Bencana dan Musibah, 'SPIRITUAL' (The Chronicles of Spiritualism) (3)
"Indra giri nata diri,
indrajaya nata jiwa. Loka datsa, watsun kerta.
Hyang dwipa makya widya
Wakyu dharma, niti asih,
wadyu parta, midya padma
Hyung datu, ratu
kancana
Hyang sari, widyastuti
Bungur asih, katumbiri di
parigi
Bunga rasa, katresna di sadyapana"
Bunga rasa, katresna di sadyapana"
Lihatlah dunia ini. Lihatlah peradaban anak manusia. Bukalah kitab-kitab catatan peradaban yang dimiliki. Lihatlah bagaimanakah romantika kisah-kisah didalamnya. Lihatlah bagaimana Persia di hancurkan Yunani. Kemudian Yunani di tenggelamkan oleh Islam. Islam diluluh lantakan oleh Mongolia. Itu saja masih belum cukup, perang antar golongan, antar suku, antar ras, dan antar agama, menjadi sajian kita saat sarapan pagi. Kebengisan dan pertumpahan darah menjadi romantika yang terus saja menghiasi kesadaran. Adakah yang mau melongok jiwa-jiwa yang terseret dalam arus kejadian disana. Adakah yang melihat sisi jiwa para pelaku yang menghabisi nyawa satu sama lainnya. Adakah yang berfikir bagaimanakah rahsanya jika diri terjebak dikancah perang diantara mereka semua? Adakah itu terlntas sedikit saja, walau dalam mimpi, bagaimana rahsa jiwa mereka di tengah kebengisan antar manusia?
Perhatikanlah
bagaimanakah rahsa gembiranya manusia yang mampu mengalahkan musuh-musuhnya.
Gegap gempita dan pesta pora diadakan sampai berbulan-bulan. Kemenangan mereka
bahkan diperingati hingga ratusan tahun lamanya. Peringatan mereka selalu
didengung-dengungkan diantara anak cucu mereka. Anak cucu mereka kemudian
terobsesi kisah kepahlawan nenek moyang mereka. Anak cucu mereka kemudian
mematut-matutkan diri ingin menjadi seperti leluhur mereka. Bahkan banyak
diantara mereka kemudian mengkultuskan nenek moyang mereka sendiri. Kesadaran
mereka hanya ada leluhur mereka. Mereka kemudian berbangga-bangga atas
kehebatan leluhur mereka. Gelar dan trah kepahlawan kemudian selalu dibawa-bawa disematkan
didepan nama mereka. Kisah kepahlawan yang menguatkan eksistensi diri mereka.
Leluhur mereka tanpa disadari oleh kesadaran kolektif telah menjandi LATA dan
UZA bagi kesadaran.
Mari
kita perhatikan sisi jiwa kaum yang dikalahkan. Kaum yang mengalami kehancuran.
Bagaimanakah keadaan jiwa mereka? Kesedihan, kemurungan, kemasgulan,
kekecewaan, ketidakpercayaan diri, kemarahan, dendam dan segala macam perasaan
berkecamuk dalam jiwa mereka. Mereka kemudian mempertanyakan kasih sayang
Tuhan. Mereka menghentak bumi dan membentak langit. Bumi seakan tak mampu
menahan jeritan pilu mereka yang dikalahkan oleh perang. Jutaan nyawa yang mati
menjadi saksi atas keluh kesah jiwa mereka yang terhinakan oleh kekalahan.
Kesedihan ini kemudian diturunkan. Dendam ini kemudian terus dikisahkan kepada
anak keturunan mereka. Kesakitan ini terus dihantarkan dengan segala bumbu yang
menyertainya. Mereka menyalahkan musuh-musuh mereka yang menyerang. Mereka
menyalahkan apa saja. Kisah memilukan ini kemudian mendapatkan tempat khusus
dalam kesadaran manusia. Simpati manusia mengalir kepada golongan ini.
Menelusup melintasi peradaban, dan melintasi waktu. Membentuk kelompok-kelompok
baru. Membentuk perlawanan hingga jauh ribuan tahun lamanya. Memori ini kuat mematri di DNA.
...
...
Inilah
kondisi kesadaran manusia. Maka lihatlan bagaimana syiah dan sunni. Lihatlah
bagaimana kekuatan kelompok lain yang semisal dengan hal ini. Kisah setiap
kejadian yang dialami suatu bangsa, menjadi kitab kesadaran anak manusia.
Bagaimana manusia saat itu memaknainya. Makna yang akan terus akan menjadi
persoalan anak keturunan mereka walau itu telah meretas jauh ribuan tahun
lamanya. Respon manusia telah memasuki alam bawah sadar. Tanpa mereka
memintanya, kenangan tersebut telah menjadi program gerak bagi manusia. Gerak
refleks yang secara otomatis ada pada anak keturunan mereka sendiri. Maka
menjadi keyakinan Mas Thole bahwa apa-apa yang
ada DNA nya adalah program yang sudah dibuat oleh nenek moyangnya. Gerak
refleknya telah di program oleh leluhur-leluhurnya, sehingga tanpa sadar
dirinya memiliki sistem gerak yang tak sama dengan manusia lainnya. SIstem ketubuhan yang bekerja diluar kendali kesadaran inilah yang dirasakan sebagai fenomena jiwa manusia.
...
...
Makna
yang salah atas suatu kejadian akan menjadikan respon yang salah. Jika keadaan
ini berulang-ulang maka akan menjadi sebuah program gerak manusia. Maka kita
dapati keadaan manusia, yang kadang
benci tanpa sebab, kadang senang hanya dengan satu hal yang tidak seberapa,
kadang marah karena hal-hal sepele, semua terjadi begitu saja tanpa pernah ada
penjelasan logis disana. Kebencian tiba-tiba saja datang tanpa pernah diminta, itu terjadi begitu saja, sekian detik ketika kita melihat wajah atau tampilan seseorang. Kebencian menggedor relung dada, menimbulkan rahsa sesak disana. Atau kadang kita bisa saja
langsung jatuh cinta manakala melihat seorang wanita. Lintasan ini tidak pernah
disadari, ada begitu saja di jiwa. Bagaimana menjelaskan keadaan ini? Respon
datang begitu saja, menyelusup ke dalam jiwa, kemudian mengunci kesadaran,
respon gerak kita dikendalikan oleh hawa yang muncul tiba-tiba ini. Hawa apakah yang mengendalikan kesadaran manusia? Daya apakah itu?
Betapa
menyiksanya keadaan ini. Tentu saja keadaan ini akan menjadi hambatan di
realitas kehidupan manusia. Bayangkan manakala kita bertemu klien yang tak
dikenal kemudian sistem ketubuhan kita bekerja merespon energi orang tersbeut.
Respon ketubuhan yang tidak patut. Misalnya kebencian. Bagaimana paras muka
kita saat berhadapan membicarakan bisnis? Mau tidak mau harus ada upaya diri, untuk meredam respon yang salah dari
sistem ketubuhan ini. Perjuangan untuk mengendalikan hawa yang bergolak saat
bertemu seseorang, saat dirinya memasuki suatu wilayah. Inilah yang
dilakukannya berbilang hari dan berulang
tahun dalam laku spiritualnya ini. Dari satu lembah ke lembah lainnya, dari
satu bukit ke bukit lainnya, dari satu situs ke situs lainnya. Menyusuri kisah
kasih peradaban Nusantara. Mencari jejak jejak kenangan masa silam. Menjawab daya dorong apakah yang memaksa sehingga diri ini dperjalankan kesana.
...
...
Semua
itu menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi Mas Thole . Ada apa dengan dirinya?
Mengapa setiap memasuki suatu wilayah tertentu, sistem ketubuhannya tidak mampu
dikendalikannya? Pertanyaan demi
pertanyaan terus menggumpali. Akhirnya tidak ada jalan lain selain dicobanya
dirinya masuk kedalam, mencoba mengenali sistem ketubuhannya sendiri. Mencoba
mengenali sistem energinya, sistem daya ketubuhannya, mengapakah bereaksi tak wajar. Mulailah dirinya
menjalankan laku mengenali dirinya sendiri. Mengenali bagaimana sistem hawa itu
bekerja. Ternyata mengenali diri inilah sesungguhnya hakekat pengajaran Kami.
Mengenali apa-apa yang memasuki kesadaran diri Mas Thole. Mengenali siapa saja yang
berinteraksi dengan dirinya. Setiap energi yajg datang adalah makhluk Allah dan
mereka sengaja didatangkan agar dikenali. Inilah fase pembelajaran nama-nama
makhluk. Demikianlah perjlanan puluhan tahun dilalui sehingga dirnya mendapatkan pemahaman bahwa;
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (mahluk-mahluk) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang benar orang-orang yang benar!" [Al
Baqarah 31]
...
Mas Thole masih dalam perenungannya. Kontemplasinya di
sepanjang perjalanan ini adalah bagian dari muhasabah. Memeriksa keadaan batin
dirinya sendiri. Apakah benar di dalam jiwanya masih terselip kesombongan,
rahsa ego, rahsa benar, merasa yang paling sadar? Apakah benar keadaan jiwanya
seperti itu, mengaku-aku? Apakah benar apa yang disangkakan itu, bahwa segala
keburukan jiwa manusia ada padanya sebagaimana chat sang putri? Apakah benar
tulisan dan kajiannya selama ini adalah kata-kata manis saja? Sementara, padahal kata-kata
tersebut isinya adalah jebakan saja? Membuat orang lain terbuai dengan kalimat manis dalam kalimatnya. “Aduh..ya rob..ampuni hamba.” Sakit sekali hati Mas Thole. Sambil memegang
dadanya dia berdoa. ."Ampuni hamba ya
Allah, sungguh hamba ini adalah lemah? Jika memang benar demikian tolonglah hambaMu
ini ya Allah. Selamatkanlah hamba dari api nereka?”
...
...
Sungguh
Mas Thole tidak pernah menyalahkan sang putri.
Peringatan ini penting bagi jiwa. Celakalah diri Mas Thole jika mengaku-aku itu, padahal di dalam jiwanya
adalah jiwa yang kerdil, jiwa yang terus larut dalam prasangka kepada Allah,
jiwa yang tidak pernah bersyukur. Sungguh akan celakalah dirinya itu!
Arrggghhhh....! Namun bagaimanakah keadaannya jika dalam niat hatinya tidak ada
sama sekali perasaan tesebut. Harus bagaimana? Sebab apa yang dituliskannya
hanyalah hantaran pemahaman hasil dirinya melakukan perjalanan spiritual. Hasil
subyektifitas atas apa-apa yang dialaminya sendiri. Tidak menyoal orang lain.
Sama sekali tidak! Itu pemahaman dan keyakinan dirinya pribadi setelah
mengalaminya sendiri.
Apa-apa
yang disampaikan adalah menyoal dirinya sendiri. Catatan kesadarannya sendiri
yang dihantarkan, dengan harapan semoga
ada yang mau memberikan pengajaran kepadanya. Bisa jadi pemahamannya salah maka
tolong berikanlah pengajaran manakah yang benar. Yah, Itu semua hanya soal
dirinya sendiri. Lantas..?! Bagaimanakah jika dirinya tetap saja dipersangkakan seperti itu? Argumentasi
apapun yang disampaikan tidak dengar oleh mereka. Mereka memaksakan kehendak
mereka bahwa Mas memiliki sifat ego,
mengaku-aku, dan banyak sifat niat lainnya. Mereka tidak mau menerima bahwa
sama sekali tidak ada niatan untuk menghadirkan sifat-sifat tercela. Apalagi menghina ayat-ayat Allah. Sayang
mereka merasakan sakit, mereka semua merasakan sesuatu yang tidak nyaman atas hantarakn kisah Mas Thole di blog ini? Walaupun sudah berulang kali disampaiak bahwa itu hanya sebuah kisah, kebenaran yang hanya diyakini oleh pelakunya sendiri. Namun mereka
benar-benar merasa terganggu. Hiks...Apakah mereka dapat disalahkan?
“Tidak, mereka tidak salah. Dalam hal
ini tetap saja Mas Thole yang salah. Dia tidak
mampu memuaskan semua pihak. Ituah kesalahan yang fatal darinya. Tidak perlu
diperdebatkan lagi. Apapun kejadiannya semua adalah tanggung jawab dirinya. Sudah terima saja, caci maki. Mas Thole harus mampu menerima konsekuensi apapun dari
setiap tulisannya. Setiap musibah yang datang, semua berasal dari dirinya
sendiri. Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Akui saja bahwa dirinya
salah. Itu saja cukup dan mohon maaflah kepadanya. Mohonlah maaf dengan
kerendahan hati. Kesalahan ada pada diri manusia itu sendiri. Jikalau tidak
dituliskan bukankah kejadian ini tidak mungkin terjadi. Maka pahamilah. Usahlah
mencari membenaran diri. Akui dan terimalah takdir ini.”
Demikian Kami menegur keras kepada Mas Thole yang terus mempertanyakan perihal kebenaran niatannya itu. Sehingga hampir saja dirinya terjebak kepada paradigma benar dan salah.
Demikian Kami menegur keras kepada Mas Thole yang terus mempertanyakan perihal kebenaran niatannya itu. Sehingga hampir saja dirinya terjebak kepada paradigma benar dan salah.
“Dan segala musibah yang menimpa kalian
adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak
(dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).
Terlepas
benar atau salahnya mereka. Faktanya mereka merasakan ketidaknyamanan tulisan
tersebut. Maka peganglah itu! Mereka merasa bahwa Mas Thole penuh arogansi, ego diri, penuh kata-kata
indah yang menyesatkan. Itu adalah perasaan manusia, mereka juga tidak pernah
meminta untuk rasha model seperti itu. Tidak pernah, mereka tidak pernah
terlintas untuk mendapatkan rahsa itu!
Jika rahsa itu muncul karena sebab tulisan Mas apakah mereka bisa disalahkan? Mereka akan
berdoa kepada Allah atas rahsa yang tidak nyaman. Mereka akan terus berdoa
memohon perlindungan. Mereka juga menyembah Tuhan yang sama. Maka apakah Mas tidak mau berfikir? Mereka kan meminta azab
yang pedih kepada Allah atas orang-orang yang dianggap oleh mereka jahat Mereka
juga menggunakan kalimat sakti yang diajarkan para nabi. Mereka berdoa
keburukan bagi manusia lain sebagaimana mereka meminta kebaikan kepada diri
mereka sendiri. Itulah hukum kesadaran! Hukuman bagi orang yang menyakiti sesama.
Apakah Mas Thole mau melawan hukum ini? Hhhh..rahasanya tidak. Allah akan mengabulkan setiap doa manusia. Meskipun doa itu adalah untuk keburukan manusia lain. Maka Mas Thole, seharusnya senantiasa berhati-hati dalam menjaga lisan dan tulisannya. “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan manusia itu tergesa-gesa.” (Q.s. al-Isra’:11).
Apakah Mas Thole mau melawan hukum ini? Hhhh..rahasanya tidak. Allah akan mengabulkan setiap doa manusia. Meskipun doa itu adalah untuk keburukan manusia lain. Maka Mas Thole, seharusnya senantiasa berhati-hati dalam menjaga lisan dan tulisannya. “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan manusia itu tergesa-gesa.” (Q.s. al-Isra’:11).
“Bismillahirrahmanirrahim
Allahu akbar, la ilaha
ilallah, allahu akbar
Manusia seringkali ingin
menjadi tuhan, tanpa melihat pada diri, apakah layak mengaku seperti itu
Namun, dalam setiap
perisainya menjadi suatu hakekat akan kehidupan yang menjadi bagian dengan
penetapan Tuhan Yang Maha Esa
Seumpama banyak yang
menyiratkan diri, tanpa menyuratkan makna akan diri, seperti yang menginginkan
mawar tetapi meniadakan duri.
Jangan melihat dalam pilahan
yang menunjukkan itu sebenarnya jati diri. Aku dalam pijakan bumi, menyimpan
sejuta makna dalam setiap diri tanpa henti. Kebermaknaan yang seringkali
menyulitkan diri dengan iri atau benci, bukan dengan pasrah atau rendah
hati.
Seumpama semua berbalik
arah, siapkah dalam menahan semua gejolak yang mendera. Jangan melihat dalam
sapuan yang menentukan tanpa dasar pijakan, atau merasa seperti sangkakala
dalam meniupkan kabar, maka lihat itu sebagai makhluk, wakil2 Tuhan dengan
wujud dan karakter yang berbeda2.
Seumpama Aku ada, maka yang
lain tiada. Itu saja”
Demikianlah
Mas Thole diajarkan Kami.
Allah
akan melihat bagaimana perasaan manusia. Jiwa-jiwa yang merasa terdzolimi akan
lebih didengar oleh Allah. Bukan kepada benar atau salahnya sebuah kejadian.
Bukan karena sebab si fulan benar kemudian Allah otomatis akan membelanya.
Bukan begitu cara bekerjanya hukum alam. Alam akan mersepon apa-apa yang
dirasakan hati manusia. Kekuatan hati walaupun itu berupa amarah, maka alam kaan
merespon dan akan membalaskannya kepada manusia lain, meskipun itu hanya berupa prasangka manusia itu sendiri. Alam tidak memihak realitas, alam akan merespon
rahsa. Sebab bahasa alam adalah bahasa rahsa. Bahasa inilah yang di pahami oleh
alam. Maka hukum Law Attraction bekerja di wilayah ini. Lihatlah kejadiannya. Meskipun Islam agama yang benar, namun nyatanya diluluh lantakan oleh mongolia.
Mengapa
Allah tidak membela? Mengapa Islam
keadaannya masih seperti ini? Ya, sebab hukum alamnya adalah memang demikian.
Alam hanya mengerti bahasa rahsa. Semakin banyak umat yang merasa dilukai oleh
Islam maka akan semakin terpuruklah agama Islam. Lihatlah keadaannya, semakin
banyak umat yang tersakiti dengan perilaku budaya Islam, maka semakin jauhlah
Islam itu dari pertolongan Allah, meskipun Islam itu adalah ajaran kebenaran.
Hukum alam adalah hukum keseimbangan. Jangan sampai kebenaran yang di klaim kemudian
menjadikan seseorang berhak menghakimi kaum lainnya. Sehingga menimbulkan sakit
hati. Alam hanya memahami bahasa rahsa. Rahsa tersakiti dan terdzolimi akan menggetarkan
arashi. Siapapun orang yang tersakiti entah itu benar atau salah, entah itu beriman
atau kafir. Semua rahsa akan sampai dan didengarkan keluhannya oleh Allah. Allah
maha adil. Begitu juga keadaan Mas Thole .
Inilah pengajaran dan pembelajarn Kami. Maka dengan ini Mas Thole mengucapkan
permohonan maaf sebesar besarnya.
Maka
Mas Thole kemudian menuliskan permohonan maafnya
dalam bentuk tulisan lain yang senanda yang akan dihantarkan melengkapi kisah disini.
[15:40,
6/22/2017] Thole: WA Mbak kami jadikan pembelajaran dan masukan akan
ego, ketika ego hadir, memang itu akan menjadi hijab, antara aku dan Tuhanku.
[15:43, 6/22/2017] Thole: Semua menjadi penghalang, bila memang masih
ada aku di sana. Maka penting rasanya untuk mengenal aku, jangan sampai menjadi
mengaku-aku. Sejujurnya aku dengan bismillahirrahirrahmanirrahim, maka ketika
hadir aku dalam diri, maka sesungguhnya itu berada pada dualitas aku dan
Tuhanku.
[15:45,
6/22/2017] Thole: Sesungguhnya,
ketika Tuhanku hadir, aku lenyap melebur dengan keagungan Tuhanku. Bila aku
hadir dalam diriku bahwa itu aku, maka aku ada dengan mengaku-aku keakuanku.
Terima kasih
[15:49,
6/22/2017] Thole: Wujudku
larung dalam cahaya-Mu
Pelita
tak sanggup menerangi cahaya-Mu
Dalam
terang cahaya-Mu, pelita luruh dan hilang dalam
cahaya Tuhanku.
Ya...
Ketika aku pelita, hanya pelita
Masih
berada pada rasa pelita
Seakan
membahana aku pelita
Tidak...
Aku tidak ingin larut dalam pelita
Cahaya-Mu
sangat terang, tak layak pelitaku hadir dalam terang cahaya-Mu
Kularutkan
pelitaku dalam cahaya-Mu, sehingga aku pun tiada dalam setiap bersitan
sinar-Mu.
Bersambung...
Seumpama
ada yang berbicara tentang kehidupan yang seutuhnya, sesungguhnya hidup yang
sedang dijalankan adalah perjalanan yang seutuhnya, pencapaian semesta dalam
menetapkan langkah pada kehidupan yang sesungguhnya.
Bila
ada yang mengatakan hidup dalam kamuflase semata, itu bukan dari kehidupan yang
mengajarkan kebenaran, karena itu ada atas kehendak Tuhan. Penetapan yang
terjadi bukan suatu kebetulan, pergerakan langit dan bumi bukan hanya kehendak
seseorang, itu adalah fakta bahwa dalam pergerakan ada pada jiwa-jiwa yang
menjadi bagian dari alam semesta.
Mas Thole diam dalam pengajaran alam...
Tidak ada satu makhluk pun yang akan mampu memberikan kepuasan kepada semua orang.
BalasHapusBahkan manusia juga ada yg tidak puas kepada kpd Sang Pencipta.
Bukan tugas kita membuat puas orang lain.
Yang terpenting adalah berusaha sebaik2nya, sehati2nya, semampunya sesuai dengan kadar masing2 diri dalam melaksanakan tugas masing2 (takdir).
Salam rahayu
Bumi Nusantara seperti masih dalam pingitan sang alam.
BalasHapusBahkan bagi saya pribadi, hampir seluruh pelosok Nusantara masih dalam selimut tebal , begitu sulitnya menemukan tempat untuk sekedarmenghirup segarnya kesadaran ingat Allah.
Wallohualam
Bisa minta nomor kontaknya mas tolle
BalasHapusSilahkan ke email saja mas..
Hapusutomo.arief66@gmail.com
Untuk bisa bersikap dan berperilaku adil saja sudah tidak mudah. Padahal adil saja (ke-setimpal-an) belum cukup, masih sekedar pra syarat untuk sikap berikutnya. Dan dengan adil saja masih ada pihak yang terluka, yang kecewa.
BalasHapusMasih langka (atau makin habis?) sikap yang melampaui adil atau "qaaiman bil qisth" (seperti diisyaratkan ali imran 18). Sayangnya, pembahasan yang ada seolah al qisth itu sekedar sama saja dengan adil (al 'adl, yaitu adil versi pengadilan).
Demikianlah yang terluka semakin terkumpul banyak dan menunggu giliran untuk menjadi persoalan berikutnya.