Kisah Spiritual, Akhir Kisah Perjalanan Sang Pertapa Sakti


Langit hijau pucuk daunnya
Mentari jingga melepas warna
Di perbukitan sana..
Semburat merah kuning berganti
Mata kecil tak diam, lurus dingin menatap
Wahai alam, langitmu tanpa tiang..?
Kening berkerut menepis sisa keringat pemikiran
Mentarimu  menyala tanpa sumbu..?
Awan mengejar angin ataukah angin menghalau awan
Tak puas menyaksikan, lelah sudah kesadaran
Gunungmu memaku bumi
dan aku sekarang bisa berjalan disini ..?
Aku bertanya kepada kesepian..?
...
Langit hijau pucuk daunnya
buahnya ranum memikat hati
itulah duniaku..
Mata kecil tak diam, lurus dingin menatap
Bertanya, “Siapakah yang peduli bila aku disini..?”
...

Mas Dikonthole menatap tajam sosok itu. Mencoba merasakan apa yang ingin dia katakannya.  Matanya yang kecil, sangat tidak simetris keadaannya membuat siapapun akan giris melihatnya. Mata kiri lebih kecil daripada mata kanannya. Perbandingannya sangat menyolok sekali.  Bundaran hitam membulat memenuhi putihnya, kelopaknya sebesar kelereng. Kosong tapi dingin sekali, seperti ada hawa pedang menusuk, jika bertatapan dengannya. Ada perasaan ingin melepaskan diri dari pengaruh matanya. Dialah sang Pertapa yang dikunjungi di pegunungan Dieng.

Badannya lusuh, jenggotnya tak terawat, rambutnya awut-awutan, gimbalnya bertebaran banyak sekali, kukunya kotor,  aromanya tak sedap keluar dari sekitar ruangan itu. Dia duduk dipinggir jalan dekat mushola, hanya diatapi kain terpal, tiang penyangganya menggunaka dua drum besar. Warga sekitarlah yang berinisiatip memberikan rumah darurat itu untuk memayungi sang pertapa dari panas matahari dan guyuran hujan.  Mas Dikonthoe benar-benar tak dapat membayangkan, ada manusia yang sanggup hidup seperti ini puluhan tahun. Duduk diam, hanya nafas dan matanya saja yang menandakan bahwa dia makhluk hidup. Jika bukan karena itu, mungkin orang akan ketakutan, disangka hantu gentayangan.

Menjadi pertanyaan, siapakah yang peduli akan laku yang diajalaninya ?. Mas Dikonthole mencoba meraba hatinya. “Apakah dirinya sanggup seperti itu ?.” Tidak, ya dia tidak akan sanggup seperti itu. Islam melarang melakukan penyiksaan diri seperti itu. Begitulah lintasan hatinya. Tiba-tiba, blegh...tatapan itu begitu tajam menghujam sanubari Mas Dikonthole. Nyaris  dia terpental akibat tatapan itu. Dan entah kenapa seperti ada tariikan kuat yang membuat dirinya juga harus menengadah. Mengakibatkan kedua bola mata berbenturan pandangan. Ugh.. !, rupanya kilasan hatinya mampu dibaca pertapa itu dan dia marah sekali kepada mas Dikonthole. Dia seperti ingin mengatakan ;

“Kebenaran seperti apa yang kamu inginkan ?. Mengapa keadaan ku yang seperti ini engkau pertanyakan. Setiap manusia dalam lakunya masing-masing. Jika batu saja bisa diam ribuan tahun, diterpa panas dan dingin, apa bedanya dengan diriku. !”

Kata-kata itu seperti menusuk sanubari Mas Dikonthole, “Ya,  benar, benar sekali !.” Batinnya menimpali, selalu saja manusia menghakimi, dan berpersepsi berdasarkan apa-apa yang dipahaminy sendiri. Bukanya mencoba mengerti atas apa yang dipahami orang lain. Sang pertapa tengah menjalani lakunya sendiri. Begitu juga dirinya. Semua sedang dalam semedinya masing-masing. Semedi dengan caranya sendiri. Mas Dikonthole benar-benar malu sekali atas kekanak-kanakannya. Pemahaman spiritualnya selama ini rasanya masih sangat jauh bila dibandingkan dengan sang pertapa ini. Itulah yang dialami. Hingga sampai saat pamitan, rasa masih bergayut pertanyaan, “Mengapa ada manusia yang mau menyiksa diri seperti ini ?.” Bukan apa-apa, melihat keadaannya benar-benar kasihan sekali, hanya itu. Untuk sebuah keyakinan, yang mungkin saja manusia lain juga tak peduli !. Heh !.

Langit hijau pucuk daunnya
Mentari jingga melepas warna
Semburat merah kuning berganti
Mata kecil tak diam, lurus dingin menatap
Alam pasrah bersama pusaran waktu
hanya coba  diam mengganti rahsa

Rupanya bersitan dan lintasan hati yang seperti itulah yang membuat sang pertapa enggan bersapa dengan Mas Dikonthole. Harusnya Mas Dikonthole paham akan hal ini, namun entahlah, mengapa sampai itu terjadi dalam sanubarinya. Bersitan yang tak wajar, seperti menghakimi pemahaman lainnya. “Duh, ada apa ini ?.” Dia sendiri juga tidak mengerti. Semuanya sudah terjadi. Dipikirkan ulang kembali, tetap saja dia tidak mengerti.

Yah, Mas Dikonthole segera mengalihkan pandangannya. Dijauhkan raganya dari tempat itu. Digantikan Bhre Wirabumi yang mencoba bersapa dengannya. Namun itu juga tak bergitu lama. Saat sejejenak mereka berbincang dari balik rumah belakang muncul lelaki yang tanpa ragu langsung masuk begitu saja ke dalam bilik sang Pertapa. Bhre Wirabmi segera mengikuti, barangkali akan mendapatkan informasi. ternyata orang tersebut juga sama saja tidak mengerti. Dia hanya mendapatkan bisikan untuk datang ke tempat tersebut. Dia mengatakan kalau ingin tahu lebih jelas masuk saja ke dalam rumah. Mungkin orang yang merawat sang Pertapa dapat memberikan penjelasan.

Mendapat anjuran tersebut Mas Dikonthole dan Bhre Wirabumi, mengetuk rumah dibelakang bilik sang Pertapa. Duduk sebentar beralasankan tikar tak lama kemudian datanglah tuan rumah. Berbincang sebentar. Dikisahkan bahwa sang Pertapa sudah 17 tahun ini dalam keadaan begitu di depan rumahnya. Sebelumnya berada di lereng sana, di daerah si Tieng. Jika diperhitungkan sudah lebih 40 tahun  dia bertapa. Dengan khidmat Mas Dikonthole terus memperhatikan  apa-apa yang diceritakan tuang rumah. Mencari detail lagi. Apakah ada keterkaitan dirinya diutus kesini dengan sang Pertapa tersebut. Ditanyakanlah kepada tuan rumah, sebenarnya apakah niat yang melatar belakanginya. Ternyata tuan rumah juga tidak tahu. Tidak ada informasi apapun. Hanya katanya tetangga desa dari daerah Jawa Barat sana sering datang menengok, sayangnya itupun tak menceritakan apa-apa.

“Benarkah sang Pertapa memang sedang menungui Paku Bumi yang terakhir disini ?”  Menjadi pertanyaan yang tetap tak mampu diungkap dalam pembicaraan tersebut. Tiba-tiba ditengah pembicaraan serius ada suara menyapa. Dua orang pemuda tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah. Basa-basi sejenak dan langsung saja meerka memperkenalkan dirinya.

Mas Dikonthole serasa mengenali. Ya benar, rupanya kedua pemuda inilah yang bertemu dirinya di bawah tadi. saat dirinya sudah selesai prosesi di mata air ‘Tuk Bimolukar’  . Kedua pemuda tersebut baru saja datang menuruni anak tangganya. Ada pancaran kekuatan energy yang dirasakan Mas Dikonthole atas kedua pemuda ini. Pemuda yangtinggi cukup terasa, namun rekan yang satunya terlihat masih terhijab.

Selesai kedua pemuda ini berbasa-basi, dia langsung berkata kepada tuan rumah. Dengan masa Jawa kromo inggil yang cukup dimengerti oleh semua yang disitu. “Pak kami diutus oleh orang tua kami untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak, yang sudi merawat orang tua kami disini. Beliau Ki Fathani akan segera diambil alam, akan segera moksa sebentar lagi.”

Tanpa sadar Mas Dikonthole bertasbih, “Subhanlloh..!.” Suaranya terdengar seperti terpekik. Hingga menganggetkan pemuda yang masih berbincang dengan tuan rumah tersebut. Membuat semua mengalihkan pandangan kepada Mas Dikonthole. Jengah juga saat Mas Dikonthole sadar bahwa  mereka melihat dengan heran kepada Mas Dikonthole. Seperti bertanya ada apa. Maka kemudian mau tidak mau Mas Dikonthole juga menceritakan maksud kedatangannya ke Dieng ini. Diceritakan perihal Paku Bumi, dan mengapakah kejadiannya benar-benar seperti kebetulan saja. Khabar ini seakan-akan hanya untuk Mas Dikonthole saja, meyakinkan dirinya bahwa Paku Bumi terakhirpun akan segera tercabut dari nusantara ini.  Pertapa itulah penjaga Paku Bumi terakhir. Dan tentu saja khabar dari pemuda tersebut seperti sebuah kejadian yang kebetulan sekali. “Semua simpul terangkai, semua informasi menjadi realita, lalu harus bagaimana menyikapi dan memaknai ini.”

Pemikiran berputar tak ketemu rimbanya. Angan meliar tak tahu sebabnya. Semua dimensi menjadi kasat mata. “Duh, kemana lagi simpul selanjutnya dicari ?. Bagaimanakah nasib bangsa ini jika itu apa yang dikhawatirkan benar terjadi ?.” Mas Dikonthole menghela nafas. Membuang keresahan yang melanguti jiwanya.   Di tengah problematika sebagai manusia normal lainnya. Manusia yang harus tunduk kepada realitas takdirnya, dirinya harus menetapi ini. Sulit sekali. Berjalan hanya dengan keyakinan. Perjuangan yang sudah lama dilakoni. Kini muaranya disini, dipenghujung sebuah teka-teki tentang kisah Pertapa Sakti. Legenda sang Pertapa sakti akan berakhir disini. He eh, bilakah itu benar terjadi ?.

Masih dalam tanda tanya yang tak juga terpecahkan. mas Dikonthole berpamitan pulang. Pemuda itu juga berpesan untuk menghadap kepada Gurunya di desa Garung. Mudah-mudahan disitu pertanyaannya terjawab.  Sebab katanya, “Sang Guru sekarang malahan sudah memebentuk suatu organisasi masa yang mewadahi itu semua. Besok tidak lama lagi akan ada deklarasi pendiriannya. Dari seluruh Indonesia akan berkumpul disini. Semua wakil-wakil daerah akan datang, jumlahnya bisa ratusan orang. “ Pemuda tersebut terus bercerita bahwa wakil dari Jawa barat belum ada, jika mau Mas Dikonthole diminta bergabung saja. Kaget juga Mas Dikonthole mendengar cerita ini. benarkah itu ?. Mengapakah dalam hatinya terbersit sesuatu yang tidak enak saja. “Sudahlah, jika memang dia harus bertemu, kenapa tidak !.” Batin Mas Dikonthole. Namun entahlah, kenapa bersitan hatinya, rasanya enggan sekali untuk kesana, menemui sang Guru itu.

Maka melajulah mereka berdua, menuruni pegunungan Dieng dengan motor mereka. Udara begitu sejuknya, alam seperti tengah menyambutnya. Di kanan dan kiri nampak perbukitan yang tertata dengan lereng yang di terasering, bersap-sap, menggunakan batu kali. Sayang sekali sekarang pohon-pohon pinus yang dahulu memenuhi perbukitan itu sudah ditebangi. Fase reformasi yang benar-benar kebabalasan. Banyak masyarakat yang menjarah pepohonan, dan menjadikan lahan tersebut gundul hingga kini. Dieng sekarang tidak seperti dahulu yang dipenuhi pepohonan dan bunga-bunga setaman, yang indah sekali saat bemekaran. Angin dingin yang bertiup sekarang ini  serasa kering dan  hampa saja.

Menikmati laju motor, dan angin yang menapar pipi, benar-benar mengasikan sekali. Sejenak mampu melepaskan kepenatan keseharian di Jakarta. Tiba-tiba tatapan Mas Dikonthole terbelalak. Dari seluruh berbukitan di Dieng nampak kabut tipis keluar, dengan serentak. Seperti sebuah tarian alam. Seperti sebuah pertanda . Pertanda dukungunan alam Dieng berserta seluruh makhluk yang ada disana atas perjuangan Mas Dikonthole dan kawan-kawan. Sugguh ketakjuban semata disana. Maha Besar Allah, yang memmperjalankan hambanya, sehingga dirinya mampu menangkap pesan alam yang ditampakkan dimata.

Benar, pagi tadi sebelum dirinya bertemu dengan sang Pertapa sakti terlebih dahulu melakukan prosesi di Tuk Bimolukar . Disitu Mas Dikonthole berdoa bersama alam. Menyatukan Miim nya dengan Ha. menjadi Ha Miim. Saat sudah menjadi Ha Miim inilah kemudian dirinya menghadap Tuhannya, untuk berdoa demi keselamatan bangsa ini. Demi sebuah perjuangan yang harus ditetapinya. Allhamdulillah, restu alam seperti dinampakkan dihadapannya dengan kemunculan kabut dari seluruh perbukitan disana. Mas Dikonthole sempat menanyakan kepada Bhre Wiarbumi atas fenomena alam itu, apakah memang biasa begitu. Sebab dia orang asli sana meskinya akan lebih tahu. Katanya dia tidak pernah melihat kabut seperti itu. kalaupun ada kabut biasanya saat selepas ashar. Allah hu akbar  3 x.

Dibentangkan kedua tangan mencoba mengambil udara, mencoba membebaskan diri dari himpitan rahsa yang selalu bertanya. “Benarkah ini ?. Benarkah dirinya dalam memaknai fenomena alam ini ?.”  Tangan terbentang, selewat pandang, laju motor menurun dengan tajam, terus menuruni perbukitan, dengan   sebuah tekad menggumpal. Dia harus lakoni ini semua, meski raga sudah tak terperi menahan rahsa ini, misteri harus terus digali. benarkah nusantara ini akan menjadi mercusuar dunia ?.  Meluncur dengan bebas, dirinya tidak mengerti bahwa bahaya selalu menghadang dalam setiap perjalanan spiritualnya. dirinya tidak pernah paham jika sosok ghaib tengah mengincar nyawanya, nyawa kawan-kawannya, bahkan juga anaknya. Bahwa malam nanti khabar buruk tengah menanti, anaknya akan mendapat kecelakaan hebat.
...
Langit hijau pucuk daunnya
buahnya ranum memikat hati
itulah duniaku..
Mata kecil tak diam, lurus dingin menatap
Bertanya, “Siapakah yang peduli bila aku disini..?”

...

salam

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali