Kisah Spiritual, Mengungkap Jatidiri Orang Jawa Yang Kehilangan Jawanya
Pertempuran dalam jiwa, pemberontakkan atas
lakon yang harus diperankannya, adalah pertarungan antara raga masa kini dan
jiwa orang masa lalunya, membuat dirinya nyaris ‘gila’. Keghaiban yang
semestinya ghaib bagi kesadaran orang lain, kini nyata dan menjadi realitas
bagi dirinya. Seakan-akan dirinya mampu membaca sebuah program komputer,
berikut juga tahu bagaimana nantinya, menjadi rupa dan bentuk tampilannya di
layar monitor. Tidak hanya bagaimana jalan ceritanya, serta bagaimana juga
kejadiannya, namun semua seperti terpola dalam puzle, seperti terbaca fragmen-fragmennya.
Sungguh itu selalu menakutinya. Dan kadang sebagai manusia biasa dia ingin
hidup wajar, seperti halnya manusia lainnya. Tidak perlulah bertemu dengan
keghaiban atau lainnya. Karena apa, keghaiban hanya mampu diyakini
keberadannya dalam kesadaran manusia saja, jika manusia tidak berada dalam posisi
kesadaran ini maka dia tidak akan mampu melihatnya. Maka keadaan ini sering
menjadi fitnah saja. Sungguh sulit mengkhabarkan bagi orang yang tidak dalam
kesadaran yang sama. Bukankah dirinya akan disebut sebagai ‘orang gila’ ?.
Sebagaimana rosululloh yang pada saat itu
sering disebut sebagai ‘orang
gila’ oleh kaumnya, sebab
beliau meyakini keghaiban sebagai realitas. Beliau meyakini dunia akherat
sebagaimana keyakinannya atas keberadan
alam ini, atas keadaan bumi dan
langit ini. Karena keyakinan yang dibawanya inilah ‘Beliau sering diolok-olok
sebagai orang gila’. Namun kemudian rosul dikuatkan dengan firman Allah,
yang meyakinkan dirinya bahwa “dia
(rosul) sekali-kali bukanlah orang gila”. (QS. 068 :02).
Masalahnya adalah bagaimana dengan keadaan
Mas Dikonthole ?. Dirinya bukanlah nabi, bukan wali, bukanlah juga orang suci,
dirinya hanya orang biasa, sangat biasa malah. Dengan apa dirinya
meyakinkannya, ‘bahwa dirinya
juga bukan orang gila’. Maka tidak ada cara lain, selain dirinya hanya
‘berserah’ (Islam) saja, totallitas dalam ber-Islam. Berserah kepada-Nya,
terserah maunya Allah akan diperjalankan kemanakah jiwa dan raganya ini. Dia
hanya menurut kepada sang Alam.
Alam semesta sedang menjalankan program yang
sudah diinstal jauh sebelum alam semesta terbentuk seperti keadaan
sekarang ini. Mereka sekarang sedang dalam urusan-urusannyamasing-masing.
Menjalankan program alam semesta yang sudah di skenario Tuhannya. Jika kemudian
dirinya dipersilahkan sang Alam menjadi saksi maka dirinya pasti juga tidak
akan mampu menolaknya. Sukarela atau terpaksa pasti itu saja pilihannya. Apakah
dirinya akan menjadi saksi secara sukarela ataukah dirinya akan menjadi saksi
secara terpaksa. Tentu saja semua itu ada konsekuensinya. Jika dirinya
menjalani dengan ‘terpaksa’ resikonya, tentu akan mengalami
pergulatan dan benturan, sebab siapapun tahu bagaimana keadaan orang yang
dipaksa dan atau terpaksa, dan bagaimana dengan keadaan jiwa mereka itu. Oleh
karena itulah, saat sekarang ini, dirinya harus mampu selalu dalam keadaan hal ‘sukarela’,
mengikuti kehendak sang Alam ini. Maka untuk mendapatkan dan menempati makom
‘sukarela’, keadaan hal ‘Ikhlas’ inilah, dirinya terus mendapatkan
gemblengan sang Alam sendiri. Dengan sikap itulah Mas Dikonthole
menapaki kehidupan terkininya, walau kadang sebagaimana manusia normal lainnya,
rasanya terjepit, seperti tak mampu saja.
Mengamati diperjalankan dirinya, inilah yag
sekarang dilakukannya, diam dan pasrah, diatas gerakan sang raga ini. Diatas
gerak alam semesta yang menari dalam harmoninya, gerakan yang secara perlahan
namun pasti akan melibas nafsu angkara manusia, kembali kepada fitrah sang
Alam. Dengan laku (patrap) itulah kisah ini kembali dikhabarkan kepada sidang
pembaca. Dengan selalu memohon hidayah dan ampunan-Nya, jikalau saja kisah ini terkesan
ujub adanya. Namun ini hanyalah sepenggal berita, layaknya berita yang setiap
hari kita terima dari media lainnya. Maka kearifan dalam menyikapi tetaplah
sangat diharapkan, agar selanjutnya tidak menjadi fitnah adanya.
Menelusuri Peradaban Jawa
Diantara bukit-bukit lainnya, dibawah kaki
gunung Sindoro, bukit Argopeni menjadi salah satu bukit yang memiliki
kenangan tersendiri bagi Mas Dikonthole. Bukit yang asri, dimana dibawahnya
terletak perkampungan yang sudah tertata sangat rapi. Menurun lagi, jauh ke
dalamnya, berjarak 500 km jauhnya dari perkampungan terdekat, terletak mata air
yang sangat luar biasa jernihnya, Mata Air Mangli namanya. Mata air yang jauh
menembus kedalaman pusat bumi. Sebuah lubang, pusat mata air keluar diantara dua
buah pohon beringin raksasa, terlihat tanpa dasar. Mas Dikonthole sering mandi dan berenang
disana pada waktu kecilnya. Saat mana mata air itu belum dikelola, masih
seperti apa adanya.
Namun sekarang keadaannya sangat jauh
berbeda, perusahaan air terbesar di Indonesia telah memanfaatkan air ini untuk
produknya. Dan bagi masyarakat sekitar telah dibuatkan kolam pemandian
umum. Mitos yang dahulu melegenda atas mata air ini sekarang seperti lenyap.
Mungkin hanya segelintir orang tua saja yang masih paham legenda tentang mata
air Mangli ini, yang konon dahulu dijaga oleh dua ekor ular naga raksasa. Sebab
mata air ini dahulu katanya adalah tempat pemandian para dewa.
Mitos ini masih sangat terasa saat Mas
Dikonthole kecil. Banyak ikan kecil-kecil yang berada disana, yang sangat aneh.
Begitu juga ikan-ikan besar yang sebesar paha orang dewasa, dimana jumlah
mereka akan selalu tetap. Ikan-ikan ini diyakini oleh penduduk sekitar adalah
para penjaga, hingga tidak ada satupun penduduk yang berani menangkapnya. Sudah
berulangkali kejadian aneh terjadi, saat ada orang dari luar kota yang berusaha
menangkap ikan-ikan tersebut. Sering orang tersebut hilang dan baru muncul di
kemudian hari dengan keadaan tak bernyawa, seperti orang tersebut ditelan mata
air atau sering juga kejadian yang lebih
aneh lainnya. Terlihatnya para bidadari sedang mandi disana. Maka kebenaran
mitos ni hanyalah alam sendiri yang tahu.
Mas Dikonthole masih sering menatap jauh ke
bawah dari atas bukit Argopeni. Menyelusup kedasar lorong jauh di bawah mata
air, mencari kebenaran mitos dan legenda disana. Kebenaran adanya sebuah
kerajaan yang dahulu pernah jaya. Peradaban yang sempat mengguncang dunia.
Betulkah peradaban itu ada ?. Maka semakin tajam mata batin Mas Dikonthole
menerobos masuk kedalamnya. Berusaha mencari serpihan kisah-kisah masa
lalu. Barangkali saja dirinya akan menemukan jawaban atas rangkaian sebuah
cerita.
Sebuah kisah yang secara turun temurun
dikisahkan oleh orang-orang masa lalu, bahwa dari daerah perbukitan inilah
jaman dahulu peradaban dan kecerdasan nusantara disebar luaskan keseluruh
penjuru dunia. Hingga bergetarlah singgasana nabi Sulaiman. Puncak
kecerdasan nusantara berasal dari perbukitan gunung Sindoro. Ugh..!. Siapakah
yang akan percaya, atas apa yang dikhabarkan orang masa lalu kepada dirinya.
Itulah yang selalu dinafikan oleh Mas Dikonthole. Kisah-kisah mitos dan legenda
sering akan menjadi bahan tertawaan saja. Begitulah kenyataan yang ada di jaman
ini. Begitulah alur pemikiran orang modern jaman sekarang ini, (yaitu) orang Jawa yang mendapat pendidikan dari luar.
Mereka selalu menafikan khabar dari negri sendiri.
Manusia sekarang ini, orang-orang Jawa yang
hidup dijaman ini, selalu beranggapan bahwa nenek moyang mereka adalah bangsa
yang primitif, yang tidak mengenal akal dan budhi. Hanya bangsa biadab, yang
beragama Animisme dan Dinamisme saja. Itulah yang disematkan orang-orang Jawa
masa kini atas nenek moyang mereka itu. Sungguh penisbatan yang sangat
keterlaluan. Bahkan anggapan ini terus mendapat tempat dalam sistem pengajaran
kita, menjadi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah umum. Kepada anak didik
diajarkan bahwa nenek moyang bangsa Jawa dahulu adalah bangsa primitif , bangsa
biadab yang tidak ber Tuhan. Anggapan yang tidak dilandasi ilmu. Hanya parduga yang
tidak di dukung fakta yang ada.
Marilah coba kita fikirkan, jika nenek moyang
bangsa Jawa tidak ber keTuhanan, mengapa ada candi Borobudur. Pada jaman apakah
Borobudur awal mulanya dibangun ?. Maka bolehlah kita berspekulasi bahwa Borobudur adalah candi yang tidak kalah tuanya
dengan Kabah yang didirikan nabi Ibrahim. Inilah khabar yang diterima Mas
Dikonthole. Memang menjadi spekulasi yang terlalu berani. Namunkembali ini
adalah sebuah keyakinan tersendiri.
Pada setiap masa dan peradaban, Candi Borobudur
terus mengalami pemugaran, dijaman-jaman setelahnya, sehingga bentuknya menjadi
seperti sekarang ini. Candi Borobudur pada mulanya hanyalah sebuah batu saja,
sebuah rumah, namun seiringnya peradaban diperluas lagi dan lagi, hingga
mencapai puncaknya pada masa Hindu-Budha. Hanya jika Kabah dipertahankan dalam
kesadaran manusia oleh Tuhan. Tidak dengan candi Borobudor, cerita dibiarkan
saja bergulir, terserah apa mau manusia memaknainya.
Nenek moyang bangsa Jawa adalah
bangsa-bangsa yang mendiami daerah khatulistiwa. Maka yang dimaksudkan sebagai ‘orang
Jawa’ adalah seluruh manusia yang mendiami wilayah di nusantara ini. Semenjak
jaman dimana pulau-pulau masih menjadi satu kesatuan, masih berupa daratan yang
tersambung antara satu dan lainnya. (Yaitu) daratan yang keadaannya belum
seperti sekarang ini, yang kita saksikan, terpisah menjadi pulau Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua, dan pulau-pulau lainnya.
Bangsa Jawa adalah bangsa yang mendiami
daratan (benua) yang terletak di khatulistiwa. Adalah sebuah bangsa yang sudah
memiliki tatanan peradaban yang tinggi. Suatu bangsa yang sudah memiliki
kearifan spiritual yang sangat tinggi sekali. Bangsa dengan kecerdasan
spiritual yang pilih tanding. (Yaitu) adalah suatu bangsa yang senantiasa mampu
menjadi saksi atas kebenaran yang dibawa para Nabi dan Rosul. Merupakan bangsa
yang mendiami suatu wilayah yang digambarkan sebagai surga di dalam Al qur an.
Maka dalam ayat Al qur an selalu dikisahkan keadaan surga yang dipenuhi
dengan air jernih yang mengalir. Begitulah penggambaran nusantara.
Bangsa Jawa adalah bangsa yang meyakini
Tuhan. Maka setiap agama apapun yang datang selalu akan diterima oleh nenek
moyang bangsa Jawa. Adalah suatu kesadaran yang suci berkeTuhanan yang terus
menerus diturunkan kepada anak cucunya. Maka sungguh sedih Mas Dikonthole,
mendapati realitas kesadaran orang-orang Jawa masa kini. Mereka selalu
beranggapan bahwa kearifan yang berdatangan dari luar ke tanah Jawa,
dianggap sebagai kesadaran yang lebih baik dan unggul, lebih baik dari kerifan
lokal mereka. Sehingga orang-orang Jawa membuang seluruh kearifan mereka,
menafikan kesadaran murni mereka itu.
Bangsa Jawa selalu akan membenarkan berita
yang dibawa para nabi, berita yang dibawa kitab suci. Inilah yang menyebabkan seakan-akan
kearifan mereka diabaikan. Sesungguhnya
kita harus paham, kesadaran seperti apakah yang mampu membenarkan kebenaran
yang dibawa para nabi dan kitab suci jika
bukan kesadaran murni. Inilah yang terabaikan oleh kita.
Hanya kesadaran yang disucikan saja, yang akan mampu membenarkan berita
kebenaran yang dibawa para nabi. Inilah yang sering kita lupakan. Hakekat sang
kesadaran murni pasti akan membenrakan berita para nabi. Nah, bangsa Jawa
memiliki kesadaran ini, dengan kearifan mereka menerima semua agama-agama.
Bangsa Jawa meyakini, dan kemudian mengamalkan, membenarkan, syariat yang
dibawa para nabi. Hingga kearifan mereka meliputi agama-agama yang datang,
melebur menjadi kearifan ber-agama.
Karenanya kita dapati bahwa sesungguhnya bangsa Jawa tidak pernah menolak khabar kebenaran yang menyambangi mereka. Namun sekali-kali, bukan berarti bahwa bangsa Jawa tidak punya Tuhan dan tidak mengenal Tuhan !. Bukan berarti bangsa Jawa adalah bangsa yang primitif. Ini harus kita kupas dan kita kembalikan kepada kebenarannya dan keadaannya sebab keyakinan sebaliknya saat inilah, yang sekarang menjadi kesadaran orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa selalu beranggapan bahwa neenk moyang mereka adalah bangsa primitif, menganut Animisme dan Dinamisme. Inilah yangharus diluruskan. Hal ini, penting agar orang Jawa mampu menerima kondisi dan keadaannya sebagai
Kesadaran yang datang kemudian , (yang)
menyambangi kesadaran orang Jawa, pada hakekatnya sering tidaklah murni
sebagaimana kebenaran yang dimaksudkan Tuhan. Kesadaran suci seharusnya
mampu berserah diri (Islam). Namun sayang keadaannya, tidaklah begitu.
Seiring berjalannya waktu dan peradaban anak manusia, kesadaran suci-pun
mengalami pembelokan, dikangkangi oleh kaum berilmu (dari) diantara mereka itu.
Sehingga kesadaran yang seharusnya mampu berserah (Islam) mulailah dihinggapi
penyakit ujub diri.
Kesadaran yang datang dikemudian menjadi
ujub, kesadaran yang menghinggapi kelompok yang tadinya menjadi kaum pilihan
Tuhan, akhirnya akan merasa lebih unggul. Begitulah keadaannya. Dan ketika
suatu kaum sudah dihinggapi ujub, maka kaum ini secara perlahan akan menjauh
dari ber-serah (Islam) meskipun mereka semua tetap menjalankan syariat islam.
Begitulah kisah-kisah yang diisyaratkan Al qur an. Manusia-manusia
yang merasa dipilih Tuhan, semakin lama akan merasa lebih unggul dan lebih suci
dari manusia manapun dimuka bumi ini. Muncullah rasa ‘sombong’ yang
tersembunyi. Rasa inilah kemudian yang akan diturunkan kepada generasi dan
peradaban setelah mereka. Sehingga kita dapati kemudian bagaimana perlaku
mereka.
Kesadaran yang datang akan membumi hanguskan
seluruh kesadaran yang ada pada masyarakat yang disusupinya. Begitulah keadaan
ketika Hindu, Budha, Kristen, bahkan Islam sendiripun tidak terlepas dari
penyakit yang sama. Mereka akan meng kloning keadaan diri mereka, kepada
masyarakat yang didatangi. Ketika Budha datang, bangsa Jawa dipaksa untuk
merubah diri mereka mengikuti peradaban Budha, begitu juga ketika Hindu datang
sama saja keadaannya, dan juga ketika Kristen datang, bangsa Jawa
mengikuti saja kebudayaan mereka. mengenakan Jas, stelan, dasi, dan seluruh
kebudayaan dan kearifan mereka diadopsi. Masih sama saja, ketika Islam juga
datang dengan peradaban padang pasir mereka. Seluruh orang Jawa secara perlahan
diarahkan untuk mengikuti kebudayaan dan peradaban padang pasir mereka. Mereka
melupakan essensi sibuk dengan atribut-atribut saja. Sehingga perlahan-lahan
orang Jawa kehilangan jatidiri Jawanya.
Bagi orang Jawa yang sadar, sebenarnya tidak
menjadi masalah, hal itu seperti memakai baju saja. Agama bagi orang Jawa
adalah baju, ageman (syariat) yang akan dia pakai untuk menghadap Tuhannya.
Maka bagi orang Jawa yang sadar dia akan selalu mematutkan diri, memilih
baju manakah yang pantas pakai, diantara baju Budha , Hindu, Kristen,
Kebatinan, dan baju Islam itu sendiri.
Orang Jawa yang sadar akan mencari jatidiri ‘wong jowo’ nya, kemudian dengan tekad bulat
mengenakan baju yang dirasa memang pas. Yaitu baju yang mampu mempertahankan
keyakinan dirinya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebab dari dahulu kala nenek
moyang mereka memang sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sang Hyang
Widhi, Gusti Pangeran, dsb. Inilah laku spiritual orang Jawa diantara gempuran
agama-agama, yang menerobos kesadaran mereka. Maka dengan keyakinan yang utuh
inilah , Mas Dikonthole menetapkan untuk mengenakan baju Islam. Dirinya
telah menemukan hakekat ‘jawa’ nya. Dengan jatidiri ‘wong jowo’ maka dia
menerima Islam sebagaimana apa adanya. Berserah sebagaimana keyakinannya.
Ber–Islam sebagaimana keadaannya. Berjalan, bertasbih, bersama angin dan
burung-burung, dan juga pohon dan gunung-gunung sebagaimana para
leluhurnya dahulu yang senatiasa menjaga alam , menjaga kehidupan dengan laku
dan langkah sukarela.
Mengapa dia memilih baju Islam. Sebab menurut
Mas Dikonthole Islam telah menetapkan langkah-langkah, dan laku untuk mencapai
keadaan berserah (Islam) itu dengan sangat terstruktur dan mudah sekali,
tinggal kita menjalani saja, mengikuti saja apa-apa yang sudah dicontohkan nabi
Muhammad. Karenanya dia tidak perlu lagi susah payah menjalani laku , bertapa,
dan lainnya, seperti nenek-nenek moyangnya dalam mencapai keadaan hal berserah (Islam) tersebut.
Seluruh methode yang ditawarkan oleh Islam,
menurut pendapatnya, memang telah di
design oleh sang Pencipta untuk umat jaman sekarang. Methode sederhana dan simple
sekali, sehingga orang Jawa sekarang, tdakperlu menjalani laku dan oleh spiritual
yang sulit-sulit, untuk mencapai posisi keadaan hal berserah (Islam) sebagaimana
orang-orang terdahulu. Sebab memang dikarenanya syariatnya ter sistematis,
sesuai dengan peradaban terkini, sesuai dengan manusia urban ibukota. Dengan laku
yang tersruktur dan tersistematis ini, jika diikuti tidak akan kalah dengan laku
nenek moyangnya yang hidup dijaman dahulu. Inilahkeyakinan Mas Dikonthole. Maka
dirinya menetapi laku dengan syariat-syariat Islam. Memaknai hikmah dengan methode
Iman dan Ikhsan. wolohualam
salam
Bersambung...kisah selanjutnya dalam
episode “ Bara di
Langit Bukit Argopeni...”
Di kisah selanjutnya.....
Rekan-rekan Mas Dikonthole, menyibak awan
dengan kemampuan spiritualnya, sehingga bulan terlihat cerah sekali. Awan gelap
pekat yang menutupi bulan terbelah menjadi dua. Nampaklah bulan membulat dengan
sempurna, menghantarkan sinarnya. Menjadikan prosesi pengenalan leluhur,
diatas bukit Argopeni, tidak lagi disambangi hujan, sebab awan terlihat sudah menjauh dari lokasi tempat
prosesi padahal sebelumnya hujan kelihatanya akan segera datang.
Saat prosesi, salah seorang mengambil cambuk
ghaib, sebab keadaan rekan mereka dirasuki ‘kuda
lumping’ yang pernah
dipujanya. Hingga kesurupan menjadi gila. Sambetan tersebut meski hanya ghaib, namun bekasnya sungguh luar
biasa, jalur merah hijau, nampak dari muka sampai kesekujur badan. Begitu nyata
seperti bekas cabukan biasa. Membekas dan menimbulkan luka dalam. Maka kemudian
diobati dengan obat luka dalam.
Maka karenanya kemudian menjadi jelas
keberadaan ‘mahluk ghaib’ di badan, tidak semua makhluk yang ada
di badan adalah ‘titisan’ banyak yang hanya ulah ‘jin’ atau hantu jejadian yang
bersarang. Maka bagaimanakah keadaan pemimpin kita jika di dalam raga mereka
hanya berisi hantu gentayangan...?. Jika mereka memuja, menggunakan kekuatan
supranatural dari alam ghaib ?. Sesungguhnya banyak dari mereka bukanlah
manusia, sebagaimana yang disebutkan oleh Al qur an. Hanya raga merekalah yang
manusia, semua jelas sekali perbedaannya.
Maka ini menjadi pertanyaan selanjutnya yang ingin dikupas Mas Dikonthole dalam perjalanan spiritualnya. Manakah yang disebut manusia dan manakah yang tidak layak disebut manusia. Jika raga manusia berisi roh dan hantu gentayangan, jika jiwanya sudah tidak berada dalam raganya lagi, layakkah mereka masih disebut manusia ?. Layakkah para pemimpin bangsa ini, yang tega menghisap darah rakyat disebut manusia ?. Sebab didalam raganya isinya adalah bangsa jin, hantu, kalong wewe dan perewangan lainnya. Marilah kita lihat saja, semua akan nampak dari perilaku mereka. Lihatlah tontonannya dilayar kaca tidak lama lagi. Manakah yang manusia dan manakah yang bukan. Kita semua akan tahu.
Maka ..ikuti kisah selanjutnya yang akan
segera dihantarkan. di pondokcinde.blogspot.com
salam
Bagus ...saya tunggu kelanjutannya
BalasHapusbagus bgt
BalasHapus