Kisah Spiritual; Bara Api Asmara di Majapahit (1)

Hasil gambar untuk bidadri kahyangan




Prahara di Istana

Kisah spiritual melacak jejak mitos dan legenda seorang tokoh wanita utama, Ibu dari raja pertama di bumi jawa yang keturunan Cina dan juga seorang muslim, yaitu Siu Ban Ci, Ibu dari Raden Patah. Kisah yang mengambil sudut dimensi alam kesadaran, yaitu alam yang tidak tercatat pada buku buku sejarah. Kisah yang hanya diyakini kebenarannya oleh sang pelaku. Kisah yang tidak mempersoalkan benar dan salahnya. Kisah yang hanya ingin menyajikan pengalaman seorang ‘penyaksi’ . Berdasarkan jejak residu rahsa yang masih tersisa di portal portal kesadaran di tempat kejadian tersebut.

Mungkin banyak yang sudah melupakan siapakah tokoh utama di balik kesuksesan Raden Patah menghancurkan Majapahit? Ya benar, dialah Siu Ban Ci, seorang Ibu yang terlatih dan mumpuni dalam siasat perang. Seorang ahli strategi, jenius dan brilian. Tubuhnya yang mungil, parasnya yang ayu dan rupawan, menjadikan siapapun tidak menduga kebesaran  jiwa. Jiwa yang penuh diisi dengan semangat menggelora. Jiwa yang penuh dengan rahsa penasaran dan sakit hati. Dan kesemuanya itu menjadi titik tolak kebangkitannya sebagai wanita.

Siapakah yang tidak membaca kisahnya? Seorang wanita yang terbiasa diperlakukan bak seorang putri, mendadak dijadikan piala. Entah karena sebab apa, dirinya tidak pernah mengerti, mengapa disaat dirinya sedang mengandung, dia dibuang ke bumi Sriwiaya. Wanita mana yang tidak merasa nelangsa. Bukankah seharusnya suaminya bangga dengan bakal calon anak yang tengah dikandungnya itu. Mengapa justru perlakuan suaminya sebaliknya. Dirinya dibuang dan diserahkan bagai barang dagangan, dari satu lelaki ke lelaki  lain yang tidak dikenalnya. Wanita manakah yang mau dijadikan piala bergilir?

Ingin rahsanya menangis. Mengapa wanita dijadikan barang pampasan perang. Diperlakukan bagai hewan peliharaan. Apakah ada yang berfikir jika wanita sesungguhnya memiliki rahsa. Memiliki hati yang sangat rapuh dan mudah sakit. Maka lihatlah, di sepanjang pembuangannya ke bumi Sriwijaya, tidak sedikit air matanya tumpah mengalir bagai anak sungai, sebagian air matanya telah bercampur dengan air sungai Musi. Sungai tua itu menjadi saksi bagaimana dirinya tersakiti. “Apakah salah dirinya”.  

...

“Ingin kurekatkan kata, pada singgasana mata, agar terbaca pada nuansa semesta. Ingin kusemat makna pada setiap hela titik atau koma. Sehingga kalimat yang terbaca mampu mewakali rahsa. Aduh, jejak sakit disini masih membekas, diantara belikat dan iga kiri. Sejak engkau campakkan cintaku ini. Sungai Musi telah menjadi aliran darahku.

Sejak perang kata, dan tebaran kebencian memenuhi langit Majapahit. Aku tinggal sendirian. Ingin kutanyakan apakah salahku? Jika merindu akan kembalinya cintaku adalah sebuah kesalahan. Maka tunjukan padaku penjara manakah yang mampu menampung gejolak jiwaku ini dan diujung dunia mana engkau akan tinggalkan aku disana.

Ketahuilah manakala engkau penjarakan aku maka saat itulah aku  bebas. Aku lebih dekat dari tempat terjauh di bumi ini. Aku akan datang kepadamu, dengan helaan nafas panjang. Jiwaku lepas dari realita atas belenggu kebencianmu.  Anganku akan berkeliaran disegenap kesadaran. Membalikkan setiap perkataan yang engkau ucapkan. Aku akan hidup dari sisa-sisa harapanmu.

Dan tunggulah saat itu,  penyesalan hanyalah ungkapan perasaan, bagai daun yang terhempas angin. Keinginanmu nanti (hanya) semisal seucap kata “Maaf’. Sayang, itu tidaklah mungkin akan engkau dapatkan. Tidak, tidak dalam kehidupan ini! Mungkin saja segenap makhluk di alam semesta akan bergumam “kasihan”. Itupun terlalu berlebihan untukmu.

Maka sebaiknya tertawakanlah aku sekarang ini. Mungkin itu akan sedikit meringankan bebanmu. Perhatikanlah, gelora semangat yang terbangkitkan atas lahirnya  kerajaan baru. Terus menghantuimu, mengganggu malam-malammu. Menjadi beban hidupmu.  Walaupun sesungguhnya engkau tahu. Bahwa gelora semangat itu  terus saja membesar bagai bola salju.

Salju itulah yang akan menyergapmu di kesendirian. Menenggelamkan kata katamu. Ingat, bukan aku!”  (Siu Ban Ci)

...

Langit Sriwijaya, terasa kering di kulit, udara kota Palembang, tidak biasa bagi kulit Mas Thole. Panas luar biasa di siang hari, itu dirasakan saat kedatangannya. Pandangan mata Mas Thole menyapu bandara Sultan Mahmud Badarudin II. Belum ada koneksi ghaib.  Hand phone sudah semenjak keberangkatan dari Soekarno Hatta drop. Sulit bagi dirinya mengkhabarkan kedatangannya kepada Sang Putri. Mas Thole melangkah keluar bandara bersama dua orang rekannya.  Sebuah mobil inova terbaru meluncur mendekati rombongan Mas Thole. Mereka melanjutkan perjalanan menuju portal pertama. Rencana disana Mas Thole akan mengunjungi tiga portal disana. Rahsanya cukuplah.
               
Mas Thole diam dalam mengamati sensasi jiwa dan raganya. Semenjak keberangkatannya ke bumi Sriwijaya(27/5).  Kepalanya bagai dibentur palu godam. Seperti ada kabut yang menutupi otaknya. Syaraf syarafnya sedemikian sensitif. Menimbulkan rasa sakit luar biasa. Tentu saja keadaan ini mengganggu. Apakah perjalanan menyibak misteri keterlibatan tokoh wanita utama, Ibu dari bangsa ini, yang ikut ambil bagian dalam kehancuran majapahit, menjadi sebab keadaan yang tak wajar bagi jiwa dan raga Mas Thole? Ataukah kehadirannya tidak diterima ghaib disana?

Sensor ketubuhannya tidak seperti biasanya. Panca inderanya seperti terkunci. Mas Thole sengaja menyembunyikan keadaanya ini. Khawatir akan mempengaruhi kawan-kawannya. Tentu saja keadaan misteri ini harus dituntaskan. Jika tidak kesadarannya akan terus mengelana ke alam-alam dimensi mencari jawaban. Sepanjang perjalanan Mas Thole terus dalam keadaan mengamati sensai raganya yang tak biasa. Batinnya terus bertanya. Misteri apakah yang akan dapat diungkapkannya dalam perjalananya kali ini.

Jauh sebelum ada perintah Kami agar Mas Thole ke Bumi Sriwijaya, dirinya sudah mendapat ilapat bahwa kejadian akhir-akhir ini di nusantara ada hubungannya dengan masa lalu di negri ini. Pola kejadian 500 tahun yang lalu terulang kembali sekarang ini. Kondisi dan suasana energi kesadaran yang dirasakan Mas Thole amat mirip saat-saat kehancuran Majapahit. Raden Patah yang telah reinkarnasi kembali membawa alam kesadaran dewasa ini kepada suasana dimana Majapahit dalam situasi politik yang chaos. Pola akan terulang kembali.

Lihat dan perhatikanlah bagaimana  terjadi kristalisasi dan juga polarisasi kekuatan Islam. Jika saat itu kekuatan Islam mampu dimobilisasi Raden Patah, kemudian digunakan untuk menghancurkan Majapahit. Namun tidak sekarang ini, dalam pengamatan Mas Thole keadaan dewasa suasana alam kesadaran justru  tidak berpihak kepada Raden Patah. Sepertinya keadaan terbalik. Kekuatan Islam justru muncul sebagai lawannya. Para pemain tetaplah sama, ada kekuatan Islam, kekuatan nasionalis, dan ada juga  kekuatan Sabdo Palon. Kekuatan-kekuatan yang ada sekarang ini sama persis dengan dahulu. Pera kekuatan yang sama, dan sekarang mendapatkan kesempatan kedua untuk bertarung.

Sabdo Palon telah datang memenuhi sumpahnya kala itu, untuk tampil kembali ke kancah pertarungan kekuasaan di nusantara. Tanpa terlihat Sabdo Palon telah mendatangi cucu cucu Barawijaya. Apakah Sabdo Palon sekarang ini akan muncul sebagai pemenang? Ataukah Raden Patah akan kembali memenangkan pertarungan? Entahlah itu, masih misteri keadaannya. Dan Mas Thole memang tidak dalam rangka mencari siapakah yang menang. Mas Thole dalam perjalananya ingin meminimalkan jumlah korban yang mungkin akan timbul dari pertarungan kekuatan kesadaran yang tenagh berlangsung.

...

Kedatangan Mas Thole ke bumi Sriwijaya memang sudah ditunggu oleh temannya. Mas Thole datang bersama dua orang rekannya. Perjalanan yang sempat tertunda beberapa kali. Sempat Mas Thole mengirimkan khabar melalui chat. Kedatanganny yang srba mendadak menimbulkan kesulitan bagi rekannya. Mas Thole memaklumi keadaan tersebut. Jika memang harus melakukan prosesi sendiri maka apa boleh buat.


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali