Kisah Spiritual, Bara Api Asmara di Majapahit (3)

Hasil gambar untuk bidadri kahyangan



“Kesedihanku adalah waktu. Ketika pusarannya menjebakku pada bias biru. Aku tenggelam dalam kenangan. Menandai apa saja yang tersentuh rahsaku. Pulasara rahsa menyergapku ke gerbang kematian dan menyeretku kehidupan yang berulang. Aku sendirian. Aku lahir dengan 13 kematian. Pada penestapaan makna yang kelam. Kini aku lahir dengan penamaan. Mereka menyebutku PUTRI CAMPA!”

Hati mengisyaratkan itu. Kalimat demi kalimat mengalir dalam dialektika transendental. Tatapannya menuju langit. Meliput kesadaran di bumi. Mencoba memahami apakah sebenarnya yang sedang terjadi. Putri Campa nampak duduk di pelataran.  Wajahnya demikian anggun, cantik rupawan. Rembulan mencoba mencuri lesung pipinya dengan menyinarinya. Sinar jatuh meredup menampakan pesona di wajah yang tersaput duka semesta. Awan beranjak pergi dari sana. Tak berani menatap lama. Suara desah nafas yang halus, mengeluarkan beban, seakan tengah menyangga bumi.

Seperti ada bekas jalur airmata membekas. Dia dalam kesedihan. Perasaan bersalahnya demikian menghujam. Memasuki seluruh sel dan persendiran. Yah, karena sebab dirinyalah sang Prabu Brawijaya menceraikan semua istrinya. Entah romantika duka apa yang dia berikan kepada sesama wanita. Sesekali dibiarkan airmatanya menetes. Dibiarkannya terjatuh pada dadanya yang sesak. Kesedihannya itu membuat semua makhluk alam semesta turut berduka.  Lihatlah angin yang diam. Dan bunga Wijayakusuma yang mekar tidaklah berani menyebarkan aromanya. Diam, semua diam. Malam menjadi sepi tanpa suara binatang malam.

...

Mas Thole mencoba menuliskan, apa yang dilihat dan diamatinya,  menguraikan rahsa, menjadikannya sebuah alinea yang bisa terbaca. Sudah dicobanya berulangkali. Sayang dirinya tidak bisa. Ada apakah....!.
“Ini belum pernah terjadi”. Mas Thole diam tak mengerti.
 “Kesedihannya ini terlalu..” Apakah karena sebab itu? Entahlah! Kegagalan menangkap pesan dan menguraikan semua hikmah dari sebuah perjalanan rahsa belum pernah dialaminya . Gagal..dan gagal lagi. Berulang kali dirinya tidak berhasil memaknainya, apalagi menuliskannya. Sebaliknya kesadarannya justru  dijungkir balikan. Hingga hari-hari Mas Thole penuh dengan kemasgulan, kebimbangan, kesakitan, dan segumpal kepenatan yang tidak mengenakan. Amuk rahsa dan segenap kesepian, menjadikan hari-hari yang dilaluinya seraya hampa. Tiada ingin melakukan apa-apa. Kaliat apakah yang bisa mewakilinya? Ah..rahsanya tidak ada.

Siapakah sebenarnya Putri Campa? Begitu sentral peranannya di dalam kesadaran nusantara. Sehingga saat menuliskan keadaan dirinya, Mas Thole harus menghadapi gempuran energy yang luar biasa. Berulangkali batuk hebat menyergap, belum lagi selimut kabut pekat langsung menyelimuti otaknya. Membuat sulit untuk berfikir. Apalagi menghasilkan kata-kata. Masih dalam kebingungannya sendiri. Mas Thole terus berjuang agar dapat meramu alinea demi alinea, menghandirkan kesaksian keadaan yang dialaminya, saat melakukan penelusuran jejak kesadaran Siu Ban Ci. Dua wanita yang menjadi tokoh sentral dalam peradaban nusantara, di era kekuasaan Islam di bumi tanah jawa.

Saatnya semua harus di runut dari mulanya. Penelusuran dilakukan sesaat setelah Mas Thole dan kawan-kawannya menginjakan kaki di bumi Sriwijaya. Kemudian mendatangi portal pertama. Mungkin dari sana misteri ini akan bisa diungkapkannya. Jika benar bahwa Putri Campa adalah Anarawati, bukankah Mas Thole pernah melakukan sebuah prosesi di Grojogan Sewu, bersamanya. Mengapa sepertinya ada sedikit perbedaan energinya? Ataukah karena sebab perbedaan masa dimensi yang dismasuki. Dimensi yang dimasuki Mas Thole di portal pertama adalah  dimensi awal-awal Anarawati berkuasa di Majapahit. Masa dimana masih penuh romantika seorang permaisuri. Sementara saat di Grojogan sewu adalah saat mana perpisahan Parbu Brawijaya dengan Sabdo Palon, tentu akan berbeda nuansa dan juga energinya.  Bisa saja demikian keadaannya.
...

Mas Thole masih menunggu saat terbukanya portal. Sambil duduk di bawah pohon, meneduh dari panasnya matahari. Portal terbuka dengan ditandai oleh awan yang menutupi matahari. Titik pertama sudah di lakukan prosesi. Tinggal menunggu titik kedua. Rekan Mas Thole mengabarkan masih dalam perjalanan. Yah, Mas Thole membutuhkan kemampuannya untuk membuka titik yang ke tiga. Tidak selang begitu lama. Matahari mulai tertutup awan, saatnya Mas Thole melakukan prosesi di bangunan ke dua letaknya persis di belakang bangunan pertama. Bangunan tersebut terlihat lebih tua. Ada batu batuan sisa candi yang berserakan disana. Tidak ada tangga naik, sehingga Mas Thole dan kawan-kawan harus meloncat untuk naik kesana.

Selesai sudah titik portal kedua. Mas Thole beranjak dari sana. Tidak begitu lama, munculah sebuah sedan hitam dengan plat nomer dari Bandung. Mas Thole sempat ragu apakah teman-temannya yang datang?  Berjalanlah Mas Thole mendekat, namun tidak bernai terlalu dekat. Setelah sopir dan penumpang turun dari mobil. Barulah Mas Thole yakin. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Pertemuan cukup mengharukan Mas Thole berpelukan erat dengan lelaki yang baru turun dari kursi pengemudi. Yah, dialah yang turut serta dalam prosesi di Grojogan Sewu. Dialah yang sering mendapatkan lintasan perihal Aryo Damar. Beberapa kali Mas Thole telah berdiskusi perihal ini. Keyakinan sudah cukup mengkristal. Bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari Arya Damar.

Setelah berbasa basi sebentar. Mas Thole mohon ijin kepada Arya Damar, mengajak Anarawati untuk menuju titik portal ke tiga. Darisanalah dalam keyakinan Mas Thole akan di dapatkan petunjuk keberadaan Siu Ban Ci. Setelah diijinkan Mas Thole lekas mengajak Anarawati. Mengambil jalan sebelah kanan, memutar ke belakang. Sampailah Mas Thole dan Anarawati ke lokasi yang dimaksudkan. Tempatnya persis di punggung tempat titik portal kedua. Mas Thole mempersilahkan Anarawati memasuki dimensi, melintas peradaban terkini, menuju jejak peradaban majapahit menemui Siu Ban Ci.

Sambil terus waspada Mas Thole berdiri di belakang Anarawati, sesekali tangannya bergerak menyapu langit. Ke atas dan juga ke depan. Dalam kesadarannya munculah lintasan-lintasan dimensi. Alam semesta seperti menyatu, berhimpitan dalam kesadaran Mas Thole. Layaknya dimensi demi dimensi terbuka, nampak sebagai layar, seperti film demi film yang diputar. Banyak sekali dimensi yang hadir dalam kesadraan.  Sungguh mengherankan kehidupan ini. Anak manusia dipermainkan oleh takdir yang tidak pernah dimauinya. Mengapa dikehidupan terkini Anarawati menikah dengan Arya Damar? Bukankah Arya Damar adalah suami Siu Ban Ci. Bagaimanakah perasaan Siu Ban Ci seandainya mengetahui jika pada reinkarnasi Arya Damar ternyata dijodohkan dengan wanita yang dahulu ingin  dibunuhnya. Hhh...membingungkan sekali.

Menjadi pertanyaan, bagaimana keadaan suasana jiwa Anarawati yang hidup dikehidupan terkini dan berada di lingkungan  energi Siu Ban Ci? Bagaimana dengan keadaan kesadarannya, juga keadaan kesehatannya? Bagaimana realitas kehidupannya? Mas Thole mengelus dada. Betapa berat beban yang harus dipikul sang putri.  Mas Thole baru menyadari sekarang ini, mengapa keadaan realitas sang putri sering mengalami sakit yang tidak diketahui sebabnya. Energi-energi entah darimana datangnya sering menyerangnya. Kadang dia sering tak sadarkan diri. Kesadarannya seperti disabotase. Kadang dia juga harus menahan sakit di sekujur badannya. Kadang dirinya sulit tidur. Pendek kata bermacam-macam keluhan fisik dialaminya. Sekarang Mas Thole paham sebabnya. Energi sang putri memancing energi purba Sriwijaya yang telah dikelola Siu Ban Ci.


Bersambung....




Komentar

  1. Mas arief boleh minta contact nya ?
    Maaf ada hal yg langsung ingin saya tanyakan langsung ke mas arief

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali