Kisah Spiritual, 'Dan Alam Ghaib Mulai Berimpit'
Tuhan, arahkan mata hati.
Ketika kaki harus menapaki realita terkini. Menerobos kembali beton-beton
tinggi. Berangkat berpagi hari dan pulang menjelang pagi lagi. Semua terserah
titah-MU, merah hitam wajah ini. Pucat pasi merengkuh bumi. Dalam percaturan
dunia, peradaban manusia. Dan inilah jalan kami, menetapi tangis yang tak
berjeda lagi.
Mas Dikonthole, menghela
nafas, mengambil jarak dan melanjutkan ceritanya lagi. Diri merasa sepi dari
raganya sendiri. Bertanya kepada siapa, tidak ada yang menjawab. Mengapakah
harus ada disini. Merajut asa dan menemani kebisingan lagi. Menyeret langkah
menyusuri trotoar jalan. Menatap langit pagi, menerobos laju jalan yang tak
pernah sepi. Kemanapun pergi selalu terbawa-bawa, perasaan bersalah datang
menghantui. Masih diingat romansa cintanya. Kunci yang pernah dipatahkannya.
Lihatlah sekarang dirinya terkapar dan luka. Mendengar perih yang tak kasat
mata. Jeritan dari dalam jiwa. Ia ingin pulang.
Namun keinginan tak semudah
bayangan. Masa lalunya begitu kelam. Guratan kesakitan telah membekas sebagai
program yang harus dimainkan lagi. Menjalani fase reinkarnasinya lagi.
Keperkasaannya tak mengundang, waktu telah menggilas semua. Ia tinggal punya
jiwa. Pengorbanan yang sia-sia untuk negri ini. He-eh. Kini raga Mas Dikonthole
memikul beban yang semakin sarat. Mengerti hitam dan merahnya jalan. Bahunya
kini sudah semakin kekar, menahan gempuran rahsa. Disini dikota ini, yang tersimpan hanyalah
memori. Lukisan bayangan yang harus dimasuki.
Pekat, benarkah akan turun
hujan. Mendung, benarkah akan datang banjir menerjang. Mencuci bumi kali ini
lagi. Ho oh. Dan jiwa-jiwa yang tengah
dirundung kegalauan. Roda jaman menggilas, dan kini hidup tertatih. Berpacu
dengan waktu. Jiwanya tertinggal di masa lalu lagi. Kenangan cintanya, kenangan
kejayaannya, kenangan kekayaannya, harta , tahta, dan wanita, dalam
lingkupannya. Kini dirinya bertanya, “Saya
siapa,.?. Terlahir sebagai apa ?.” Begitu
jauhnya jarak ketertinggalan rahsa. Tak mampu dirinya merenunginya lagi.
Alam ghaib dan alam nyata
semakin berimpit, masa lalu dan masa sekarang nyaris tak berjeda. Mendaparkan
kembali jiwa Mas Dikonthole. Merasa terjebak dalam lingkaran yang membius. Kini
dia merasa tak punya apa-apa. Dan ketika DIA datang, samar terdengar suara, memanggil
nama, seketika sukmanya melambung dalam realitas terkininya. Ya, dirinya hanya
sebagai konsultan saja. Tidak ada lebihnya, bahkan kurangnya malah banyak.
Dipejamankan mata, tak merubah apa-apa.
Semua harus dilakoninya, peran dualitas harus ditetapinya, sebagai
manusia masa lalu dan raga masa kini, semua dijalani dalam khusuk; sabar dalam
khusuk, sembahyang dalam khusuk, berjalan dalam khusuk, menangis dalam khusuk,
tertawa dalam khusuk, dsb. Dirinya harus sekuat Kuda Perang.
Berlari, dan terus berlari,
hingga hilang pedih dan perih ini. Biarkanlah akan menjadi kenangan, sebuah
memorinya yang tersimpan. Begitulah keinginannya, dimantapkan jalan, dibuka
hati, dihirupnya nafas dalam. Bergegas sehabis subuh dia berangkat, dirinya
harus membuka prosesi membuka poratla pintu gerbang ‘ruang dan waktu’ bagi
sukma Siu Banci. Sukma yang akan segera menitis ke jabang bayi. Koordinatnya
harus ditandai dengan satu dua tetes darah ayam jantan yang berwarna merah
dibalur hitam dan warna keemasan. Ayamnya juga harus sudah bertaji. Itulah
symbol ayam si Cindelaras dalam hikayat cerita rakyat.
Begitu sampai, Mas
Dikonthole segera mencari ayam jantan di pasar. Setelah keliling kesana-kemari,
akhirnya didapatlah ayam yang dimaksudkan. Ayam itu segera di potong dan dimasak
oleh pembantu disana. Mas Dikonthole mengambil sedikit darahnya dan kemudian
dicampur dnegan garam dapur. Mulailah dia menandai seluruh rumah tersebut
dengan tandai silang (cross), mulai dari tingkat satu sampai tingkat dua.
Entah harus diceritakan apa,
jika ayam yang dipotong tersebut seperti mengenal Mas Dikonthole, mereka
layaknya seperti sahabat saja. Ayamnya bnegitu jinak, tatapannya seperti
mengasihi Mas Dikonthole. Subhanalloh. Mas Dikonthole seperti merasakan jiwa
ayam tersebut berko9munikasi dengannya. Maka dirinya teringat masa lalunya,
bahwa dahulu dirinya sangat mencintai seekor ayam yang telah menemaninya seumur
hidup. Ayam yang dahulu memenangkan setiap pertandiangan ‘adu ayam’ . Seekor
ayam yang kemudian mengahantarkannya untuk menduduki tampuk kekuasaan. Semua
rangkian cerita seperti terbayang, dan kesadaran Mas Dikonthole berada dalam
keadaan itu. Maka dirinya mengalami kesepian yang terlalu.
Namun dnegan dibulatkan
tekadnya, akhirnya ayam tersebut dipotong juga. Pada siang harinya, disajikan
kepada karyawan disana. Dan anehnya, tiba-tiba bayi yang baru saja dilahirkan
oleh ibunya ikut juga dibawa naik keatas untuk mengikuti prosesi doa yang
dipanjatkan. Ketika smeua sudah bersiap, Tiba-tiba..blegh…des. Kesadaran Mas
Dikonthole limbung, banyak sekali orang-orang masa lalu hadir disini, bahkan
dari daratan china juga datang. Terlihat pengawal-pengawal Panglima Cheng Ho
juga berdatangan. Energy mereka sungguh menyesakan nafas. Mas Dikonthole
menggigil, rambutnya seperti seperti jartum yang masuk ke kepala. Bicarapun
menjadi sulit rahsanya.
Keadaan Mas Dikonthole tak
luput dari perhatian ibu sang bayi , dia menanyakan ada apa. Dengan terus terang
dijawab bahwa banyak orang masa lalu yang hadir, yang menyaksikan prosesi ini.
Mereka semua memberikan selamat, atas terpilihnya salah satu keturunan mereka.
Menjadi wadah reinkarnasi Siu Ban Ci yaitu ibunda Raden Patah. Dalam kesadaran
Mas Dikonthole mereka berjumlah ribuan, berbaris menyesakkan ruangan yang
sebenarnya sangat dingin dengan dua AC besar.
Mulai dari situlah, Mas
Dikonthole sering tertpapar energy, sering kehilangan kesadaran sesaat, ditarik
ke masa lalu. Sepertinya Mas Dikonthole diajak agar mengerti jalan cerita
sesungguhnya dari suatu kejadian sejarah. Pada saat itu Mas Dikonthole belum tahu
sama sekali siapakah yang akan reinkarnasi. Hanya dia mengenali pasukan
Panglima Cheng Ho. Dan yang akan reinkarnasi sejaman dengan dirinya. Proses
pengenalan inilah yang sangat menyiksa bagi Mas Dikonthole, dirinya harus
memasuki lorong waktu lagi. Dan ini menyaktkan jiwa raganya.
Keadaan menyusahkan ini,
harus dialami Mas Dikonthole berhari-hari. Pulang kerja jiwa dan raganya sangat
lelah sekali, bahkan kesadarannya sering hilang dan ini sangat membahayakan
pada saat dia mengendari motornya. Hingga suatu saat, datang pencerahan, yang
mengkhabarkan bahwa yang reinkarnasi adalah Ibunda Raden Patah sendiri. Dirinya
sempat berdialog dengan alam, mengapa seorang wanita terlebih dahulu yang
diturunkan ke bumi. Bukankah satria adalah lelaki ?. Mengapa dengan Siu Ban Ci
?. Kilah Mas Dikonthole menyergah suara angin.
Belum sempat pertanyaannya
terjawab, datang perintah agar Siu Ban Ci dan keluarganya harus menjalani
prosesi kembali. Prosesi penobatan
sebagi raja bagi sang jabang bayi, di sebuah klenteng terbesar disitu.
Maka pagi itu Mas Dikonthole segera memberitahukan kepada ayah dan ibu sang
bayi, untuk hari itu bersembahyang, nanti lihat situasinya. Tidak bisa
diceritakan bagian yang ini, bagaimana orang-orang masa lalu berdatangan ke
lokasi. Membuat karyawan kebingungan sendiri tanpa mengerti sebabnya apa. Bagi
yang memiliki ilmu pasti akan terpapar energy mereka, badan akan terasa sakit
semua, kepala akan terasa berat sekali. Dan itulah kejadiannya. Banyak karyawan
kemudian seperti ‘blang’ , mereka menjadi lupa kejaidan di hari itu. Banyak
keputusan yang kemudian kacau, sebab saat dikonfirmasi hari berikutnya, mereka
benar-benar lupa bila pernah mengatakannya. Sehingga proyek sempat terhambat
beberpa minggu karena salah komunikasi.
Sebelumnya ada kekhawatiran yang
terlintas, apakah sang ibu percaya dengan apa yang dikatakannya. Namun ternyata
mereka sudah diberitahu oleh ustad mereka. Oleh guru spiritual mereka
sebelumnya bahwa anak yang terlahir adalah ‘sangat tua’ dan berasal dari
Sumatra trahnya. Agar orang tuanya harus hati-hati memperlakukan anak mereka.
Memang tidak sedetail seperti informasi
dari Mas Dikonthole. Namun setidaknya,
mereka sudah meyakini sebelumnya.
Sekarang ini, hari-hari yang
dijalani Mas Dikonthole adalah disini, bersama sang cabang bayi. Entah sebab
apa, kenapa sebelumnya dia mau saja di kontrak yang cukup lama, 6 bulan baginya
waktu yang lama sekali. Biasanya dia lebih senang mengelana ke kota-kota.
Ternyata dia harus menjadi saksi disini, menjadi saksi adanya reinkarnasi yang
lainnya lagi. Tugasnya sekarang adalah menjaga keselamatan sang cabang bayi
dari sesuatu yang ghaib. Dari musuh-musuh yang tak kasat mata. Kadang sangat
membosankan dirinya. Namun itulah peranannya sekarang ini. Dan secara realita
terkini , raganya harus bekerja secara profesional. Yah, bekerja layaknya
manusia lainnya.
Seiringnya waktu berjalan,
banyak kejadian aneh, dari sang bayi. Seperti mampu berkomunikasi dengan orang
dewasa. Kecerdasannya terlihat nyata, keanggungannya Nampak jelas dan terasa.
Lebih anehnya lagi, sang bayi tidak mau tidur ditempatnya, dia hanya mau tidur
di ruangan kantor tempat Mas Dikonthole bekerja. Dia seperti sangat nyaman disana. Seorang bayi
yang sangat tenang untuk ukuran anak seumurannya. Tidak pernah menangis, apalagi
rewel. Benarkah dia adalah seorang yang reinkarnasi ?. Maka terserah kita memaknainya
lagi.
Biduk telah ditambatkan. Angan telah
berkembang, sementara layar dibentang, bersiap mengarungi samudra lagi.
Pelabuhan hati, pelabuhan kehidupan. Diam, hiruk pikuknya disini. Gelombang
badai menghempas, hanya tersisa gemerisik ombak menghantam buritan. Burung
camar terbang entah kemana. Sebatas mata
memandang, kerinduan alam mencengkeram. Angin mati dan langit terdiam. Hening
bumi, menunggu keputusan sakral. Yang tak habis dimengerti, jeritan tanya tak
bersuara. Di terjang gundah gulana, dan KAU dengar rintihan kami.
Begitulah senandung Mas Dikonthole
sekarang, menjalani sepinya dengan berani. Menatap langit yang entah esoknya kapan
lagi. Meninggalkan cintanya, kekuasannya, dan juga trahnya, menjalani karma yang
telah diperbuatnya di masa lalu. Dia harus mengabdi kepada sang alam. Agar alam
mau menerima dirinya kembali. Agar lukanya tak berbekas lagi. Meski dia sering tidak
mampu bersma raganya yang sekarang ini. Raganya yang bukan siapa-siapa, raganya
yang bukan apa-apa, raganya yang manusia biasa, sangat biasa, sebagaimana kebanyakan
lainnya. Tidak ada tahta, tidak ada kuasa, tidak ada wibawa. Manusia normal adanya.
Maka apakah dirinya menyesal ?. Entahlah..langitpun hanya diam.
wolohualam
Komentar
Posting Komentar