Kisah Spiritual, Perjalanan ke Barat 1 (Mencari Koordinat Paku Bumi)
Asswrwb.
Rute perjalanan untuk menancapkan paku bumi sepertinya harus
diselesaikan minggu ini. Maka hari ini daerah Bekasi. Kemudian besok ke Bandung
dahulu, entah kenapa ada daya dorong kesana bertemu adik sang Prabu. Dari sana
rencana akan ke Tangkuban Prahu, kembali ke Jakarta dahulu, mengurus ijin tidak
masuk kerja. Kemudian ke Dieng, jogya, dan Surabaya, bila memungkinkan akan
terus ke Bali. Jika tidak akan kirim orang. Sebab yang 2 hanyalah pelengkap
saja. Rasanya ini petunjuknya.
Mohon doanya semoga dilancarkan jalannya.
salam
Entah kenapa saat itu Mas
Thole merasa ada daya dorong luar biasa untuk bersegera menancapkan Paku Bumi.
Alam sepertinya sudah bergolak. Itulah yang mendorong Mas Thole untuk
mewartakannya kepada 2 orang rekannya itu bahwa saatnya telah tiba. Maka dengan
keyakinan tersebut, segera saja dia
mengirimkan email pemberitahuan itu. Maka jika kejadiannya kemudian alam memberikan
tanda, dengan adanya gempa di Dieng dan banjir yang melanda dimana-mana. “Apakah
itu suatu kebetulan saja.” Itulah pertanyaannya hingga kini. “Benarkah ada keterkaitan atas upaya yang
dilakukannya ini..” Sungguh, dia berdoa memohon hidayah-Nya atas apa-apa
yang tidak dimengertinya ini. Dirinya merasa, bahwa perjalanan spiritualnya
menjadi semakin aneh saja. Alam seakan-akan selalu mengikuti kemana
pergerakannya, dengan mengirimkan tanda-tanda yang bisa dibaca. He-eh. Semua
itu kok terangkai keadaannya, Dieng dan Garut sebagai porosnya. Ratu Sima dan
Prabu Siliwangi. Apakah itu kebetulan lagi ?. Ugh..!.
Dari berita telah
didengarnya bahwa, pada hari Jumat itu juga “Gempa melanda kawasan Dieng, Wonosobo, semalam. (19/4) Gempa terjadi
beberapa kali dalam kurun waktu yang lama. Warga sejumlah desa mengungsi ke
tempat-tempat yang aman. Data yang dikeluarkan dari Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana (PVMBG) menyebutkan gempa mulai terasa pukul 19.00-19.25 WIB dan telah terekam gempa
sebanyak 86 kali dengan maksimum 10-100 mm dengan lama gempa 10-70 detik.
Kemudian pada 19.27-20.03 WIB terekam gempa 86 kali dengan maksimum 10-100 mm
dengan lama gempa 10-70 detik.”
Pada hari yang bersamaan itu
juga Jum’at (19/4). Sungai Citarum meluap. Mengakibatkan rumah-rumah warga
sepanjang bantaran sungai terendam air. Hujan turun dengan hebatnya, sehingga
Jakarta pun seperti biasa penuh dengan air. Menjadi keberuntungan bagi Mas
Thole, entah ada daya dorong apa, dia sehabis sholat Jum’at meminta ijin untuk
pulang lebih awal dari biasanya. Seperti sebuah kebetulan lagi, sebab karena
itu dirinya tidak ikut terjebak banjir di Jakarta. Dirinyapun sesungguhnya saat itu juga tidak mengerti jikalau hari itu
Jakarta dilanda banjir. Setelahnya Pak Aryo mengkhabarinya, barulah dia paham
itu.
Rupanya Allah telah
memberikan kemudahan bagi dirinya, agar tidak terjebak banjir. Subhanalloh. “Apakah ini kebetulan juga ?” Entahlah
jika ditanya dia pun tidak mengerti. Kebetulan yang benar-benar kebetulan lagi.
Serba kebetulan akhirnya menjadi sebuah keyakinan atas kebenaran lakunya dalam
keyakinan dirinya. Itulah yang membuat dirinya semakin berserah kepada-Nya.
Sungguh hal ini menjadikan kisah spiritual Mas Thole dan kawan-kawan menjadi
sebuah kisah yang misteri keadaannya bagi diri mereka semuanya. Semakin dalam
mereka memasuki semakin terasa bahwa diri mereka tidak memiliki kemampuan
apa-apa. Betapa dahsyatnya kekuatan alam. Begitu menakutkan bagi mereka jika
berani melawan kehendak alam. Mereka semakin pasrah dan berserah keadaannya.
Jalur ke Garut terputus, Rancaekek
tidak dapat dilalui. Air telah merambah kemana-mana. Sungguh Mas Thole tidak
mengerti sebelumnya. Setelah mengirimkan email tersebut, dia asyik dengan
pekerjaannya, dan pulang lebih awal, untuk menyusun tenaga, sebab subuh esok
hari dia akan memulai perjalanan spiritualnya. Maka karena itu dia tidak
melihat berita apa-apa. Pikirannya hanya terfokus kepada bagaimana nanti
perjalanannya itu. Yaitu bagaimana prosesi
untuk mulai menancapkan Paku Bumi. Dari petunjuknya dia hanya tahu, pertama
di daerah Bekasi, namun koordinat yang pasti belum diketahuinya. Setelahnya
baru dia akan ber-jalan ke Gunung Tangkuban Prahu. Dan khabar perihal adanya
banjir baru saja diterimanya saat dia sedang dalam perjalanan ke Bandung, saat
ketika jalur yang dilaluinya ternyata terjadi kemacetan disana-sini. Hingga
menyebabkan jam 5 sore dia baru sampai di Gn Tangkuban Prahu. Baru saat itulah dirinya serius melihat
gelagat alam.
Saat begitu keluar dari
rumahnya sehabis sholat subuh, dirinya memang sudah disambut dengan hal yang
tak biasa. Nampak awan dilangit sana diarah barat, arah dimana dia keluar
kompleks, sesosok wajah punokawan (petruk) terpampang jelas, tersusun dari awan
gelap yang menggumpal. Dia sempat biacara kepada tukang ojek yang mengantarkannya.
Hidungnya yang ditampilkan dalam ukuran yang lebih besar dari pada biasanya.
Sehingga agak sedikit mendekati moncong srigala. “Petruk sedang marah rupanya.” Dari
arah lurus nampak sedang tidur, namun jikia disambung dengan bantalnya, maka jadilah
sosok srigala. Fenomena yang menjadi pertanda. Mas Thole berusaha merangkainya.
Sayang dirinya belum mampu memaknainya.
Beberapa kali dia menaiki
bus yang salah, 3 kali di turun naik bus. Bus yang ditumpanginya pun tampak
bumel, lusuh dan kotor. Namun hanya bus itu yang tersedia. Perjalanan yang
cukup menyiksanya dalam suasana yang panas. Kemacetan akibat banjir mulai
terasa saat memasuki tol cileunyi hingga dia harus berjalan beberapa kilometer.
Suasana panas dan terik yang tak biasa menyergahnya. Panas dan banjir, dua hal
yang berbeda. He-eh. Rencananya untuk ke tempat sang adik sang Prabu terpaksa
ditunda, dia harus balik arah, lebih baik langsung ke Gn. Tangkuban Prahu. Maka
dia istirahat sejenak makan. Setelahnya
dia mencari angkot yang membawanya ke terminal ledeng. Sulit sekali
mencari kendaraan kesana pada saat itu. Dia sudah mulai resah.
Jam sudah menunjukan poukul
13.00 WIB siang, kemacetan masing belum terurai disana. Syukurlah ada informasi
travel yang bisa mengantarkannya ke Bandung. Transit sebentar di pol travel
tersebut dia sambung dengan angkot menuju terminal ledeng. Waktu sudah
menunjukan pukul 14.30 WIB, saat menuju terminal ledeng, disaat itulah kembali
diriny amelihat fenomena alam yang sama seperti saat keluar rumah padi tadi. Hanya
bedanya hidungnya sang Petruk sudah normal. Mas Thole hanya menghela nafas dan
berdoa. “Pertanda apakah yang dilihatnya,
Ya Allah..?.”
Dari terminal ledeng terus
berganti mobil Elf, menuju Gn Tangkuban Prahu. Terlihat seperti biasa saja.
Namun sungguh berat sekali, badan serasa membawa ribuan manusia yang
digendongnya. Turun naik , berganti-ganti angkutan, sebab sering salah jalan.
Biaya yang dianggrakan ternyata meledak berkali lipat sebab situasi yang tak
diduganya sama sekali itu. Dia harus merogoh kocek berkali lipat. Namun apa
boleh buat dia harus sampai disana sebelum pukul lima. Sebab katanya puncak
akan ditutup jam 17.00 WIB . Maka tanpa
ditawar-tawar dia naik angkot yang membawanya ke puncak, dicartyernya untuk
menunggu sampai dia selesai disana.
Singkat cerita, tepat jam
17.00 WIB, Alhamdulillah dia sampai di puncak. Pandanganya terus berkelebat. Dari
mulai masuk hingga , dia terus memandang kawah si Ratu sayang kabut tebal dan
asap belerang menutupinya. Jangankan untuk melihat dasarnya, sekedar untuk
melihat sisi luarnya saja sudah tidak bisa. Kabut asap begitu tebal. Suasana
pegunungan menjelang malam, bagaimanakah kita bisa memandang. Gelap mulai turun
di puncak sana. He-eh. Suasana berkabut disenja itu. Syukur keadaan disana
masih cukup banyak wisatawan. Maka bergegaslah Mas Thole mencari koordinat
titik yang akan dijadikan tiang pancang Paku Bumi. Sambil berjalan dirinya
terus bertasbih, didakinya satu bukit, kemudian berpindah bukit satunya lagi.
Di bukit kedua, bukit yang terlihat cukup besar, akhirnya dia berhenti.
Firasatnya mengatakan bahwa disitulah tempatnya.
Pada sebuah batu mulailah
Mas Thole meminta petunjuk dimanakah kordinat yang pas. Tempatnya sudah benar,
namun dimanakah titik yang harus digali. Kesadarannya mulai menerobos kesegela
penjuru, tasbihnya dari hati menyelusup keseluruh syarafnya. Menghadp Tuhannya
dengan kepasrahan. Selesai dengan puja puji kepada-Nya. Dirinya memohon
petunjuk dimanakah lokasi titiknya. Kesadarannya juga melihat ke langit,
seakan-akan pintu dimensi terbuka, ada cahaya dari langit, sinar putih meleset
ke tempat dimana bukit berada. Seperti titik yang menembakkan sinar lurus vertikal.
Kemudian kesadarannya
beralih, menyambangi malaikat gunung. Memohon restunya, jika tempatnya akan
dijadikan paku bumi nusantara. Dalam kesadarannya mereka berdatangan satu demi
satu kepada Mas Thole. Mereka mengkhabarkan bahwa Mas Thole memang sudah
ditunggu, mereka semua mengikhlaskan tempat ini digunakan sebagai tiang pancang
Paku Bumi. Seluruh makhluk di gunung ini merestui.
Mendapat restu tersebut Mas
Thole masih penasaran, maka dirinya kemudian memohon kepada Tuhan, jika benar
tempat ini memang direstui, dan jika memang benar yang dimaksudkan adalah
gunung ini, dia memohon ditunjukan bukti-bukti, agar dirinya yakin. Dalam kesadarannya
ada suara yang memintanya untuk segera membuka mata.
Dan..BLAAR…!. Nampaklah
dihadapannya kawah si Ratu, luar biasa sekali, dasarnya air yang berwarna-warni
terlihat jelas. Padahal sebelumnya, pagar pembatas saja terlihat samar. Apalagi
dasarnya. Semua kabut seakan buyar begitu saja. Hilang entah kemana. Keadaannya
benar-benar cerah sekali. Di puncak tersebut tidak terlihat kabut sama sekali.
Allha hu akbar. Diatas langit nampak
bulan separo, alam benar-benar cerah. Di bawah dasar terlihat cahaya, seperti kilauan matahari.
Suasana alam yang benar-benar fantastik.
“Bagaimana itu bisa terjadi..?”
Betulkah itu tanda bahwa tempat ini direstui. Dia merasa dirinya berdoa hanya
sebentar saja, mungkin tidak sampai 3 menit. Jadi sangat aneh jika kabut yang
sebegitu tebalkya bisa hilang dengan tiba-tiba. Ugh..!. Jika bukan karena
kekuasaan Allah , hal ini tidak mungkin terjadi. Rekannya sempat mengabadikan
proses tersebut, mulai saat mereka masuk. Dan saat kawah dalam keadaan
cerahnya. Nampak di handphone cahaya seperti pendaran makhluk-makhluk terlihat
dalam kamera. Jelas sekali bukan cahaya biasa.
Setelah melihat fenomena
tersebut, maka bergegas Mas Thole mencari titiknya. Dirinya berusaha menggali,
namun sayang sekali daerah tersebut ternyata bebatuan. Sementara Paku Bumi
hanyalah sepotong bamboo yang sudah diberkati saja. Mana mampu menembus
bebetuan. Sewkali lagi keajaiban terjadi. Mas Thole hanya mengkorek bagian
atasnya saja, kemudian dengan bantuan batu dipukulnyalah Paku Bumi. Secara
normal seharunya bamboo yang kalah melawan batu. Tapi, subhanalloh, bamboo
tersebut langsung melesak kedalam bebatuan, masuk sangat dalam. Hanya sedikit
bagian atasnya saja, seperti kena bekas pukulan. Setelah dirasa cukup dalam,
ditutupnya lagi bebatuan tersebut dengan kerikil. Bilapun tidak ditutup Mas
Thole tidak khawatir, sebab bamboo itu tidak kelihatan.
Allah hu akhbar.. ! lega
rasanya tugasnya sudah selesai. Betapa seharian dirinya harus berjuang untuk
mencapai kesana , berangkat habis subuh dini hari dan baru sampai di tempat itu
pukul 17.00 WIB. Berkejaran dengan waktu nyaris saja dia tidak bisa naik
keatas. dan sekarang ini tepat 17.30 WIB seluruh prosesi selesai. Terdengar
suara para para penjaga mengusir mereka semua. Alhamdulillah. Mas Thole menarik
nafas lega.
Menuruni kemalbi puncak Gn
Tangkuban Prahu baru beberapa menit, kabut sudah menebal kembali. Suasana
kembali kepada keadaan semula, memang disitu sudah menjelang maghrib, tentu
saja gelap keadaannya. Mas Thole membatin, “Benar fenomena diatas tadi adalah sebuah pertanda, sebab dibawah beberapa meter saja, keadaan
sudah gelap, kenapa diatas sana malah terang, dan lagi suasana terangnya nyaman
sekali, redup dengan cahaya bersumber dari dasar kawah Ratu” Tak jeda dia betasbih kepada-Nya. Belum begitu
lama, keluar melaju di jalan utama. Mas Thole kembali melihat ke angkasa.
Ugh..!. Penampakan sang Petrulk kembali terlihat disana. Allah hu akbar.
Perjalanan ke Barat kali
pertama sudah sedemikian sulitnya. Bagaimanakah nanti perjalanan yang kedua. Ke
wilayah Dieng, Jogja, dan Surabaya. Apakah keadaannya lebih sulit ataukah mungkin
lebih mudah. Sudahlah itu dipikirkan nati saja. Dia harus menyiapkan realitas untuk
kesana. Rupanya dia harus siap berkorban waktu, tenaga dan biaya. Sebab tidaklah
semudah dan sesimple yang direncanakannya. Untung Ratu Sima tak segan membantunya. Namun alam sedemikian responsive dengan ini.
Bagaimanakah nanti ?. Sungguh Mas Thole, diam dalam mengamati laju angin. Sambil berdoa
semoga Tuhan memudahkan perjalannya ke barat kali kedua nanti yang akan dijalaninya
berangkat hari Jumat minggu ini. Insyaallah.
wolohualam
Komentar
Posting Komentar