wali atau orang suci lainnya.
Begitulah dan sebab khawatir bagian ini akan menjadi
fitnah, maka Mas Dikonthole hanya dapat menceritakan seperlunya saja. Bagaimana
diceritakan ternyata salah satu dari mereka yang sebelumnya memuja, bagaimana
keadaan yang lainnya juga yang sering datang meminta-minta ke makam. Ketika
lelaki setengah baya itu mulai memohon kepada Allah, mulai semedi, energi yang
ditimbulkannya membuat sekelilingnya gerah. Energy tersebut seperti memaksa
para makhluk yang berada di badan wadag mereka menampilkan diri. Maka ramailah
keadaan disana, ketika yang muncul adalah sebangsa hantu pocong, kuntilanak,
genderuwo, yang keluar dari badan mereka.
Seperti itu keadaan orang-orang yang senang meminta-minta
pada makam, atau orang-orang yang meyakini kekuatan suatu barang, semisal
ajimat, rajah, batu akik atau lainnya. Badan wadag mereka menjadi penuh dengan
makhluk-makhluk jejadian. Saat mana terpapar energy, badan mereka menjadi
terasa sangat berat sekali. Radiasi ini akan mengusik keberadaan makhluk yang
ada di badan mereka. Membuat marah mereka.
Sementara kali berikutnya, kesadaran secara perlahan akan diambil alih oleh makhluk tersebut. Inilah kejadiannya. Makhluk-makhluk tersebut merasa terganggu kemudian melakukan perlawanan sengit kepada yang mengganggu. Maka terjadilah pertempuran hidup dan mati. Pertempuran yang terlihat seperti dagelan saja. Karena realitasnya mereka tidak bersentuhan badan. Dialog yang terjadi layaknya seperti ketoprak saja.
Sementara kali berikutnya, kesadaran secara perlahan akan diambil alih oleh makhluk tersebut. Inilah kejadiannya. Makhluk-makhluk tersebut merasa terganggu kemudian melakukan perlawanan sengit kepada yang mengganggu. Maka terjadilah pertempuran hidup dan mati. Pertempuran yang terlihat seperti dagelan saja. Karena realitasnya mereka tidak bersentuhan badan. Dialog yang terjadi layaknya seperti ketoprak saja.
Pertempuran-pertempuran seperti itu sering dialami oleh
Mas Dikonthole ketika memasuki suatu wilayah. Pertempuran ghaib yang hanya
mampu dirasakan dalam kesadaran saja. Maka sering Mas Dikonthole meregang
nyawa, otot-ototnya menegang menahan serangan-serangan yang tak kasat mata.
Bukan hanya sebangsa genderuwo, atau siluman saja, kebanyakan yang dihadapi adalah
orang-orang masa lalu juga yang senantiasa mengejar dan menghalangi misinya
itu. Mas Dikonthole sering diangap
lawan yang akan melakukan infiltrasi ke wilayah mereka. Inilah yang tak
disadari Mas Dikonthole. Sebagai orang masa lalu, ternyata dirinya banyak
musuhnya.
Hingga tengah malam prosesi pengenalan leluhur baru saja
selesai, beberapa diantara mereka sudah saling mengenal. Ada yang berasal dari
satu jaman dan ada juga yang berbeda jaman. Sang ustad juga nampak puas sekali
mampu mengenal jatidiri-nya. Sehingga kemampuan penglihatan mata batinya
menjadi semakin awas. Dia mampu mengenali dan melihat siapakah yang berada
dibalik raga-raga diantara mereka itu. Banyak diantara mereka diiringi ajudan, dan memang lengkap
dengan pasukan perangnya. Pasukan perang yang aneh-aneh penampilannya.
Mereka kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat
tersebut. Bulan nampak sudah meninggi, dan perlahan awan kembali merapatkan
diri. Gelap seketika di tempat tersebut. Satu persatu mereka melangkah pergi.
Namun sang Ustad tiba-tiba tersentak kaget. Sesosok makhluk menyeringai, dan
tertawa mengkikik mendirikan bulu roma tepat dilorong pitu keluar. Ugh...!.
Kuntilanak tiba-tiba menampakan diri. Sosoknya yang
dingin, dan rongga dibelakang punggungnya pasti akan membuat bulu kuduk
berdiri. Namun tidak bagi mereka. Justru mereka menghela nafas getun, berbicara
kepada lelaki setengah baya yang sebarangan saja membuang makhluk tersebut disitu.
Rupanya makhluk penghuni cincin dari salah satu peserta yang dibuang oleh
lelaki setengah baya berada disitu. Maka jadilah sekarang kuntilanak itu menunggu lorong tempat
belakang rumah Mas Dikonthole. Biar sajalah.
Pertemuan para orang sakti
Jauh sebelum pertemuan 7 orang ini, sebelumnya Mas
Dikonthole pernah juga mengundang para sesepuh, para orang tua sakti dari
lintas agama. Mereka semua dibawah naungan persaudaraan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang berada di kota ini. Saat itu mereka hadir semua, mulai
dari sesepuh Dieng, sesepuh yang berada di lereng-lereng pegunungan Sindoro
Sumbing. Semua berjumlah hampir 20 orang pengampu paham. Pada saat itu juga
dihadiri dari dinas terkait, yang mewakili pribadi.
Dalam pertemuan tersebut terungkaplah kearifan lokal.
Adalah bahasa simbol warisan yang turun temurun, bagaimana bahasa simbol ini
kemudian secara sistematis sedang, akan dan telah dihilangkan dari kesadaran
lokal oleh sistem pengajaran yang ada. Anak-anak bangsa ini sudah banyak
tercerabut dari akar budaya bangsa. Mereka tidak mengenal lagi siapakah
leluhurnya. Jangankan anak-anak sekarang ini, para orang dewasa dan orang tua
sekarang pun, sering sudah melupakan warisan budaya yang sarat makna dari
leluhurnya sendiri.
Berkata salah seorang dari mereka bahwa, simbol-simbol,
bunga yang sering dijadikan pajangan, dalam setiap sajian, banyak disalah
artikan, karenanya banyak menimbulkan perang, bid ah , sirik, dan lain
sebagainya. Padahal kata mereka, diantara bunga-bunga yang disajikan banyak
sekali filosofi para leluhur, dengan bahasa simbol inilah para leluhur
mengajarkan spiritual. Inilah pesan-pesan spiritual para leluhur yang dapat
kita baca samapi sekarang. Melalui ritual budaya, dan warisan lokal. Bunga melati sebagai simbol kesucian sudah tidak ada arti. Sehingga anak negri tidak peduli lagi.
Mas Dikonthole merenung sendiri. Benar apa kata mereka.
Jaman dahulu belum ada tekhnologi, belum ada kertas, banyak masyarakat belum
mampu baca tulis. Bagaimana kemudian para leluhur akan mengajarkan pada anak
cucu mereka. Sebab karena itulah kemudian oleh mereka diciptakanlah sarana
ritual budaya. Untuk mengajarkan filosofi, melalui tebang, melalui kembang,
melalui dongengan, melalui kearifan yang ditularkan. Begitulah sarana mereka
para sesepuh negri ini, para leluhur mentransfer pemahaman mereka. Begitulah
budaya, begitulah kearifan lokal diajarkan. Melalui tembang, melalui taburan
kembang setaman.
Cerita terus bergulir, jika kemudian sarana ritual dan
budaya, oleh beberapa orang berilmu digunakan untuk maksud lainnya. Digunakan
untuk kepentingan politik, kekuasaan dan mencari kekayaan belaka. Mereka
menggunakan para danyang untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Ritual yang
dimaksudkan untuk mengajarkan filosofi hiidup, kemudian bergeser hanya sekedar menjadi ajang penyampai
kepentingan semata. Bagaimana pula keadaannya ?. maka lihatlah peradaban anak bangsa sekarang ini. Itulah hasilnya. Begitu jugalah yang terjadi pada agama-agama. selalu saja
begitu keadaannya. Jika para pengusung paham tidak mampu berserah, maka apapun
sarana (syariat) hanyalah seremonial yang menjadi alat untuk menyembunyikan
nafsu belaka.
Mas Dikonthole mampu membaca keperihan para pinisepuh
ini. Mereka pun tertatih-tatih memasuki abad milinium ini. Kesadaran mereka
tergerus dan terlibas majunya teknologi. Bahasa simbol dan bahasa tanpa kata
telah hilang dari benak anak bangsa ini. Bahasa penuh romansa dan makna sudah
hilang dari bumi nusantara.
Mas Dikonthole perih meraga sukma, dalam hati Mas
Dikonthole berbisik, “Bukankah Al qur an
juga mengakomodasi bahasa simbol. Bacalah Alif Lam Mim dll nya. Maka apakah tak
layak jika bahasa simbol di nusantara
ini juga dipertahankan..?. Bahasa tembang dan kembang milik leluhur bangsa ini.
” Entahlah itu, pasti nantinya akan menjadi polemik lagi. Tembang dan kembang
nantinya hanya akan menjadi perseteruan lagi antar manusia yang masing-masing membela
pemahaman. Duh, inilah manusia.
wolohualam
Komentar
Posting Komentar