Kisah Spiritual, Risalah Hati Sang Penjelajah Cahaya
“Ijinkanlah ya
Allah, aku kenang sejenak perjalanan, dan ijinkan ku mengerti makna bagaimana
rahsa sakit itu..” Tertekuk
lirih dalam sujud. Telah diarungi peradaban, penjelajah cahaya, memaknai sebuah
kata cinta. Samar didengar lembut suara memanggil, seketika sukma melambung.
Menyapa dan terbang entah kemana. Jalan setapak terbungkus kabut. Tak memberikan
makna apa-apa. Gelap keadaannya. kelap-kelip kunang-kunang hanyalah
kebisuan. Berjalan dengan mata hati,
bernafas dengan rela. Mendaki dengan penuh harap, dimanakah matahari. Mengikuti
petunjuk-Mu. Sebab raga tak disana.
Sekarang berada disini, dimasa ini.
“Ingin
kubentangkan layarku ke samudera luas.. menuju pelabuhan hati,” Mencari
sisa-sisa suara. Buluh perindu yang menggetar kalbu. Namun hanyalah gema suara
yang selalu berteriakan kata rindu. “Dimanakah
kau kekasih ?. Diraga siapakah engkau berada ?.” Diam dalam raga yang bergeletaran. Menahan
magma di mulut yang tak berkata. Gemuruh Gunung Lokon, Gunung Guntur, Gunung
Roketdam minggu ini, lebih dari itulah keadaan jiwanya.
“Duh Gusti
bilakah cinta sampai begini..?.” Bertasbih jiwa, mencoba mengerti. Sosok sang penjelajah cahaya, membawa lara
hati, melintasi negri. Telah sampailah disini di peradaban terkini. Mencari
dimanakah kekasih reinkarnasi. Menelisik kesana kemari. Blam..blam..diam
bersama jiwa Mas Thole dalam sujud sebahyang. Ugh..!. Sebuah kisah cinta masa lalu, berharap
dikenali. Ringkih Mas Thole meminta, memohon belas kasih-Nya. Sebab ini bukanlah
masanya lagi.
Diakah saudara kembarnya, Mas
Thole meraba. Sang penjelajah cahaya, yang menyelusupkan rahsa. Mengkisahkan romansa
dalam buaian harap dan nista. “Jangan..jangan
sekarang..!” Mas Thole meradang. Ditepiskannya sosok bayangan yang mengajaknya. Sebab dirinya
meminta ditemani ke seantero negri, mengkayuh kemana saja cintanya dibawa
pergi. “Dimanakah kekasih hati
reinkarnasi lagi..?.” Duh, tanyanya
memelas hati.
“Tidak..tidak
sekarang..!.”
Sekali lagi diulang. Telah habis tenaga, telah lelah dicerca, telah punah suka, mau apalagi ?. “Sudahilah, alam beserta kita, belajarlah
tentang cinta sang alam, kasihnya tidak sempat meminta, marilah kita bersama,
bertasbih bersama angin, burung, gunung, dan alam semesta. Belajar bagaimana
sejatinya cinta !.” Marilah saudaraku,
diamlah dalam liputan sang Aku, bersamaku, disini tiada rahsa, diamnya semesta
adalah bersaksi tiada Tuhan selain
Allah. Begitulah cinta yang semestinya.
“Marilah sujud
dan ber-dzikir bersamaku, wahai saudara kembarku, sang penjelajah cahaya..!” Malam menukik menghampiri pagi, dalam subuh
sembahyang, mereka berdua khusuk,
memohon ampunan-Nya, menepati rahsa cinta dalam nuansa tasbihnya. Suara jiwa begitu
indah kedengarannya, kepatuhan larut dalam kepasrahan. Dalam bisik buaian ikrar
yang dalam,
“Lasyarikalahu wabidzalika umirthu wa ana minal
muslimin..!”
Jiwa, raga,
dan rahsa mereka kembalikan kepada pemilik-NYA. Dalam sembahyang. Dalam subuh
yang lama. Dalam kepasrahan sang hamba. Betapa nikmatnya suasana keadaannya.
Keadaan jiwa yang mukhlis. Kenikmatan Islam, Iman, dan Ihsan.
Alif Lam Lam Ha (Allah)
AMIN
**
Komentar
Posting Komentar