Kisah Spiritual, Babad Kelam Tlatah Mataram

Seloka pangkur wijil asmarandhana. Kidung semesta ‘jeroning rahsa’. Tujuh petala, tlatah tanah jawa. Melahirkan romansa, duka nestapa dan cinta.  Menyudutkan nurani, menafikan hati. Atas nama tahta, logika tak bekerja. Begitukah romantika raja-raja jawa ?. Keris Mpu gandring telah menghujam ulu hati. Tak memadang itu saudara, atau manusia. Keris itu  meleset ke peradaban-peradaban setelahnya. Menjadi energy tak terkendali, menjadi daya para raja setelahnya. Bagaimanakah kesadaran para raja jawa kemudian ditata ?. Memuja harta,  memuja tahta,   dan memuja wanita. Maka segala cara, menjadi rupa manusia.  “Duh Gusti, mengapakah kejadiannya sama saja ?”

Air mata membasah, mengalir diantara bulu-bulu mata. Diam disana amat lama, kemudian mengembun, jatuh  tersudut. Helaan nafas panjang seperti tak pernah usai. Nampak seperti menahan beban ribuan semut rahsa yang sulit ditahannya lagi. “He eh, apakah dirinya terlalu keras kemarin ?.” Dia membatin penuh rahsa iba.  “Dia hanyalah sosok gadis berumur 20 an tahun, pantaskah dirinya begitu keras menghardiknya ?.” Ugh..rasa sesal seperti membongkar hatinya. Menuntut sang jiwa atas kesalahannya, berlaku sedemikian rupa. Kepada seorang putri raja yang tengah dalam hysteria menahan beban jiwa, atas tragedy yang menimpa dirinya. Mas Thole dalam lelah menahan residu rahsa, bersama angkot yang membawanya ke Jakarta.

Ya, seorang putri raja yang anggun luar biasa, cantik jelita. Telah hadir disana, dirumah Mas Thole, meminta untuk dikenali. Datang kemarin lusa, dengan raga manusia masa kini. Entah mengapa Mas Thole mengenali sebagai gadis muda belia. Hasratnya penuh pesona. Mengajak semua pria untuk memandangnya. Gemulai badannya, meliuk meruntuhkan iman satu demi satu para pria. Getar suaranya merdu seperti seruling yang melenakan jiwa. Namun sayang sekali, semua kelebihannya itu, tidaklah sebanding dengan nasib yang menimpa dirinya. Kecantikan dan keanggunannya tidak membuahkan apa-apa. Tidak membawa kebahagian bagi dirinya. Ayahnya menjadikan kecantikannya untuk senjata.

Dia dijadikan umpan untuk menaklukan lawan politik Ayahnya yang raja. Sebagaimana ulah para raja lainnya. Sungguh tragedy kemanusian yang meluluh lantakan seluruh kesadaran manusia. “Dia hanya seorang gadis belia, mengapa harus mengalami nasib sedemikian targisnya..?” Mas Thole hanya mampu menahan perihnya saja. Sisa-sisa residu rahsa yang kemarin dihantarkan sang ratu, dicobanya dipahaminya. “Apakah terlalu keras dia menghardiknya kemarin ?”  

“Gusti, bisakah hentikan tangisan anda. Sudah ber abad-abad gusti dalam keadaan begini.  Sekarang ini Gusti telah dilahirkan di raga terkini. Setelah melintasi seluruh peradaban dan jaman. Mengapa Gusti masih tidak mengerti..?”. Mas Thole seperti memaksakan pemahamannya kepada gadis itu, yang terus saja menyesali dirinya. Terus menangis dengan kerasnya, menyalahkan semuanya. Memangil-manggil ibunya. Memanggil suaminya. Dan bgerkali-kali menhujat Ayahnya. Betapa tragisnya kematian suaminya itu.

Dia terus bercerita. Bagaimana dirinya sudah terlanjur jatuh cinta kepada suaminya. Suaminya begitu penuh perhatian. Suaminya begitu tulus menyintainya. Sungguh dia benar-benar jatuh cinta. Padahal siapakah yang tidak tahu kesaktian Ki Ageng Mangir.  Kekuasaan dan kesaktiannya telah menggetarkan tanah jawa. Dan itu juga yang sangat menakuti. Sehingga Panembahan Senopati pun juga turut khawatir,  bahwa kekuasaan Ki Ageng Mangir akan menggoyahkan posisi kerajaannya. Banyak sudah utusan Panembahan yang pulang tanpa nyawa, ketika berhadapan dengannya.  Namun dengan kecantikannya dan keanggungannya sebagai ratu dia mampu menaklukan hati Ki Ageng Mangir itu. Pada awalnya dirinya menyamar sebagai gadis desa. Dan Ki Ageng jatuh cinta padanya, tanpa memandang derajatnya. Itulah yang menggetarkan hatinya. Maka dia yakin akan ketulusan cinta suaminya itu. Mana ada jaman sekarang ini lelaki yang seperti itu.

Ki Ageng Mangir adalah sosok pemuda yang sangat tampan, agung dan berwibawa. Sungguh sulit menaklukannya. Sosok yang sangat di idam-idamkan bagi seluruh wanita. Dan entah bagaimana ceritanya jika lelaki itu yang kemudian menjadi suaminya. Pada awalnya adalah senbuah misi. Tugas sebagai seorang mata-mata ganda. Namun kejadiannya dia malah menemukan  seorang lelaki mampu menaklukan hatinya dengan kelembutan dan cinta. Hampir saja dirinya melupakan misi rahasia yang dibebankan Ayahnya, untuk membunuh Ki Ageng Mangir.

Dari niat misi yang dibawanya dari sang Ayah, kejadiannya jadi berbalik dirinya benar-benar jatuh cinta. Skenario tidak sebagaimana yang disusun sang Ayah. Ayahnya melupakan perasaan seorang wanita. Kini  anaknya benar-benar jatuh cinta dan sangat sayang kepada suaminya itu. Dan Ayahnya, sang Panembahan Senopati tidak percaya itu. Dalam anggapan sang Ayah, yang tahu tabiat anaknya yang keras, sombong, dan selalu memandang rendah lelaki, tidak mungkin anaknya akan jatuh cinta kepada lelaki. Banyak sudah lelaki yang raja ditolaknya mentah-mentah, bahkan kadang diusir saat melamarnya. Maka menjadi sangat tidak masuk diakal jika anaknya akan jatuh cinta. Itulah argumenatsi sang Ayah. Maka alibi apapun dari sang anak yang belum juga mau melaksanakan misinya, membuat kemarahan Ayahnyanya memuncak.

Diceritakan suatu hari sang Ayah berbaik hati, dengan alasan untuk silaturahmi, dia disuruh menghadap kepada sang Ayah. Dirinya harus membawa suaminya untuk ‘sowan’  sebagai layaknya seorang anak menantu kepada Ayah mertuanya. Tentu saja, sebagaimana seorang wanita yang berbakti, hal itu menyenangkan hatinya. Harapan sang Ayah akan menerima Ki Ageng Mangir sebagai anak menantu yang direstui mengalahkan logikanya. Kenyataan bahwa Ki Ageng Mangir adalah lawan Panembahan senopati diabaikannya.

Harapannya adalah sebagai mana wanita-wanita lainnya, ingin suaminya diakui sebagai anak juga oleh orang tuanya.  Harapan inilah yang membuat dirinya begitu semangat untuk datang. Meski pada awalnya dirinya agak curiga dengan perubahan sikap sang Ayah, namun semua ditepiskannya. Diyakinkannya suaminya, bahwa Ayahnya sekarang sudah berubah. Dengan bujuk rayu terus diajaknya suaminya. Dan demi sayangnya Ki Ageng Mangir kepada istrinya. Maka dia rela merendahkan dirinya untuk bersujud dihadapan lawannya ini, yang juga telah menjadi Ayahnya. Dikalahkan semua ego , ditanggalkannya semua atribut kerajaannya, dibuangnya harga dirinya, dia bersujud bersimpuh dikaki Panembahan Senopati. Semua dilakukan demi membahagiakan sang Istri. Semua rahsa bercapur mengharu biru, membuncah dalam jiwa dan sanubari Ki Ageng Mangir, antara harta, tahta dan wanita, kini berhimpitan dalam jiwanya. Bagaimana dia mengalahkan semuanya demi cinta kepada wanita. Tahta telah dibuangnya, harta baginya buat apa. Dia hanya cinta kepada istrinya Ratu Pambayun. Cintanya benar-benar telah mengalahkan logikanya.

Dia tahu bagaimana telengasnya Panembahan Senopati. Seorang raja yang membunuh lawan-lawannya tanpa berkedip. Seorang raja yang haus akan dipuja dan kekuasaan. Seorang raja yang telah menorehkan kesadaran lainnya dalam peradaban manusia. Adalah seorang raja yang telah mengajak kaum lelembut untuk berkolaborasi dalam dimensi manusia. Seorang raja yang dengan kesaktiannya mampu mengawini seorang ratu lelembut Nyi Roro Kidul. Ratu lelembut yang berkuasa dipantai selatan. Sehingga karenanya mau mendukung kekuasaannnya. Kemudian menjadi tradisi raja-raja setelahnya. Sungguh seorang raja yang sangat ambisius. Dia sadar itu, kepada siapakah dirinya tengah bersujud.

Istrinya mengamati dari jarak dua tombak. Hatinya berbungah saat menyaksikan adegan, seorang anak menantu yang tengah bersimpah dikaki Ayah mertuanya. Sebuah keadaan yang tidak dialaminya dahulu saat pernikahannya. Kini tengah disaksikannya dihadapan matanya. Betapa dirinya tidak gembira. Lega sekali rahsanya., Beban batinya seperti terlepas. Dia berharap ayahnya dan suaminya ini dapat akur sebagiamana keluarga lainnya. Mereka smeua dapat mengalahkan ego diri mereka untuk berkuasa. Itulah harapannya.

Lain yang dipikirkan Ratu Pambayun. Lain pula apa yang dipikirkan Panembahan Senopati. Dia merasa saat itulah kesempatan bagi dirinya membunuh lawan politiknya yang paling besar dan kuat. Kapan lagi dia akan dapat membunuhnya jika tidak saat sekarang ini saat kepala sang lawan ada ditangannya, tengah bersimpuh dikakinya. Kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Maka dipegangnya kepala Ki Ageng Mangir dengan kuatnya, sepersekian detik, tanpa sempat Ki Ageng menyadari, kepala itu dibenturkan dengan kerasnya kebatu pualam yang menyangga kursi kebesaran Panembahan Senopati. Pecah kepala, dan seketika itulah nyawa Ki Ageng Mangir melayang.

Menyaksikan adegan yang tidak diduganya sama sekali, jelas Ratu Pembayun seketika histeris. Bagai dihantam  halilintar, gelap sesaat keadaannya. Dan setelah itu dia meraung tak terkendali melihat tubuh suaminya yang tak bernyawa. Langit bergetaran, alam ghaib terguncang menyambut hati yang begitu sakitnya. Kemudian jiwanya melesat kealam semesta. Mengarungi cahaya demi cahaya. Berkitaran menangis di mayapada. Menggiriskan sekali. Membuat badai dimana-mana. Kekuatan cinta, kekuatan hati, dan bagaimana jika semua  bersatu dalam tersakiti. Maka alam telah menceritakannya kembali. Disini, dirumah Mas Thole, dia hadir dengan membawa luka, dan rahsa yang telah mengguncangkan semesta.

“Gusti..gusti..ingatlah sekarang Gusti sedang dalam dimensi apa..?” Berulang kali Mas Thole mengingatkan, bahkan tak jarang dengan bentakan, demikian kerasnya. Namun tangisnya seperti tak mampu dihentikannya, dia berkali-kali memohon ampun. “Ampun paman..ampun paman, saya mengerti..tapi…?.”  Kembali diulang-ulangnya kesedihannya atas kejadian yang menimpa itu. Dia menyesali dirinya, menyesali kebodohannya, kenapa suaminya dia bawa kepada Ayahnya. Dia padahal tahu itu, siapakah Ayahnya sesungguhnya. Tidak mungkin Ayahnya akan melepaskan suaminya. 

Setelah puas memaki Ayahnya, dia memanggil-manggil suaminya lagi. Sungguh dia ingin berbakti kepada Ayahnya, namun disisi lainnya dia juga mencintai suaminya. Dualitas yang tidak mampu diselesaikannya. Dualitas hati, bagai buah simalakama, kini dia dalam gamang. Jiwa gamang yang melintas peradaban, begitu mengguncang jiwa. Merinding Mas Thole karenanya. Bulu-bulu seluruh badanya serasa berdiri karenanya. Kembali Mas Thole mengingatkannya, bahwa waktunya tidak banyak, prosesi harus segera dihentikan. Gusti Ratu Pambayun harus mulai menerima takdir dirinya. Alam ghaib sudah mulai mendeteksi kehadirannya, maka dia harus kembali kepada kesadaran raga terkininya. Jika tidak akan membahayakan jiwanya dan juga raga terkininya.

Entah mengapa, Mas Thole merasa harus melakukan itu, harus segera menyudahi prosesi itu. Dalam mata batinnya ada orang-orang yang akan mencari Gusti Ratu Pambayun. Ada orang yang memang tengah diutus untuk memburunya. Sebab Gusti Ratu Pambayun adalah kunci yang akan mampu mengalahkan kaum lelembut dari lautan. Dialah yang akan mampu menghadap anak buah Nyi Blorong (Nimas Pandan Sari), seorang ratu ular dari kerajaan laut. Merupakan anak kesayangan Nyi Roro Kidul. Ratu Pambayun yang akan mampu meredam sepak terjang Ratu Roro Kidul. Dan dia juga  pula yang akan mengingatkan sang Panembahan Senopati yang sudah reinkarnasi terlebih dahulu. Untuk segera kembali ke jalan fitrahnya. Sebab keadaan sang Panembahan Senopati tetap tidak berubah, walau sudah reinkarnasi berkali-kali. Begitu keadaan yang dilihat Mas Thole.

Ya,  prosesi saat itu harus di akhiri. Sebentar lagi akan ada orang-orang yang datang ke rumah yang akan memburunya. Begitulah ilapat yang diterima Mas Thole, seperti genta yang ditabuh. Sehingga memaksa dirinya harus keras terhadap Gusti Ratu Pambayun. Lawan-lawan politiknya sudah berinkarnasi juga melalui raga-raga terkini. Mereka para spionase yang terus melacak keberadaannya. Maka Gusti Ratu Pambayun harus segera meninggalkan tempat ini. Meski seakan-akan terasa mengusirnya pergi. Dan meski keadaan dirinya yang dalam kesedihannya tidak bisa dituntas hari ini. Meski kesedihannya masih terus menggayutinya. Namun Mas Thole memaksakan hati, dia harus segera pergi demi kebaikan dirinya itu.

Benar saja, setelah kepulangannya dari menghantarkan raga terkini Gusti Ratu Pambayun, mencari ojek. Mas Thole  berjalan kaki pulang ke rumah. Dari arah belakang datang dengan sepeda motor 2 orang diantarakan oleh Pak Aryo. “Ugh..apakah mereka ini firasat itu..?” Batin Mas Thole, mencoba meraba hatinya. “Benarkah karena mereka ini , sehingga Gusti Ratu harus segera pergi..” Mas Thole membenarkan dan dalam keyakinan itu.  Merekalah para pemburu orang-orang masa lalu. Dan untung saja mereka tidak berpapasan, selisih hanya beberapa menit saja. Maka Mas Thole bersyukur sekali.

Kejadian itu sudah di hari minggu lalu (21/4) lalu, keadaannya kini sudah semakin membaik. Beberapa sms dicuplikan untuk menjadi bagian dari kisah spiritual ini. Sebuah kisah anak manusia yang terus berusaha mencari jati dirinya. Sebuah kisah yang tak mungkin hilang dari kesadaran manusia. Sebagaimana kisah Cinta Ratu Sima dan Begawan Kaliresi, sebagaimana kisah cintanya Raden Panji dan Dewi Sekar Taji. Dan juga kisah cinta lainnya. Sungguh sebuah kisah cinta yang hanya diketahui seperti apa rahsanya oleh pelakunya sendiri. Sebab kisah cinta seperti  itu tidak pernah mampu dibahasakan oleh bahasa manusia.

Kemarin malam saya mimpi banjir besar. Saya jalan kearah air, tapi ada yang memanggil-manggil saya dari belakang, akhirnya saya ikut orang-orang itu. Kotanya seperti sudah ditinggalkan orang. Dua hari ini masih penyelarasan. Kalau sedang sendiri seperti keadaan saya waktu di stasiuan saat pulang kemarin dari rumah bapak. Rahsanya sedih luar biasa, kereta seperti datang dari kanan dan kiri, saya seperti jalan sendirian di dunia ini. Apakah orang biasa akan sanggup menerima nasib seperti itu ?”  

“Sekarang semua jelas, kenapa saya seperti punya 2 kepribadian selama ini. Kenapa saya bisa sangat manja dan seperti anak kecil. Tapi saya juga bisa naik gunung sampai puncak seperti laki-laki. Kenpa juga orang-orang itu berbicara tentang berbagai sosok di belakang saya. Dari mulai putri, pengawal, Dll. Hari ini saya sudah berbeda. Alhamdulillah semua sudah terbuka. Siapakah jatidiri saya. “

Alhamdulillah, hanya syukur yang dalam. Jika alam sekarang menerima kehadirannya. Alam akan berpesta, sekali lagi air akan tertumpah dimana-mana. Menyambut kelahiran para kesatria. Kesatria-kesatria dalam pingitan alam sekarang ini tengah berjuang untuk lahir kembali, di raga-raga manusia terkini. Lahir dikancah peradaban yang berbeda dari asal muasalnya. Mereka harus berjuang mengalahkan masa lalunya sendiri terlebih dahulu, sebelum mampu mengemban misi suci sang alam, untuk memperbaiki negri. Negri yang disebut sebagai Nusantara baru. Negri yang bebas dari korupsi dan ulah rendah manusia. Semoga para kesatria cepat mengerti, bahwa mereka dilahirkan kembali bukan tanpa misi. Mereka harus paham dan tahu, jika kehadirannya memang dikehendaki.

wolohualam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali