Rahasia Kekuatan Hati
Nun. “Jika Aku Menjadi…”
Manusia saat belum dipertukarkan nasibnya akan selalu beranggapan, bahwa nasib orang lain lebih enak dibandingkan dengan dirinya. Kemudian manusia meng-angankan kenikmatan-kenikmatan yang mungkin direngguknya dengan itu. Ternyata faktanya manusia hanya mampu beranggapan dan berprasangka saja. Saat ketika dirinya benar-benar dipertukarkan nasibnya. Banyak dari mereka tidak mampu menjalaninya. Orang miskin lagi papa yang dipertukarkan nasibnya dengan orang kaya, ternyata tidak mampu menjalani kehidupan orang kaya, dan begitu juga sebaliknya.
Manusia saat belum dipertukarkan nasibnya akan selalu beranggapan, bahwa nasib orang lain lebih enak dibandingkan dengan dirinya. Kemudian manusia meng-angankan kenikmatan-kenikmatan yang mungkin direngguknya dengan itu. Ternyata faktanya manusia hanya mampu beranggapan dan berprasangka saja. Saat ketika dirinya benar-benar dipertukarkan nasibnya. Banyak dari mereka tidak mampu menjalaninya. Orang miskin lagi papa yang dipertukarkan nasibnya dengan orang kaya, ternyata tidak mampu menjalani kehidupan orang kaya, dan begitu juga sebaliknya.
Orang miskin yang tidak
pernah bersentuhan permasalahan hidup sebagiamana orang kaya, tagihan, hutang
kartu kredit, dll, tentu saja tidak akan sanggup menghadapi keadaan
dinamika kehidupan orang kaya yang begitu rupa kerasnya. Orang kaya yang
tadinya melihat begitu enaknya manusia hanya makan tidur saja, seakan tidak ada
masalah menerpanya, saat dipertukarkan juga mengalami hal yang sama. Ternyata orang kaya juga tidak akan mampu menjalani nasib sebagai orang miskin. Sudah diciptakan
keadaannya bahwa keduanya memiliki ukurannya masing-masing. Ukuran yang sudah
dibuat sedemikian adilnya oleh sang Pencipta.
Prasangka dan persepsi diri kita atas orang lain; Orang kaya atas
orang miskin. Orang miskin atas orang kaya. Orang Islam atas orang selain
Islam. Orang Islam atas orang Islam. Yang merasa benar dengan yang dianggap
salah. Orang yang berdoa pakai kunu dengan orang yang berdoa tanpa kunut. Orang
yang suka Yasinan dengan orang yang tidak suka Yasinan. Dan lain
sebagainya dan lain sebagainya. Dan banyak sekali warna-warna lainnya. Inilah yang
membuat dunia ini dipenuhi dengan warna, yaitu kKeadaan carut marut ala
pemikiran manusia yang selalu menganggap orang lain berbeda dengan dirinya.
Ketika orang lain serasa berbeda dengan diri kita inilah kemudian manusia akan
mengambil jarak dihatinya. Dari sinilah muncul penyakit hati, biang sumber dari
perpecahan itu sendiri.
Manusia selalu mengikuti prasangka dan anggapan saja.
Sementara jika manusia terus mengikuti ini, selanjutnya akan mengkristal
menjadi persespi. Persepsi inilah yang kemudian menjadi referensi kita,
menghasilkan sudut pandang manusia dalam bersikap dan dalam memaknai kehidupan
dan dinamika kehidupan manusia dan juga dalam melakoni takdir manusia itu
sendiri. Maka sebagai akibatnya manusia itu akan selalu menyalahkan keadaan,
menyalahkan apa saja yang nampak didepan matanya. Dia akan selalu iba diri,
dalam hatinya akan timbul penyakit itu.
Penyakit iba diri inilah yang sangat berbahaya. Manusia akan merasa
paling merana di dunia. Manusia akan selalu menyalahkan keadaan yang menimpa
dirinya. Manusia akan selalu menyalahkan lingkungan dan orang lainnya. Jika orang beragama, maka selanjutnya akan selalu
menyalahkan Tuhan yang sudah menciptakannya. Manusia merasa Tuhan tidak adil
atas dirinya. Manusia akan terus
mengikuti angannya, akan mencari-cari ayat-ayat atau pemahaman yang pas dengan
keadaan dirinya itu. Dia tidak sadar jikalau sebenarnya jiwanya sedang mencari
pembenaran saja atas apa-apa yang telah dialaminya. Manusia selalu dalam
penyakit iba diri. Mencari pembenaran kepada
manusia lainnya atas kelemahan dirinya yang tidak mampu menerima realitas
takdirnya sendiri. Pengalaman hidupnya tidak membuahkan apa-apa, justru hanya
melahirkan perasaan iba. Menjadi orang termalang di dunia ini. Begitulah
keadaannya.
Kehidupan ini semisal melihat
tontonan di layar kaca. Semisal melihat tontonan reality show, “Jika
Aku Menjadi..” Atau kita semisal melihat sinetrin “ Tukang
Bubur Naik Haji..” yang sudah tayang hingga 500 episode. Kita penonton
terlarut dalam suksa dukanya, kita penonton seakan-akan ikut larut didalam
keriuhan para pemainnya. Kita kemudian ikut menghakimi yang benar dan salah
didalam sinetron itu. Kita kemudian sibuk berdebat dengan itu. Kita rebut
disitu, kita baku hantam karena sinetron itu. Kita main siku hanya sebab
tontonan itu. Kita lupa bahwa sinetron ada sutradaranya. Dialah yang menyajikan
tontonan sandiwara itu.
Kita sering tidak sadar bahwa sutradara itu yang memegang peranan,
mau diapakan para pemain-pemainnya. Mau dimatikan kah, mau diangkat naik
hajikah, mau dijadikan orang kaya, mau dijadikan miskin, mau dijadikan
pembunuh. Terserah saja, itu adalah hak sutradaranya. Apakah karena hak
itu kemudian pantas jika sutradara kita tolak keberadaannya. Sang
sutradara memiliki rencana agar sinetronnya menjadi menarik. Bgeitulah peran
sang sutyradara.
Maka kenapakah kita penonton tidak menyerahkan semua itu kepada
sang sutradaranya saja. Dan kita lihat tontonannya sambil terus memuji
kepiawaian sang sutradara yang meramu jalan ceritanya. Mungkin dengan
menyerahkan segala urusan jalan cerita kepada sang sutradara. Bukankah kita
penonton dengan begitu akan menjadi tenang hatinya. Sekali lagi, jika
kita mampu begitu, maka kita sebagai penonton akan tenang menyaksikan tontonan
tersebut. Yakinlah sang sutradara sudah tahu persis kemana jalan cerita
sandiwara itu akan bermuara. Dan yakinlah para pemainnya akan mendapatkan gaji
yang layak sesuai dengan perannya masing-0masing. Maka sebagai penonton yang
sadar, akan selalu tenang dengan keyakinan yang begitu itu, dia akan terus
memuji dan memuji sang sutradaranya. Berharap suatu saat nanti akan disertakan
sebagai pemain dalam panggung sandiwara tersebut. Begitulah doa manusia yang
sadar.
Begitulah kehidupan, begitulah panggung sandiwara. Al qur an
hanyalah memberikan khabar bagi kita. Al qur an hanyalah panduan bagi kita
bagaimana seharusnya posisi jiwa kita saat kita menonton panggung kehidupan
tersebut. Agar kita tetap sadar diri, terus berdoa, terus memuji, berharap agar
diri kita mendapat peran yang bermanfaat, agar dengan kesadaran itu, sekarang
saat ini disini kita fokus kepada peran yang sedang kita
mainkan sendiri. Bersabar atas peran yang ini. Melihat tontonan yang tergelar
dengan terus bertasbih.
Berdoa agar suatu saat akan mendapatkan peran utama dengan gaji
yang lebih besar lagi. Oleh karena itu selayaknya kita tidak sibuk mengurusi
pemain-pemain lainnya. Selayaknya lah kita tidak ikut campur tangan mengatur
sang sutradaranya. Percayalah sang Sutradara lebih mengerti bagaimana dia akan
memilih pemain-pemainnya, dan bagiamana jalan ceritanya akan digelar. Kita
tenang dengan itu. Maka untuk itulah Al qur an dikhabarkan.
Maka dengan keadaan ini, kita hanya diminta ber-Islam secara
kafaf, secara totalitas, menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah saja.
Janganlah kita termasuk didalam golongan orang-orang yang selalu gamang.
Orang-orang yang tidak berani mengambil sikap. Sungguh itu hanya akan membuat
keresahan tersendiri. Pilihlah salah satunya saja, jangan kedua-duanya. Lebih
baik memilih dari pada tidak memilih. Keadaan tidak memilih inilah yang akan
membuat kita selalu resah, selalu mempertanyakan hukum keadilan Tuhan. Maka
jika perlu dicoba, yakini keadaannya.
Keyakinan dalam sikap. Begitulah yang harus kita lakukan. Ikutilah
sikap-sikap para orang sholeh, sebagaimana yang dicontohkan Arjuna dalam perang
Mahabarata, meskipun dia harus menghabisi seluruh keluarganya (kurawa) dia
telah yakin atas keputusannya, lihatlah apa yang diyakini Ali bin Abi Tholib as
,saat dia memerangi Ibunya sendiri, Lihatlah bagaimana keyakinan Asiyah bint
Muzahim (istri Firaun), rasakanlah bagaimana kekuatan hatinya sebagai seorang
istri dan juga sebagai seorang muslim, bagaimanakah pergolakan batinnya, jiwa
kepada Allah dan raga harus berserah kepada Fir aun.
Manusia hanya bisa
berikhtiar sebagaiman Siti Hajar saat Ismail kehausan di padang pasir. Meski
beliau tahu air akan sia-sia sebab semua padang pasir tampak dimata, namun
beliau bolak-balik hingga 7 kali tidak pernah menyerah, hingga raganya
tak mampu menompangnya lagi. Demi sebuah harap dan sebuah keyakinan adanya air
kehidupan. Raganya digerakkan sedemikian rupa, melawan kenisbian. Beguitu juga pada kisah Nabi Yusuf ada kekuatan hati yang luar biasa keyakinan atas Tuhannya yang melihat segala perbuatannya. Maka ketika dalam keyakinan itu, runtuhj sudah semua nafsunya. Kekuatan hati inilah yang kita bicarakan.
Kita sedang diuji rahsa
empati kita kepada sesama, kita yang diberikan pengetahuan atas itu. Kita diuji
rahsa empati atas nasib bangsa ini. Meski keadaan kita sebagaimana Siti Hajar
yang kebingungan kesana kemari. Dalam menyikapi persoalan diri kita sendiri yang tidak ada habis-habisnya. Semoga akan turun ridho-Nya atas diri
kita makhluk yang lemah yang terus berusaha dengan segenap kemampuan diri. Dan tetap dalam keyakinan bahwa Tuhan pasti akan menolongnya. Dengan ini mereka yakin, dan istikomah menetapi lakunya. Begitulah !. Maka pada
kisah-kisah para nabi ada kekuatan hati, yang tersembunyi di dalam dada pelakunya,
itulah rahasia hikmah Al qur an. Semoga kita mampu meneladani
kisah-kisah itu.
Lihatlah kisah-kisah Al qur an lainnya. Semua dikisahkan dengan
hak. Semua dalam dimensi hati. Dimensi yang hanya bisa dipahami saat diri kita
mencoba menjadi mereka, merasakan bagaimana keadaan pergulatan hati mereka.
Saat mana kemudian mereka mampu mengambil sikap. Itulah sikap dalam
keyakinan yang hanya diri mereka yang tahu. Keyakinan itulah kebenaran yang hak
dari Tuhan mereka. Kebenaran yang absolute bagi mereka-mereka yang menjalani
lakon tersebut. Kebenaran dalam dimensi jiwa mereka masing-masing. Kebenaran
yang tidak menyisakan ruang keraguan sedikitpun didalamnya. Hingga karenanya
dimensi kebenaran disini, di makom ini bukanlah relatif.
Rahasia kekuatan hati adalah keyakinan. Sesuatu pemahaman yang relatif akan menjadi sebab keraguan dalam hatinya. Maka jika kita meyakini kebenaran itu suatu yang relatif maka bersiaplah diri kita dalam keraguan. Jika keadaan kita begitu maka tunggulah saatnya keimanan kita akan runtuh secara perlahan, sebab dikarenakan adanya penyakit 'keragu-ragu'an tersebut. Jika keimanan sudah runtuh, maka jiwa kita akan sering was-was, selanjutnya kita akan mudah terkena penyakit degeneratif dan penyakit psikologis lainnya. Ingatlah, keraguan adalah musuh kekuatan hati !.
Maka rasakan saja sejenak bagaimana rasanya keadaan dimensi jiwa , “Jika Aku menjadi ..” Jangan menduga-duga, jangan berprasangka. Maka kita akan tahu bedanya. Al qur an akan menjadi pembeda kedua keadaan dimensi jiwa tersebut. Karenanya pilihlah salah satunya. Itu akan lebih baik bagi psikologi jiwa manusia hidup di dunia ini. Keadaan ragu-ragu justru itu akan sangat menyiksa sekali. Sungguh jika kita ber-Islam itu akan lebih baik sekali keadaannya, bagai bumi dan langit. Maka yakinkanlah diri kita, atas keberadaan kita di muka bumi ini. Kita adalah para Kesatria itu. Kita adalah Sang Khalifah yang diutus dimuka bumi. Andalah sang Khalifah itu !. Maka yakinlah diri kita dengan itu. Janganlah menjadi realtif lagi. Yakin dan ucapkanlah, "La syarikalahu wabidzalika umirthu wa ana minal muslimin." Insyaallah jiwa kita akan tenang dengan itu.
Wolohualam
sawang sinawang........
BalasHapussalam kenal, wahidi ibnu dzikry... ikut menyimak
BalasHapuswahidi ibnu dzikry
BalasHapushttps://www.facebook.com/anom.yangterbuang
wahid.4agny@gmail.com
wahid_4agny@yahoo.com