Kisah Spiritual, Senjakala di Majapahit (Musuh Yang Tersembunyi)
Mahapati,
nama ini seperti tak asing bagi telinga
Mas Thole. Dyah Halayudha, satu
nama yang sama. Siapakah dirinya ?. Denting insting laba-laba seperti
berdering. Memberikan tanda bahwa sosok ini sudah hadir di dunia ini. Sosok
kontraversial yang menjadi sebab terbunuhnya banyak satria Majapahit periode
pertama. Tidak saja Ranggalawe, Patih Nambi , dan banyak lagi tokoh-tokoh
sentral lainnya yang mati sia-sia,
temasuk juga Aria Wirareja, yang mati dengan cara mengenaskan sekali, sebab
politik adu domba yang dijalankan tokoh ini.
Seorang resi yang memiliki
kelihaian luar biasa, memiliki kecerdasan tiada bandingnya di jamannya. Dia
memahami seluruh persoalan ghaib dan
mampu menjelaskan secara apiknya, sehingga karena kemampuannya inilah Raden
Wijaya terpesona. Sedikit demi sedikit
Raden Wijaya terhasut, termakan alur skenarionya. Dengan kecerdikannya, Mahapati
mengatur segalanya, satu persatu orang-orang terdekat Aria Wiareja
dihabisinya melalui tangan Raden Wijaya, sehingga pada
puncaknya Aria Wirareja dihukum
mati ditarik oleh empat ekor kuda dari
empat penjuru angin. Karena hasil hasutan Dyah halayudha. Untuk
menghinakan Aria Wirareja musuh bebuyutannya itu.
Sungguh kisah mengenaskan
politik manusia atas manusia lainnya karena sebab tahta dan ingin dipuja. Hanya
Aria Wirarejalah yang mampu menandingi kejeniusannya dimasa lalu, maka dia
menjadi target utama untuk dihancurkannya. Dan Dyah Halayudha sukses
menjalankan rencananya. Begitu rapi sekali rencananya. Pertama yaitu Rangga Lawe anak kesayangan Aria Wirareja, dihancurkan terlebih dahulu, Di gosoklah sang raja Raden Wijaya untuk mengangkat patih Nambi. Menyusul dihasutlah kanan dan kiri Aria Wirareja. Orang-orang terdekat dibentur-benturkan, diacak-acak, dibuat sedemikian rupa
sehingga saling iri dan saling curiga. Dia mampu merubah wajahnya menjadi siapa
saja. Maka dengan kesaktiannya inilah dia bisa menjalankan politiknya. Hingga diakhir cerita adalah dihukum matilah Aria
Wirareja, yang memang telah apatis kepada raja sejak seluruh orang-orang
terdekat yang dikasihinya terbunuh sebab kebijakan Raden Wijaya sendiri. Aria Wirareja
pasrah, dia datang sendiri untuk menjemput hukumannya itu.
Serpihan daging, dan
buncratan darah menyebar, membuat alam diam, alun-alun yang penuh sesak
manusia, sorakannya seperti film tanpa suara. Hening semesta, menyaksikan satu
orang kesatrianya, terbelah menjadi ribuan potong. Aria Wirareja mati tanpa
pernah tahu dimanakah kuburannya. Slide itu demikian ketara dalam kesadaran Mas
Thole saat setelah prosesi Gusti Ratu Pambayun. Residu yang
dibawa sang ratu telah menggetarkan file memory kesakitan itu. Kesedihan,
ketakutan, kemarahan, ketidak berdayaan, rasa bakti kepada sang raja, rasa
tidak terima, rasa apa boleh buat, dan pendek kata, seluruh rasa yang manusia
punya, bergabung menjadi rasa iba yang hebat. Kemudian menghujam kesetiap lapisan
sel terdalam. Melintasi peradaban, menyasar dan
itu mendekam lama di raga Mas Thole.
Kesakitan itu begitu melibas
jaringan syarafnya. Menghadirkan kelumpuhan yang lama pada realitas terkininya.
Begitulah, siapakah yang tahu jika
hampir 5 tahun raga Mas Thole tidak
mampu berbuat apa-apa. Mengarungi kesedihan dalam kesendirian. Memandang
seluruh makhluk dengan curiga. Ingin rasanya bersembunyi dan lari saja. “Ada
apakah dengan dirinya..?” Begitulah selalu saat mulanya Mas Thole
mempertanyakan sang raga. Menggugat
takdir pada semesta. Membuatnya secara realitas benar-benar menderita. Hampir
saja keluarganya hancur berantakan sebab keadaan dirinya yang selalu saja
ditarik kealam ghaib. Seluruh kemampuan dikerahkan untuk bertahan, agar dia
selalu dalam keadaan terjaga. Perlawanan yang dilakukannya sungguh telah menghabiskan tenaganya.
Syukurlah Allah melindunginya, sedikit demi sedikit terbuka hijab hakekat
siapakah sesungguhnya jatidirinya. Dia lahir kembali, sebagaimana manusia baru,
manusia yang mengerti hakekat jatidirinya. Maka sekarang dia tidak takut
terhadap dunia.
Seiring waktu, setelah usai sudah pengenalan jatidiri, hikmahnya adalah Mas Thole sekarang mengerti siapakah lawan yang membuat dirinya terlunta-lunta dalam rahsa ketakutan terhina dan terbuang sepanjang kehidupan dalam realita terkininya. Maka tidak ada jalan lain sekarang, selain dia harus membersihkan namanya dari fitnah-fitnah rekayasa Mahapati. Yah, dirinya harus membersihkan nama baiknya. Dirinya harus kembali menemui para raja-raja jawa. Menegaskan kepada mereka semua. Masih teringat sekali, kali pertama bertemu raja-raja jawa. Dia seperti seorang pesakitan yang menanti hukuman. Sungguh keadaan yang tidak enak sekali. Mereka selalu memeandang sinis dan remeh. Sapaan mereka seperti basa-basi saja, hanya sekedar seperti membuang ludah saja. Bahkan Ratu Kencono Wungu nyaris saja membunuhnya. Saat itu., serangan hawa dingin hampir membekukan jantungnya. Ratu Kencono Wungu memang terasa paling hebat kembenciannya atas dirinya. Jika saat itu dia tidak ditolong Panembahan Senopati, mungkin saja nyawanya sudah melayang.
Seiring waktu, setelah usai sudah pengenalan jatidiri, hikmahnya adalah Mas Thole sekarang mengerti siapakah lawan yang membuat dirinya terlunta-lunta dalam rahsa ketakutan terhina dan terbuang sepanjang kehidupan dalam realita terkininya. Maka tidak ada jalan lain sekarang, selain dia harus membersihkan namanya dari fitnah-fitnah rekayasa Mahapati. Yah, dirinya harus membersihkan nama baiknya. Dirinya harus kembali menemui para raja-raja jawa. Menegaskan kepada mereka semua. Masih teringat sekali, kali pertama bertemu raja-raja jawa. Dia seperti seorang pesakitan yang menanti hukuman. Sungguh keadaan yang tidak enak sekali. Mereka selalu memeandang sinis dan remeh. Sapaan mereka seperti basa-basi saja, hanya sekedar seperti membuang ludah saja. Bahkan Ratu Kencono Wungu nyaris saja membunuhnya. Saat itu., serangan hawa dingin hampir membekukan jantungnya. Ratu Kencono Wungu memang terasa paling hebat kembenciannya atas dirinya. Jika saat itu dia tidak ditolong Panembahan Senopati, mungkin saja nyawanya sudah melayang.
Namun kini, kisah seperti
akan terulang lagi. Datangnya orang-orang yang berusaha mencari orang-orang
masa lalu. Membangkitkan memorynya tentang kejadian itu. Tentang bagaiman cara
matinya. Dan tentang siapakah pelaku yang menyebabkan dia diperlakukan begitu oleh rajanya. Kemarin ini
dia sudah m,erasakan energinya, dia sudah ada disini, dia sekarang dekat
sekali. Sang Mahapati telah menempati raga barunya. Sepertinya kelahirannya
bersamaan juga dengan kelahiran Aria Wirareja menempati raga Mas Thole, menjadi manusia baru. Dia lahir masih dengan
kelihaiannya bermain kata. Masih dengan kepintarannya mengolah pikiran. Dia lahir
dengan seluruh kemampuan dirinya di masa lalu. Dia sendiri dengan kecerdasan
spiritualnya, sehingga dia merasa bahwa dia tidak memiliki teman sepadan yang
dapat memahami jalan pikirannya itu. Dia sungguh manusia luar biasa, sayang sekali,
kemampuannya itu selalu saja digunakan untuk nafsunya.
Lawan Mas Thole dari masa
lalu sudah hadir. Dia sangat dekat sekali, memantau pergerakan. Dia sekarang
bagi orang lain, perkataannya terkesan aneh. Sebab banyak kalimatnya bersayap.
Dibingkainya dengan keindahan bahasa. Dia banyak menggunakan bahasa symbol,
bahasa yang hanya bisa dimengerti para spiritualis sejati yang lahir semasa
dengannya. Ya, dia Dyah Halyudha, bergelar Mahapati. Patih yang paling berkuasa
pada periode pertama Majapahit. Patih yang telah membunuh lawan-lawan
politiknya dengan sangat rapi sekali. Kini datang menjadi lawan berat Mas Thole
untuk mengawal nusantara baru. Dalam sujud sembahyang tadi, semua dinampakkan.
Bagaimanakah akibatnya jika orang-orang masa lalu yang baru saja mengenali
jatidirinya disusupi pemahamannya. Maka hancurlah misi para kesatria sebelum
sempat diwujudkan.
He..eh. Mahapati akan bergabung
dengan mereka orang yang berusaha
menggagalkan proses reinkarnasi. Yaitu golongan jin yang menghuni tubuh
manusia. Adalah mereka yang telah mencuri rahasia langit. Kemudian
mengkontruksi berita sesuka mereka agar manusia kemudian percaya. Menipu
manusia dengan kisah yang hampir saja senada keadaannya. Berusaha membelokkan
jalannya takdir manusia. Membuai manusia dengan angan-angan kisah Satria
Piningit. Sebuah kisah yang kemudian direkayasa sedemikian rupa menjadi fatamorgana.
Kisah cerita ini kemudian menjadi ajang jual beli, banyak sudah manusia
kemudian kehilangan harta diakibatkan keyakinan yang salah tentang hal ini. Maka saat sholat dhuhur Mas Thole menangis luar biasa sedihnya. Berlintasan bagaimana nasib para sahabatnya dahulu yang
mati sia-sia. Terlintaslah bagaimana menyesali dirinya tidak mampu berbuat
apa-apa.
Dyah Halayudha tokoh
yang terlalu lihai bagi dirinya saat itu. Maka sanggupkah sekarang ini dia
mengalahkan kelihaian olah pikirnya. Dia seorang resi, dia seorang yang disucikan. Tetapi tabiatnya seperti
syetan atau iblis saja. Tubuh Mas Thole bergetaran. Keimanannya benar-benar
diuji. Masihkah sekarang dia berdiam diri ?. Masihkah dia terpana kepada
kelihaian olah spiritualnya ?. Masih dia tidak percaya kemampuan dirinya ?. Keadaan
Mahapati
telah terbaca, dia tidak berubah setelah
melintasi peradaban. Dia semakin halus olah pikirnya. Berkata manis sekali tapi
dibelakangnya banyak rencana keji telah disiapkannya untuk mengganjal jalan
lajunya. Mas Thole tahu itu, dari dia membaca energy yang berlintasan di
monitor komputernya. Allah hu akbar 3x. Mereka juga melintasi jaman untuk terus mengejar orang-orang masa lau yang mencoba hadir ke dunia. Mereka menjadi musuh yang sangat nyata.
Kini orang-orang masa lalu
telah mendapat lawan yang setimpal. Prabu Siliwangi telah mendapat lawannya
masih keturunan dari Singoshari dari trah kanan Ken Arok. Kesaktiannya seperti
Semar, bahkan berwujudannnya menyerupai sang Semar. Raga terkininya juga mampu
menyembuhkan pelbagai penyakit, memiliki kemampuan yang standing dengan Prabu
Siliwangi. Banyak keajaiban juga mampu dibuatnya. “Ya, Allah semakin beratkah langkah kami..?.” Mau tidak mau seluruh
orang-orang masa lalu harus merapatkan barisan. Ternyata geraknya sudah diamati
oleh mereka-mereka itu. Alam selalu akan menguji, menjadikan sisi dualitas.
Kejahatan dan kebaikan. Panas dan dingin.
Ya Allah, mereka orang-orang
masa lalu baru saja mengenali jatidiri mereka. Ibarat seorang bayi, baru saja
terlahir. Merangkak saja masih sangat sulit sekali, apalagi untuk berdiri. Akankah
mereka layu sebelum berkembang. Sungguh ini adalah pertempuran hidup dan
mati bagi jiwa manusia. Jika orang-orang masa lalu kalah maka dikehidupan
terkini dia akan teraliensi, dia akan terbawa kealam ghaibnya. Manusia
sekarang menyebutnya ‘GILA’. Astagfirulloh hal ‘ajim. Begitu beratkah beban ini
?. Mas Thole terpekur lama dalam sujud sembahyang, tanpa terasa dia menangis sesenggukan bagai anak kecil. Menyadari kemampuannya tak akan mungkin mampu menandingi
musuh-musuhnya itu. Maka hanya kepada-Nya dia berserah diri. Menyerahkan
urusannya hanya kepada Allah, Tuhan yang Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Sekarang dia harus berdiri diatas raga masa kininya. Berserah kepada-Nya. Dia akan menemui para raja jawa. Sudah bulat tekadnya. Dan dia juga akan mencari serta menemui Ki Ageng Selo dan serta Ki Juru Martani. Dia akan bertanya atas anak asuhan mereka itu. Bertanya kepada mereka semua, mengapa mereka berdua membiarkan saat mana Sang Panembahan mengambil kiblat kepada Penguasa Laut. Mengapa pada saat itu mereka tidak mengawal perjalanan spiritual sang Panembahan Senopati sehingga kejadiannya begini. He eh. Ini salah mereka berdua. Mereka harus menjelaskannya kepada Gusti Ratu Pambayun.
Bukankah hakekatnya mereka tahu, kemanakah perginya sang Panembahan Senopati. Panembahan Senopati tidak pergi ke kedua tempat yaitu penguasa laut dan gunung, sebagaimana yang diperintahkan mereka. Dia merasa cukup dengan hanya mengambil salah satunya. Bahkan mengawini Ratu Pantai Selatan. Sebab dijanjikan kejayaan bagi kerajaannya oleh sang Ratu Pantai selatan. Inilah kesalahan terberat yang dibuat Panemabahan Senopati. Sungguh itu telah menyalahi pakem para raja-raja jawa. Menjadi sebab mengapa penguasa laut dan penguasa gunung berperang terus hingga kini. Ya, dia akan menanyakan itu semua, mewakili Gusti Ratu Pembayun, yang mengalami nasib mengenaskan sebab ulah ayahnya sendiri.
Sekarang , Mas Thole masih diam menunggu, menelisik semua gerakan alam. Membaca keadaan sampai semua satria siap keadaannya. Dia harus tetap bersembunyi, bersama para kesatria. Para Kesatria harus tetap dipingit. Mereka harus ettap Menjadi Satria Piningit, sampai keadaannya memungkinkan. Sampai alam sudah memberikan tandanya. Tanda-tandanya adalah saat Gunung Gede meletus dan diikuti dengan Gunung-gunung lainnya. Semua sudah dekat sekali. Gunung Dieng, yang adalah pemuka para gunung lainnya, sudah memberikan tandanya keamrin. Maka meski sang Mahapati musuh bebuyutannya sudah hadir kembali, dia akan tetap saba menunggu hingga saatnya nanti. Perang BarathaYudha. Mereka semua menunggu.
Sekarang dia harus berdiri diatas raga masa kininya. Berserah kepada-Nya. Dia akan menemui para raja jawa. Sudah bulat tekadnya. Dan dia juga akan mencari serta menemui Ki Ageng Selo dan serta Ki Juru Martani. Dia akan bertanya atas anak asuhan mereka itu. Bertanya kepada mereka semua, mengapa mereka berdua membiarkan saat mana Sang Panembahan mengambil kiblat kepada Penguasa Laut. Mengapa pada saat itu mereka tidak mengawal perjalanan spiritual sang Panembahan Senopati sehingga kejadiannya begini. He eh. Ini salah mereka berdua. Mereka harus menjelaskannya kepada Gusti Ratu Pambayun.
Bukankah hakekatnya mereka tahu, kemanakah perginya sang Panembahan Senopati. Panembahan Senopati tidak pergi ke kedua tempat yaitu penguasa laut dan gunung, sebagaimana yang diperintahkan mereka. Dia merasa cukup dengan hanya mengambil salah satunya. Bahkan mengawini Ratu Pantai Selatan. Sebab dijanjikan kejayaan bagi kerajaannya oleh sang Ratu Pantai selatan. Inilah kesalahan terberat yang dibuat Panemabahan Senopati. Sungguh itu telah menyalahi pakem para raja-raja jawa. Menjadi sebab mengapa penguasa laut dan penguasa gunung berperang terus hingga kini. Ya, dia akan menanyakan itu semua, mewakili Gusti Ratu Pembayun, yang mengalami nasib mengenaskan sebab ulah ayahnya sendiri.
Sekarang , Mas Thole masih diam menunggu, menelisik semua gerakan alam. Membaca keadaan sampai semua satria siap keadaannya. Dia harus tetap bersembunyi, bersama para kesatria. Para Kesatria harus tetap dipingit. Mereka harus ettap Menjadi Satria Piningit, sampai keadaannya memungkinkan. Sampai alam sudah memberikan tandanya. Tanda-tandanya adalah saat Gunung Gede meletus dan diikuti dengan Gunung-gunung lainnya. Semua sudah dekat sekali. Gunung Dieng, yang adalah pemuka para gunung lainnya, sudah memberikan tandanya keamrin. Maka meski sang Mahapati musuh bebuyutannya sudah hadir kembali, dia akan tetap saba menunggu hingga saatnya nanti. Perang BarathaYudha. Mereka semua menunggu.
Wolohualam.
Komentar
Posting Komentar