Kisah Spiritual, Bara Langit di Bukit Argopeni


“Rrr...rrt..BLAAAR...!...Dest...!.”
Tidak sedikitpun terdengar suara, saat cemeti diputar-putar dan kemudian diayunkan mengarah kepada seorang lelaki yang tampak ketakutan, dan kelihatan mau menyerang. Udara seperti tersibak, menyisakan ruang kosong pada jalur cemeti itu. Dan akibatnya begitu dahsyat. Seorang lelaki setengah baya terpelanting, meletik, bersalto beberapa kali, dan badannya terlempar beberapa tombak ke belakang. Nyaris saja masuk ke jurang  hanya kurang setengah meter saja. Kalaulah tidak ditahan seseorang maka sudah pasti lelaki tersebut akan terlempar masuk ke dalam jurang tersebut.  Layaknya dalam adegan film action saja. Sungguh adegan yang luar biasa sekali dalam realitas kekinian.

Begitulah jalannya prosesi. Tidak saja leluhur yang datang, jenis syetan hantu gentayangan, wewe gombel, kuntilanak, pocong, dan jejadian, pasti akan muncul dari badan tergantung amalan dari seseorang tersebut. Mereka biasanya sering tidak mau keluar, karena merasa sudah nyaman di badan. Badan manusia telah mereka anggap rumah mereka sendiri. Sehingga ada saja bentuk perlawanan. Dan itulah salah satu makhluk yang hendak melawan (yang) maka dengan terpaksa dihancurkan. Sebagai salah satu ikhtiar dan upaya dalam rangkaian membuka hijab . 

Manakah yang realitas dan manakah yang ghaib. Bila secara kasat mata cemeti tidak terlihat, namun akibatnya, nampak jelas sekali luka bekas sabetan cemeti. Jalur luka dalam yang cukup parah membekas beberapa centimeter, masuk ke dalam daging, terlihat  sepanjang jalur cemeti dari muka sampai ke badan.  Berwarna merah kehijauan. Dan anehnya bajunya tidak ada yang sobek, mengingat kerasnya sabetan cemeti dan bekas luka yang ditimbulkannya.
...

Malam itu di bukit Argopeni bara langit terlihat jelas. Merah diantara pendar sang rembulan. Awan gelap yang sebelumnya menutupi bulan,  telah terbelah menjadi dua, nampak menyibak ke kiri dan ke kanan. Sementara itu terlihat nun jauh di bawahnya sana, seorang lelaki terlihat duduk semedi, mengarahkan tangannya ke angkasa. Membuat gerakan seperti sedang memisahkan sesuatu. Dan secara perlahan awan yang tadinya begitu pekat, awan yang sudah mulai menjatuhkan tetes hujan, secara perlahan bergerak menjauhi bukit. Dan dari  atas bukit itulah,  terlihat pantulan cahaya bulan mengenai sang awan, menimbulkan bias rona merah seperti bara di langit.

Suasana malam begitu dingin, angin seperti tak bertiup, lengang seperti mati. Diantara keremangan di halaman belakang rumah, tempat biasa Mas Dikonthole berdiri. Yaitu tempat dimana saat Mas Dikonthole sering berada disitu untuk  memandangi jauh perkampungan di bawah. Tempat yang tidak begitu luas hanya seluas lapangan bulu tangkis dibagian datarannya. Satu meter diatasnya, sedikit berbukit dengna luas yang hampir sama juga. Di tengahnya ada kolam ikan kecil, dimana sering Mas Dikonthole memancing. Selokan air dari atas bukit mengarah ke kolam ini, mengaliri sepanjang hari.

Sudah ada 7 orang yang sedang duduk membentuk lingkaran tak penuh. Di ujung antara kerumunan 7 orang itulah, nampak, lelaki itu khusuk sekali memainkan tangannya beberapa kali. Menyimbakkan awan, berusaha menghentikan hujan.  Seiring dengan gerakana tangan yang perlahan namun bertenaga, tiba-tiba  dari arah belakang rumah, dari atas pohon, terdengar, suara berdentam, ada sesuatu yang terjatuh. Mungkin diakibatkan begitu kuatnya energy yang ditimbulkan oleh lelaki itu. Suara jatuh yang kemudian diikuti teriakan mengerang. Terdengar berikutnya, sura langkah kaki berat,  bergerak menjauh. Seperti melompat ke dalam  jurang yang dalamnya lebih dari 500 m.  ”Hmm..sepertinya dua genderuwo lari.” Bisik seorang ustad , yang duduknya mengarah ke tempat jatuhnya sesuatu tadi.

Prosesi pengenalan leluhur. Ya, mereka semua berkumpul di bukit Argopeni tengah berupaya menjalin komunikasi dengan orang masa lalu. Terlihat disana ada Minak Jinggo, Panembahan Senopati, Murid Syek Siti Jenar, Utusan dari Dieng yang pernah mengunjungi Mas Dikonthole, Seorang Ustad, dan beberapa lainnya yang belum dikenal oleh Mas Dikonthole.  Juga ada saudara Mas Dikonthole yang Istrinya sempat dibawa Danyang, hingga dalam beberapa minggu keadaannya seperti kerasukan.  Semangat diantara mereka yang dulu nyaris padam, sekarang nampak terbangkit kembali, dengan datangnya lelaki yang menyimbak awan tersebut.

Lelaki setengah baya itu, cukup lama mengikuti Mas Dikonthole. Dan secara tidak langsung berada dibawah bimbingan Mas Dikonthole  dalam olah spiritual. Saat sekarang ini pencapaiannya sudah cukup menggembirakan.  Kemampuannya mengenal alam sudah cukup baik, sehingga awan dan hujan dapat dikendalikannya.

Sudah sering Mas Dikonthole sendiri mengingatkannya, bukan kekuatan bukan kesaktian hakekat dalam  berspiritual. Namun lebih bagaimana kita mengenal Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Jikalaupun kita mengenal daya yangmenggerakkan alam ini, itu hanyalah bagaimana cara Allah memperkenalkan diri-Nya kepada kita. Semua atas ijin-Nya semata, sehingga awan mampu bergerak oleh kehendak kita, sehingga hujan kemudian berhenti, sehingga angin kemudian mengamuk, semua atas kehendak Allah.

Bukan daya kita manusia yang menggerakan semua itu. Pengenalan diri, pengenalan raga kita, akan membawa kepada pemahaman bagaimana daya bekerja di alam semesta. Inilah sebab mengapa kemudian kita seperti menjadi orang sakti. Sungguh kadang kita sering tertipu dalam berspiritual, sehingga kita malah keranjingan akan kesaktian-kesaktian seperti ini. Hal inilah yang sering diingatkan. Jika kita mengusai kesaktian, maka justru kita akan menjadi ujub. Kita akan mengaku-aku, bisa ini bisa itu. Jauhilah keadaan hal begini ini. Biarkan hujan turun apa adanya, biarkan angin berhembus kemana dia suka. Harmonilah dengan alam.

Sementara itu , di bukit Argopeni, prosesi terus berlangsung. Mas Dikonthole enggan menceritakan bagian ini, sebab keadaannya hampir sama dengan tontonan yang dapat kita saksikan di televisi dalam acara dua dunia. Acara tengah malam yang menyajikan fenoma mitos dan legenda suatu daerah. Kita saksikan di televisi, biasanya sang Ustad  menggunakan jasa mediasi untuk memanggil makhluk yang berada disekitar, yang kemudian ditanya hal ihwalnya daerah tersebut. Sebuah tontonan yang memberikan nuansa aneh saja bagi para pemirsa. Benarkah keadaannya ?. Kembali para pemirsa terpecah menjadi beberapa golongan, ada yang percaya, ada yang tidak, ada yang yakin, ada yang ragu-ragu.

Perhatikanlah, kita melihat sebuah tontonan yang sama, namun setiap orang akan memaknainya dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula prosesi yang tengah digelar di bukit Argopeni ini. Bagi yang tidak mengenali energy para leluhur, bagaimana rahsanya, dan seperti apakah penampilannya, sering hanya akan terkecoh dengan penampakan para jin dan hantu getayangan.  Kadang jin kita anggap leluhur, begitu juga sebaliknya. Maka hanya orang-orang yang sudah terlatih, dan memahami hakekat saja yang akan mampu mengenali leluhur yang reinkarnasi. Inilah penyebab mengapa Islam membatasi dengan tegas. Sebab dikhawatirkan orang awam akan beranggapan lain. Mereka bisa terjebak oleh tipu daya syetan yang berupa jin.  Jin yang kemudian mengaku-ngaku sebagai wali atau orang suci lainnya.

Begitulah dan sebab khawatir bagian ini akan menjadi fitnah, maka Mas Dikonthole hanya dapat menceritakan seperlunya saja. Bagaimana diceritakan ternyata salah satu dari mereka yang sebelumnya memuja, bagaimana keadaan yang lainnya juga yang sering datang meminta-minta ke makam. Ketika lelaki setengah baya itu mulai memohon kepada Allah, mulai semedi, energi yang ditimbulkannya membuat sekelilingnya gerah. Energy tersebut seperti memaksa para makhluk yang berada di badan wadag mereka menampilkan diri. Maka ramailah keadaan disana, ketika yang muncul adalah sebangsa hantu pocong, kuntilanak, genderuwo, yang keluar dari badan mereka.

Seperti itu keadaan orang-orang yang senang meminta-minta pada makam, atau orang-orang yang meyakini kekuatan suatu barang, semisal ajimat, rajah, batu akik atau lainnya. Badan wadag mereka menjadi penuh dengan makhluk-makhluk jejadian. Saat mana terpapar energy, badan mereka menjadi terasa sangat berat sekali. Radiasi ini akan mengusik keberadaan makhluk yang ada di badan mereka. Membuat marah mereka.  

Sementara kali berikutnya, kesadaran secara perlahan akan diambil alih oleh makhluk tersebut. Inilah kejadiannya. Makhluk-makhluk tersebut merasa terganggu kemudian melakukan perlawanan sengit kepada yang mengganggu. Maka terjadilah pertempuran hidup dan mati. Pertempuran yang terlihat seperti dagelan saja. Karena realitasnya mereka tidak bersentuhan badan. Dialog yang terjadi layaknya seperti ketoprak saja.

Pertempuran-pertempuran seperti itu sering dialami oleh Mas Dikonthole ketika memasuki suatu wilayah. Pertempuran ghaib yang hanya mampu dirasakan dalam kesadaran saja. Maka sering Mas Dikonthole meregang nyawa, otot-ototnya menegang menahan serangan-serangan yang tak kasat mata. Bukan hanya sebangsa genderuwo, atau siluman saja, kebanyakan yang dihadapi adalah orang-orang masa lalu juga yang senantiasa mengejar dan menghalangi misinya itu.   Mas Dikonthole sering diangap lawan yang akan melakukan infiltrasi ke wilayah mereka. Inilah yang tak disadari Mas Dikonthole. Sebagai orang masa lalu, ternyata dirinya banyak musuhnya.

Hingga tengah malam prosesi pengenalan leluhur baru saja selesai, beberapa diantara mereka sudah saling mengenal. Ada yang berasal dari satu jaman dan ada juga yang berbeda jaman. Sang ustad juga nampak puas sekali mampu mengenal jatidiri-nya. Sehingga kemampuan penglihatan mata batinya menjadi semakin awas. Dia mampu mengenali dan melihat siapakah yang berada dibalik raga-raga diantara mereka itu. Banyak diantara mereka diiringi ajudan, dan memang lengkap dengan pasukan perangnya. Pasukan perang yang aneh-aneh penampilannya.

Mereka kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut. Bulan nampak sudah meninggi, dan perlahan awan kembali merapatkan diri. Gelap seketika di tempat tersebut. Satu persatu mereka melangkah pergi. Namun sang Ustad tiba-tiba tersentak kaget. Sesosok makhluk menyeringai, dan tertawa mengkikik mendirikan bulu roma tepat dilorong pitu keluar. Ugh...!.

Kuntilanak tiba-tiba menampakan diri. Sosoknya yang dingin, dan rongga dibelakang punggungnya pasti akan membuat bulu kuduk berdiri. Namun tidak bagi mereka. Justru mereka menghela nafas getun, berbicara kepada lelaki setengah baya yang sebarangan saja membuang makhluk tersebut disitu. Rupanya makhluk penghuni cincin dari salah satu peserta yang dibuang oleh lelaki setengah baya berada disitu.  Maka jadilah sekarang kuntilanak itu menunggu lorong tempat belakang rumah Mas Dikonthole. Biar sajalah.

Pertemuan para orang sakti

Jauh sebelum pertemuan 7 orang ini, sebelumnya Mas Dikonthole pernah juga mengundang para sesepuh, para orang tua sakti dari lintas agama. Mereka semua dibawah naungan persaudaraan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berada di kota ini. Saat itu mereka hadir semua, mulai dari sesepuh Dieng, sesepuh yang berada di lereng-lereng pegunungan Sindoro Sumbing. Semua berjumlah hampir 20 orang pengampu paham. Pada saat itu juga dihadiri dari dinas terkait, yang mewakili pribadi.

Dalam pertemuan tersebut terungkaplah kearifan lokal. Adalah bahasa simbol warisan yang turun temurun, bagaimana bahasa simbol ini kemudian secara sistematis sedang, akan dan telah dihilangkan dari kesadaran lokal oleh sistem pengajaran yang ada. Anak-anak bangsa ini sudah banyak tercerabut dari akar budaya bangsa. Mereka tidak mengenal lagi siapakah leluhurnya. Jangankan anak-anak sekarang ini, para orang dewasa dan orang tua sekarang pun, sering sudah melupakan warisan budaya yang sarat makna dari leluhurnya sendiri.

Berkata salah seorang dari mereka bahwa, simbol-simbol, bunga yang sering dijadikan pajangan, dalam setiap sajian, banyak disalah artikan, karenanya banyak menimbulkan perang, bid ah , sirik, dan lain sebagainya. Padahal kata mereka, diantara bunga-bunga yang disajikan banyak sekali filosofi para leluhur, dengan bahasa simbol inilah para leluhur mengajarkan spiritual. Inilah pesan-pesan spiritual para leluhur yang dapat kita baca samapi sekarang. Melalui ritual budaya, dan warisan lokal. Bunga melati sebagai simbol kesucian sudah tidak ada arti. Sehingga anak negri tidak peduli lagi. 

Mas Dikonthole merenung sendiri. Benar apa kata mereka. Jaman dahulu belum ada tekhnologi, belum ada kertas, banyak masyarakat belum mampu baca tulis. Bagaimana kemudian para leluhur akan mengajarkan pada anak cucu mereka. Sebab karena itulah kemudian oleh mereka diciptakanlah sarana ritual budaya. Untuk mengajarkan filosofi, melalui tebang, melalui kembang, melalui dongengan, melalui kearifan yang ditularkan. Begitulah sarana mereka para sesepuh negri ini, para leluhur mentransfer pemahaman mereka. Begitulah budaya, begitulah kearifan lokal diajarkan. Melalui tembang, melalui taburan kembang setaman.  

Cerita terus bergulir, jika kemudian sarana ritual dan budaya, oleh beberapa orang berilmu digunakan untuk maksud lainnya. Digunakan untuk kepentingan politik, kekuasaan dan mencari kekayaan belaka. Mereka menggunakan para danyang untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Ritual yang dimaksudkan untuk mengajarkan filosofi hiidup, kemudian bergeser  hanya sekedar menjadi ajang penyampai kepentingan semata. Bagaimana pula keadaannya ?. maka lihatlah peradaban anak bangsa sekarang ini. Itulah hasilnya. Begitu jugalah yang terjadi pada agama-agama. selalu saja begitu keadaannya. Jika para pengusung paham tidak mampu berserah, maka apapun sarana (syariat) hanyalah seremonial yang menjadi alat untuk menyembunyikan nafsu belaka.

Mas Dikonthole mampu membaca keperihan para pinisepuh ini. Mereka pun tertatih-tatih memasuki abad milinium ini. Kesadaran mereka tergerus dan terlibas majunya teknologi. Bahasa simbol dan bahasa tanpa kata telah hilang dari benak anak bangsa ini. Bahasa penuh romansa dan makna sudah hilang dari bumi nusantara. 

Mas Dikonthole perih meraga sukma, dalam hati Mas Dikonthole berbisik, “Bukankah Al qur an juga mengakomodasi bahasa simbol. Bacalah Alif Lam Mim dll nya. Maka apakah tak layak jika  bahasa simbol di nusantara ini juga dipertahankan..?. Bahasa tembang dan kembang milik leluhur bangsa ini. ” Entahlah itu, pasti nantinya akan menjadi polemik lagi. Tembang dan kembang nantinya hanya akan menjadi perseteruan lagi antar manusia yang masing-masing membela pemahaman. Duh, inilah manusia.

wolohualam





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali