Bencana dan Musibah 'SPIRITUAL!' (The Chronicles of Spiritualism) (2)
Pengantar;
Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih dan Penyayang, kisah ini kembali dihantarkan.
Jalan
terbuka dan lengang di depan. Pintu tol Brebes Timur tinggal seperempat minum
teh lagi. Mobil Xenia putih itu nampak melaju dengan irama yang konstan. Keluar
tol, mengambil jalur ke kanan, menuju arah Randu Dongkal. Jalan yang masih
sepi, berliku-liku, di kanan kirinya masih nampak pemandangan yang indah. Jika
sore hari lewt disini masih sering kabut tipis berlalu lalang disana. Mas Thole
mampir sebentar di sebuah pom bensin untuk melaksanakan sholat. Selesai sholat
mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada sesuatu yang aneh dalam
perajlanan mereka. Istri dan anak Mas Thole skembali tertidur. Sementara Mas
Thole kembali memasuki alam-alam kesadaran. Meskipun pandangannya tetap ke
depan namun sesungguhnya kesadarannya sudah tidak di sana. Dibiarkannya sistem
gerak refleks di ketubuhan Mas Thole untuk mengambil alih melaksanakan fungsi
dan tugas raga yaitu mengendalikan laju kendaraan.
Memasuki
jalur Randu Dongkal. Jalan sudah semakin menyempit, kelokan jalan yang begitu
tajam, semakin membawa Mas Thole asyik bermain di kesadarannya. Sistem
ketubuhannya memindai, sensasi rahsa yang masih tertinggal. Sebagaimana saat
indra manusia mendeteksi rahsa manis. Maka meskipun tidak ada gula di lidahnya,
manusia tersebut masih mampu menghadirkan rahsa manis di kesadarannya. Rahsa
manis tersebut semakin diamati akan semakin kuat rahsanya. Rahsa yang semula
hanya satu titik dibagian badan saja. Secara perlahan akan semakin menguat
bmuncul menenjadi seperti kabut yang perlahan-lahan mengambil alih sistem
kesadaran. Maka seluruh sistem ketubuhan hanya akan merasakan manis saja.
Begitulah analoginya. Maka begitu kesadaran Mas Thole diniatkan memasuki
dimensi kesadaran, seketika itu juga sistem refleks tubuh menghantarkan sensasi
rahsanya.
Dimasukinya
satu demi satu dimensi demi dimensi. Kesadaran perlahan meliputi
ketubuhan. Seperti air yang mengisi pori-pori spon. Dibukanya memori disana,
dari satu file ke file berikutnya. Kesadarannya seperti membuka kotak pandora,
kotak yang dahulu sangat ditakutinya. Kotak iba dirinya. Benar begitu kotak
terbuka, hawa menyakitkan membelit tulang-tulang Mas Thole. Namun ditahannya dan
terus dicobanya memasuki lebih jauh neuron syarafnya, menjelajah memori di DNA.
Seperti halnya mesin pencari (search engine) Google, yang menampilkan banyak link
disana. Mulai dari urutan pertama sama ke sekian. Diamati residu yang tertinggal disana. Residu
rahsa yang sempat menguliti seluruh tubuh Mas Thole saat dahulu mengalami
kejadiannya. Maka manakala residu itu dibangkit, seperti layar film yang
terbuka, adegan demi adegan nampak dilayarnya. Lengkap dengan rahsa yang
mengharu birukan jiwa manusia. Tanpa terasa air mata Mas Thole mengembang.
Perih dan pedih sekali disana. Kehidupan yang demikian sulit dialaminya sebagai
seorang anak.
Sudah
semenjak bayi Mas Thole dititipkan kepada salah satu adik Ibunya. Sampai umur
enam tahun dikembalikan kepada orang tunya. Namun tidak berapa lama kembali Mas
Thole di titipkan kepada neneknya. Perlakuan sang nenek yang luar biasa kejam
diterimanya sebagai bagian dari pembelajaran kehidupan. Namun tetap saja Mas
Thole kecil tidak paham apakah sebenarnya rencana Tuhan. Pukulan dengan gagang
sapu, hampir tiap hari diterima Mas Thole kecil. Kesadarannya tidak paham
mengapa tingkah laku orang dewasa demikian kekanakan-kanakan. Penuh kebencian
kepada sesama. Bukankah dirinya hanya seorang anak kecil yang baru berumur 7
tahun? Apakah yang dipahaminya atas kehidupan? Kesadarannya tidak mengenal
apakah itu salah dan benar. Bukankah sepatutnya orang dewasa mengajarkan apakah
itu kebenaran?
Mengingat
dan mereka kejadian, membuat bulu kudu Mas Thole merinding. Sempat dirinya
terheran-heran, mengapakah dirinya mampu bertahan melalui masa-masa sulit itu?
Sering saat menjelang tidur, matanya kosong menatap langit-langit kamar. Mencoba memahami
arti kehidupan yang begitu penuh derita. Dia bertanya apakah Tuhan menciptakan
manusia untuk dibuat permainan? Apakah Tuhan senang melihat makhluk ciptaanya
menangis sebab kesakitan? Langit-langit kamar seperti tak mampu menjawab.
Terjadi dialektika yang intens transedental di hati Mas Thole. Dalam
kepedihannya menahan rahsa sakit di jiwa Mas Thole sering menghujat Tuhan,
menghujat orang tuanya, menghujat apa saja di sekelilingnya. Mengapa orang
tuanya begitu tega membuang anaknya. Bukankah seorang anak terlahir tanpa
pernah dia meminta? Bukankah seorang anak adalah hasil dari buah cinta? Lantas
cinta apakah yang melandasi manusia melahirkan anak-anaknya? Apakah hanya cinta
nafsu birahi semata?
...
Mengkisahkan
bagian ini, membuat Mas Thole menangis dalam batinnya. Membuka luka yang telah
dimasukan dalam kkotak pandoranya, artinya dia harus mampu menerima takdirnya.
Tidak ada waktu yang bisa diputar ulang kembali. Tidak ada kejadian yang akan
sama terulang lagi. Maka hanya ada salah satu jalan, dia harus mampu menerima
takdirnya sendiri. Takdir sebagai manusia terbuang, dikucilkan dan dinafikan
keberadaanya. Yah, kisah ini hanya mengulang pola lama saja sebagaimana kejadian
dahulu kala sebagai Raden Panji Inu Kertapi, yang dibuang oleh orang tuanya ke
sungai kemudian di ketemukan oleh kakek dan nenek yang menjadi pengasuhnya. Pengajaran yang keras
dari kedua orang tua asuhnya saat itu tidak dipahaminya. Begitu halnya di
kejadian terkini. Mas Thole tidak pernah mampu memahami mengapakah neneknya
begitu kejam terhadapnya. Menghadirkan ratusan bekas luka di badannya. Sehingga
pada puncaknya Mas Thole kecil melarikan diri dari sana. Kembali pulang kepada
kedua orang tuanya.
Apakah
kisahnya kemudian happy ending, tidak ternyata sekembalinya kepada kedua orang
tuanya, tidak menambah baik keadaannya. Tidak begitu lama, Ibunya pergi
meninggalkan dirinya dan ayahnya yang sakit. Ayahnya yang mempelajari ilmu
kebatinan membuat siapapun wanita tidak tahan. Kemampuan spiritual ayahnya yang
sangat tinggi tidak mampu diimbangi oleh kesadaran lawan jenisnya. Ayahnya yang
sudah tidak memikirkan duniawi lagi, benar-benar membuat realitas keluarga Mas
Thole dilanda kemiskinan yang akut. Rumahnya lebih tepat di sebut kandang kambing daripada sebuah rumah. Di rumah yang tidak bisa disebut rumah itulah
Mas Thole merawat ayahnya, bersama kakak dan adik-adiknya. Namun itu hanya satu
atau dua tahun. Setelahnya saudara-saudaranya di bawa ibunya. Tinggal Mas Thole
sendiri merawat ayahnya yang sakit. Sebagaimana sudah di kisahkan dimuka.
...
Coba
katakan, apakah spiritual mampu menjadikan orang itu kaya raya? Tidak usahlah
kaya, hidup yang biasa saja sebagaimana kehidupan orang normal lainnya, apakah
bisa? Tidak..tidak bisa! Mas Thole benar-benar harus berjuang memahami ini.
Keadaan ayahnya yang demikian memprihatinkan membuat dirinya sangat antipati
dengan spiritual. Kemampuan sang ayah yang luar biasa, ternyata tidak pernah
mampu menolong dirinya sendiri. Sering kalai Mas Thole bertanya dalam batinnya,
untuk apakah ayahnya menjalani laku spiritual, jika secara realitas dirinya
adalah orang terbuang. Orang yang tidak memiliki kemampuan walau semisal hanya
untuk makan sehari tiga kali. “Untuk apa memiliki kesaktian itu?” Itulah jerita batin Mas Thole
kecil. Begitu alerginya Mas Thole terhadap laku spiritual. Spiritual hanya akan
mebuat manusia sengsara. Itulah pemahamannya saat itu.
Spiritual
tidak akan menjadikan seseorang itu kaya. Maka jika ada orang yang menjadikan
jalan spiritual itu adalah untuk mencari kekayaan pastilah itu jalan setan. Maka
sejak saat itulah Mas Thole menjauhkan diri dari spiritual. Dia tidak ingin
seperti ayahnya. Dia ingin berjalan di realitas. Bersekolah sebagaimana manusia
normal lainnya. Tekadnya sudah bulat. Walau sambil merawat ayahnya yang kadang
sakit, Mas Thole tetap menguatkan diri. Sekolah adalah jalan untuk kesuksesan.
Itulah keyakinannya. Suka duka menjaga sang ayah, kadang harus mengikat sang
ayah di ranjangnya, kadang tertawa bersama, meski jarang bersapa, menjadi
keseharian. Untung saja ayahnya jika dalam keadaan sadar, masih mampu bekerja,
pekerjaannya sebagai penilik sekolah membuat sakitnya tidak terlalu mengganggu
pekerjaannya. Dia bisa ijin sewaktu-waktu.
...
Sementara
kesadaran Mas Thole masih terus berkelana, membaca bagian demi bagian adegan,
laju mobil sudah mendekati Randu Dongkal. Di tengah kiri jalan, nampak
peristirahatan. Di bawahnya ada sungai dengan air jernih mengalir. Batu-batu
besar berserakan dia sepanjang sungai. Ada tanggul yang menyebabkan air jatuh
seperti air terjun. Disana Mas Thole dan keluarga menghentikan kendaraan.
Mereka turun perlahan dan menuju batu batuan yang menarik perhatian. Bersama
istri dan anaknya Mas Thole bermain air sungai, sejenak melupakan kepenatan
perjalanan, dan juga keletihan sepanjang memasuki dimensi kesadaran. Betapa
tidak, Mas Thole harus mengalami rahsa sakit yang sama setiap kali membuka file
kesadarannya. Residu rahsa tersebut masih kental disana, hanya tertutup oleh
kotak pandora saja. Coba bayangkanlah,
betapa sakitnya!
Energy
chat itu telah memaksa Mas Thole untuk kembali menelisik keadaan dirinya.
Menacari letak dimanakah dia masih menyimpan ego, sebagaimana dikatakan oleh
sang putri di chatnya. Mas Thole ingin tau, apakah masih ada benih keegoisan
didalam dirinya, yang sedemikian sehingga membuat orang lain terluka olehnya.
Jika demikan, celakalah dirinya! Masih diseputar chat tersebut. Banyak
kebenaran atas apa-apa yang disampaikan disana. Mas Thole membenarkan dan menjadi
saksi atas kebenarannya. Lihatlah dalam kesadaran kolektif bangsa ini. Lihatlah
para dukun, dan para pelaku jalan spiritual, bagaimanakah keadaan mereka?
Banyak dari mereka yang menyusahkan manusia lainnya. Meminta-minta sumbangan
dengan alibi kesucian mereka.
Manusia
dipaksa agar menghormati para pelaku spiritual. Manusia diminta untuk
menghormati orang yang sedang puasa, orang yang sholat, dan laku-laku lainnya. Jika
ada yang mengusik laku ini, maka bersiaplah nyawa sebagai taruhannya. Begitu sensitifnya
para pelaku spiritual ini. Mereka tidak
mau dan tidak bisa diusik laku mereka. Laku yang seharusnya mampu
membentuk akhlak mereka untuk menghormati orang yang awam, (sebab ketidak
pahaman orang awam), justru menjadi sebaliknya, mereka dengan beringas
menyerang orang awam, orang yang tidak paham apa itu spiritual. Laku mereka
menjadi gahar dan beringas saat di realitas, saat laku mereka terusik. Inikah yang dimaui para
pelaku jalan spiritual?
Kapankah
manusia menghormati orang yang tidak menjalani ritual spiritual. Kapankah kita bisa menghormati orang yang tidak puasa? Orang yang patut mereka kaishani sebab ketidaktahuan mereka betapa pentingnya puasa bagi dirinya itu. Kapan pelaku
spiritual mau merendahkan diri untuk mengajari orang-orang yang tidak tahu
spiritual. Orang yang awam yang tidak mengerti untuk apa faedah sholat, untuk
bercapai-capai dan berlelah diri untuk bangun sujud dan rukuk. Kapankah laku spiritual yang
dijalankan mampu membentuk akhlak berkasih sayang sesama manusia yang pasti
akan memiliki perbedaan pemikiran? Kapan pelaku spiritual mau mengulurkan
tangan terhadap orang yang memiliki pendapat dan pemikiran berbeda dan mereka
duduk bersama menyamakan persepsi. Saling menasehati dalam sebuah silaturahmi,
kemudian saling menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing?
Keyakinan
dibangun dari pengalaman hidup. Referensi kehidupan yang mengajari setiap manusia
sehingga menjadi yakin. Sebagaimana Mas Thole kecil yang kemudian meyakini
bahwa spiritual itu hanyalah pelarian mansuia yang tidak mampu bersaing di
kehidupan nyata. Maka mereka lari dari kenyataan bersembunyi di alam-alam
kesadaran. Spiritual hanya menjadi beban bagi jiwa manusia. Banyak
ritual-ritual yang sangat memberatkan dan menyusahkan umatnya. Lihatlah bangsa ini, yang menghabiskan energi
hanya untuk sebuah perayaan hari raya. Kesadaran mereka akan memaksa untuk meng ada-adakan materi sebagai simbol pemujaan mereka kepada hari raya. Hari raya sudah kehilangan makna hekekat fitrahnya. Kesadaran manusia akan malu dan sangat
tersiksa jika dirinya tidak ikut menyertakan harta untuk membiayai riual dalam menyambut hari yang suci. Demikianlah yang dapat terbaca dari kesadaran kolektif bangsa ini.
Begitulah keyakinan Mas Thole kecil. Benar apa yang dikatakan sang putri bahwa spiritual hanya akan menyusahkan istri dan juga anak anak Mas Thole. Sebuah kebenaran yang juga Mas Thole yakini. Oleh karena itulah Mas Thole berjuang untuk melepaskan diri dari kesadaran koletif bangsa ini. Kesadaran yang hanya menjadikan spiritual itu sebagai alat pencampaian keinginan manusia atas eksistensi diri. JIka mereka sudah melaksanakan ritual, maka mereka akan dapat melakukan klaim atas kesucian jiwa mereka. Demikianlah keadaannya. Banyaknya ibadah, banyaknya ritual menjadi parameter kebenaran bagi para pelaku spiritual bangsa ini. Mereka akan berbangga-bangga dengan banyaknya hapalan-hapalannya, berbangga-bangga dengan banyaknya sholatnya. Dan banyak kebanggaan atas laku spiritual mereka. Kesadaran banga ini sedang menuju pragmantisme spiritual. Spiritual yang menjadi alat bagi pemuasaan kebutuhan ego manusia.
Begitulah keyakinan Mas Thole kecil. Benar apa yang dikatakan sang putri bahwa spiritual hanya akan menyusahkan istri dan juga anak anak Mas Thole. Sebuah kebenaran yang juga Mas Thole yakini. Oleh karena itulah Mas Thole berjuang untuk melepaskan diri dari kesadaran koletif bangsa ini. Kesadaran yang hanya menjadikan spiritual itu sebagai alat pencampaian keinginan manusia atas eksistensi diri. JIka mereka sudah melaksanakan ritual, maka mereka akan dapat melakukan klaim atas kesucian jiwa mereka. Demikianlah keadaannya. Banyaknya ibadah, banyaknya ritual menjadi parameter kebenaran bagi para pelaku spiritual bangsa ini. Mereka akan berbangga-bangga dengan banyaknya hapalan-hapalannya, berbangga-bangga dengan banyaknya sholatnya. Dan banyak kebanggaan atas laku spiritual mereka. Kesadaran banga ini sedang menuju pragmantisme spiritual. Spiritual yang menjadi alat bagi pemuasaan kebutuhan ego manusia.
....
Semua
berjalan sebagaimana yang diharapkan Mas Thole, setelah ayahnya meninggal
praktis Mas Thole menjadi anak yatim. Jalan materialistik dan kapitalistik terbentang di depan matanya. Meskipun dia anak yatim, namun tekadnya untuk sekolah tidak
terbendung lagi. Tekadnya bulat da harus sukses di alam materi. Dia diterima disebuah perguruan tinggi negri di sebuah kota kecil.
Perjuangannya di realitas alam materi mulai di jalani. Apakah mudah? Sama saja
sulitnya. Masing-masing dimensi memeiliki kesulitan tersendiri. Sering Mas
Thole tidak makan 3 hari sebab tidak adanya uang. Sehari makan dan sehari tidak
adalah hal bisa bagi Mas Thole. Kadang untuk sekedar mengganjal perutnya dia
bermain ke teman-teman kost yang lain, sekedar untuk dapat sedikit makanan demi
melangsungkan hidupnya. Berbulan dan bertahun itu dialaminya. Hingga ada
saudaranya yang kasihan dan boleh makan disana sehari sekali. Perjuangan dialam
realitas ternyata tak semudah yang dibayangkannya. Demi sebuah keyakinan dia
harus memperjuangkannya.
Tanpa
disadari itulah cara alam mengajarinya. Di alam apa saja disana adalah
pengajaran. Laku realitas yang dialaminya adalah sebagaiman laku spiritual.
Laku sehari puasa dan sehari tidak sebagaiman puasa nabi Daud. Hanya
perbedaaanya adalah Mas Thole tidak melakukan dengan niat yang benar. Mas Thole
dipaksa alam untuk selalu prihatin dan menjalani laku penderitaan lahir dan
batin. Sungguh Mas Thole tidak menyadari itu sebagai bentuk pengajaran dan
pembelajaran dari alam. Mas Thole meraskan keadaan itu sebagai siksaan dan
derita kehidupan yang telah Tuhan berikan kepadanya., Tuhan tengah menyiksa
hambaNya. Tuhan Maha Kuasa, dengan kemahaan kuasaNya ini Tuhandengan mudahnya
DIA semena-mena. Keadaan itu menjadikan Mas Thole semakin jauh dari spiritual.
Namun masih ada setitik burhan dalam hatinya. Hatinya tetap menyebut nama
Tuhannya.
Sekian
tahun berlalu akhirnya Mas Thole mampu menyelesaikan kuliahnya. Karirnya di
pekerjaan cukup mengesankan, hanya dalam beberapa tahun dirinya sudah menempati
level managerial dan menduduki peringkat nasional. Sambil bekerja dirinyapun mampu menyelesaikan kuliah S2 nya.
Apkaah kesuksesan secara materi ini mengesankan dan membuat perjalanan Mas
Thole selesai? Tidak! Alam berkehendak lain. Pengajaran Kami mulai
dilaksanakan. Diambilah harta dan tahta Mas Thole satu demi satu dengan sangat
meyakitkannya. Mas Thole mulai limbung dengan keyakinan dirinya. Hantam pertama
sudah membuat Mas Thole terhuyung. Mulai teringatlah dosa-dosanya. Berapa puluh
tahun sholat sudah ditinggalkannya.
Hantaman
pertama mampu membuat Mas Thole ingat Tuhannya. Sambil terhuyung-huyung dia
mencoba mencari Tuhan dalam ketidak mengertiannya. Dia terpesona dengan
orang-orang yang sangat tekun beribadah. Kekagumannya atas orang-orang yang
demikian luar biasanya mampu menjalankan ibadah membuat dirinya mengkultuskan
orang tersebut. Dia lupa bahwa orang melakukan ibadah tersbeut sebab rahmat
Allah semata. Mas Thole tidak pernah paham itu. Sampai pada suatu saat, orang
yang dikaguminya menipunya, menjungkir balikan keyakinannya atas kebenaran.
Mulai sejak saat itu hantaman demi hantama realitas kehidupan menghancurkan keyakinannya
selama ini. Kemana lagi dirinya mengadu, kemana dirinya mencari ketenangan atas
jiwa yang resah digempur kenyataan kehidupan.
Alam
materi tidak berpihak padanya. Satu demi satu musibah melanda. Semua
dikarenakan harta. Mas Thole harus menanggung penderitaan itu semua. Dalam
dunia materi tidak ada kawan, semua demi uang apa saja bisa dilakukan. Penipuan
dan pemaksaanpun juga terjadi disana. Badai kehidupan dari alam materi menerpa
keluarga Mas Thole, keadaan kritis yang memaksa Mas Thole harus mengungsikan
keluarganya. Dia harus berhadapan dengan wajah wajah gahar preman yang datang
di rumahnya. Satu regu preman menyambangi rumahnya, semua dengan senjata
lengkap. Kemanakah Mas Thole harus memeohon pertolongan? Rahsa malu menyergah.
Bagaimanakah pandangan lingkungan terhadapnya? Namun kenyataan itu harus
dihadapinya.
Berulang
hari dan berganti tahun, preman-preman menyambangi dan mengancam jiwa Mas Thole
dan keluarganya. Kemanakah harus berlindung? Kemana lagi jika tidak kepada
Tuhan? Kemanak lagi jika tidak meenmpuh jalan spiritual. Aduh..pelik sekali
rahsa di jiwa. Pergolakan dan pertentangan batin disana. Pengalaman kecil Mas
Thole mengajarkan keadaan sebaliknya. Dan kini dirinya juga dihadapkan dengan
situasi yang seperti bertentangan. Akankah dirinya kembali menjalani laku
spiritual? Lelah jiwa, lelah raga. Kejadian demi kejadian yang berurutan dalam
situasi yang nampak bertentangan di kesadaran membuat jetlag. Mankah yang harus
dipercaya di alam nyata ini? Orang yang nakmpaknya suci ahli ibadah nyatanya
adalah penipu. Rahsanya tidak percaya hal ini. Apakah dia tidak takut kepada
Tuhannya?
Kesadaran
Mas Thole mulai mengembara, berkelana bertanya kepada langit dan bumi.
Bagaimanakah memaknai kehidupan ini? Untuk apakah dirinya diciptakan. Saat dirinya
mencoba meyakini alam materi, dirinya dihantam kenyataan sakit di alam materi.
Dan saat dirinya ingin kembali spiritual dirinya mendapatkan kenyataan di alam
spiritual juga sama saja. Orang yang menipu dirinya adalah orang yang sangat
ahli dalam ibadahnya. Sungguh rahsanya mau gila. Keadaan yang terbolak balik.
Paradoks! Bertahun-tahun Mas Thole mengendapkan itu semua. Mencoba mencari
jawaban. Mulailah dirinya belajar kesana kemari kepada orang-orang yang
mengerti. Apakah dia mendapatkan pengajaran?
Luar
biasa Kami menunjukan kepada Mas Thole. Para ahli kitab yang didatanginya,
mereka yang sangat ahli dengan ilmu-ilmu agama, menampakan kebenciannya secara
nyata di depan mata Mas Thole. Bagaimana mereka menista umat lainnya, bagaimana
mereka saling menyalahkan satu sama lainnya. Membenarkan keyakinan mereka dan
menghujat yang tidak sejalan dnegan dirinya. Mengapakah dalam satu agama saja
mharus saling menghujat? Kepala Mas Thole rasanya mau pecah, mendapati keadaan
kehidupan ini. Apakah ada yang tidak beres dalam dirinya. Kemanakah lagi dia
mencari ketenangan batin. Ajaran apakah yang mampu membuat jiwa tenang. Jiwa
yang tidak mengajarkan kebencian atas satu manusia kepada manusia. Pengajaran
cinta kasih atas sesama. Kemanakah dirinya harus mencari jalan itu?
...
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Semua mengikuti
garis edarnya. Keadaan Mas Thole masih dalam pencariannya. Tidak mudah memang.
Di tengah pencarian jatidirnya, dia masih harus berhadapan dengan realitas
sebagai kepala keluarga. Anak dan istrinya butuh makan. Butuh uang sekolah,
bayar listrik, dan keperluan lainnya. Dalam hati kecilnya, Ingin rahsanya dia
bisa seperti Sang Budha, meninggalokan anak istrinya dan mencari jalan
kebenaran, bertapa di gua sebagaimana rosul, atau bertapa di pohon sebagaimana
Sidharta. Dialektika transedental terus dilakukan dengan dirinya sendiri,
setiap waktu setiap detik, setiap ada kesempatan. Hingga akhirnya datanglah
mimpi yang bersambung setiap malamnya. Mimpi yang memberikan petunjuk bagi Mas
Thole.
...
Mimpi
tersebut menjadi keyakinan baru bagi Mas Thole. Diarungi dan dijelajahi
seantero negri ini, mengikuti dorongan hati dan petunjuk Kami. Perjalanan
itulah yang menjadi awal dikisahkannya disini. Entah bagaimana caranya Kami
memaksa Mas Thole untuk melakukan perjalanan. Keadaan ekonomi keluarganya yang
tidak menetu memaksa Mas Thole menerima
tawaran sebagai konsultan untuk mendatangi kota-kota di seluruh negri ini.
Kota-kota yang ternyata sudah ditunjuk oleh Kami untuk dikenali energinya.
Mulailah ditinggalkan anak dan istrinya. Sebuah perajalanan spiritual mengenali
jatidirinya sendiri dan juga mengenal rencana Tuhan atas maksud penciptaan.
Kisah perjalanan baru bagi Mas Thole, Perjalanan realitas yang diliputi
spiritual. Spiritual yang meliputi perjalanan realitas. Dua keadaan yang saling
beriringan. Mas Thole mendapatkan rejeki di alam materi dan sebaliknya di alam
spiritual Mas Thole mulai belajar mengenali nama-nama benda (makhluk) yang
berada disana. Setiap makhluk membawa energi yang dapat dikenali.
Perjalanan
Mas Thole sebagaiman ahli botani yang mencoba mengindentifikasikan para
mahukl-mahluk penghuni alam dimensi yang berada di setiap daerah. Inilah
pengajaran Kami atas nama-nama benda (mahluk); “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (mahluk-mahluk) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar!" [Al Baqarah 31]
Apakah
semua mulus keadaanya, apakah perjalanannya sudah selesai? Tidak! Mas Thole
seperti masuk ke lorong-lorong dimensi yang membuat sistem ketubuhannya sering
terkunci. Rahsa kesakitan dan pergolakan jiwa bertambah sekian kali lipat
rahsanya. Sungguh, sulit sekali mengkahabrkan rahsa itu. Rahsa sakit yang
berbeda setiap detailnya. Berbeda seratus delpan puluh derajat dari rahsa sakit sebab penderitaan alam materi. Dan setiap kali rahsa sakit itu datang, rahsanya seperti mati. Perjalanan spiritual seperti mendaki tebing terjal dan curam, di kanan kirinya jurang dari neraka jahanam. Apalagi kesadaran bagai bola
yang di pantulkan sebentar datang, sebentar hilang dan pergi. Bola memantul dengan
liarnya. Sulit sekali meletakan bola pada tempat yang semestinya. Bola atau titik
inilah yang menjadi kerangka acuan kesadaran Mas Thole, dalam memandang alam
buana.
Kesadaran bagai bola yang hilang dan pergi. Bola adalah titik kesadaran pada Ba dan Nun.
Kesadaran bagai bola yang hilang dan pergi. Bola adalah titik kesadaran pada Ba dan Nun.
Kesadaran hilang, maka kanan dan kiri adalah neraka jahanam. Adakah manusia memiliki kekuatan untuk kesana?
Bersambung...
Lantas
bagaimana dengan keadaan keluarganya....maka pola seakan kembali berulang,
seperti keadaan ayahnya. Perjalanan pengenalan energi membuat jiwa Mas Thole
sedemikian sensitif sekali. Dia mampu mengenali sosok yang tidak dilihat.
Sistem ketubuhan akan bereaksi dengan hebat. Muncul direalitas sebagai respon (perilaku)
yang tidak menyenangkan bagi keluarganya. Tubuh memberikan respon kepada
makhluk yang datang, yang ingin memasuki kesadarannya, namun pada kenyataan
yang ada didepannya adalah istri? Bagaiaman menjelaskan kepada sang istri? Apakah dirinya tidak
dianggap gila? Atau mengada-ada mencari alasan?
”Aduh.....demikian sulit ya Allah
mencari jalan-jalanMU”
salam
salam
Komentar
Posting Komentar