Kisah Spiritual, Perjalanan ke Barat 1 (Mencari Koordinat Paku Bumi)


Asswrwb.

Rute perjalanan untuk menancapkan paku bumi sepertinya harus diselesaikan minggu ini. Maka hari ini daerah Bekasi. Kemudian besok ke Bandung dahulu, entah kenapa ada daya dorong kesana bertemu adik sang Prabu. Dari sana rencana akan ke Tangkuban Prahu, kembali ke Jakarta dahulu, mengurus ijin tidak masuk kerja. Kemudian ke Dieng, jogya, dan Surabaya, bila memungkinkan akan terus ke Bali. Jika tidak akan kirim orang. Sebab yang 2 hanyalah pelengkap saja. Rasanya ini petunjuknya.

Mohon doanya semoga dilancarkan jalannya.

salam 



Email itu dikirimkan tertanggal hari Jumat, 19  April 2013, sementara jam dikomputer Sang Prabu menunjukkan  pukul 10.33 WIB. Telah dikirimkannya secara bersamaan kepada Ratu Sima dan Prabu Siliwangi. Email ini kemudian serasa menjadi misteri tersendiri bagi Mas Thole sebab bersamaan dengan dikirimkan email dihari tersebut, kemudian  banyak terjadi keanehan di alam itu sendiri. Alam sepertinya bergolak, cuaca tiba-tiba berubah. Awan siang itu, dihari itu juga seperti datang  tiba-tiba  di langit Jakarta, layaknya dikomando saja. Mereka berkumpul berbaris dan berlapis-lapis, sehingga menimbulkan suasana aneh lainnya. Entah dari mana  datangnya awan itu. Mas Thole dalam keheranannya sendiri. Namun  Mas Thole sempat juga  mengirim SMS kepada Pak Aryo, menginformasikan hal ini. Mengingatkan Pak Aryo agar waspada, rahsa awan itu tidak sama sebagaimana biasanya. “Pasti akan terjadi apa-apa..” Itulah firasat Mas Thole. Namun saat itu Pak Aryo menanggapi biasa saja. Menganggap bahwa awan tersebut adalah awan biasa. “Rasanya tidak sama..!” batinnya kala itu berkata. “Itu bukan awan biasa..”.  Mas Thole tetap dalam keyakinan itu.

Entah kenapa saat itu Mas Thole merasa ada daya dorong luar biasa untuk bersegera menancapkan Paku Bumi. Alam sepertinya sudah bergolak. Itulah yang mendorong Mas Thole untuk mewartakannya kepada 2 orang rekannya itu bahwa saatnya telah tiba. Maka dengan keyakinan tersebut,  segera saja dia mengirimkan email pemberitahuan itu. Maka jika kejadiannya kemudian alam memberikan tanda, dengan adanya gempa di Dieng dan banjir yang melanda dimana-mana. “Apakah itu suatu kebetulan saja.” Itulah pertanyaannya hingga kini. “Benarkah ada keterkaitan atas upaya yang dilakukannya ini..” Sungguh, dia berdoa memohon hidayah-Nya atas apa-apa yang tidak dimengertinya ini. Dirinya merasa, bahwa perjalanan spiritualnya menjadi semakin aneh saja. Alam seakan-akan selalu mengikuti kemana pergerakannya, dengan mengirimkan tanda-tanda yang bisa dibaca. He-eh. Semua itu kok terangkai keadaannya, Dieng dan Garut sebagai porosnya. Ratu Sima dan Prabu Siliwangi. Apakah itu kebetulan lagi ?. Ugh..!.

Dari berita telah didengarnya bahwa, pada hari Jumat itu juga “Gempa melanda kawasan Dieng, Wonosobo, semalam. (19/4) Gempa terjadi beberapa kali dalam kurun waktu yang lama. Warga sejumlah desa mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Data yang dikeluarkan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG) menyebutkan gempa mulai terasa pukul 19.00-19.25 WIB dan telah terekam gempa sebanyak 86 kali dengan maksimum 10-100 mm dengan lama gempa 10-70 detik. Kemudian pada 19.27-20.03 WIB terekam gempa 86 kali dengan maksimum 10-100 mm dengan lama gempa 10-70 detik.”

Pada hari yang bersamaan itu juga Jum’at (19/4). Sungai Citarum meluap. Mengakibatkan rumah-rumah warga sepanjang bantaran sungai terendam air. Hujan turun dengan hebatnya, sehingga Jakarta pun seperti biasa penuh dengan air. Menjadi keberuntungan bagi Mas Thole, entah ada daya dorong apa, dia sehabis sholat Jum’at meminta ijin untuk pulang lebih awal dari biasanya. Seperti sebuah kebetulan lagi, sebab karena itu dirinya tidak ikut terjebak banjir di Jakarta. Dirinyapun sesungguhnya  saat itu juga tidak mengerti jikalau hari itu Jakarta dilanda banjir. Setelahnya Pak Aryo mengkhabarinya, barulah dia paham itu.

Rupanya Allah telah memberikan kemudahan bagi dirinya, agar tidak terjebak banjir. Subhanalloh. “Apakah ini kebetulan juga ?” Entahlah jika ditanya dia pun tidak mengerti. Kebetulan yang benar-benar kebetulan lagi. Serba kebetulan akhirnya menjadi sebuah keyakinan atas kebenaran lakunya dalam keyakinan dirinya. Itulah yang membuat dirinya semakin berserah kepada-Nya. Sungguh hal ini menjadikan kisah spiritual Mas Thole dan kawan-kawan menjadi sebuah kisah yang misteri keadaannya bagi diri mereka semuanya. Semakin dalam mereka memasuki semakin terasa bahwa diri mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa. Betapa dahsyatnya kekuatan alam. Begitu menakutkan bagi mereka jika berani melawan kehendak alam. Mereka semakin pasrah dan berserah keadaannya.

Jalur ke Garut terputus, Rancaekek tidak dapat dilalui. Air telah merambah kemana-mana. Sungguh Mas Thole tidak mengerti sebelumnya. Setelah mengirimkan email tersebut, dia asyik dengan pekerjaannya, dan pulang lebih awal, untuk menyusun tenaga, sebab subuh esok hari dia akan memulai perjalanan spiritualnya. Maka karena itu dia tidak melihat berita apa-apa. Pikirannya hanya terfokus kepada bagaimana nanti perjalanannya itu. Yaitu bagaimana prosesi  untuk mulai menancapkan Paku Bumi. Dari petunjuknya dia hanya tahu, pertama di daerah Bekasi, namun koordinat yang pasti belum diketahuinya. Setelahnya baru dia akan ber-jalan ke Gunung Tangkuban Prahu. Dan khabar perihal adanya banjir baru saja diterimanya saat dia sedang dalam perjalanan ke Bandung, saat ketika jalur yang dilaluinya ternyata terjadi kemacetan disana-sini. Hingga menyebabkan jam 5 sore dia baru sampai di Gn Tangkuban Prahu.  Baru saat itulah dirinya serius melihat gelagat alam.

Saat begitu keluar dari rumahnya sehabis sholat subuh, dirinya memang sudah disambut dengan hal yang tak biasa. Nampak awan dilangit sana diarah barat, arah dimana dia keluar kompleks, sesosok wajah punokawan (petruk) terpampang jelas, tersusun dari awan gelap yang menggumpal. Dia sempat biacara kepada tukang ojek yang mengantarkannya. Hidungnya yang ditampilkan dalam ukuran yang lebih besar dari pada biasanya. Sehingga agak sedikit mendekati moncong srigala. “Petruk sedang marah rupanya.”   Dari arah lurus nampak sedang tidur, namun jikia disambung dengan bantalnya, maka jadilah sosok srigala. Fenomena yang menjadi pertanda. Mas Thole berusaha merangkainya. Sayang dirinya belum mampu memaknainya.

Beberapa kali dia menaiki bus yang salah, 3 kali di turun naik bus. Bus yang ditumpanginya pun tampak bumel, lusuh dan kotor. Namun hanya bus itu yang tersedia. Perjalanan yang cukup menyiksanya dalam suasana yang panas. Kemacetan akibat banjir mulai terasa saat memasuki tol cileunyi hingga dia harus berjalan beberapa kilometer. Suasana panas dan terik yang tak biasa menyergahnya. Panas dan banjir, dua hal yang berbeda. He-eh. Rencananya untuk ke tempat sang adik sang Prabu terpaksa ditunda, dia harus balik arah, lebih baik langsung ke Gn. Tangkuban Prahu. Maka dia istirahat sejenak makan. Setelahnya  dia mencari angkot yang membawanya ke terminal ledeng. Sulit sekali mencari kendaraan kesana pada saat itu. Dia sudah mulai resah.

Jam sudah menunjukan poukul 13.00 WIB siang, kemacetan masing belum terurai disana. Syukurlah ada informasi travel yang bisa mengantarkannya ke Bandung. Transit sebentar di pol travel tersebut dia sambung dengan angkot menuju terminal ledeng. Waktu sudah menunjukan pukul 14.30 WIB, saat menuju terminal ledeng, disaat itulah kembali diriny amelihat fenomena alam yang sama seperti saat keluar rumah padi tadi. Hanya bedanya hidungnya sang Petruk sudah normal. Mas Thole hanya menghela nafas dan berdoa. “Pertanda apakah yang dilihatnya, Ya Allah..?.”  

Dari terminal ledeng terus berganti mobil Elf, menuju Gn Tangkuban Prahu. Terlihat seperti biasa saja. Namun sungguh berat sekali, badan serasa membawa ribuan manusia yang digendongnya. Turun naik , berganti-ganti angkutan, sebab sering salah jalan. Biaya yang dianggrakan ternyata meledak berkali lipat sebab situasi yang tak diduganya sama sekali itu. Dia harus merogoh kocek berkali lipat. Namun apa boleh buat dia harus sampai disana sebelum pukul lima. Sebab katanya puncak akan ditutup jam 17.00 WIB .  Maka tanpa ditawar-tawar dia naik angkot yang membawanya ke puncak, dicartyernya untuk menunggu sampai dia selesai disana.

Singkat cerita, tepat jam 17.00 WIB, Alhamdulillah dia sampai di puncak. Pandanganya terus berkelebat. Dari mulai masuk hingga , dia terus memandang kawah si Ratu sayang kabut tebal dan asap belerang menutupinya. Jangankan untuk melihat dasarnya, sekedar untuk melihat sisi luarnya saja sudah tidak bisa. Kabut asap begitu tebal. Suasana pegunungan menjelang malam, bagaimanakah kita bisa memandang. Gelap mulai turun di puncak sana. He-eh. Suasana berkabut disenja itu. Syukur keadaan disana masih cukup banyak wisatawan. Maka bergegaslah Mas Thole mencari koordinat titik yang akan dijadikan tiang pancang Paku Bumi. Sambil berjalan dirinya terus bertasbih, didakinya satu bukit, kemudian berpindah bukit satunya lagi. Di bukit kedua, bukit yang terlihat cukup besar, akhirnya dia berhenti. Firasatnya mengatakan bahwa disitulah tempatnya.

Pada sebuah batu mulailah Mas Thole meminta petunjuk dimanakah kordinat yang pas. Tempatnya sudah benar, namun dimanakah titik yang harus digali. Kesadarannya mulai menerobos kesegela penjuru, tasbihnya dari hati menyelusup keseluruh syarafnya. Menghadp Tuhannya dengan kepasrahan. Selesai dengan puja puji kepada-Nya. Dirinya memohon petunjuk dimanakah lokasi titiknya. Kesadarannya juga melihat ke langit, seakan-akan pintu dimensi terbuka, ada cahaya dari langit, sinar putih meleset ke tempat dimana bukit berada. Seperti titik yang menembakkan sinar lurus vertikal.

Kemudian kesadarannya beralih, menyambangi malaikat gunung. Memohon restunya, jika tempatnya akan dijadikan paku bumi nusantara. Dalam kesadarannya mereka berdatangan satu demi satu kepada Mas Thole. Mereka mengkhabarkan bahwa Mas Thole memang sudah ditunggu, mereka semua mengikhlaskan tempat ini digunakan sebagai tiang pancang Paku Bumi. Seluruh makhluk di gunung ini merestui.

Mendapat restu tersebut Mas Thole masih penasaran, maka dirinya kemudian memohon kepada Tuhan, jika benar tempat ini memang direstui, dan jika memang benar yang dimaksudkan adalah gunung ini, dia memohon ditunjukan bukti-bukti, agar dirinya yakin. Dalam kesadarannya ada suara yang memintanya untuk segera membuka mata.

Dan..BLAAR…!. Nampaklah dihadapannya kawah si Ratu, luar biasa sekali, dasarnya air yang berwarna-warni terlihat jelas. Padahal sebelumnya, pagar pembatas saja terlihat samar. Apalagi dasarnya. Semua kabut seakan buyar begitu saja. Hilang entah kemana. Keadaannya benar-benar cerah sekali. Di puncak tersebut tidak terlihat kabut sama sekali. Allha hu akbar.   Diatas langit nampak bulan separo, alam benar-benar cerah. Di bawah dasar  terlihat cahaya, seperti kilauan matahari. Suasana alam yang benar-benar fantastik.

 “Bagaimana itu bisa terjadi..?” Betulkah itu tanda bahwa tempat ini direstui. Dia merasa dirinya berdoa hanya sebentar saja, mungkin tidak sampai 3 menit. Jadi sangat aneh jika kabut yang sebegitu tebalkya bisa hilang dengan tiba-tiba. Ugh..!. Jika bukan karena kekuasaan Allah , hal ini tidak mungkin terjadi. Rekannya sempat mengabadikan proses tersebut, mulai saat mereka masuk. Dan saat kawah dalam keadaan cerahnya. Nampak di handphone cahaya seperti pendaran makhluk-makhluk terlihat dalam kamera. Jelas sekali bukan cahaya biasa.

Setelah melihat fenomena tersebut, maka bergegas Mas Thole mencari titiknya. Dirinya berusaha menggali, namun sayang sekali daerah tersebut ternyata bebatuan. Sementara Paku Bumi hanyalah sepotong bamboo yang sudah diberkati saja. Mana mampu menembus bebetuan. Sewkali lagi keajaiban terjadi. Mas Thole hanya mengkorek bagian atasnya saja, kemudian dengan bantuan batu dipukulnyalah Paku Bumi. Secara normal seharunya bamboo yang kalah melawan batu. Tapi, subhanalloh, bamboo tersebut langsung melesak kedalam bebatuan, masuk sangat dalam. Hanya sedikit bagian atasnya saja, seperti kena bekas pukulan. Setelah dirasa cukup dalam, ditutupnya lagi bebatuan tersebut dengan kerikil. Bilapun tidak ditutup Mas Thole tidak khawatir, sebab bamboo itu tidak kelihatan.

Allah hu akhbar.. ! lega rasanya tugasnya sudah selesai. Betapa seharian dirinya harus berjuang untuk mencapai kesana , berangkat habis subuh dini hari dan baru sampai di tempat itu pukul 17.00 WIB. Berkejaran dengan waktu nyaris saja dia tidak bisa naik keatas. dan sekarang ini tepat 17.30 WIB seluruh prosesi selesai. Terdengar suara para para penjaga mengusir mereka semua. Alhamdulillah. Mas Thole menarik nafas lega.

Menuruni kemalbi puncak Gn Tangkuban Prahu baru beberapa menit, kabut sudah menebal kembali. Suasana kembali kepada keadaan semula, memang disitu sudah menjelang maghrib, tentu saja gelap keadaannya. Mas Thole membatin, “Benar fenomena diatas tadi adalah sebuah pertanda, sebab dibawah beberapa meter saja, keadaan sudah gelap, kenapa diatas sana malah terang, dan lagi suasana terangnya nyaman sekali, redup dengan cahaya bersumber dari dasar kawah Ratu”  Tak jeda dia betasbih kepada-Nya. Belum begitu lama, keluar melaju di jalan utama. Mas Thole kembali melihat ke angkasa. Ugh..!. Penampakan sang Petrulk kembali terlihat disana. Allah hu akbar.

Perjalanan ke Barat kali pertama sudah sedemikian sulitnya. Bagaimanakah nanti perjalanan yang kedua. Ke wilayah Dieng, Jogja, dan Surabaya. Apakah keadaannya lebih sulit ataukah mungkin lebih mudah. Sudahlah itu dipikirkan nati saja. Dia harus menyiapkan realitas untuk kesana. Rupanya dia harus siap berkorban waktu, tenaga dan biaya. Sebab tidaklah semudah dan sesimple yang direncanakannya. Untung Ratu Sima tak segan membantunya. Namun alam sedemikian responsive dengan ini. Bagaimanakah nanti ?. Sungguh Mas Thole, diam dalam mengamati laju angin. Sambil berdoa semoga Tuhan memudahkan perjalannya ke barat kali kedua nanti yang akan dijalaninya berangkat hari Jumat minggu ini. Insyaallah.

wolohualam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali