Kisah Spiritual, Penampakan Para Wali di Masjid Merah


Langit diam terhujam kakinya di ujung  timur dan barat,  menembus tanpa batas. Awan bergumpal-gumpal, pekat menghitam menutupi cahaya bulan. Suasana malam dingin tanpa kisaran angin. Hanya suara tonggeret terdengar dari kejauhan, dari  arah rumah belakang tempat jalannya prosesi. Hening dalam nuansa, gelap dalam menanti, sepi sekali. Nafas terdengar satu-satu, berpadu dalam rahsa tak menentu, sebab sepertinya  memang sedang dalam diam menunggu. Menunggu  sesuatu peristiwa yang bakalan terjadi namun tak ada yang mengerti, apakah yang bakalan terjadi nanti. Badan sudah mulai  terasa kesemutan, aliran energi entah dari mana mulai merasuki. Dingin menjalar dari dalam dada sebelah kiri. Sebagaimana keadaan malam biasanya, romansanya, seperti menandakan hari akan segera turun hujan. Terlihat tetes rintiknya sudah jatuh satu-satu. 

Malam itu, adalah malam yang menjadi satu rangkaian dengan peristiwa  aneh siang hari tadi, peristiwa misteri yang kemudian nanti akan merubah jalan hidup Mas Dikonthole, ya di Masjid Merah ini. Peristiwa luar biasa yang terjadi siang hari tadi, sehabis ashar. Peristiwa yang terus hingga malam ini menggetarkan sanubari, yang kemudian memaksa dirinya harus melaksanakan prosesi menuntaskannya di malam ini. 

Dan sekarang ini dia tengah bermalam sendirian, di masjid yang tanpa penghuni.  Menginap  secara sembunyi-sembunyi, bila diketahui penjaga masjid maka pasti Mas Dikonthole akan digelandang, sebab disangka pencuri. Peraturan masjid sangat keras, peziarah tidak diperbolehkan menginap di dalam ruangan masjid.  Maka seluruh pintu gerbang, setelah sholat isya dikunci oleh juru kunci. Mestinya, tidak mungkin Mas Dikonthole dapat masuk ke dalam. Namun nyatanya Mas Dikonthole malam ini nekad bermalam, untuk sebuah prosesi.

Mas Dikonthole memaksa, menerobos ke dalam masjid untuk menginap. Entahlah apa jadinya jika tertangkap nanti. Banyak para peziarah yang nekad, berakhir dipenjara.  Namun bisikan sangat kuat agar dia bermalam di dalam ruangan masjid diantara dua tiang besar. Mengalahkan logikanya. Maka jalan bahayapun ditempuhnya, sehabis sholat isya, dia menghampiri salah satu warga, yang sholat, agar mau menolongnya. Itulah yang dilakukannya. Diaturlah pertemuan setelah lewat sholat isya, sekitar jam delapan malam mereka akan bertemu di depan gerbang pintu masjid. Maka untuk mengisi waktu Mas Dkonthole keluar  sebentar untuk membeli makanan.

Setelah selesai makan, Mas Dikonthole menuju kembali ke masjid, rupanya penolongnya tak lama kemudian juga datang kesitu. Layaknya seorang pencuri, orang tersebut kemudian melompat ke dalam masjid melalui pagar depan, di samping  kiri masjid. Dan tak lama kemudian, membukakan pintu belakang samping kanan masjid. Pintu yang hanya setinggi anak lima tahunan, hanya pas untuk masuk sambil menunduk saja. Pada saat itu Mas Dikonthole sempat was-was juga, harus mengendap-endap, bagaimana kalau ketahuan, kemudian disangka pencuri. Wah bisa babak belur jadinya. Namun diyakinkanlah dirinya, pasti Tuhan akan menolongnya. Apa boleh buat , dibulatkan saja tekadnya. Malam itu diapun berhasil masuk ke dalam ruangan masjid yang tak terjaga. Anehnya orang yang menolongnyapun seperti tergesa-gesa pergi, seperti ketakutan, dan dia pun melompat dari gerbang depan.

Begitulah ceritanya maka  saat ini dia tengah diam dalam hening di dalam ruangan Masjid Merah, sendiri saja.  Temannya yang  satu perjalanan spiritual,  yang diawal selalu berjalan bersamanya entah mengapa tidak mau menemani. Temannya memilih melanjutkan perjalannya  sendiri, katanya mengikuti takdirnya. Dan nanti dibagian lain, kisah perjalan temannya ini, akan dikisahkan. Saat mana perjalanannya seperti diarahkan ke tempat makam asli Syekh Siti Jenar. Dia seperti hilang kesadaran, menempuh perjalanan panjang ke tempat makam sang Syekh. ya, dia menemukan makam Syekh yang asli. Diantara perbukitan tinggi di Jawa Barat. Para wali yang menyembunyikan makamnya disitu. Sementara Mas Dikonthole diam di dalam masjid sendiri. Mengapa temannya mampu menemukan makamnya,  ya karena sebab temannya ini masih ada titisan Sykeh Siti Jenar itu sendiri. Itulah jawaban yang diyakini Mas Dikonthole. 

Langit diam terhujam kakinya di ujung  timur dan barat,  menembus tanpa batas. Awan bergumpal-gumpal, pekat menghitam menutupi cahaya bulan. Suasana malam dingin tanpa kisaran angin. Hanya suara tonggeret terdengar dari kejauhan, dari  arah rumah belakang tempat jalannya prosesi. Hening dalam nuansa, gelap dalam menanti, sepi sekali. Nafas terdengar satu-satu, berpadu dalam rahsa tak menentu, sebab sepertinya  memang sedang dalam diam menunggu. Mas Dikonthole masih rebahan di masjid menunggu prosesi puncak tepat jam 12 malam nanti. 

Masih kuat dalam kesadarannya kejadian siang hari  tadi, dimana peristiwa hebat telah terjadi, seperti layaknya sebuah peristiwa penyambutan luar biasa dari para wali kepada Mas Dikonthole. Teringatlah jelas dalam kesadaran, pada saat itu, dalam meditasinya, dirinya tersentak. Blegh..des..der.. !. Kesadarannya terhenyak, dalam kagetnya bertanya,


“Duh ..Gusti benda  apa ini ?.”

Tiba-tiba serasa seperti  laju angin berhenti bertiup, dan seiring dengan itu , sosok berjubah putih  hadir dihadapan Mas Dikonthole. Seorang lelaki setengah baya,  berpakaian jubah wali, mirip dengan pakaian kebesaran bangsawan dari baghdad lengkap dengan  barisan para santri, yang mengiringi kemunculannya dari balik pintu ruang dalam Masjid  Merah. Ruangan seperti hampa udara, sesak nafas dibuatnya. Energi putih seperti membentengi keberadaan sang wali yang terus menghampiri dimana Mas Dikonthole bermeditasi. Semua terjadi hanya sepersekian detik.

Blash.. !. Sekelebatan saja, sosok wali itu, sudah didepan Mas Dikonthole seperti menghalangi pandangan. Dan seiring berhentinya desiran angin, seperti ada suara yang memerintahkan agar Mas Dikonthole membuka telapak tangannya, berbisik lembut saja, namun rahsanya begitu kuat  merasuk kedalam relung hati. Tanpa sempat bertanya apa-apa, dan belum juga sempat kekagetannya. Sosok berjubah itu, begitu saja mengangsurkan tangannya kearah Mas Dikonthole. “Aku berikan kitab rahasia hikmah Al qur an …”   Blam…der…!. Blegh..!.

Dan tiba-tiba saja aliran listrik tegangan tinggi seperti mengalir ke telapak tangan Mas Dikonthole yang terbuka, Keadaan yang benar-benar tak disangka. Memang dirinya tahu jika di dalam ruangan Masjid Merah tengah berlangsung pertemuan para wali. Sebelum dirinya mulai meditasi, dia melihat kedalam ruangan dalam Masjid Merah, yang terkunci rapat sepanjang tahun dan konon katanya hanya dibuka satu tahun sekali itupun harus menggunakan rangkain persyaratan tertentu. Didalam ruangan yang tak begitu luas, disana dia melihat seperi kerumununan orang yang tengah bersidang dengan meja besar yang bulat. Begitu asyiknya mereka bersidang, membahas permasalahan dan problematika umat, sepertinya mereka tak memperdulikan kehadiran Mas Dikonthole yang mengamati mereka. Sambil menghela nafas Mas Dikonthole bersiap untuk sholat sunnah.

Pertemuan para wali, yang sepertinya masih terus berlangsung hingga kini di Masjid Merah. Apakah hanya ilusi ataukah benar terjadi ?. Kembali Mas Dikonthole hanya mengkhabarkan apa adanya, terserah sidang pembaca memaknai. Diirnya hanya mampu  bersyukur, dapat menyaksikan pertemuan tersebut. Saat itu dia hanya uluk salam saja, tanpa bermaksud mengganggu pertemuan para wali yang tengah berlangsung disitu. Dan salamnya seakan diacuhkan saja oleh mereka yang tampak sedang serius sekali.

Terlihat semakin jelas, ada sembilan wali yang tengah berdialog di dalam ruangan. Dan disekitarnya ada beberapa santri yang duduk bersila sambil berdzikir. Jumlah para santri kurang lebih dua puluhan. Ya, sepertinya nuansa berabad-abad yang lalu tengah terjadi disitu, dihadirkan dimata batin Mas Dikonthole. Apakah memang kebetulan ataukah sengaja diperlihatkan kepada Mas Dikonthole, dia tak tahu itu. Dengan rasa takjum dirinya hanya menyapa mereka dalam hatinya. Kemudian dia tak mau mengganggu mereka lagi dilaksanakanlah sholat seperti biasa saja. Sholat sunnah masjid yang kemudian diteruskan dengan sholat ashar, sholat yang khusuk. 

Namun kejadiannya, sungguh tidak disangka, jika kemudian mereka secara bersama-sama menghampirinya. Bersama menemui Mas Dikonthole dan kemudian memberikan sesuatu.  Kitab berukuran kecil sekali dengan diameter 2.5 cm x 1 cm. Itulah kejadian luar biasa yang diceritakan dimuka, dimana Mas Dikonthole tersegah menerimanya.  Kitab kecil ini begitu diletakan ditangan Mas Dikonthole seperti melebur , menghablur seperti cahaya kecil, yang perlahan-lahan, mengalir masuk ke dalam badan melalui tangan kanannya. Dan sementara tangan kanan sang wali berada pada jarak 5 cm diatas telapak tangan Mas Dikonthole.  Memberikan tekanan luar biasa agar benda kecil itu dapat masuk ke dalam badan. Seperti aliran listrik ribuan kilovolt menerjang syaraf. Sungguh urat syarafnya sepertinya terpanggang.

Belum selesai rasa sakit yang menerjang, sang wali berbisik lagi, “Aku berikan rahasi a sunnah..” Dan ..blam..blam…badan Mas Dikonthole oleng, kesadarannya menghablur. Hal yang sama terulang kembali, kitab yang ukurannya sama. Dua kitab hikmah diberikan sekaligus dalam hitungan detik, yang satu melalui tangan kanan dan yang satunya lagi melalui tangan kirinya maka bayangkan bagaimana rahsanya energi yang menerjang badan. Sekuat tenaga dirinya mempertahankan posisi duduk bersilanya, badanya bergoyang kesana kemari, tangannya seperti tak kuasa menahan sesuatu. Hampir saja dia berteriak saking tak kuatnya menahan berat dan rahsa yang menghujam, namun seperti ada bisikan halus yang menentramkannya. Energi halus dan lembut tu seperti meliputi dan menahannya, seperti kabut tipis diseputar badan, sejuk sekali.  Ya, dia masih berada dalam ruangan masjid. Apa jadinya jika dia berteriak. pasti akan mengagetkan orang yang tengah sholat lainnya.

Peristiwa itu tidaklah lama, mungkin kisaran 30 menit sampai satu jam, Mas Dikonthole tak tahu pasti. dalam kesadarannya dirinya mengalami gemblengan para wali berbulan-bulan lamanya. Kemudian saat semua sudah selesai, angin sepertinya kembali kepada keadaannya semula. Langit sudah tidak mendung lagi.  Selesai prosesi, kemudian sang wali memberikan wejangan, agar dirinya mengamalkan seluruh ajaran kitab Al qur an dan sunnah. Hakekat dan hikmah sudah diajarkan, maka menjadi kewajiban Mas Dikonthole untuk menguraikan dan memaknai, juga mengkhabarkan. 

“Ugh…apakah itu ilusi ?. Lha kapan diajarkannya. Bukankah kejadiannya hanya berlangsung sebentar tidak sampai 30 menit dan juga dirinya tidak merasa kalau diajarkan sesuatu. Apakah maknanya.”  Mas Dikonthole terus membantin, dengan ketakmengertiannya.

Sungguh kejadian atas peristiwa ini kemudian menjadi pertanyaan yang tidak habis-habisnya, kejadian apakah dan mengapa dirinya yang diberikan kitab itu ?. Bagaimana memaknainya. apakah dirinya harus belajar Al qur an sebagaimana para santrinya ?. Kalau itu sungguh Mas Dikonthole menyerah saja. Dia bukanlah ahli agama, dia  hanya bisa sekedar baca Al qur an saja, itupun hasil belajar pada ustad kampung saja. Kalau sekarang hanya lulus iqro  saja mungkin. Bagaimana harus memahami hikmah rahasia Al qur an dan sunnah yang begitu besar ?. Mimpi barangkali.

Peristiwa tersebut benar-benar sangat membekas, dan menjadi beban yang tak berkesudahan. Sebab setelahnya, seperti ada sesuatu yang menuntut dirinya harus terus mengkaji makna demi makna atas peristiwa perjalanan spiritualnya. Hikmah kejadian demi kejadian yang terus mendamparinya. Sepanjang lakunya berspiritual, mengelilingi nusantara ini. Siapakah yang memberikan kitab hikmah tersebut ?. Benarkah kitab itu real adanya ?. Ataukah dirinya hanya bermimpi.

Seiring berjalannya waktu, dirinya benar-benar diajarkan hikmah melalui pengajaran alam. Bagaimana kemudian dirinya mampu membaca simbol-simbol yang digunakan dalam al qur an, bagaimana juga kemudian dirinya meyakini tanda-tanda alam. Bagaimana dirinya diajarkan bahasa alam , diajarkan bahasa al qur an melalui bahasa alam itu sendiri. Kemudian pada gilirannya dirinya juga mengerti makna  agama alam, mengerti hakekat agama Islam. Agama alam, agama Islam, dan sunatulloh sepertinya  semua  dalam rangkaian yang tali temali yang saling menjelaskan keadaannya. Semua dalam bahasa simbol. Bagaimana bisa terjadi ?. Apakah yang dimaksudkan ‘kitab hikmah’ adalah seperti itu ?.

Semua pertanyaan benar-benar menghabiskan sepanjang perjalanan spiritualnya, rasa gundah, rasa penasaran, rasa ingin tahu, dan rasa-rasa lainnya. Apakah sang wali hanya ilusi saja ?. Dan sebagainya, dan sebagainya. Namun sepertinya tidak, bagaimana dirinya mengerti hikmah ?. Maka Mas Dikonthole seperti yakin sekali akan penglihatannya, kesadaran ghaibnya tidak mengingkari adanya sosok wali yang menemuinya tersebut. Sungguh dalam kesadaran Mas Dikonthole Masjid Merah tersebut memang masih menjadi tempat pertemuan para wali. Dari dahulu hingga kini. Namun bukankah mereka semua sudah meninggal. ‘Sesungguhnya wali-wali Allah tidaklah mati mereka hdup disis-Nya.“ Itulah yang diyakini Mas Dikonthole dari berita al qur an. Maka benarkah keadaan diri mereka seperti yang dilihat Mas Dikonthole. Sepertinya keadaan masa lalu yang tidak berubah ?. Walohualam bisawab.

Kesadaran Mas Dikonthole meyakini, bahwa (Yaitu) sebagaimana memang pawa wali, jaman dahulu menggunakan Masjid Merah itu untuk pertemuan utama, menggelar pertemuan rahasia di Masjid Merah ini. Dan apakah hanya Mas Dikonthole saja yang menjadi saksi ?. Jika benar, sungguh nikmat luar biasa yang dianugrahkan Tuhan pada dirinya.

Masjid ini merupakan sebuah masjid berumur sangat tua yang didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan. Ia adalah seorang keturunan Arab yang memimpin sekelompok imigran dari Baghdad, dan kemudian menjadi murid Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan ini berumur lebih tua dari Masjid Demak, Masjid Menara Kudus dan Masjid Sang Cipta Rasa. Sebelum dikenal dengan nama Masjid Merah Panjunan, dulunya Masjid ini bernama Al Athyang yang berarti dikasihi. Pengaruh penggunaan material bata merah yang dominan terutama pada bangunan pagarnya ini lebih menyerupai bangunan candi atau Pura yang umum digunakan pada masa permulaan Islam masuk.

Sambil terus menerawang, Mas Dikonthole bersiap untuk prosesi. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Namun apa yang terjadi. Tiba-tiba pintu gerbang dibuka dari arah depan, sepertinya sang juru kunci akan masuk. Berdebarlah dada Mas Dikonthole, "Waduh, bisa dipenjara dirinya nanti.." bisiknya dalam hati. sesaat kemudian dia berdoa kepada Allah. Benarlah apa yang ditakutkannya. Bersama dua orang satuan kemanan sang juru kunci menghampiri tempat duduk Mas Dikonthole dan kemudian  Mas Dikonthole digelandang ke salah satu ruangan masjid. Entah berapa banyak pertanyaan dilontarkan, badan Mas Dikonthole sudah mulai panas dingin. Syukurlah kemudian setelah diperiksa identitasnya, dan kemudian menjelaskan maksud dirinya bermsalam, sang juru kunci mengerti dan memahaminya.

Sungguh hal yang belum pernah terjadi katanya, biasanya jika ada yang menerobos tanpa ijin ke masjid ini bisa dipidana. Masjid ini sudah dilindungi undang-undang purbakala. Bersyukurlah Mas Dikonthole sebab akhirnya sang juru kunci mau menemani Mas Dikonthole menginap di masjid. Malam sudah menunjukan pas jam 12 malam maka mulailah dilaksanakan prosesi. Mas Dikonthole sholat sunnah, hajat, tobat, kemudian diam dalam waktu yang lama. Entah pengajaran apa yang tengah dialaminya di masjid itu. Beberpa sosok berjubah   bergantian menghampiri, mengajarkan pengajaran ghaib yang sulit diceritakan disini. Satu persatu para wali mengajarkan kepada kesadaran Mas Dikonthole. Hingga tak sadar waktu sudah menujukkan pagi, adzan subuh sudah bergema di masjid ini.

Mas Dikonthole, tergugah dari meditasinya, rasanya pembelajaran para wali cukup membekas, namun dirinya sendiri tidaklah mengerti, atas apa yang diajarkan. Sungguh membingungkan sekali. seperti proses diinput program-program saja. Program yang terasa manfaatnya jika digunakan. Maka dengan hati yang masih penuh tanda-tanya, diaksanakannya shlat berjamaah di masjid ini. Nuansa yang benar-benar tak mampu dilupakan. Bagaimana rahsanya jika kita satu jamaah dengan para wali ?. Sunguhkah ini ?. Apakah bukan majinasi atau ilusi. He eh, entahlah. Semua hanya dalam kesadaran dan keyakinannya saja. Dirinya tak berharap agar orang lain percaya dengan apa yang dialaminya. Cukup dirinya saja yang menjadi saksi. Biarlah dia menyaksikan apa-apa yang disaksikan oleh para orang suci. Menjadi saksi kebenaran ayat-ayat Allah di muka bumi ini.

Wolohua’lam bisawab





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali