Bencana dan Musibah 'SPIRITUAL!' (The Chronicles of Spiritualism) (2)

Hasil gambar untuk pertapa sakti
Pengantar; Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, kisah ini kembali dihantarkan.

Jalan terbuka dan lengang di depan. Pintu tol Brebes Timur tinggal seperempat minum teh lagi. Mobil Xenia putih itu nampak melaju dengan irama yang konstan. Keluar tol, mengambil jalur ke kanan, menuju arah Randu Dongkal. Jalan yang masih sepi, berliku-liku, di kanan kirinya masih nampak pemandangan yang indah. Jika sore hari lewt disini masih sering kabut tipis berlalu lalang disana. Mas Thole mampir sebentar di sebuah pom bensin untuk melaksanakan sholat. Selesai sholat mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada sesuatu yang aneh dalam perajlanan mereka. Istri dan anak Mas Thole skembali tertidur. Sementara Mas Thole kembali memasuki alam-alam kesadaran. Meskipun pandangannya tetap ke depan namun sesungguhnya kesadarannya sudah tidak di sana. Dibiarkannya sistem gerak refleks di ketubuhan Mas Thole untuk mengambil alih melaksanakan fungsi dan tugas raga yaitu mengendalikan laju kendaraan.

Memasuki jalur Randu Dongkal. Jalan sudah semakin menyempit, kelokan jalan yang begitu tajam, semakin membawa Mas Thole asyik bermain di kesadarannya. Sistem ketubuhannya memindai, sensasi rahsa yang masih tertinggal. Sebagaimana saat indra manusia mendeteksi rahsa manis. Maka meskipun tidak ada gula di lidahnya, manusia tersebut masih mampu menghadirkan rahsa manis di kesadarannya. Rahsa manis tersebut semakin diamati akan semakin kuat rahsanya. Rahsa yang semula hanya satu titik dibagian badan saja. Secara perlahan akan semakin menguat bmuncul menenjadi seperti kabut yang perlahan-lahan mengambil alih sistem kesadaran. Maka seluruh sistem ketubuhan hanya akan merasakan manis saja. Begitulah analoginya. Maka begitu kesadaran Mas Thole diniatkan memasuki dimensi kesadaran, seketika itu juga sistem refleks tubuh menghantarkan sensasi rahsanya.

Dimasukinya satu demi satu dimensi demi dimensi. Kesadaran perlahan meliputi ketubuhan. Seperti air yang mengisi pori-pori spon. Dibukanya memori disana, dari satu file ke file berikutnya. Kesadarannya seperti membuka kotak pandora, kotak yang dahulu sangat ditakutinya. Kotak iba dirinya. Benar begitu kotak terbuka, hawa menyakitkan membelit tulang-tulang Mas Thole. Namun ditahannya dan terus dicobanya memasuki lebih jauh neuron syarafnya, menjelajah memori di DNA. Seperti halnya mesin pencari (search engine) Google, yang menampilkan banyak link disana. Mulai dari urutan pertama sama ke sekian.  Diamati residu yang tertinggal disana. Residu rahsa yang sempat menguliti seluruh tubuh Mas Thole saat dahulu mengalami kejadiannya. Maka manakala residu itu dibangkit, seperti layar film yang terbuka, adegan demi adegan nampak dilayarnya. Lengkap dengan rahsa yang mengharu birukan jiwa manusia. Tanpa terasa air mata Mas Thole mengembang. Perih dan pedih sekali disana. Kehidupan yang demikian sulit dialaminya sebagai seorang anak.

Sudah semenjak bayi Mas Thole dititipkan kepada salah satu adik Ibunya. Sampai umur enam tahun dikembalikan kepada orang tunya. Namun tidak berapa lama kembali Mas Thole di titipkan kepada neneknya. Perlakuan sang nenek yang luar biasa kejam diterimanya sebagai bagian dari pembelajaran kehidupan. Namun tetap saja Mas Thole kecil tidak paham apakah sebenarnya rencana Tuhan. Pukulan dengan gagang sapu, hampir tiap hari diterima Mas Thole kecil. Kesadarannya tidak paham mengapa tingkah laku orang dewasa demikian kekanakan-kanakan. Penuh kebencian kepada sesama. Bukankah dirinya hanya seorang anak kecil yang baru berumur 7 tahun? Apakah yang dipahaminya atas kehidupan? Kesadarannya tidak mengenal apakah itu salah dan benar. Bukankah sepatutnya orang dewasa mengajarkan apakah itu kebenaran?

Mengingat dan mereka kejadian, membuat bulu kudu Mas Thole merinding. Sempat dirinya terheran-heran, mengapakah dirinya mampu bertahan melalui masa-masa sulit itu? Sering saat menjelang tidur, matanya kosong menatap langit-langit kamar. Mencoba memahami arti kehidupan yang begitu penuh derita. Dia bertanya apakah Tuhan menciptakan manusia untuk dibuat permainan? Apakah Tuhan senang melihat makhluk ciptaanya menangis sebab kesakitan? Langit-langit kamar seperti tak mampu menjawab. Terjadi dialektika yang intens transedental di hati Mas Thole. Dalam kepedihannya menahan rahsa sakit di jiwa Mas Thole sering menghujat Tuhan, menghujat orang tuanya, menghujat apa saja di sekelilingnya. Mengapa orang tuanya begitu tega membuang anaknya. Bukankah seorang anak terlahir tanpa pernah dia meminta? Bukankah seorang anak adalah hasil dari buah cinta? Lantas cinta apakah yang melandasi manusia melahirkan anak-anaknya? Apakah hanya cinta nafsu birahi semata?

...

Mengkisahkan bagian ini, membuat Mas Thole menangis dalam batinnya. Membuka luka yang telah dimasukan dalam kkotak pandoranya, artinya dia harus mampu menerima takdirnya. Tidak ada waktu yang bisa diputar ulang kembali. Tidak ada kejadian yang akan sama terulang lagi. Maka hanya ada salah satu jalan, dia harus mampu menerima takdirnya sendiri. Takdir sebagai manusia terbuang, dikucilkan dan dinafikan keberadaanya. Yah, kisah ini hanya mengulang pola lama saja sebagaimana kejadian dahulu kala sebagai Raden Panji Inu Kertapi, yang dibuang oleh orang tuanya ke sungai kemudian di ketemukan oleh kakek dan nenek yang menjadi pengasuhnya. Pengajaran yang keras dari kedua orang tua asuhnya saat itu tidak dipahaminya. Begitu halnya di kejadian terkini. Mas Thole tidak pernah mampu memahami mengapakah neneknya begitu kejam terhadapnya. Menghadirkan ratusan bekas luka di badannya. Sehingga pada puncaknya Mas Thole kecil melarikan diri dari sana. Kembali pulang kepada kedua orang tuanya.

Apakah kisahnya kemudian happy ending, tidak ternyata sekembalinya kepada kedua orang tuanya, tidak menambah baik keadaannya. Tidak begitu lama, Ibunya pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya yang sakit. Ayahnya yang mempelajari ilmu kebatinan membuat siapapun wanita tidak tahan. Kemampuan spiritual ayahnya yang sangat tinggi tidak mampu diimbangi oleh kesadaran lawan jenisnya. Ayahnya yang sudah tidak memikirkan duniawi lagi,  benar-benar membuat realitas keluarga Mas Thole dilanda kemiskinan yang akut. Rumahnya lebih tepat di sebut kandang kambing daripada sebuah rumah. Di rumah yang tidak bisa disebut rumah itulah Mas Thole merawat ayahnya, bersama kakak dan adik-adiknya. Namun itu hanya satu atau dua tahun. Setelahnya saudara-saudaranya di bawa ibunya. Tinggal Mas Thole sendiri merawat ayahnya yang sakit. Sebagaimana sudah di kisahkan dimuka.

...

Coba katakan, apakah spiritual mampu menjadikan orang itu kaya raya? Tidak usahlah kaya, hidup yang biasa saja sebagaimana kehidupan orang normal lainnya, apakah bisa? Tidak..tidak bisa! Mas Thole benar-benar harus berjuang memahami ini. Keadaan ayahnya yang demikian memprihatinkan membuat dirinya sangat antipati dengan spiritual. Kemampuan sang ayah yang luar biasa, ternyata tidak pernah mampu menolong dirinya sendiri. Sering kalai Mas Thole bertanya dalam batinnya, untuk apakah ayahnya menjalani laku spiritual, jika secara realitas dirinya adalah orang terbuang. Orang yang tidak memiliki kemampuan walau semisal hanya untuk makan sehari tiga kali. “Untuk apa memiliki kesaktian itu?” Itulah jerita batin Mas Thole kecil. Begitu alerginya Mas Thole terhadap laku spiritual. Spiritual hanya akan mebuat manusia sengsara. Itulah pemahamannya saat itu.

Spiritual tidak akan menjadikan seseorang itu kaya. Maka jika ada orang yang menjadikan jalan spiritual itu adalah untuk mencari kekayaan pastilah itu jalan setan. Maka sejak saat itulah Mas Thole menjauhkan diri dari spiritual. Dia tidak ingin seperti ayahnya. Dia ingin berjalan di realitas. Bersekolah sebagaimana manusia normal lainnya. Tekadnya sudah bulat. Walau sambil merawat ayahnya yang kadang sakit, Mas Thole tetap menguatkan diri. Sekolah adalah jalan untuk kesuksesan. Itulah keyakinannya. Suka duka menjaga sang ayah, kadang harus mengikat sang ayah di ranjangnya, kadang tertawa bersama, meski jarang bersapa, menjadi keseharian. Untung saja ayahnya jika dalam keadaan sadar, masih mampu bekerja, pekerjaannya sebagai penilik sekolah membuat sakitnya tidak terlalu mengganggu pekerjaannya. Dia bisa ijin sewaktu-waktu.

...

Sementara kesadaran Mas Thole masih terus berkelana, membaca bagian demi bagian adegan, laju mobil sudah mendekati Randu Dongkal. Di tengah kiri jalan, nampak peristirahatan. Di bawahnya ada sungai dengan air jernih mengalir. Batu-batu besar berserakan dia sepanjang sungai. Ada tanggul yang menyebabkan air jatuh seperti air terjun. Disana Mas Thole dan keluarga menghentikan kendaraan. Mereka turun perlahan dan menuju batu batuan yang menarik perhatian. Bersama istri dan anaknya Mas Thole bermain air sungai, sejenak melupakan kepenatan perjalanan, dan juga keletihan sepanjang memasuki dimensi kesadaran. Betapa tidak, Mas Thole harus mengalami rahsa sakit yang sama setiap kali membuka file kesadarannya. Residu rahsa tersebut masih kental disana, hanya tertutup oleh kotak pandora saja. Coba bayangkanlah,  betapa sakitnya!

Energy chat itu telah memaksa Mas Thole untuk kembali menelisik keadaan dirinya. Menacari letak dimanakah dia masih menyimpan ego, sebagaimana dikatakan oleh sang putri di chatnya. Mas Thole ingin tau, apakah masih ada benih keegoisan didalam dirinya, yang sedemikian sehingga membuat orang lain terluka olehnya. Jika demikan, celakalah dirinya! Masih diseputar chat tersebut. Banyak kebenaran atas apa-apa yang disampaikan disana. Mas Thole membenarkan dan menjadi saksi atas kebenarannya. Lihatlah dalam kesadaran kolektif bangsa ini. Lihatlah para dukun, dan para pelaku jalan spiritual, bagaimanakah keadaan mereka? Banyak dari mereka yang menyusahkan manusia lainnya. Meminta-minta sumbangan dengan alibi kesucian mereka.

Manusia dipaksa agar menghormati para pelaku spiritual. Manusia diminta untuk menghormati orang yang sedang puasa, orang yang sholat, dan laku-laku lainnya. Jika ada yang mengusik laku ini, maka bersiaplah nyawa sebagai taruhannya. Begitu sensitifnya para pelaku spiritual ini. Mereka tidak  mau dan tidak bisa diusik laku mereka. Laku yang seharusnya mampu membentuk akhlak mereka untuk menghormati orang yang awam, (sebab ketidak pahaman orang awam), justru menjadi sebaliknya, mereka dengan beringas menyerang orang awam, orang yang tidak paham apa itu spiritual. Laku mereka menjadi gahar dan beringas saat di realitas, saat laku mereka terusik. Inikah yang dimaui para pelaku jalan spiritual?

Kapankah manusia menghormati orang yang tidak menjalani ritual spiritual. Kapankah kita bisa menghormati orang yang tidak puasa? Orang yang patut mereka kaishani sebab ketidaktahuan mereka betapa pentingnya puasa bagi dirinya itu. Kapan pelaku spiritual mau merendahkan diri untuk mengajari orang-orang yang tidak tahu spiritual. Orang yang awam yang tidak mengerti untuk apa faedah sholat, untuk bercapai-capai dan berlelah diri untuk bangun sujud dan rukuk. Kapankah laku spiritual yang dijalankan mampu membentuk akhlak berkasih sayang sesama manusia yang pasti akan memiliki perbedaan pemikiran? Kapan pelaku spiritual mau mengulurkan tangan terhadap orang yang memiliki pendapat dan pemikiran berbeda dan mereka duduk bersama menyamakan persepsi. Saling menasehati dalam sebuah silaturahmi, kemudian saling menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing?

Keyakinan dibangun dari pengalaman hidup. Referensi kehidupan yang mengajari setiap manusia sehingga menjadi yakin. Sebagaimana Mas Thole kecil yang kemudian meyakini bahwa spiritual itu hanyalah pelarian mansuia yang tidak mampu bersaing di kehidupan nyata. Maka mereka lari dari kenyataan bersembunyi di alam-alam kesadaran. Spiritual hanya menjadi beban bagi jiwa manusia. Banyak ritual-ritual yang sangat memberatkan dan menyusahkan umatnya.  Lihatlah bangsa ini, yang menghabiskan energi hanya untuk sebuah perayaan hari raya. Kesadaran mereka akan memaksa untuk meng ada-adakan materi sebagai simbol pemujaan mereka kepada hari raya. Hari raya sudah kehilangan makna hekekat fitrahnya. Kesadaran manusia akan malu dan sangat tersiksa jika dirinya tidak ikut menyertakan harta untuk membiayai riual dalam menyambut hari yang suci. Demikianlah yang dapat terbaca dari kesadaran kolektif bangsa ini.

Begitulah keyakinan Mas Thole kecil. Benar apa yang dikatakan sang putri bahwa spiritual hanya akan menyusahkan istri dan juga anak anak Mas Thole. Sebuah kebenaran yang juga Mas Thole yakini. Oleh karena itulah Mas Thole berjuang untuk melepaskan diri dari kesadaran koletif bangsa ini. Kesadaran yang hanya menjadikan spiritual itu sebagai alat pencampaian keinginan manusia atas eksistensi diri. JIka mereka sudah melaksanakan ritual, maka mereka akan dapat melakukan klaim atas kesucian jiwa mereka. Demikianlah keadaannya. Banyaknya ibadah, banyaknya ritual menjadi parameter kebenaran bagi para pelaku spiritual bangsa ini. Mereka akan berbangga-bangga dengan banyaknya hapalan-hapalannya, berbangga-bangga dengan banyaknya sholatnya. Dan banyak kebanggaan atas laku spiritual mereka. Kesadaran banga ini sedang menuju pragmantisme spiritual. Spiritual yang menjadi alat bagi pemuasaan kebutuhan ego manusia.

....

Semua berjalan sebagaimana yang diharapkan Mas Thole, setelah ayahnya meninggal praktis Mas Thole menjadi anak yatim. Jalan materialistik dan kapitalistik terbentang di depan matanya. Meskipun dia anak yatim, namun tekadnya untuk sekolah tidak terbendung lagi. Tekadnya bulat da harus sukses di alam materi. Dia diterima disebuah perguruan tinggi negri di sebuah kota kecil. Perjuangannya di realitas alam materi mulai di jalani. Apakah mudah? Sama saja sulitnya. Masing-masing dimensi memeiliki kesulitan tersendiri. Sering Mas Thole tidak makan 3 hari sebab tidak adanya uang. Sehari makan dan sehari tidak adalah hal bisa bagi Mas Thole. Kadang untuk sekedar mengganjal perutnya dia bermain ke teman-teman kost yang lain, sekedar untuk dapat sedikit makanan demi melangsungkan hidupnya. Berbulan dan bertahun itu dialaminya. Hingga ada saudaranya yang kasihan dan boleh makan disana sehari sekali. Perjuangan dialam realitas ternyata tak semudah yang dibayangkannya. Demi sebuah keyakinan dia harus memperjuangkannya.

Tanpa disadari itulah cara alam mengajarinya. Di alam apa saja disana adalah pengajaran. Laku realitas yang dialaminya adalah sebagaiman laku spiritual. Laku sehari puasa dan sehari tidak sebagaiman puasa nabi Daud. Hanya perbedaaanya adalah Mas Thole tidak melakukan dengan niat yang benar. Mas Thole dipaksa alam untuk selalu prihatin dan menjalani laku penderitaan lahir dan batin. Sungguh Mas Thole tidak menyadari itu sebagai bentuk pengajaran dan pembelajaran dari alam. Mas Thole meraskan keadaan itu sebagai siksaan dan derita kehidupan yang telah Tuhan berikan kepadanya., Tuhan tengah menyiksa hambaNya. Tuhan Maha Kuasa, dengan kemahaan kuasaNya ini Tuhandengan mudahnya DIA semena-mena. Keadaan itu menjadikan Mas Thole semakin jauh dari spiritual. Namun masih ada setitik burhan dalam hatinya. Hatinya tetap menyebut nama Tuhannya.

Sekian tahun berlalu akhirnya Mas Thole mampu menyelesaikan kuliahnya. Karirnya di pekerjaan cukup mengesankan, hanya dalam beberapa tahun dirinya sudah menempati level managerial dan menduduki peringkat nasional. Sambil bekerja  dirinyapun mampu menyelesaikan kuliah S2 nya. Apkaah kesuksesan secara materi ini mengesankan dan membuat perjalanan Mas Thole selesai? Tidak! Alam berkehendak lain. Pengajaran Kami mulai dilaksanakan. Diambilah harta dan tahta Mas Thole satu demi satu dengan sangat meyakitkannya. Mas Thole mulai limbung dengan keyakinan dirinya. Hantam pertama sudah membuat Mas Thole terhuyung. Mulai teringatlah dosa-dosanya. Berapa puluh tahun sholat sudah ditinggalkannya.

Hantaman pertama mampu membuat Mas Thole ingat Tuhannya. Sambil terhuyung-huyung dia mencoba mencari Tuhan dalam ketidak mengertiannya. Dia terpesona dengan orang-orang yang sangat tekun beribadah. Kekagumannya atas orang-orang yang demikian luar biasanya mampu menjalankan ibadah membuat dirinya mengkultuskan orang tersebut. Dia lupa bahwa orang melakukan ibadah tersbeut sebab rahmat Allah semata. Mas Thole tidak pernah paham itu. Sampai pada suatu saat, orang yang dikaguminya menipunya, menjungkir balikan keyakinannya atas kebenaran. Mulai sejak saat itu hantaman demi hantama realitas kehidupan menghancurkan keyakinannya selama ini. Kemana lagi dirinya mengadu, kemana dirinya mencari ketenangan atas jiwa yang resah digempur kenyataan kehidupan.

Alam materi tidak berpihak padanya. Satu demi satu musibah melanda. Semua dikarenakan harta. Mas Thole harus menanggung penderitaan itu semua. Dalam dunia materi tidak ada kawan, semua demi uang apa saja bisa dilakukan. Penipuan dan pemaksaanpun juga terjadi disana. Badai kehidupan dari alam materi menerpa keluarga Mas Thole, keadaan kritis yang memaksa Mas Thole harus mengungsikan keluarganya. Dia harus berhadapan dengan wajah wajah gahar preman yang datang di rumahnya. Satu regu preman menyambangi rumahnya, semua dengan senjata lengkap. Kemanakah Mas Thole harus memeohon pertolongan? Rahsa malu menyergah. Bagaimanakah pandangan lingkungan terhadapnya? Namun kenyataan itu harus dihadapinya.

Berulang hari dan berganti tahun, preman-preman menyambangi dan mengancam jiwa Mas Thole dan keluarganya. Kemanakah harus berlindung? Kemana lagi jika tidak kepada Tuhan? Kemanak lagi jika tidak meenmpuh jalan spiritual. Aduh..pelik sekali rahsa di jiwa. Pergolakan dan pertentangan batin disana. Pengalaman kecil Mas Thole mengajarkan keadaan sebaliknya. Dan kini dirinya juga dihadapkan dengan situasi yang seperti bertentangan. Akankah dirinya kembali menjalani laku spiritual? Lelah jiwa, lelah raga. Kejadian demi kejadian yang berurutan dalam situasi yang nampak bertentangan di kesadaran membuat jetlag. Mankah yang harus dipercaya di alam nyata ini? Orang yang nakmpaknya suci ahli ibadah nyatanya adalah penipu. Rahsanya tidak percaya hal ini. Apakah dia tidak takut kepada Tuhannya?

Kesadaran Mas Thole mulai mengembara, berkelana bertanya kepada langit dan bumi. Bagaimanakah memaknai kehidupan ini? Untuk apakah dirinya diciptakan. Saat dirinya mencoba meyakini alam materi, dirinya dihantam kenyataan sakit di alam materi. Dan saat dirinya ingin kembali spiritual dirinya mendapatkan kenyataan di alam spiritual juga sama saja. Orang yang menipu dirinya adalah orang yang sangat ahli dalam ibadahnya. Sungguh rahsanya mau gila. Keadaan yang terbolak balik. Paradoks! Bertahun-tahun Mas Thole mengendapkan itu semua. Mencoba mencari jawaban. Mulailah dirinya belajar kesana kemari kepada orang-orang yang mengerti. Apakah dia mendapatkan pengajaran?

Luar biasa Kami menunjukan kepada Mas Thole. Para ahli kitab yang didatanginya, mereka yang sangat ahli dengan ilmu-ilmu agama, menampakan kebenciannya secara nyata di depan mata Mas Thole. Bagaimana mereka menista umat lainnya, bagaimana mereka saling menyalahkan satu sama lainnya. Membenarkan keyakinan mereka dan menghujat yang tidak sejalan dnegan dirinya. Mengapakah dalam satu agama saja mharus saling menghujat? Kepala Mas Thole rasanya mau pecah, mendapati keadaan kehidupan ini. Apakah ada yang tidak beres dalam dirinya. Kemanakah lagi dia mencari ketenangan batin. Ajaran apakah yang mampu membuat jiwa tenang. Jiwa yang tidak mengajarkan kebencian atas satu manusia kepada manusia. Pengajaran cinta kasih atas sesama. Kemanakah dirinya harus mencari jalan itu?

...

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Semua mengikuti garis edarnya. Keadaan Mas Thole masih dalam pencariannya. Tidak mudah memang. Di tengah pencarian jatidirnya, dia masih harus berhadapan dengan realitas sebagai kepala keluarga. Anak dan istrinya butuh makan. Butuh uang sekolah, bayar listrik, dan keperluan lainnya. Dalam hati kecilnya, Ingin rahsanya dia bisa seperti Sang Budha, meninggalokan anak istrinya dan mencari jalan kebenaran, bertapa di gua sebagaimana rosul, atau bertapa di pohon sebagaimana Sidharta. Dialektika transedental terus dilakukan dengan dirinya sendiri, setiap waktu setiap detik, setiap ada kesempatan. Hingga akhirnya datanglah mimpi yang bersambung setiap malamnya. Mimpi yang memberikan petunjuk bagi Mas Thole.

...

Mimpi tersebut menjadi keyakinan baru bagi Mas Thole. Diarungi dan dijelajahi seantero negri ini, mengikuti dorongan hati dan petunjuk Kami. Perjalanan itulah yang menjadi awal dikisahkannya disini. Entah bagaimana caranya Kami memaksa Mas Thole untuk melakukan perjalanan. Keadaan ekonomi keluarganya yang tidak menetu memaksa Mas Thole  menerima tawaran sebagai konsultan untuk mendatangi kota-kota di seluruh negri ini. Kota-kota yang ternyata sudah ditunjuk oleh Kami untuk dikenali energinya. Mulailah ditinggalkan anak dan istrinya. Sebuah perajalanan spiritual mengenali jatidirinya sendiri dan juga mengenal rencana Tuhan atas maksud penciptaan. Kisah perjalanan baru bagi Mas Thole, Perjalanan realitas yang diliputi spiritual. Spiritual yang meliputi perjalanan realitas. Dua keadaan yang saling beriringan. Mas Thole mendapatkan rejeki di alam materi dan sebaliknya di alam spiritual Mas Thole mulai belajar mengenali nama-nama benda (makhluk) yang berada disana. Setiap makhluk membawa energi yang dapat dikenali.

Perjalanan Mas Thole sebagaiman ahli botani yang mencoba mengindentifikasikan para mahukl-mahluk penghuni alam dimensi yang berada di setiap daerah. Inilah pengajaran Kami atas nama-nama benda (mahluk); “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (mahluk-mahluk) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!" [Al Baqarah 31]

Apakah semua mulus keadaanya, apakah perjalanannya sudah selesai? Tidak! Mas Thole seperti masuk ke lorong-lorong dimensi yang membuat sistem ketubuhannya sering terkunci. Rahsa kesakitan dan pergolakan jiwa bertambah sekian kali lipat rahsanya. Sungguh, sulit sekali mengkahabrkan rahsa itu. Rahsa sakit yang berbeda setiap detailnya. Berbeda seratus delpan puluh derajat dari rahsa sakit sebab penderitaan alam materi. Dan setiap kali rahsa sakit itu datang, rahsanya seperti mati. Perjalanan spiritual seperti mendaki tebing terjal dan curam, di kanan kirinya jurang dari neraka jahanam. Apalagi kesadaran bagai bola yang di pantulkan sebentar datang, sebentar hilang dan pergi. Bola memantul dengan liarnya. Sulit sekali meletakan bola pada tempat yang semestinya. Bola atau titik inilah yang menjadi kerangka acuan kesadaran Mas Thole, dalam memandang alam buana. 

Kesadaran bagai bola yang hilang dan pergi. Bola adalah titik kesadaran pada  Ba dan Nun.
Kesadaran hilang, maka kanan dan kiri adalah neraka jahanam. Adakah manusia memiliki kekuatan untuk kesana?


Bersambung...

Lantas bagaimana dengan keadaan keluarganya....maka pola seakan kembali berulang, seperti keadaan ayahnya. Perjalanan pengenalan energi membuat jiwa Mas Thole sedemikian sensitif sekali. Dia mampu mengenali sosok yang tidak dilihat. Sistem ketubuhan akan bereaksi dengan hebat. Muncul direalitas sebagai respon (perilaku) yang tidak menyenangkan bagi keluarganya. Tubuh memberikan respon kepada makhluk yang datang, yang ingin memasuki kesadarannya, namun pada kenyataan yang ada didepannya adalah istri? Bagaiaman menjelaskan  kepada sang istri? Apakah dirinya tidak dianggap gila? Atau mengada-ada mencari alasan?

”Aduh.....demikian sulit ya Allah mencari jalan-jalanMU”

salam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali