Kisah Spiritual, Ilmu Leluhur Yang Diturunkan


Kereta KRL comuter Line melaju dengan cepatnya. Semua gerbong sarat dengan penumpang, tak ada ruang gerak sedikitpun. Mas Thole menatap jendela, senja yang begitu indah. Awan bergumpal, nampak panorama alam yang fantastik sekali. Awan seperti berjejer rapi membentuk sebuah cerita.  Matahari sedikit malu keluar dari baliknya. Ditatapnya terus bentuk awan satu persatu. Ada bersitan dihati agar diam mengamati apa yang akan terjadi. Terlihat awan sedikit demi sedikit membentuk dirinya, seiring dengan laju kereta,  terbetuklah sesosok wajah. Dari celah kedua matanya, dan dari mulut serta lubang hidungnya, cahaya matahari keluar dengan redup. “Bukankah tu sosok Prabu Siliwangi..?.” Mas Thole membatin, sambil berusaha menafikan keberadaan penampakan itu. Mencoba biasa saja. “Argh,, ini hanya fatamorgana..!” Dia berkali menepisnya. Dia berfikir, bagaimana realitas hidupnya nanti, jka semua hal selalu dihubungkannya dengan ghaib. Bukankah dirinya nanti akan semakin ter-aliensi saja. Lagi pula dilihat para penumpang lainnya tenang-tenang saja, seperti tidak melihat apa-apa.

Yah, hari ini memang ada daya dorong luar biasa, seperti ada misi, yang memaksanya harus bertemu dengan seseorang di Depok. Sebenarnya sudah sejak kamis (11/4) kemarin daya dorong tersebut mengkristal. Entah mengapa dia merasa harus bertemu dengan salah satu adik Sang Prabu. Akalnya jelas menolaknya. Bertanya untuk apa ?. Apa juga kata orang nanti ?. Klenik lah, tahayullah, atau jangan-jangan dirinya akan disangka sebagai penyebar ajaran sesat semisal Eyang Subur. “ Ugh..jangan deh, jangan..!.”  Dia tidak mau itu terjadi pada dirinya. Apalagi dia beberapa kali mengirim email dan sms kepada Sang Prabu dan  tidak mendapatkan respon yang cukup.  Semakin diabaikannyalah daya  itu. “Ah biar sajalah, mungkin dirinya salah mengenali daya di raganya itu.”  Begitulah pikirannya kemarin itu. 

Lain fikirannya, lain pula kemauan sang alam. Memasuki maghrib  ada gumpalan hawa menekan ulu hatinya.  Menekannya begitu kuat, seperti ditusuk dengan sebilah belati, kemudian diputar sehingga seluruh jaringan turut berputar. Nyeri sekali, luar biasa nyerinya tak terkata. Kalau orang orang awam menyebutnya sebagai angin duduk. Angin yang akan mampu merenggut nyawa manusia pada posisi apa saja. Seiring dengan itu, badannya tiba-tiba seperti sebuah balon yang dipompa.  Mengembang dan terasa badannya semakin membesar saja.

Angin yang masuk ke badannya begitu terasa. Dirinya benar-benar seperti mampu menyaksikan bagaimana angin tersebut mengisi sel-sel ketubuhannya, perlahan dan pasti angin tersebut menerobos, dan kemudian berputar-putar diseluruh tubuhnya. Ketika sudah penuh, angin itu bergerak menjelajahi setiap rongga di dalam raganya, menimbulkan pusaran yang terus mengaduk-aduk jiwa raga dan pikirannya,   menimbulkan rasa negh dan sakit kepala yang akut. “Ada apakah ini..!” Keluh Mas Thole saat itu. Dia tidak memiliki prasangka apapun. “Apakah terkait dnegan suasana alam yang dia lihat dipagi hari tadi..” Hanya itu yang mampu dianalisanya.

Diambillah air wudhu dilakukanlah sholat maghrib. Sholat yang biasa saja dalam ukurannya. Namun perlahan sedikit mampu mengurangi rasa sakit di ulu hati,  sementara angin masih terus bergolak di dalam raganya. Menimbulkan bunyi aneh  di dalam perutnya. Setelah basa-basi sebentar dengan owner perusahaan. Selanjutnya Mas Thole berpamitan pulang. Sepanjang perjalanannya itulah, penderitaannya menghebat. Angin itu terus bergolak, seperti tengah menumpahkan amarahnya, menimbulkan sensasi aneh.

Kadang angin itu mendesak ke ulu hati, kadang ke jantung menekan dengan kuat, kadang di perut, dll. Menimbulkan rasa lemas dan lemah luar biasa. Ruh nya seperti dikunci dan tak mampu menggerakkan badannya. Tiap kali dia harus berhenti untuk mengeluarkan angin yang menerjang ingin keluar dari mulutnya, menimbulkan suara yang tak enak didengar. Tiga jam dalam perjalanan pulang diatas motornya, dia dalam keadaan begitu. Lemasnya tak terkira, lemahnya tak terkata lagi. Maka sesampainya dirumah dia sudah tidak mampu menyangga badannya. Hanya sekedar meminum teh panas saja dia sudah tidak punya daya lagi.

Dalam keadan setengah sadar, Mas Thole seperti merasakan saat istrinya menggosok dirinya dengan minyak kayu puti dan memaksanya untuk minum jamu tolak angin. Setelah itu blash...kesadarannya hilang sama sekali. Hanya pusaran angin saja yang terus terasa di badannya. Keadaannya itu, berlangsung sampai pagi. Hanya ter bangun  sholat subuh, dan begitu lagi sampai jam 10 pagi. Badannya benar-benar seperti bukan miliknya lagi. Maka karena itu di pagi ini dia terpaksa harus ijin tidak bisa berangkat sebagaimana jam kerja.

Begitulah keadaannya, dengan sisa-sisa tenaga, dia berusaha untuk tetap bekerja. Sebab dia hanya seorang  free lance saja. Jika tidak bekerja akan dipotonglah pembayarannya. Disepanjang perjalanan ke kantor kembali dianalisanya kejadian yang tak biasa itu. Dan terlintas saja, untuk menghubungi Sang Prabu via sms mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan adiknya itu. Entah bagaimana harus bertemu hari ini juga. Syukurlah  Sang Prabu meresponnya. Maka dibuatah perjanjian, mereka bertemu di stasiun Depok lama, jam 6 sore selepas pulang kerja. Dan saat sekarang inilah Mas Thole berada sdang dalam perjalanan kesana. Setelah seperti biasa bersapa dengan Ratu Sima via email, mengkhabarkan perkembangan perjalanan spiritual ini. 

Sulit diceritakan dengan logika bagaimana perjalanan yang biasa saja ke Depok, serasa begitu beratnya. Tulang serasa tak mampu mengyangga badannya. setiap langkahnya adalah sebuah perjuangan. “Mengapa dengan badannya ini..?” Mas Thole hanya bisa pasrah saja. Menaiki tangga stasiun Tanah Abang seperti mendaki langit. Setiap langkah dia harus berhenti dan mengatur nafasnya kembali. “Apakah memang dia sudah setua ini..?”  Batinnya, mengapa mendaki tangga saja seperti seorang jompo saja. Nafasnya benar-benar tinggal satu-satu.  Bila diceritakan kepada orang lain, pasti akan menjadi bahan tertawaan saja. Biarlah ini dia lakoni sendiri saja, biarlah hanya Allah dan dia saja yang mengerti ini. Sungguh jika tiada daya dari Allah maka kita manusia tidak bisa apa-apa. Bahkan hanya menggerakan jari pun tentu tidak akan bisa. palagi melangkahkan kaki, membawa badan ini ?. Sungguh semua daya dari Allah adanya.

Raganya tidak apa-apa mengapa tiada daya ?. Maka kembali dirinya dibenturkan atas pemahaman realitas dan ghaib, dengan keadaanya ini. Manakah yang lebih realitas, lebih nyata;  lampu yang menyala ataukah arus listriknya ?. Dan manakah yang nyata apakah program yang diinstal di komputer ataukah tampilan yang kita lihat di layar monitornya ?. Dari sisi manakah kita akan melihat realitas dan ghaibnya. Lampu tidak akanmenyala jika tidak ada aliran listrik. Layar monitor tidak akan terbaca jika tidak ada program yang dinstal di dalamnya. Lantas bagaimanakah dengan program yang diinstal di komputer, program tersebut  mampu membangun cerita yang kemudian akan kita saksikan di layar monitor kita. Kita semua tinggal menyaksikannya saja.  Program tersebut ternyata menyusun materi-materi, agar terbentuk sebagaimana yang diinginkannya di layar kaca dan sekaligus dengan seluruh atribut yang melengkapi romansanya.

Bagaimanakah jika itu semua kita analogikan dikehidupan nyata ini. Bukankah alam nyata semisal dengan itu. Alam nyata adalah semisal monitor yang merupakan refleksi dari program-program yang sudah diistal sebelumnya.  Program yang sudah di instal di simpan dalam Lauh Mahfuz. Rangkaian kejadiannya persis bagaimana cara bekerjanya sebuah komputer. Maka manakah yang lebih nyata kalau begini keadaannya. Jika manusia tahu ada program yangmengatur itu semua, maka yakinlah bahwa dia akan berbendapat bahwa program itulahyang lebih nyata.  Seperti itulah jalan pemikiran para programer. Mereka mampu memnyusun jalan cerita, mereka mampu membuat suatu program animasi apa saja, yang kemudian dapat kita saksikan di layar monitor.

Disinilah Mas Thole ingin menggaris bawahi semua kejadian, agar kita semua  tidak terjebak ke dalam suatu anggapan keliru.  Menganggap bahwa kita memiliki kekuatan yang mampu merubah kejadian. Kita seperti merasa bahwa kita memiliki kelebihan untuk mencipatkan suatu keajaiban. Kemudian dengan ini kita merasa hebat. Dan menafikan keberadaan sang Programer, menafikan keberadaan Tuhan yang sudah mengatur semua kejadian di muka bumi ini. Sungguh  bahkan semisal daun yang jatuhpun, keadaan itu  sudah pula  diatur-Nya.  Sebagaimana ilustrasi di komputer yang saya usung tersebut. Sungguh manusia hanya bisa merasa, dan merasa bisa saja. Manusia tidak mengerti bahwa  semua sudah dalam liputan-Nya.

Pemahaman ini perlu sekali Mas Thole sampaikan kepada semua rekan yang seperjalanan dalam spiritual. Terutama adalah keluarga Sang Prabu yang dianugrahi Tuhan memiliki kemampuan diatas manusia-manusia biasa lainnya. Sebuah anugrah alam yang hanya diberikan kepada orang-orang terpilih. Di dalam kekuatan yang besar terkandung suatu tanggung jawab yang besar sekali. Inilah statement yang harus merasuk kedalam jiwa mereka. Tidak ada kekuatan yang tidak akan dimintakan pertanggung jawabannya. Baik itu digunakan ataupun tidak. Merka harus tahu itu. Banyak sekali manusia-manusia yag diberikan kekuatan ini (baca kajian simbol Shaad) ternyata malah dengan kekuatan tersebut membuat mereka  berpaling dan ingkar  kepada Allah.

Mas Thole mewanti-wanti dengan sungguh-sungguh, sekali lagi,  bahwa baik digunakan ataupun tidak kekuatan dan kelebihan tersebut tetap akan dimintakan pertanggung jawabannya. Jika tidak digunakan maka jadilah dia manusia yang merugi. Jika digunakan untuk jalan kemungkaran maka dia juga termasuk manusia yang merugi pula. Pilihannya adalah dia harus menggunakan kemampuannya untuk di jalan Allah maka dia akan termasuk golongan orang-orang yang beruntung.  Semua berjalan secara sunatulloh, baik mereka sadari atau tidak sadari kemampuan tersebut, tetap akan dimintakan pertanggung-jawabannya. Itulah konsekwensi alam atas mereka yang diberikan kelebihan. Baik pun meraka berdalih tidak tahu, tidak  merasa atas kelebihan diri mereka, atau dalih-dalih lainnya,  tetap juga  mereka akan dimintakan pertanggung jawabkan. Tidak ada celah atas mereka, pilihannya hanyalah sukarela atau terpaksa.

Tidakkah mereka berfikir bahwa Allah telah menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya pada diri mereka. Tidakkah itu sudah ditunjukkan berulang kali sesuatu yang tidak biasa itu. Apakah mereka menganggap bahwa itu suatu permainan anak kecil saja ?. Dan menganggap itu sebagai hal remeh ?.  Jika begitu keadaannya, akan berlakulah kepastian dari Allah atas orang-orang yang ingkar nikmat.  Tidakkah mereka merasa bahwa ada yang tidak biasa pada diri mereka itu. Mengapakah mereka tidak bersyukur, dan menggunakan kelebihannya untuk berjalan di jalan Allah. Perlu bukti-bukti apalagi sehingga meereka semua paham. Jika sekarang ini sudah saatnya, bahwa mereka diminta untuk  menggunakan kekuatan (shaad) yang sudah diberikan alam kepada diri-diri mereka itu. Begitulah suara awan yang tertangkap oleh Mas Thole, yang secara lamat Mas Thole sadar bahwa itu disampaikan oleh sosok awan yang menyerupai wajah Sang Prabu Siliwangi. Hal itu disadari setelah-nya.

Bagaimana tidak keras ancaman yang disampaikan atas diri mereka. Kemampuan ilmu (shaad) yang dimiliki oleh Sang Prabu Siliwangi, diturunkan dan diwariskan kepada mereka sekeluarga. Sang Prabu Siliwangi mampu menaklukan jin dan syetan, mampu berbicara dengan hewan, angin, dan awan. Alam semesta adalah raganya, maka sang Prabu mampu merasakan gejolakan rahsa yang terjadi di alam ini. Sebagaimana dia merasakan tubuhnya sendiri.  Sang Prabu mampu menyaksikan dan merasakan sedihnya alam, mampu merasakan marahnya sang alam, dsb dsb. Masih ditambah kemampuan olah pikir sang Prabu Siliwangi, kecerdikannya, ahli strategy, dan lain sebagainya, sungguh manusia yang pilih tanding di jamannya. Dan ilmu-ilmu  itu, diwariskan dan diturunkan  kepada  satu keluarga. Benarkah mereka tidak merasa diberikan kelebih atas lainnya ?. Kembali Mas Thole hanya menarik nafas dalam, menyerahkan urusan keyakinan kepada masing-masing orangnya. Dan kepada sidang pembaca, Mas Thole berpesan agar bijak menyikapi kisah-kisah ini.

Mas Thoole tidak ingin mengkisahkan bagian yang akan membuat fitnah. Cukuplah dirinya yang menjadi saksi, sebab wilayah tersebut jika diceritakan akan menimbulkan bahaya berkelanjutan. Kejadian ghaib hingga saat ini masih terus diperdebatkan. Meskipun manusia sudah berulang kali ditunjukkan bahwa keghaiban adalah sebuah realitas.   Jaman dahulu kemampuan berbicara jarak jauh~ lintas benua,  masih masuk dalam ranah ghaib. Masih digolongkan ke dalam ilmu klenik. Namun sekarang ini hal tersebut sudah masuk ke dalam ilmu science dengan diketemukannya radio dan hand phone. 

Pada kisah berpindahnya singgasana Ratu Bilkis, kejadiannya juga sama saja,  masih sesuatu yang ghaib. banyak orang berspekulasi. Namun tidak bagi Mas Thole, perpindahan tersebut merupakan keniscayaan, hanya usikan pada materi saja. Suatu saat manusia pasti akan mampu menemukan alat yang dapat memindahkan materi. Suatu hal yang pasti, sebab al qur an sudah mengisyaratkannya.  Maka manakah yang ghaib dan manakah yang realitas sekarang ini ?, sesungguhnya semua itu sesuatu yang  berimpit saja. Tergantung pada dimensi manakah kesadaran manusianya itu.

Mas Thole bernafas panjang, mencari pijakan atas alur kisahnya ini. Pesan-pesan alam yang harus disampaikan terasa keras sekali kali ini. Maka dia harus banyak diam berdialog dengan mereka. Mencoba memberikan pemikiran yang tak sama. Bahwa setiap manusia berada dalam makomnya masing-masing, hidayah semua dari Allah. Kita tidak bisa memaksakan pemahaman kita kepada orang lainnya. Dan alam mencoba mengerti apa yang diutarakan Mas Thole sehingga bahasa dalam kisah inipun tidak sekeras dan setajam yang seharusnya. Hanya saja alam menyesalkan, tidakkah mereka punya hati ?. Tidakkah manusia memeiliki hati yang dengan itu mereka dapat membedakan mana kefasikan dan mana ketakwaan. Dengan hati itulah manusia akan mengenali manakah daya Allah dan manakah yangbukan. Bukalah hati, ingatlah Allah sang Maha Pencipta. Hanya itu, yang dipinta.

Hmm..Mas Thole tidak mampu berkata lagi. Semua urusan dia kembalikan kepada Allah. Tugasnya malam ini adalah membuka hijab salah satu adik Sang Prabu. Dalam kesadarannya adiknya yang satu ini memiliki sesuatu yang menggiriskan sekali. Bahkan syetanpun akan mampu ditundukannya. Dia mengerti bahasa rahsa, bahasa yang belum menjadi informasi. Bahasa yang belum berbetuk kata. Maka bahasa makhluk apapun yang memeiliki intelejensia akan mampu dipahaminya. Dia juga mampu menyelusup mempengaruhi jalan pikiran orang tersebut melalui rangkaian yang tak terbaca. Luar biasa sekali. Bukan hipnotis atau sejenis ilmu dangkal lainnya. Sungguh ini adalah bahasa program pada alam semesta. bgaiman jika bahasa program ini mampu dia baca kemudian dia susupi dengan virus ?. Tentunya tidaklah perlu dibicarakan lagi, bagaimana akibatnya itu.

Keadaan raganya memang memprihatinkan sekali. Sebuah peristwa hebat telah mengguncang batinnya. Maka dirinya tidak sadar jika ada sesuatu gumpalan hitam pekat yang menempel di punggungnya. Seperti sebuah benalu yang akan terus merasuki jiwanya. Merusak secara perlahan otak dan pikirannya. Dan jika sudah terlambat, kekuatannya tidak akan mampu dikendalikannya. Dia akan menuruti apa saja yang terlintas, sudah tentu akibatnya akan membuat frekwensi lalu lintas pikiran manusia terganggu.

Kemampuannya ini akan mengganggu sistem navigasi manusia, sehingga manusia akan hilang kendali dan melakukan kecerobohan-kecerobohan yang akan dapat membahayakan diri manusia itu sendiri dan juga lainnya. Jika orang nya kebetulan dekat dengan api, maka dia akan melakukan kebodohan yang tak dimengertinya. Akibatnya tentu saja kebakaran hebat disana. Semoga Allah senantiasa menjaganya. Dia memang tidak tahu keadaanya  itu. Maka kerena itulah alam  rupanya mengutus Mas Thole, sebab begitu pentingnya, jangan sampai nanti terlambat. Dengan pintu dimensi Pajajaran sudah terbuka, maka keadaan dirinya hanya menghitung hari. Inilah rupanya menjadi sebab, alam memaksa Mas Thole untuk kesana. Sebelum semuanya terlambat. Mas Thole hanya menghela nafas tidak mengerti. Seserius inikah keadaannya ?. He eh, kembali dirinya dipaksa agar mampu meyakini dimensi ghaib ini. Walau, semua itu tidaklah semudah yang digambarkan.

Jika kemudian ketiga adik Sang Prabu terbuka hijabnya, maka semua itu hanya karunia Allah semata. Ketiga adik Sang Prabu sudah mampu dikenali Mas Thole, mereka orang-orang masa lalu dari jaman jauh sebelum berrdirinya kerjaan Sang Prabu sendiri. Mereka masih sejaman dengan kerajaan Sunda Kuno. Mereka hidup pada kira-kira abad 8 M, 10 M dan 12 M.Mas Thole hanya merasa tugasnya cukup dengan adik yang satunya saja. Dan anehnya sepulangnya dari tempat kejadian. Badannya sudah enak digerakannya lagi. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Nafasnya sudah tidak satu-satu lagi. Dia mampu manghirup nafas segar sebagaimana biasanya. Subhanalloh..sungguh Maha Tinggi Engkau Ya Allah. Ampunilah hambamu yang lemah ini, yang tidak pernah mengerti , yang selalu saja berdalih, dan selalu saja membantah perintah-Mu.

Malam semakin menggelap, Mas Thole kembali melaju dengan KRL malam. Commuter terakhir yang menuju Bekasi, telah menunggunya. Terlambat 5 menit saja dia bisa saja bermalam di stasiun itu. Sebab jika dengan angkutan biasa mungkin bisa 4 jam sampai di rumah nya lagi. Kecuali jika dia naik taksi. Alhamdulillah semua berjalan lancar saja. Segala puji bagi AllahTuhan sekalian alam.

wolohualam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali