Kisah Spiritual, 'Dan Alam Ghaib Mulai Berimpit'


Biduk telah ditambatkan. Angan telah berkembang, sementara layar dibentang, bersiap mengarungi samudra lagi. Pelabuhan hati, pelabuhan kehidupan. Diam, hiruk pikuknya disini. Gelombang badai menghempas, hanya tersisa gemerisik ombak menghantam buritan. Burung camar terbang entah kemana. Sebatas  mata memandang, kerinduan alam mencengkeram. Angin mati dan langit terdiam. Hening bumi, menunggu keputusan sakral. Yang tak habis dimengerti, jeritan tanya tak bersuara. Di terjang gundah gulana, dan KAU dengar rintihan kami.

Tuhan, arahkan mata hati. Ketika kaki harus menapaki realita terkini. Menerobos kembali beton-beton tinggi. Berangkat berpagi hari dan pulang menjelang pagi lagi. Semua terserah titah-MU, merah hitam wajah ini. Pucat pasi merengkuh bumi. Dalam percaturan dunia, peradaban manusia. Dan inilah jalan kami, menetapi tangis yang tak berjeda lagi.

Mas Dikonthole, menghela nafas, mengambil jarak dan melanjutkan ceritanya lagi. Diri merasa sepi dari raganya sendiri. Bertanya kepada siapa, tidak ada yang menjawab. Mengapakah harus ada disini. Merajut asa dan menemani kebisingan lagi. Menyeret langkah menyusuri trotoar jalan. Menatap langit pagi, menerobos laju jalan yang tak pernah sepi. Kemanapun pergi selalu terbawa-bawa, perasaan bersalah datang menghantui. Masih diingat romansa cintanya. Kunci yang pernah dipatahkannya. Lihatlah sekarang dirinya terkapar dan luka. Mendengar perih yang tak kasat mata. Jeritan dari dalam jiwa. Ia ingin pulang.

Namun keinginan tak semudah bayangan. Masa lalunya begitu kelam. Guratan kesakitan telah membekas sebagai program yang harus dimainkan lagi. Menjalani fase reinkarnasinya lagi. Keperkasaannya tak mengundang, waktu telah menggilas semua. Ia tinggal punya jiwa. Pengorbanan yang sia-sia untuk negri ini. He-eh. Kini raga Mas Dikonthole memikul beban yang semakin sarat. Mengerti hitam dan merahnya jalan. Bahunya kini sudah semakin kekar, menahan gempuran rahsa.   Disini dikota ini, yang tersimpan hanyalah memori. Lukisan bayangan yang harus dimasuki.

Pekat, benarkah akan turun hujan. Mendung, benarkah akan datang banjir menerjang. Mencuci bumi kali ini lagi. Ho oh.  Dan jiwa-jiwa yang tengah dirundung kegalauan. Roda jaman menggilas, dan kini hidup tertatih. Berpacu dengan waktu. Jiwanya tertinggal di masa lalu lagi. Kenangan cintanya, kenangan kejayaannya, kenangan kekayaannya, harta , tahta, dan wanita, dalam lingkupannya. Kini dirinya bertanya, “Saya siapa,.?.  Terlahir sebagai apa ?.” Begitu jauhnya jarak ketertinggalan rahsa. Tak mampu dirinya merenunginya lagi.

Alam ghaib dan alam nyata semakin berimpit, masa lalu dan masa sekarang nyaris tak berjeda. Mendaparkan kembali jiwa Mas Dikonthole. Merasa terjebak dalam lingkaran yang membius. Kini dia merasa tak punya apa-apa. Dan ketika DIA datang, samar terdengar suara, memanggil nama, seketika sukmanya melambung dalam realitas terkininya. Ya, dirinya hanya sebagai konsultan saja. Tidak ada lebihnya, bahkan kurangnya malah banyak. Dipejamankan mata, tak merubah apa-apa.  Semua harus dilakoninya, peran dualitas harus ditetapinya, sebagai manusia masa lalu dan raga masa kini, semua dijalani dalam khusuk; sabar dalam khusuk, sembahyang dalam khusuk, berjalan dalam khusuk, menangis dalam khusuk, tertawa dalam khusuk, dsb. Dirinya harus sekuat Kuda Perang.

Berlari, dan terus berlari, hingga hilang pedih dan perih ini. Biarkanlah akan menjadi kenangan, sebuah memorinya yang tersimpan. Begitulah keinginannya, dimantapkan jalan, dibuka hati, dihirupnya nafas dalam. Bergegas sehabis subuh dia berangkat, dirinya harus membuka prosesi membuka poratla pintu gerbang ‘ruang dan waktu’ bagi sukma Siu Banci. Sukma yang akan segera menitis ke jabang bayi. Koordinatnya harus ditandai dengan satu dua tetes darah ayam jantan yang berwarna merah dibalur hitam dan warna keemasan. Ayamnya juga harus sudah bertaji. Itulah symbol ayam si Cindelaras dalam hikayat cerita rakyat.

Begitu sampai, Mas Dikonthole segera mencari ayam jantan di pasar. Setelah keliling kesana-kemari, akhirnya didapatlah ayam yang dimaksudkan. Ayam itu segera di potong dan dimasak oleh pembantu disana. Mas Dikonthole mengambil sedikit darahnya dan kemudian dicampur dnegan garam dapur. Mulailah dia menandai seluruh rumah tersebut dengan tandai silang (cross), mulai dari tingkat satu sampai tingkat dua.

Entah harus diceritakan apa, jika ayam yang dipotong tersebut seperti mengenal Mas Dikonthole, mereka layaknya seperti sahabat saja. Ayamnya bnegitu jinak, tatapannya seperti mengasihi Mas Dikonthole. Subhanalloh. Mas Dikonthole seperti merasakan jiwa ayam tersebut berko9munikasi dengannya. Maka dirinya teringat masa lalunya, bahwa dahulu dirinya sangat mencintai seekor ayam yang telah menemaninya seumur hidup. Ayam yang dahulu memenangkan setiap pertandiangan ‘adu ayam’ . Seekor ayam yang kemudian mengahantarkannya untuk menduduki tampuk kekuasaan. Semua rangkian cerita seperti terbayang, dan kesadaran Mas Dikonthole berada dalam keadaan itu. Maka dirinya mengalami kesepian yang terlalu.

Namun dnegan dibulatkan tekadnya, akhirnya ayam tersebut dipotong juga. Pada siang harinya, disajikan kepada karyawan disana. Dan anehnya, tiba-tiba bayi yang baru saja dilahirkan oleh ibunya ikut juga dibawa naik keatas untuk mengikuti prosesi doa yang dipanjatkan. Ketika smeua sudah bersiap, Tiba-tiba..blegh…des. Kesadaran Mas Dikonthole limbung, banyak sekali orang-orang masa lalu hadir disini, bahkan dari daratan china juga datang. Terlihat pengawal-pengawal Panglima Cheng Ho juga berdatangan. Energy mereka sungguh menyesakan nafas. Mas Dikonthole menggigil, rambutnya seperti seperti jartum yang masuk ke kepala. Bicarapun menjadi sulit rahsanya.

Keadaan Mas Dikonthole tak luput dari perhatian ibu sang bayi , dia menanyakan ada apa. Dengan terus terang dijawab bahwa banyak orang masa lalu yang hadir, yang menyaksikan prosesi ini. Mereka semua memberikan selamat, atas terpilihnya salah satu keturunan mereka. Menjadi wadah reinkarnasi Siu Ban Ci yaitu ibunda Raden Patah. Dalam kesadaran Mas Dikonthole mereka berjumlah ribuan, berbaris menyesakkan ruangan yang sebenarnya sangat dingin dengan dua AC besar.

Mulai dari situlah, Mas Dikonthole sering tertpapar energy, sering kehilangan kesadaran sesaat, ditarik ke masa lalu. Sepertinya Mas Dikonthole diajak agar mengerti jalan cerita sesungguhnya dari suatu kejadian sejarah. Pada saat itu Mas Dikonthole belum tahu sama sekali siapakah yang akan reinkarnasi. Hanya dia mengenali pasukan Panglima Cheng Ho. Dan yang akan reinkarnasi sejaman dengan dirinya. Proses pengenalan inilah yang sangat menyiksa bagi Mas Dikonthole, dirinya harus memasuki lorong waktu lagi. Dan ini menyaktkan jiwa raganya.

Keadaan menyusahkan ini, harus dialami Mas Dikonthole berhari-hari. Pulang kerja jiwa dan raganya sangat lelah sekali, bahkan kesadarannya sering hilang dan ini sangat membahayakan pada saat dia mengendari motornya. Hingga suatu saat, datang pencerahan, yang mengkhabarkan bahwa yang reinkarnasi adalah Ibunda Raden Patah sendiri. Dirinya sempat berdialog dengan alam, mengapa seorang wanita terlebih dahulu yang diturunkan ke bumi. Bukankah satria adalah lelaki ?. Mengapa dengan Siu Ban Ci ?. Kilah Mas Dikonthole menyergah suara angin.

Belum sempat pertanyaannya terjawab, datang perintah agar Siu Ban Ci dan keluarganya harus menjalani prosesi kembali. Prosesi penobatan  sebagi raja bagi sang jabang bayi, di sebuah klenteng terbesar disitu. Maka pagi itu Mas Dikonthole segera memberitahukan kepada ayah dan ibu sang bayi, untuk hari itu bersembahyang, nanti lihat situasinya. Tidak bisa diceritakan bagian yang ini, bagaimana orang-orang masa lalu berdatangan ke lokasi. Membuat karyawan kebingungan sendiri tanpa mengerti sebabnya apa. Bagi yang memiliki ilmu pasti akan terpapar energy mereka, badan akan terasa sakit semua, kepala akan terasa berat sekali. Dan itulah kejadiannya. Banyak karyawan kemudian seperti ‘blang’ , mereka menjadi lupa kejaidan di hari itu. Banyak keputusan yang kemudian kacau, sebab saat dikonfirmasi hari berikutnya, mereka benar-benar lupa bila pernah mengatakannya. Sehingga proyek sempat terhambat beberpa minggu karena salah komunikasi.

Sebelumnya ada kekhawatiran yang terlintas, apakah sang ibu percaya dengan apa yang dikatakannya. Namun ternyata mereka sudah diberitahu oleh ustad mereka. Oleh guru spiritual mereka sebelumnya bahwa anak yang terlahir adalah ‘sangat tua’ dan berasal dari Sumatra trahnya. Agar orang tuanya harus hati-hati memperlakukan anak mereka. Memang tidak sedetail seperti  informasi dari Mas Dikonthole.  Namun setidaknya, mereka sudah meyakini sebelumnya.

Sekarang ini, hari-hari yang dijalani Mas Dikonthole adalah disini, bersama sang cabang bayi. Entah sebab apa, kenapa sebelumnya dia mau saja di kontrak yang cukup lama, 6 bulan baginya waktu yang lama sekali. Biasanya dia lebih senang mengelana ke kota-kota. Ternyata dia harus menjadi saksi disini, menjadi saksi adanya reinkarnasi yang lainnya lagi. Tugasnya sekarang adalah menjaga keselamatan sang cabang bayi dari sesuatu yang ghaib. Dari musuh-musuh yang tak kasat mata. Kadang sangat membosankan dirinya. Namun itulah peranannya sekarang ini. Dan secara realita terkini , raganya harus bekerja secara profesional. Yah, bekerja layaknya manusia lainnya.

Seiringnya waktu berjalan, banyak kejadian aneh, dari sang bayi. Seperti mampu berkomunikasi dengan orang dewasa. Kecerdasannya terlihat nyata, keanggungannya Nampak jelas dan terasa. Lebih anehnya lagi, sang bayi tidak mau tidur ditempatnya, dia hanya mau tidur di ruangan kantor tempat Mas Dikonthole bekerja.  Dia seperti sangat nyaman disana. Seorang bayi yang sangat tenang untuk ukuran anak seumurannya. Tidak pernah menangis, apalagi rewel. Benarkah dia adalah seorang yang reinkarnasi ?. Maka terserah kita memaknainya lagi.

Biduk telah ditambatkan. Angan telah berkembang, sementara layar dibentang, bersiap mengarungi samudra lagi. Pelabuhan hati, pelabuhan kehidupan. Diam, hiruk pikuknya disini. Gelombang badai menghempas, hanya tersisa gemerisik ombak menghantam buritan. Burung camar terbang entah kemana. Sebatas  mata memandang, kerinduan alam mencengkeram. Angin mati dan langit terdiam. Hening bumi, menunggu keputusan sakral. Yang tak habis dimengerti, jeritan tanya tak bersuara. Di terjang gundah gulana, dan KAU dengar rintihan kami.

Begitulah senandung Mas Dikonthole sekarang, menjalani sepinya dengan berani. Menatap langit yang entah esoknya kapan lagi. Meninggalkan cintanya, kekuasannya, dan juga trahnya, menjalani karma yang telah diperbuatnya di masa lalu. Dia harus mengabdi kepada sang alam. Agar alam mau menerima dirinya kembali. Agar lukanya tak berbekas lagi. Meski dia sering tidak mampu bersma raganya yang sekarang ini. Raganya yang bukan siapa-siapa, raganya yang bukan apa-apa, raganya yang manusia biasa, sangat biasa, sebagaimana kebanyakan lainnya. Tidak ada tahta, tidak ada kuasa, tidak ada wibawa. Manusia normal adanya. Maka apakah dirinya menyesal ?. Entahlah..langitpun hanya diam.

wolohualam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali