Kisah Spiritual, Bara Api Asmara di ajapahit (2)
Kisah ini bukanlah menyoal sejarah. Kisah ini adalah kisah yang menyoroti keadaan hati. Bagaimana kekuatan hati sang pelaku dalam menyikapi peran yang tidak disukainya itu. Mungkin saja dapat dijadikan pelajaran bagi kesadaran. Yah, mungkin saja.
“Bagaimana keadaan jiwa jika kita berperan seperti mereka?”
Inilah yang patut dipertanyakan pada diri sendiri. Agar manusia mampu memahami hakekat pembelajaranNya yang tersembunyi dibalik kisah-kisah anak manusia. Agar manusia berhenti menghujat satu sama lainnya.
“Jawablah pertanyaan bagaimana jika manusia dipertukarkan peran. Apakah mereka masih sanggup untuk saling menistakan?”
Jika yang Islami dipertukarkan jiwanya mengisi raga yang Yahudi. Masihkah saling mengkafirkan, atau sebaliknya? Maka layaknya kisah peradaban patut kita jadikan teladan. Inilah misteri reinkarnasi yang menyelimut peradaban manusia.
Maka
sebaran kata ingin disusun Mas Thole. Agar kisah ini bisa layak terbaca di
sidang pembaca. Kemudian tidak mengatakannya ‘gila!’. Atau kemudian memakinya
dengan kata ‘pendusta!’. Pilihan kata apakah yang kiranya tepat mewakili makna
yang ingin disampaikannnya. Aduh, kata
apalagi yang tepat untuknya jika bukan kata itu? Mas Thole meragu untuk
mengkisahkan bagian ini. Namun entah dari mana datangnya daya yang menjadi dorongan sehingga Mas Thole nekad untuk
mengkisahkannya. Maka dilayangkanlah pesan kepada sang Putri, memohon ijinnya
agar kisah perjalanannya dapat dihadirkan disini.
...
“Bagaimana mengkhabarkan keadaan yang
sebenarnya?” Mas
Thole menghela nafas dalam. Rahsa sakit terus melebar di seputar badan. Menggumpal
dan pekat di kepala. Keadaan tersebutu dialaminya disepanjang perjalanan. Benturan energy kesadaran sudah merasuk sampai ke lapisan jiwa. Bertahan di seputar
sel dan neuron syarafnya. Kondisi badan Mas Thole sesungguhnya mulai melemah.
Mas Thole berjalan dengan membawa raga pasrah. “Jika perjalanannya harus berakhir di kota ini, apa boleh buat.” Sebagai
keturunan langsung Majapahit Mas Thole seperti tengah mengorek-korek luka lama dengan datang di kota ini.
Yah,
sebuah resiko mesti dihadapi Mas Thole. Dirinya meyakini sumber energy awal
yang menggerakan ‘pendulum’ sehingga menjadi pemicu terjadinya suksesi di
Majapahit berasal dari kota ini. Energy kesadaran yang terpolarisasi dikota
ini, telah menjadi ‘impuls’ kebangkitan
kerajaan baru. Maka Mas Thole
membulatkan tekad untuk menyelesaikan masalah bangsa ini langsung ke sumber
utamanya. Melalui dialektika kesadaran lintas dimensi dan dengan itu diharapkan
energy kesadaran tersebut tidak menjadi usikan bagi hati manusia terkini untuk
melakukan pergerakan, yang akan semakin menambah kisruh suasana dan justru akan menjadi sebab bencana kemanusiaan.
Dan jika itu terjadi, tentu jatuhnya korban pasti tidak terhitung jumlahnya.
“Ini adalah kisah tentang tragedy anak
manusia, kisah romantika asmara yang tak kasat mata”.
Batin Mas Thole. Sakit sekali rahsanya saat kesadaran Mas Thole mencoba
memasuki suasananya. Mencoba menelisik bagaimana mereka yang menjadi peran
utama dalam kisah tersebut merespon dan memaknai kejadian yang mengharu birukan
perasaan. Tersebut dalam kisah adalah Putri Campa dan disana juga ada yang
terkisahkan seorang gadis belia yang tidak mengerti apa apa, di usir oleh
suaminya. Dialah Siu Ban Ci, pemeran wanita utama yang ter aniaya. Sebuah kisah
yang sering terjadi di dalam sinetron. Bagaimana gadis tersebut melakoninya?
Benarkah
pemahamanya itu? Sering dirinya bertanya
tak mengerti. Bukankah kisah-kisah yang akan di reka ulang sudah terjadi
ratusan tahun yang lalu. “Apa urusannya
pada kejadian di waktu terkini? Dan apa hubungannya” Akalnya terus
menyergah. “Bukankah itu hanya mengikuti
angan dan khayalan belaka?”
“Perbuatan yang sia-sia” Berkata
akal logikanya.
“Tidak!”
Sudah bulat tekad Mas Thole untuk menyelesaikan dendam masa lalu yang
menghantui kehidupan terkininya. Melalui kesadarannya Mas Thole melakukan
‘jumping’ bergerak ke masa lalu. Masa dimana kala itu Prabu Brawijaya V masih
berkuasa.
Sehubungan
dengan wafatnya Maulana Malik Ibrahim, pendakwah Islam, pada tahun 1419, para
penyiar Islam (wali) - berdasarkan ide Maulana Ishaq - berunding dan kemudian
menyepakati bahwa harus ada pengganti Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari
Campa (Thailand). Maulana Ishaq lalu diutus ke Campa untuk maksud tersebut. Di
sana, usulnya disetujui oleh Raja Campa dan cucu raja Campa yang bernama Ali
Rahmatullah diutus ke Jawa bersama seorang puteri Campa. Setiba di Jawa, Puteri
Campa dan rombongannya menghadap Raja Majapahit. Raja Majapahit memperisteri
Puteri Campa tersebut dan menceraikan 80 isteri lainnya lalu menyerahkannya ke
para adipati / pembantunya untuk diperisteri. Kedatangan Ali Rahmatullah ke
Majapahit dikabarkan tahun 1445 M.
Dalam
situasi seperti itulah Siu-ban-ci yang diceraikan oleh Kertabumi tersebut diserahkan
kepada Ario Damar, seorang adipati/raja bawahan Majapahit yang ditempatkan di
Palembang (1455-1486)[25]. Arya Damar / Jaka Dilah diberitakan adalah anak dari
Wikramawardhana (dengan isteri bukan permaisuri). Namun ada yang menyatakan
bahwa sebenarnya ia adalah anak dari Raja Majapahit yang bernama Kartawijaya
(1447-1451).
Di
Palembang, Siu-ban-ci melahirkan anaknya dengan Kertabumi yang dinamakan Raden
Praba alias Jin-bun atau Raden Hasan yang kelak oleh Sunan Ampel diberi nama
Abdul Fatah / Raden Patah. Setelah melahirkan Jin-bun, Siu-ban-ci menikah
dengan Aria Damar. Dari perkawinan itu lahirlah anak yang diberi nama Raden
Kusen / Raden Husain yang kelak menjadi Pecat Tondo atau Adipati Majapahit di
Terung dekat Gresik Surabaya
.
Di
Palembang ini Siu-ban-ci dan keluarganya mendapat pendidikan agama. Diberitakan
bahwa yang sangat berperan dalam pendidikan keagamaan keluarga penguasa
Palembang ini adalah Sunan Ampel [30]. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat
ulama – yang lahir di Campa tahun 1401 dan wafat tahun 1481 di Surabaya[31]
yang bermazhab Hanafi [32]- tersebut mempunyai wilayah dakwah yang cukup luas,
dari Aceh sampai Jawa Timur.
...
Sebuah
alur cerita yang luar biasa. Kita melihat disana ada dua sosok wanita yang
menjadi Ibu bagi raja-raja nusantara. Ya, dia adalah Putri Campa dan Siu Ban
Ci. Dua orang wanita perkasa yang halus budi bahasa tengah memainkan skenario
alam semesta. Putri Campa dengan pemahaman Islamnya mengajak Prabu Brawijaya
untuk memperbaiki moral masyarakatnya. Sesuai dengan kaidah syariat Islam, maka
istri-istri sang Prabu juga harus diceraikannya. Syariat Islam memang demikian
adanya. Seorang lelaki tidak diperkenankan lebih dari 4 orang Istri. Maka demi
kecintaan sang Prabu kepada Putri Campa dia rela melepaskan 80 istri istrinya
dan di bagi bagikan kepada saudara juga bawahan terdekatnya.
Kisah
ini seperti mengalir saja. Data dan fakta disajikan tanpa makna. Seperti hitung
hitungan matematika. Kisah ini melupakan bagaimana keadaan para pelakunya.
Bagaimana keadaan para wanita yang tidak dipilih oleh Sang Prabu, bagaimana
gundah dan sakit hati mereka. Semua perasaan tersebut luput dari pengamatan
kita. Seakan akan mereka para wanita itu bukan manusia yang memiliki perasaan.
Mereka menahan perih di dada, mereka menahan nelangsa, meraka menahan sakit
yang merejam di ulu hati mereka. Mereka para wanita mencoba bertahan dengan
perasan terluka. Mereka mencoba menerima takdir mereka sebagai wanita. Wanita
yang hanya dipakai pria saat mereka suka. Tidak ada pilihan kala itu.
Bagaimana
keadaan persaan hati Siu Ban Ci? Adakah yang mengkhabarkannya? Adakah yang
mengerti? Wanita itu hanya diam menahan semua pedih dan perih. Tertulis dalam
bait syair kata-katanya saat Mas Thole mencoba berkomunikasi dengan dirinya.
Syair yang telah disajikan di awal tulisan ini, ditujukan kepada suaminya Sang
Prabu Brawijaya V dan juga kepada sang Permaisuri, Putri Campa.
Kepada
Sang Prabu dia berkata “.......Sejak
perang kata, dan tebaran kebencian memenuhi langit Majapahit. Aku tinggal
sendirian. Ingin kutanyakan apakah salahku? Jika merindu akan kembalinya
cintaku adalah sebuah kesalahan. Maka tunjukan padaku penjara manakah yang
mampu menampung gejolak jiwaku ini dan diujung dunia mana engkau akan
tinggalkan aku disana.
Kepada
Putri Anarawati dia berpesan, “......Ketahuilah
manakala engkau penjarakan aku maka saat itulah aku bebas. Aku lebih dekat dari tempat terjauh di
bumi ini. Aku akan datang kepadamu, dengan helaan nafas panjang. Jiwaku lepas
dari realita atas belenggu kebencianmu.
Anganku akan berkeliaran disegenap kesadaran. Membalikkan setiap
perkataan yang engkau ucapkan. Aku akan hidup dari sisa-sisa harapanmu.”
Alam
seperti mendengar tangisan sang putri. Takdir sebagai wanita tidaklah pernah
dia pinta. Takdir diperisti seorang raja juga tidak pernah dimauinya. Jika
kemudian dia diperisti dan terlanjur mencinta, apakah alam tega memisahkan
mereka? Tangisan Siu Ban Ci memecahkan langit. Energi kesakitannya telah menjadi
udara yang membakar seantero nusantara. Doa nya telah membangkitkan spirit purba
Sriwijaya. Bersama para spirit itulah Siu Ban Ci membesarkan anaknya dari Prabu
Brawijaya V. Dan Mas Thole bersama kawannya berada di portal yang dijadikan tempat
transfer kesadaran dari Siu Ban Ci kepada anaknya. Dia bertekad untuk melawan
Putri Campa. "Mengapakah kejadiannya selalu begini?" Keluh Mas Thole.
...
Mas
Thole duduk di bekas bekas candi yang sudah di jadikan makam. Tempat yang
diyakini Mas Thole sebagai tempat pelatihan bagi Raden Patah. Disanalah
transformasi spirit purba Sriwijaya kepada Raden Patah. Suasana panas siang
hari tidak menghalangi pandangan. Selintas bayangan Mas Thole melihat
bergerakan seorang anaki kecil yang bermain dengan asyiknya disitu. “Yah dialah Raden Patah, calon raja besar
nusantara” Sambil menunggu saatnya titik kulminasi Mas Thole menyapu
pandangan. Dilihat rekannya tertidur , Mas Thole tersenyum. Suasana panas
membakar disiang hari mampu membuat seseorang tertidur? Suatu hal yang janggal
rasanya. Alam terbuka di bawah terik matahari, bukanlah tempat yang nyaman
untuk tidur.
Sesekali
pandangan Mas Thole menatap langit. “Pintu
Portal sebentar lagi terbuka” Bisik batinnya. Saat terbuka nanti awan akan
memayungi tepat diatas tempat prosesi. Tempat tersebut terletak di bangunan
pertama dariu pintu masuk kmpleks tersebut. Benar tidak beberapa lama, hanya
sekita seperempatan minum teh, matahari tertutup awan. Mas Thole segera
memanggil rekannya. Mereka bersama sama dudk dalam posisi yang di perintahkan
Kami. Meditasi mulai dilakukan Mas Thole, dari tempat tersebut Mas Thole
mencoba merasakan residu rahsa. Sisa-sisa rahsa tersebut masih ada. Terbaca
oleh sistem kesadaran Mas Thole. Rahsa kesakitan, rahsa nelangsa, rahsa yang
mengharu biru, bagai badai tornado. Berputar di kesadaran Mas Thole.
Suasana
siang yang panas mendadak redup dan sejuk, angin diam tak berkisaran. Udara seakan
berhenti. Dari arah pandangan ke muka sejajar pintu masuk, diatas langit sana, diatas
pohon, dibelakang tembok candi, bertengger seekor burung Rajawali. Tidak begitu
lama mengamati, kemudian terbang berputar bberapa kali. Seakan memberikan pertanda
bahwa kedatangan Mas Thole di restui para leluhur Sriwijaya. Selesai adegan tersebut
mendadak awan bergeser, matahari langsung mengenai badan. Mas Thole mengakhiri meditasinya.
Muncul sebuah bisikan agar dia melakukan hal yang sama di atas bangunan di depannya
sekali lagi.
...
Bersambung....Mas
Thole menunggu kedatangan sang rekan bersama suaminya, untuk melanjutkan prosesi.....
Komentar
Posting Komentar