Mengapa Bersholawat (2-2) ?



Manusia adalah medan  energi

Medan energi yang berhubungan dengan tubuh manusia telah berhasil diukur dengan alat seperti electroencephalograph (EEG), electrocardiograph (EKG) dan superconducting quantum interference device (SQUID, magnetometer yang amat sensitif). Secara ilmilah medan energi pada tubuh manusia ini disebut sebagai bio energi. Pada saat ini,  bio energi seluruh tubuh manusia telah dapat dicetak diatas selembar kertas dengan menggunakan sebuah alat berupa kamera yang dihubungkan dengan sebuah komputer dan sebuah printer. Sudah terdapat beberapa institusi yang menyewakan alat tersebut di Jakarta  sehingga anda dapat mengetahui bio energi tubuh anda dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

Kemudian kita juga sering mendengar istilah 'aura' , dan juga bagaimana teknik atau cara-cara melihat 'aura' seseorang. Namun secara kasat mata; penampilan luar 'raut muka' fisik seseorang ternyata dapat juga kita lihat perbedaannya dari satu orang ke orang lainnya, demikian juga jika kita bandingkan antara satu keyakinan dengan keyakinanan lainnya; seseorang penganut Katolik yang fanatik akan berbeda dengan penganut Hindu, Budha, atau Islam. Penganut Islampun banyak yang menampilkan 'raut' berbeda-beda.  Islam yang beraliran syiah akan memiliki  tampilan muka  yang berbeda dengan sunni. Islam yang berafiliasi ke NU akan menampakan 'raut muka' luar yang berbeda dengan Muhammadiyah. Apalagi orang-orang yang menyukai mistis , mereka akan memiliki penampilan 'raut muka' yang berbeda dengan orang kebanyakan. Orang susah, orang senang, orang sedih, orang gembira; masing-masing akan menampilkan raut muka yang dapat dengan mudah kita bedakan.

Apakah semua itu ada kaitannya dengan 'daya' yang menggerakkan ketubuhan mereka..?.
Menarik untuk di kaji, ternyata keyakinan seseorang diduga akan merubah tampilan luarnya dan perilaku mereka; tanpa disadari oleh mereka sendiri. Sulit dijelaskan seperti apa. Namun nyata adanya. Daya itu ternyata ada dan tanpa disadari mempengaruhi ‘fenotipe’ mereka.

Masalahnya adalah; Bagaimanakah menghubungkan kaitan antara 'daya'  dengan kondisi 'Jiwa' kita.  Apakah ada hubungannya. Kemudian bagaimana juga kaitan kondisi jiwa seseorang dengan keyakinan agama masing-masing; apakah ada bedanya kondisi jiwa orang yang memiliki keyakinan Katolik, dengan Islam, atau dengan Hindu, atau Budha atau lainnya …?.

Bagaimana menerangkan; pengaruh 'arus induksi' terhadap perilaku manusia. Bagaimanakah kesudahannya   jika ‘arus listrik’ yang di gunakan oleh manusia  untuk melakukan usaha-nya (W); ternyata di dapat (baca;dibangkitkan) dari proses 'induksi materi' ..?. Bukan arus listrik 'illahi-ah' 'arus murni' yang semestinya bagi dirinya ?. Bagaimana akibatnya. Dan apakah ada hubungannya antara kondisi jiwa dan penampilan raut muka seseorang dengan daya yang mereka pergunakan..?.

Bagaimanakah kejadiannya jika keseluruhan tubuh manusia sudah diliputi oleh medan energy dari proses 'induksi matery' tersebut..?.  Bagaimana gejolak jiwa mereka..?.

Kita mengetahui di dalam raga terdapat  Entitas;  yang hidup; yang merasa; yang sadar; yang mengetahui; yang cerdas; yang mengerti; yang membedakan salah dan benar ; yang takut pada Tuhan-nya; yang tenang; yang lurus; dan sebagainya. Itulah wajah-wajah sang Jiwa. Faktor pembatasnya adalah; Jiwa akan di tahan saat tidur dan mungkin akan di kembalikan ketika bangun terserah kehendak Tuhan. Inilah ketetapan yang mendahului, yang menjadi pembatas manusia di dunia ini. Sehingga manusia harus memanfaatkan waktu yang sempit setiap harinya, dengan sebaik-baiknya. Untuk mencari jalan pulangnya. Jalan kepada Tuhannya.

Jiwa sejatinya memiliki kemampuan 'merasa', yaitu sebuah kesadaran dalam merasakan, dimanapun ruang yang dia tempati dan di liputinya. Sebagaimana 'ETER' yang akan mengisi ruangan; maka jiwa dapat meluas mengisi seluruh sel-sel tubuh manusia; meliputi sel-sel tersebut. Berada diluar dan di dalam sel, tidak di dalam dan juga tidak di luar sel. Jiwa mampu meliputi sel syaraf peraba; sel syaraf perasa dan indera-indera lainnya. Jiwa mampu mengenali tubuhnya dengan sangat baik sekali; Jiwa mampu melakukan 'scanning' pada ketubuhannya; mengenali jika ada 'entitas' lain pada tubuhnya; mampu mengenali sang 'pembisik-pembisik' yang berada di dalam raga. Dengan kata lain; sesungguhnya Jiwa memiliki kemampuan mengenali 'daya' yang berada dalam system ketubuhannya sendiri.

Begitu luar biasa Jiwa manusia. Dia bahkan mampu meluas seluas alam semesta ini. Merasakan kondisi alam semesta ada dalam dirinya. (Pemahaman ini yang melahirkan konsepsi Manunggaling Kawula Gusti). Sayangnya jiwa berada di dalam suatu medan gaya materi di dalam tubuh manusia. Inilah faktor penghambat luar (R); (analogi dalam pemahaman di muka). Penghambat luar ini begitu kuat menghijab sang jiwa, karena tubuh manusia memang di susun atas materi. Manusia disusun atas atom; atom menyusun sel; Maka di dalam antara  ikatan antar sel dalam system ketubuhan manusia;kemudian  biasanya terjebak 'arus induksi'  (I).

Arus induksi di didalam sel jika meningkat secara kuadratik akan menghasilkan daya. (P = I. IR). Jika daya yang di hasilkan dari arus induksi selalu di gunakan untuk melakukan usaha; akan membuat  jiwa semakin sulit untuk melepaskan diri dari medan magnet materi tersebut. Jika arus induksi meningkat secara kuadratik;  terus menumpuk di dalam tubuh manusia; jiwa akan tidak pernah mampu meng-akses kepada sang Maha Hidup; yang merupakan sumber 'daya' sejati-nya.  Sehingga kemampuan sang jiwa sedikit demi akan sedikit melemah. Jiwa akan menyusut; mengecil; se-kecil-kecilnya. Daya hidup 'Jiwa' melemah, dan lama kelamaan akan mati. Inilah yang disebut 'hatinya membatu'. Hatinya telah mati. Dia tidak merasakan lagi daya hidup dalam dirinya. Kehilangan empati.

Jika tubuh dan jiwa tidak di aliri oleh 'daya hidup' maka sedikit demi sedikit akan mati. Sebagaimana tanaman yang tidak dialiri air.  Jiwa akan mengalami 'mati rasa' ; kesulitan 'merasakan';(baca;  hatinya akan mati); jiwa sulit untuk merasakan bahagia; merasakan syukur dan sebagainya. Sementara raga akan rusak secara sistematis. (Dalam penampilan luar munculah  penyakit psikologis maupun organik).

Pertanyaan selanjutnya;  Bagaimanakah caranya agar  jiwa dapat melepaskan diri dari gaya yang ditimbulkan 'medan materi' di dalam tubuhnya. Sehingga jiwa mampu meluas seluas alam semesta, jiwa mampu kembali menghadap kepada Tuhannya. Meskipun jiwa masih berada di dunia ini ?.

JIwa berada dalam raga manusia; terjebak di dalam medan gaya materi yang di timbulkan system ketubuhan manusia itu sendiri. Maka jika jiwa ingin lepas; ingin meluas seluas alam semesta ; jiwa harus meniadakan gaya yang bekerja pada dirinya.

Melalui pendekatan persamaan di muka;  maka secara perhitungan matematis;  jiwa harus menghadapkan diirinya kepada Dzat yang tidak memiliki muatan sama sekali. (Maha Suci). Atau tiada lagi jarak antar dua masa. Maka jika salah satu benda tidak bermuatan; tidak terdefinisi; persamaan akan menghasilkan nol ; atau tak terdefinisikan. Atau di dapat sebuah fungsi gaya sama dengan nol atau fungsi  yang tak terdefinisikan. Sehingga fungsi gaya yang bekerja pada jiwa menjadi nol; tak berhingga; tak terdefinisikan. Jika gaya materi sudah sama dengan nol; maka jiwa tentunya akan mampu lepas; meluas seluas luasnya; memenuhi alam semesta ; meliputi berada di dalam  dirinya.

Jiwa berada dalam raga manusia; terjebak di dalam medan gaya materi yang di timbulkan system ketubuhan manusia itu sendiri. Jiwa senantiaasa merasakan, energy ketubuhan yang di bangun oleh arus induksi dari proses bekerja nya dua kutub atau lebih medan magnet yang bekerja pada  dirinya; adalah medan gaya materi-materi yang bekerja pada  system ketubuhan manusia.  Maka jika jiwa ingin lepas; ingin meluas seluas alam semesta ; jiwa harus meniadakan gaya-gaya yang bekerja pada dirinya. F harus sama dengan 0.

Medan gaya materi menyebabkan kesakitan, keresahan, dan lain sebagainya. Sebab Jiwa jauh dari sumber energy sesungguhnya, jiwa tidak mendapatkan daya dari nur Illahi.

Jiwa yang dapat melepaskan dirinya dari  medan gaya yang membelenggunya akan  mendapatkan ketenangan luar biasa, karena dia telah mendapatkan akses kepada tempat asalnya.  Untuk meniadakan gaya tersebut. Agama-agama tertua di dunia memiliki methode, yang hampir mendekati persamaan. Menghadapkan jiwanya kepada sesuatu Dzat yang tidak memiliki energy, tidak memiliki medan listrik, tidak memiliki muatan, atau apapun yang bisa disebut oleh manusia. Adalah Dzat yang Maha Suci, Maha besar, dan lain sebagainya. Dzat itu di kenal dengan banyak sekali sebutan, oleh manusia. Dalam teology Islam Dzat tersebut menamakan dirinya Allah.

Maka kita dewasa ini mendapati beberapa methode, meditasi, bertapa, puasa, dan lain sebagainya, yang kesemuanya di maksudkan untuk melatih jiwa kita menghadapkan diri, kepada suatu Dzat yang di maksudkan tadi. Kesalahan dalam menghadapkan Jiwa kepada Dzat yang tidak benar, akan menghasilkan daya yang salah yang akan mempengaruhi kepada system ketubuhan manusia tersebut, yang pada gilirannya akan memberikan ciri kepada  raut muka manusia tersebut. Maka kemudian kita dapati raut muka, aura, yang berlainan dari satu manusia ke manusia lainnya. Dan lain sebagainya, yang kesemuanya dapat menunjukan ciri masing-masing keyakinan manusia-manusia tersebut. Namun sayang kita memerlukan penelitian lebih lanjut, data empiris masih sangat sulit di dapatkan dalam hal ini. Sebab hanya manusia tersebut yang tahu kepada siapa dia menghadapkan dirinya.

Bagaimana ciri manusia yang telah menghadapkan dirinya kepada Dzat yang di maksud tersebut dengan benar (Allah).?. Maka beruntunglah umat muslim, karena mendapatkan contoh nyata pada diri Rosululloh. Maka bagi manusia yang mengaku muslim wajib untuk mengetahui ciri tersebut seperti apa !. Bagaimana akhlaknya, bagaimana dia ber sosialisasi, bagaimana dia ber muamalah, bagaimana dia memimpin, bagaimana dia menjadi suami, menjadi ayah, dan lain sebagainya. Sungguh lengkap sekali teladan yang dapat kita ambil dari diri Rosululloh. Dengan mengenal diri Rosululloh, berarti kita mengenal diri kita sendiri. Sehingga kita akan mampu merasakan daya yang benar dari hasil yang kita dapat rasakan dalam kehidupan sehari hari. Kita menjadi yakin, menjadi lembut, halus, tidak takut terhadap apapun, tidak takut terhadap rejeki, tidak takut terhadap debt collector, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Semua dapat kita lihat dalam ajaran dan sunnah-sunnah Rosul.

Allah telah memberikan pengajaran yang sempurna kepada diri Rosululloh, maka kepada seluruh umat manusia, seluruh umat muslim di dunia ini, di minta untuk menjadikan diri Rosululloh teladan bagi dirinya. Di harapkan akan mampu menjadikan diri Rosululloh sebagai panutan, bagaimana seorang manusia itu, belajar yang baik dan benar. Rosululloh adalah contoh manusia yang di selamatkan.  

Allah sendiri ber-sholawat atas Rosul, Allah  sendiri yang mengkhabarkan kepada kita siapa manusia yang paling sempurna, manusia yang akan di selamatkan dengan rahmatNya. Bagaimana system ketubuhan manusia yang paling sempurna ini?.

 Maka jika manusia ingin sebagaimana manusia yang diinginkan oleh penciptanya maka manusia tersebut harus senantiasa, melihat, mencontoh, mengenal, mencintai, men-duplikasikan dirinya agar senantiasa sama dengan teladan yang di berikan Rosululoh. Islam mengajarkan bagaimana cara yang sederhana agar kita mampu menduplikasi dirinya agar mendekati diri Rosul yaitu hanya dengan BER €“ SHOLAWAT. Sangat sederhana dan simple sekali. Kenapa manusia mencari hal-hal lain yang sulit-sulit ?. Sungguh kasihan sekali. ?!?.

Manusia yang sering ber sholawat atas nabi, maka telah mengarahkan dirinya, mengarahkan Jiwa nya, ber hadapan terus kepada 'sejatinya manusia'. Manusia paripurna yang di kondisikan sebagai panutan umat manusia oleh Tuhan semesta alam ini. Sehingga dengan analogi hukum coulomb di muka, ketika diri manusia di hadapkan kepada suatu 'muatan' (q) yang sempurna, maka F (gaya) menjadi sama dengan 0. Jika F (gaya) sama dengan 0, maka Jiwa akan mampu lepas, ada Resultan gaya yang membantunya mendobrak 'medan gaya' yang membelenggu jiwanya. (Di karenakan ada bantuan daya dorong atau Resultan gaya dari  diri Rosululloh yang berada di alam raya ini). 

Manusia sejatinya adalah 'benda yang bermuatan listrik', di dalamnya terdapat daya hidup yang merasakan daya-daya apa yang bekerja pada system ketubuhannya. Daya hidup tersebut sering di sebut sebagai Ruh/Jiwa. Ketika daya hidup tersebut mengaliri diri manusia tersebut, ketika pada system ketubuhan manusia hanya bermuatan daya materi maka Jiwa  'daya hidup' tersebut, kehilangan 'energy'-nya, yang lama kelamaaan akan mati. Tidak mampu merasakan apa-apa, hatinya telah mati, telah membatu. Maka kenapakah kita tidak ber sholawat, agar hati/jiwa kita menjadi hidup.

Dalam diri Rosul terdapat daya yang sangat luar biasa, yang akan mampu memberikan daya dorong (Resultan) agar Jiwa manusia mampu lepas dari medan gaya materi yang mengungkungi dan membelenggu dirinya. Maka kenapa kita tidak menggunakan cara yang termudah saja. Mengapa manusia lebih memilih bertapa..?. Memilih tempat-tempat angker..?.  Sungguh membingungkan..?.

Maka sekarang dapat kita mengerti, kenapa kita di sunnahkan untuk ber sholawat. Ber-sholawat adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Bagi manusia yang menginginkan kehidupan dunia dan akherat yang lebih baik. Dengan cara yang mudah lagi sederhana. MAKA SEBAIKNYA DIA BER SHOLAWAT.

Nah…kalau begitu , apakah ada yang berani mengatakan bahwa 'Islam adalah egois..?'. Nah, kalau begitu apakah anda mampu menyimpulkan sendiri; bagaimana konsep sholawat jika di sandingkan dengan konsep 'juru selamat'. ?!?.  Walohualam bisawab.


Selesa

Komentar

  1. sholawat ada 2 versi, dg menyisipkan kata sayyidina dan ada yg tidak. manakah yg pas menurut bapak arif?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagaimana menurut qiqib sendiri?
      Manakah yang lebih pas?.


      Kidung Alam

      Hapus
    2. karena sy orang NU, maka sy terbiasa bersholawat dg menyisipkan kata sayyidina..

      Hapus
    3. Maka sholawatlah dengan itu, karena itulah yang terbaik bagiku.
      Peganglah dan yakini. Kuatkan dan teguhkan untuk berpegang.
      Biarkan orang lain melakukan yang lain.
      Yang utama adalah keyakinan diri sendiri.
      Karena diri sendirilah yang akan berhadapan langsung dan mempertanggungjawabkan keputusan itu di hadapan Tuhan.

      bagi yang beda, ya biarkan mereka mempertanggungjawabkan
      apa pilihan yang mereka ambil.

      Jangan ragu, teguh dan yakini.

      Jangan menyisakan keraguan sedikitpun.
      Bersholawatlah


      Dan tidak perlu bertanya seperti ini kan?.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali