Kisah Spiritual, Episode Berita Kepada Alam



Kabut, Sengajakah Engkau
Mewakili Pikiranku
Pekat
, Hitam Berarak
Menyelimuti Matahari
Aku Dan semua yang ada di sek
elilingku
Merangkak menggapai dalam kelam*
Mendung Benarkah Pertanda Akan segera turun hujan
Deras Agar Semua Basah Yang ada di muka bumi
Siramilah juga jiwa kami semua
Yang tengah dirundung kegalauan
 Roda Jaman Menggilas Kita
Terseret Tertatih-tatih
Sungguh Hidup
 terus diburu berpacu dengan waktu
Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana
Tak ada tempat yang membantu selain yang di sana
Dialah Tuhan
(Menjaring Matahari by Ebiet G Ade)

Sudah semalaman ini kondisi Mas Thole meringkih, diare menyerangnya , hawa pekat memutari tubuhnya. Informasi berkilo bite yang menerjangnya semenjak sebelum lebaran kemarin menyisakan energi lainnya yang tak dikenali. Sambil terus berharap barangkali tangan-Nya tak lagi mengejar. “Lihatlah tanganku kini mulai gemetaran.”  Memasuki malam menunggu kembalinya fajar pagi hari. Seperti segera sepi dan mati. “Lihat saja denyut jantung yang tak rapi. Menggerayapi bertanya tak mengerti, nyanyian apakah ini ?” . Ingin melihat disana di balik bukit yang tandus.

Perjalanan sampai kesana yang menggetarkan, memasuki galaunya hati dalam realitas antar dimensi lagi. “Kabut, benarkah mewakili pikiranku.”  Rasanya semakin ke lembah, semakin saja pekat, sepekatnya mendung kemarin disiang hari. “Benarkah akan segera turun hujan ?.” Dibawah cemara dia merenung, gemericik air pancuran, tak memberi harap apa-apa. Masih terus diingat pesan Ki Ageng. “Tulisanmu di blog meskipun kamu yang menuliskannya, namun hakekatnya bukan ‘kamu’ yang menulis..!” Yah, Mas Thole tahu itu, tangannya seperti ada yang menggerakannya.  Dia hanya penghantar pesan-pesan, tak lebih dari itu. Dirinya sama saja dengan manusia lainnya, yang tertatih-tatih menetapi takdirnya sendiri.

Pesan-pesan yang dituliskannya adalah untuk raga terkininya, untuk dirinya sendiri. Banyak yang salah mengerti, dan beranggapan bahwa tulisan itu sengaja diperuntukkan buat lainnya. Jikalaupun ada manfaat sebab itu karena Allah yang memberikan hidayah pada hati mereka. Bukan karena tulisan Mas Thole. Mas Thole berharap jangan salah mengerti dan jangan salah persepsi. Dalam diri setiap manusia ada satria, manusia yang berjiwa kesatria adalah satria itu sendiri. Maka jika manusia sudah memiliki jiwa itu, sudah sepantasnya dia disebutkan dengan itu. Dan itu bisa siapa saja. Ingatlah karena jiwa satria asalnya dari ruh yang satu, maka dia akan merasa terkoneksi dengan saudara-saudara lainnya. Maka wajar saja jika membaca tulisan ini , mereka akan serasa  menuliskannya sendiri. Rasa sakit, rasa gemetar, rasa mencekam, akan dirasakan oleh diri mereka. Mereka adalah satu ruh. Pesan-pesan itu bicara kepada yang satu. Namun tidak untuk raga terkini. Raga terkini memiliki eksistensi diri yang juga harus tetap pada dimensi terkini sebagai tiang pancang keberadaan di bumi. Maka janganlah dibingungkan dengan ini. “He eh, mendung, benar-benar telah mewakili pikiranku. Aku dan sekelilingku merangkak dalam kelam.”  

Ruh kesatria asalnya adalah satu. Mereka menyebar memasuki hati-hati manusia diam disana. Kemudian manusia, ada yang  membangkitkannya dan ada pula yang menenggelamkannya di palung terdalam hatinya. Bagi yang membangkitkan ruh kesatria akan mengalami keadaan yang membingungkan. Sang kesatria disebabkan mereka banyak memasuki peradaban dan waktu sebelumnya mengalami 'turbulensi' atau 'jetlag'. Karenanya maka  keadaan diri mereka perlu dilakukan ‘stabilisasi’. Jika kita pernah melihat prosedur pesawat diangkasa dimana tekanan di badan akan disesuaikan terlebih dahulu melalui ruang tertentu. Maka keadaan kesatria juga demikian. Oleh karena itu perlu penyesuaian dengan ruang hati yag ditempatinya terlebih dahulu. Jika tidak maka  radiasi akan kemana-mana. Radiasi ini akan terasa oleh kesatria yang lain. Sudah sewajarnya jika mereka dipesankan berkali-kali untuk melakukan ‘stabilisasi’ agar tidak memancarkan radiasi. Hal ini harus atas upaya raga terkini yang harus terus berusaha menyiapkan ruang hatinya untuk dia tinggali. Dia itulah yang selama ini kita sebut, Prabu Silihwangi,  Pambayun, Ratu Sriwijaya, Ratu Shima, Banyak Wide, Anarawati, Sangkuriang, dan masih banyak lagi nama lainnya.

Maka pesan demi pesan terus membombardir akhir-akhir ini, agar mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kesatria alam adalah kesatria yang memiliki akses kepada alam, yaitu orang-orang yang sadar, bahwa manusia ada keterikatan dengan alam ini. Selanjutnya ajaran makrifat Prabu Silihwangi harus menjadi keyakinan dirinya. Bahwa musibah apapun yang terjadi dialam ini, bencana, banjir, gunung meletus, topan tornado, dan lain sebagainya adalah karena sebab ketidak mampuan diri mereka. Kesatria yang sadar harus paham bahwa gejolak alam adalah bukan kejadian yang terjadi tanpa sebab, maka dia harus berani sebagai kesatria mengambil alih tanggung jawab itu. Mengatakankepada alam bahwa ini adalah salah mereka. Kemudian menghadap kepada Allah mohon ampun atas ketidak mampuan diri ini, membaca tanda-tanda alam yang diberikan kepada mereka sehingga alam murka. Kemudian takjim berdoa, memohon ampunan kelemahan diri, memohon agar yang mendapat musibah diringankan.

Ya Allah, jadikanlah musibah mereka sebagai penghapus dosa dan menjadikan datangnya rahmat-Mu, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Ya Allah, berilah kami taufik untuk mengambil pelajaran dengan ayat-ayat-Mu dan jadikanlah kami orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”

Pengajaran seperti ini perlu sekali bagi para kesatria, agar mereka memiliki sensitifitas atas kejadian di muka bumi ini. Agar terlatih empati mereka, terhadap nasib sesama. Manakala kita merasa ada tanggung jawab kita atas musibah yang terjadi, setidaknya ada gerakan hati untuk membantu, walaupun hanya lewat sepenggal doa. Mengambil alih tanggung jawab manusia-manusia lainnya yang tidak sadar, sehingga telah mengakibatkan datangnya murka alam. Alam memerlukan interaksi ini dengan manusia. Sebab dengan begitu eksistensi alam akan diakui oleh manusia. Eksistensi ini penting untuk hukum-hukum kesadaran alam semesta. Semua orang tahu, bahwa bencana alam tidak mungkin dihindari dan itu bukan kesalahan manusia. Realitas akan berkata begitu. Namun tdak bagi kesatria, bencana alam adalah sebab manusia tidak mampu berinteraksi dengan alam sendiri. Pemahaman inilah yang membedakan manusia biasa dan para kesatria. Kesatria harus lebih tanggap terhadap manusia lainnya, harus lebih sensitif atas kejadian-kejadian di alam ini. Inilah hikmahnya. Maka tak perlulah kesatria merasa kecil hati, luruhkan semuanya akui saja kelemahan diri, maka Allah akan menurunkan hidayah, akan menurunkan rahmat-Nya.  

Sekali lagi, email Ki Ageng akan ditautkan untuk memperjelas posisi kesatria. Dimanakah keberadaan mereka ini, agar tidak gamang dan mengalami frustasi dihempas realitas dunia. Kesatria dipilih karena sebab mereka akan memimpin alam ini. Memimpin angin, lautan, pohon, udara, gunung, burung-burung, dan semuanya seluruh alam semesta ini. Kesatria akan mewakili para manusia yang tidak mengerti bagaimana arti menjadi pemimpin alam. Menjadi pemimpin alam, artinya harus adil kepada setiap elemen alam ini tidak pilih kasih, jika terjadi kesalahan pada satu elemen maka pemimpin berani mengambil alih tanggung jawab itu dan dibebankan kepada pundaknya. Kesalahan itu dia hadapkan kepada Rajanya.  Itulah pemimpin sejati, berani mempertanggung jawabkan polah tingkah bawahannya. Mengajari, dan juga melindungi. Sudah sepatutnya kesatria seperti ini yang akan memimpin alam. Begitulah hakekat makrifat Prabu Silihwangi.

Aku hanya melantunkan kidung. Kidung yang kudengar dari alam…Kadang kudengar tangisan alam. Kudengar keluhan atas sikap manusia kepadanya..Sadarkan manusia telah menyakitinya. Alam semesta adalah makhluk juga. Hanya kita tak mendengar suara mereka. Tak mendengar tasbih mereka. Tak mendengar pujian atau keluhan mereka.  Atau tepatnya tak memperdulikan mereka. Pernahkah kita perduli dan terusik. Saat binatang dibantai dan disiksa. Saat alam dihancurkan dan dinodai. Bahkan sesama manusia dibantai. Tak meninggalkan rasa sedikitpun. Hanya karena mereka berbeda cara
Berbeda cara menyembah Tuhan.
Bukan kita yang memberi petunjuk (hidayah). Tetapi tugas sang pencipta yang memberi hidayah…Kita hanya mengabarkan…Kita hanya memberi contoh. Memberi suri tauladan..Menerapkan jalan Tuhan. Yaitu budi pekerti dan akhlak mulia. Kepada diri sendiri dan sesama. Dan juga alam semesta. Sedangkan semua syariat dan ibadah. Adalah cara atau metode atau latihan. Atau langkah hidup kita untuk. Mendapatkan jalan lurus untuk kembali. Maka hanya bersyukur. Dan berusaha sepenuh keyakinan. Bahwa itulah jalan terbaik. Jalan pulang..jalan kembali sang nafas..
Dalam setiap gerak nafas… dalam kesadaran seperti proses tidur..Tidur adalah pulang…
Tidur memang tidak ada rasa apapun..Namun saat sadar atau bangun terasa nikmatnya tidur..
Tapi bila ditanya tak ada yang bisa menjelaskan seperti apa rasanya…Namun bila tidak bisa kembali tidur. Maka terasalah semua siksa derita…Rasanya hanya ingin kembali tidur..Sadar sekian lama justru sangat menyiksa
. Rasanya ingin kembali..Maka semua jiwa yang sakit rasanya ingin kembali..
Semua yang tersiksa ingin kembali pulang..
Maka sang aku yang bertugas mengelola
Hawa sang nafas.. memanage… mengatur… mengkondisikan
. Menarik nafas …menahan nafas..
Mengeluarkan sesuai fitrahnya..Rasakan atau tarik nafas
. Lembut.. santun… perlahan..
Nikmati sampai terasa pulang
. Ke ujung nafas.. ke ketiadaan… ke kekosongan…dalan lafadz… la ilaha ilallah.. sampai kosong tiada apa-apa..Pulang.. kembali ke alam dan dimensi. Yang aku tak tahu..Lalu nikmati rasakan dan tahan dalam lafadz muhammadur rasulullah… arahkan sang aku kembali dari ketiadaan..Menuju alam materi dalam arah sesuai tuntunan Rasulullah..Sebuah resonansi sang aku dengan Nur Muhammad..Sebuah pembanding sang nafas dengan ruh al quran..Merasakan… memahami kondisi nafs. 
Menuju arah Nur Muhammad
Budi pekerti luhur..akhlakul karimah…Sebuah pengenalan posisi nafs. Dengan referensi yg sempurna…Lalu. Keluarkan hawa nafas. Bersama ruh Al Quran. Bisa dengan tasbih..tahmid dan takbir..Bisa dengan Bismillah..Astagfirullah.. atau yang lain…Maka terasalah nikmat kesadaran nafas..Nikmat ada dan tiada. Nukmat sadar dan tidak sadar. Nikmat tahu dan tidak tahu..
Nikmat adanya nafas
. Nikmat adanya sadar. Tarikan nafas menuju rahmat Allah
Mengeluarkan dalam nikmat Allah..Seolah seperti nikmatnya tidur
. Hanya orang yang pernah merasa mengantuk berat yang tahu nikmatnya tidur. Hanya yang pernah merasa ingin pulang benar
Yang merasa nikmatnya mudik
Maka semua ini hanya menjadi kabar semata..Selanjutnya terserah yang sadar…Semua adalah pilihan..
Terserah mau memilih atau tidak..
Dan sungguh berat bagi yang mengajarkan. Bagi ustadz… penceramah.. pendakwah…Bila mereka mengajarkan menurut hawa nafsunya..Bagaimana para pengikutnya..Sedang aku?…!. Hanya mengidungkan semata..Mungkin ada yang mau mendengar kidungku..Sebagian besar atau hampir seluruhnya. Kidungku tak berarti apapun..Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa..Kidungku kunyanyikan. Bersama alam pada semua yang mau
Mendengarkan nyanyian alam…Sebagai pembanding…Sebagai pembawa kabar gembira
Dan mungkin juga sekedar berita peringatan..Semoga kidung ini
Tetap mengalun lembut. Di telinga yang mendengarkan. Semoga nenenteramkan jiwa yang mendengar.
Salamku untukmu semua..
Salam sejahtera
Teriring kasih sayang Tuhan ku untukmu semua..
Semoga ini jalan yang benar menuju Tuhan..
Semoga Tuhanku yang kuyakini
Adalah Tuhan yang sebenar Tuhan..
Semoga ini bukanlah ibarat atau fatamorgana..
Bukan pula lautan kira-kira..
Semoga menjadi jalan lurus..
Dan tidak sesat dan buta di hari akhir nanti…

Katakanlah kepada alam, bahwa kitalah manusia yang sadar yang akan memimpin mereka. Kitalah para kesatria yang akan mengawali dan memulai, mengambil alih tanggung jawab itu, dan kita hadapkan kepada Raja kita.  Bumi, langit dan segenap isinya sudah diserahkan dalam kepemimpinan manusia, namun siapakah yang sadar dan mengakui keadaan ini. Maka para kesatria selayaknya mampu mengawali ini. Agar alam merasa tenang, agar alam merasa ada yang memimpin mereka, agar alam tidak merasa sendiri. Tanggung jawab kerisauan alam harus diambil alih para kesatria. Kesatria yang harus senantiasa berdialog dengan Tuhan pencipta alam ini. Jika ada alam yang bergolak melakuan demontrasi besar-besaran, itu jelas kesalahan peimpin mereka, bukan kesalahan alam. Ketidak mampuan sang pemimpin mengella semuanya, menyebabkan adanya ketidak puasan ini.  

Semoga dengan penejlasan ini, kesatria dapat mengerti, dan tidak risau. Bencana alam adalah kesalahan bersama, angin tornado, tsunami, gunung meletus itu adalah sebagiannya, sebentar lagi akan lebih dahsyat lagi. Maka cepatlah benahi diri, dan katakan dengan gagah berani, “Wahai alam kamilah pemimpin kalian, semua tanggung jawab sudah Allah berikan kepada kami, maka tenanglah kalian. Kami para kesatria akan senantiasa bermunajat kepada Raja kami, agar kita semua mendapatkan rahmat-Nya “

Sudahkah kita siapkan diri kita untuk menjadi pemimpin alam ?. Jika sudah, beritakanlah kepada alam keadaan ini !. 
Maka selesaikanlah pemahaman ini.


Wolohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali