Kisah Spiritual, Bara Kuasa dan Cinta di Kalingga

Borobudur kala prosesi


Seperti bintang diam menunggu fajar. Sunyinya serasa mati. Tidak pernah ada jawabnya. Mengapa semua ini harus diyakini. Perjalanan melintasi waktu dan dimensi. Kembali menjejaki peristiwa-peristiwa yang ditorehkan kesadaran manusia atas bumi pertiwi. Coba katakan apa yang seharusnya dilakukan. Bila semakin larut diri ini, dalam kerinduan yang semakin dalam untuk memahami gejolak jiwa anak manusia di mayapada ini. Anak-anak manusia yang telah melegenda dalam alam pikiran manusia. Bila saja semua menjadi mudah, maka tidaklah bila malam mata enggan terpejam. Cobalah dengar lagu yang sering disenandungkan mimpi. Nada sudah tidak indah lagi. Bayangkan, langit-langit kamar akan penuh gambar, menampakan semua peristiwa yang terjalin rapi tanpa ada satupun makhluk mengetahui apakah makna dari itu .  Tidak juga diri ini, maka semua hanyalah dalam tataran keyakinan diri. Sebab alam tidak pernah berdusta dia akan menyimpan apa saja yang menjadi niat anak manusia.  Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. He eh..!.

Mas thole mencari jawaban di langit. Diseretnya langkah menyusuri bukit demi bukit, disepanjang pantai yang mampu dijangkau pandangan. Menorehkan pengalaman di bumi seberang. Mencoba menguak misteri demi misteri kelahiran yang melingkupi diri dan juga putrinya sendiri.  Dia tersergah dalam langutannya yang dalam. “Kemanakah akan dicari jawaban ini .“ Kemanapun dia pergi selalu terbawa-bawa, perasaan bersalah yang datang menghantui. Masih mungkinkan pintu terbuka. Dengan kunci yang sering dipatahkannya. Lihatlah dia terkapar dan luka. “Bagaimanakah dengan anaknya ini ?” Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa. Mengapakah semua bermuara disini. Di pegunugan ini. Disebuah daerah yang dingin, wingit dan penuh dengan makhluk tak kasat mata ribuan jumlahnya. Di sebuah tempat dataran tinggi yang disebut DHIENG.  “Aku harus pulang..” Begitulah bisik dalam hatinya. “Ijinkanlah aku kenang sejenak perjalanan..” Dia memelas berkata pada pagi.

+++

Mobil Kijang putih tahun 80 an merayap mendaki. Jalan berliku nampak di sisi kanan  jurang terjal dan dalam. Angin gunung basa-basi, menyapa dan terbang entah kemana. Jalan yag hanya pas dilalui dua kendaraan, terbungkus kabut. Siang itu jarak pandangan hanya 10 meter ke depan. Mas Thole mendaki dengan penuh teka-teki. Menuju puncak pegunungan Dieng. Daya dorong dari dalam hatinya memberikan kekuatan lebih. Sesungguhnya dia sudah sangatlah letih. Beberapa hari ini dirinya terus di hantam gelombang kesadaran dari masa lalu dan masa depan. Semua seperti tak berjeda lagi. Perjalanan spiritualnya kali ini nyaris membuatnya tak berdaya. Seenjak ditanamkan pohon Tin dan Zaitun, kemudian dirinya melihat pertanda matahari yang mengualrkan darah di Pantai Parangtritis. Masih ditambah lagi dengan keadan putrinya ini yang terkoneksi dengan masa lalunya. Dia mampu merasakan bagaianakah keadan raga masa kini yang terkonkesi. Sakitnya bagai ribuan jarum menusuki seluruh syaraf. Naluri seorang Ayah, ingin melindungi, ingin berbuat apa saja agar putrinya ini tidak mengalami, apa apa sebagaimana yang dialami dirinya.

Teringatlah Mas Thole apa yang dlihat putrinya sesaat di makam Putri Sasi. Putrinya memasuki alam dimensi, dia bertemu dengan Putri Sasi sendiri dalam kesadarannya. Dimensi yang tidak terbayangkan ada di dunia ini.

Senja hitam ditengah ladang
Dihujung permatang engkau berdiri
Putih diantara ribuan kembang
Langit diatas rambutmu
Merah tembaga
Engkau memandangku
Bergetar bibirmu memanggilku
Basah dipipimu air mata
Kerinduan, kedamaian oh..”

Seketika pecah lah tangis putrinya ini. Bersimpuh dia..

Batu hitam diatas tanah merah
Disini akan kutumpahkan rindu
Kugenggam lalu kutaburkan kembang
Berlutut dan berdoa
Syurgalah ditanganmu, Tuhanlah disisimu
Kematian adalah tidur panjang
Maka mimpi indahlah engkau…”

Kejadian itu masih menyisakan tanda tanya bagi Mas Thole. Mengapakah tidak berhenti  lintasan ini. Mengapakah seperti ada daya tarik untuk melanjutkan perjalanan, mencari jejak-jejak reinkarnasi lagi atas diri putrinya ?. Maka diikuti saja suara hati. “Semua harus tuntas, harus selesai dalam pencarian ini..” Sekalian saja sambil dirinya juga sedang menjalankan misi nusantara ini. ‘Sekali dayung dua atau tiga pulau terlampoi.’ Itu tekadnya. Dilanjutkannya perjalanannya menuju Borobudur. Hari sudah menjelang sore. Dan hujan sudah  mulai turun, setelah selesai makan siang. Perjalananya tersendat karena cuaca ini. Syukurlah, Mas Thole dan anaknya masih bisa masuk Borobudur, nyaris saja perjalanannya sia-sia, sebab kurang 30 menit lagi tutup.

+++

Borobudur dengan keangkerannya, auaro mistik terlihat sangat kental disana. Mas Thole mengabadikannya. Awan seperti meliputi dan berputar di candi itu. Semua tertangkap jelas di kamera. Terlihat para Resi, Biksu, dan Mpu bahkan para dayang-dayang lengkap dengan selendang mereka seperti sudah menyambut kedatangan mereka. Nampaknya Mas Thole sudah ditunggu disana. Dayang-dayang itup[un terlihat oleh putri Mas Thole, nampaknya putrinya senang sekali berada disana. Bagaia berada di suatu tempat yang indah sekali. Walau secara realitasnya Borobudur diselimuti kabut saja. Mas Thole segera mencari koordinat untuk menyampaikan khabar atas keyakinan Nusantara Baru. Keyakinan yang sudah di tancapkan di 7 bukit. Para ghaib mendengarkan dan nampaknya mereka mengerti sekaligus juga merestui. Ghaib dari dimensi ini mendukung sekali perjuangan. Mereka siap berdoa kepada Hyang Widhi Wase. Legalah hati Mas Thole.

Mereka hanya naik sebentar melakukan prosesi seperminuman teh. Lantas hujan turun dengan lebatnya. Mas Thole diminta untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Sebab sebentar lagi akan terjadi turbulensi waktu. Akan sangat berbahaya sekali akan ada badai tornado dalam dimensi kesadaran.  Begitulah pesannya. Maka Mas Thole segera mengajak putrinya turun dan melanjutkan perjalanan lagi ke Dieng. Entahlah, apakah masih bisa ke kejar untuk naik ke Dieng dalam suasana seperti itu. Jika tidak terpakas mereka akan menginap di bawah terlebih dahulu. Dan benar saja, kendaraan umum kesana sudah langka. Hingga sampai disana sudah tidak memungkinkan lagi untuk naikke puncak. Jalna yang licin dan berliku sangat berbahaya. Lagi pula tidak ada angkutan umum kesana di malam hari.

Keesokan harinya hujan juga tidak berhenti. Tidak mungkin perjalnan dilanjutkan dengan angkutan umum. Mas Thole pasrah, jika harus menyewa kendaraan dananya tidak akan cukup untukpulang ke Jakarta. Hingga siang hari dirinya dlaam gamang. Namun ternyata alam tidak diam, mendadak ada rekannya yang menawarkan kendaraan, meskipun umurnya sudah tua, namun katanya malam tahun baru sudah dicoba untuk naik dan tidak apa-apa. Dengan kendaraan itulah Mas Thole naik ke pegunungan Dieng dalam suasana hujan. Dalam keyakinan Mas Thole hujan ini akan sedikit reda di puncak sana. Karena itu mereka berangkat . Waktunya tidak banyak sebab sore hari dirnya sudah harus balik ke Jakarta. “Mudah-mudahan tidak ada halangan..” Begitulah doanya.

+++

Candi Arjuno Dieng


(“Ijinkanlah aku kenang sejenak perjalanan..” Pinta Mas Thole pada pagi, saat dituliskan kisahnya ini.)

Blaagh….!. Mas Thole tergagap dari lamunannya. Jantungnya seperti terkena palu godam. Tangannya yang sedang memegang setir nampak terguncang,  dari arah jok belakang terdengar suara tangisang begitu hebat dari anaknya. Tangisan entah datang dari mana. Tangisan masa lalu yang menyeruak memasuki dimensi sekarang ini. Ditariknya nafas, ditenangkanlah dirinya. Entah kenapa, walau sudah berpengalaman puluhan kali menghadapi situasi ini. Namun jika menyoal putrinya ini disa selalu hilang kendali. Perasaan seorang Ayah terlalu mendominasi dirinya. Perasaan yang tidak rela jika ada yang meyakiti putri satu-satunya ini. Tak perduli setan bekakak dari mana asalnya, pasti dia akan hadapi. Saat sekarang ini, dia dalam perjalanan pulang dari prosesi di Dieng. Diingat kembali apa yang terjadi saat disana. Mas Thole mencoba mencari pijakan sebab apa putrinya menangis begitu  luar biasa ini. Terguguk bagai seseorang yang mengalami penderitaan hebat. Kehilangan kesakitan. Penderitaaan hidupo yang seakan tak mampu ditahannya lagi.  Ugh…!. Apakah anaknya terkoneksi  ke masa lalu  Kejadian apakah itu ?.

Teringatlah dirinya. Begitu sampai di lokasi candi Dieng, di tempat parkir. Memang anaknya sudah terlihat tidak biasa. Alam kesadarannya seperti sudah tidak berpijak di dimensi ini. Matanya seperti menerawang saja. Seperti tidak ada daya sama sekali. Turun dari mobilpun terpaksa harus dipapah oleh Mas Thole. Hujan kala itu rintik, Mas Thole harus mencari sewa payung untuk ke lokasi. Sambil memampah putrinya ini. Mas Thole berjalan menuju pusat candi. Langkahnya langsung saja menuju ke candi Arjuno. Di tinggalkan anaknya, dia menuju sendiri. Tiba-tiba angina begitu dahsyat menerjang. Terlintas hatinya untuk memasuki  candi Arjuno berteduh disana namun entah mengapa saat dia mau masuk ada lintasan hati yag menahannya agar jangan masuk. Lintasan yang begiu kuat. Seperti insting tanda bahaya. Maka diurungkan saja niatnya. Angin dan hujan tadi mendadak berhenti. Diabadikanlah momen tersebut.

Begitu sudah berada diluar, tiba-tiba angin dan hujan datang lebih hebat lagi memaksa Mas Thole mencari tempat berteduh. Dihadapannya ada candi Semar. Lintasan hati memaksanya untuk kesana. Ada seorang pertapa gila yang memanggil-manggilnya untuk datang. Dia tepat di belakang pintu.  Bicaranya ngacau tidak karaun. Tangannya di sodorkan untuk meminta recehan. Mas Thole basa-basi menyapa dan  diberikan uang recehan juga. Sebelum masuk dia berteriak kepada putrinya untuk berteduh di dlaam candi Arjuno saja. Setelah dilihatnya anaknya berteduh, Mas Thole masuk lebih dalam ke Candi Semar. Tiba-tiba ada bisikan yang memerintahkan untuk dilakukan prosesi disini. Maka Mas Thole memasuki kesadrannya. Hening, sebagaimana biasa. Disapalah seluruh alam, seluruh ghaib yang ada disana. Luar biasa sekali dalam kesadarn Mas Thole terlihat keadaan disana. Keadaan ghaib disana sangat berbeda sekali dengan tempat-tempat lainnya. Banyak sekali ghaib yang setinggi pohon kelalap. Banyak ragam dan banyak keanehan. Setengah manusia setengah binatang. Ada yang berkepala buaya dan berbadan wanita.  Banyak para resi, dan banyak para kesatria. Semua bercampur menajdi satu. Luar biasa, penampilan mereka hampir menyerupai pasukan Sabdo Palon.

Hanya seperminuman teh prosesi, setelah didapatkan kesanggupan dan erstu ghaib disana. Mas Thole segera berpamitan. Diajaklah putrinya kembali ke mobil.  Keadaannya sungguh megenaskan, putrinya sudah seperti tidur namun dalamkeadan terjaga. Dan puncaknya, adalah tangisan yang meledak hebat. Mas Thoel harus mencari jawaban atas misteri ini. Sebab ini menyangkut keadaan anaknya. Sampaipun turun dari mobil terpaksa anaknya harus digendongnya. “Hmm…semua terkait dengan Ratu Shima..?.” Mata batinnya mulai menemukan pijakan kemanakah dirinya harus mulai mencari. “ Namun apakah kaitannya putrinya ini dengan Ratu Shima.” Sedikit demi sedikit mulai terbuka tabir. Dengan sangat hati-hati ditanyalah anaknya, perihal tangisanya itu.

+++

“Pagi, engkau berangkat hati mulai membatu
Malam, kupetik gitar dan terdengar
Senandung ombak dilautan
Menambah rindu dan gelisah
Adakah angin gunung, adakah angin padang
Mendengar keluhanku, mendengar jeritanku
Dan membebaskan nasibku
Dari belenggu sepi..”

Kesedihan anaknya, adalah sebagaimana kesedihan para putri raja, yang harus tunduk kepada pakem kerajaan. Adalah kesedihan saat mana keindahan cinta direnggut dari hadapannya. Terkisah di jaman dahulu kala di kerajaan Kalingga diperintah oleh seorang Ratu yang sangat perkasa. Ratu yang sangat tegas dan berkuasa. Ditangannya hukum berlaku tanpa pandang bulu. Sang Ratu memerintah dengan tangan besi. Keinginannya adalah  bagaimana rakyatnya dapat hidup aman dan tentram. Demi mencapai cita-citanya itu semua cara dilakukannya. Banyak sudah rakyatnya yang di hukum mati.  Dalam mata batin Mas Thole mendapatkan keyakinan itu bahkan anaknya sendiri juga ada yang di hukum mati olehnya. Terkisah anaknya sendiri Pangeran Iswara, yang sedianya akan di hukum mati olehnya, karena sebab yag sangat sepele. Sang Pangeran menendang kendi yang berisi emas yang tergeletak di alun-alaun. Kendi itu tak sengaja tertendang oleh sang Pangeran hingga terjatuh dan tumpah ke tanah.

Mendapati kendi itu telah pecah dan isinya berantakan murkalah sang Ratu. Padahal saat itu tidak ada yang tahu isi kendi itu berapa dan apa saja. Dalam benak Sang Ratu bagaimana nanti dirinya mempertanggung jawabkan kepada pemiliknya. Jika dia melakukan klaim bahwa ada yang mengambilnya bukankah akan jatuh wibawa kerajaanya. Maka diperintahkan kepada prajuritnya untuk mencari Sang Pangeran. Di sidanglah Sang Pangeran dan dijatuhi hukuman Mati. Namun para petinggi istana mencoba melunakan hati Sang Ratu. Tidaklah terkisah apa yang terjadi sesungguhnya, sebab sejarah hanya menceritakan dari sisi penguasa dan kepentingan Raja saja. Namun dalam mata batin Mas Thole terpindai residu rahsa yang kejadiannya lebih dahsyat dari sekedar itu. Sang Pangeran akan dihukum buang ke sebuah jurang. 

Ratu Shima menjatuhkan hukuman potong jari kaki, namun Pangeran harus menerima hukuman lainnya. Pangeran akan dibuang di sebuah jurang yang terkenal sangat wingit. Tidak ada satupun manusia yang dibuang kesana kembali hidup. Jurang maut adalah jurang tempat pembuangan bagi orang yang membangkang kerajaan. Sebelum dijatuhi hukuman buang sang Pengeran memohon kepada Ibundanya  agar dirinya diperbolehkan berpamitan kepada calon istrinya. Keinginan itupun disetujui oleh Sang Ratu. Bahkan Sang Ratu itu bersedia mendampingi anaknya untuk bertemu calon menantunya itu. Sungguh tragedi dalam sejarah peradaban manusia yang memilukan mayapada. Bagaimana kisah dua orang kekasih ini di pisahkan oleh kekuasaan. Bagaimanakah alam tidak menjerit kesakitan menyaksikan duka mereka berdua. Beberapa hari lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Cinta mereka begitu  terlanjur sudah di gantung di langit. Kini mereka harus dipisahkan dnegan cara itu. Sebuah kesalahan kecil saja telah membuat Ibunda Ratu Shima semarah itu. "Apakah sepadan." Begitu langit mempertanyakan.

Kejadian itulah yang dilihat oleh putrinya Mas Thole. Bagaimana kekasih hatinya Pangeran Iswara, diseret-serat oleh prajurit Ratu Shima. Bagaimana kekasih hatinya itu memanggil-manggil namanya. Namun apalah dayanya, dirinya pun dipegang oleh puluhan parjurit yang besar-besar. Terdengar olehnya suara Ratu Shima begitu tegas tanpa perasaan, begitu kuat menghardik dan memarahinya. Suara Ratu Shima seperti menembus ke masa kini. Bagaikan baru saja kemarin sore ini kejadiannya. Tentu saja pecahlah tangisnya, termanifestasi di raga terkini, menampar kesadaran putri Mas Thole. Sepertinya pada  kala itu di masa itu dia memanggil-manggil nama kekasihnya. Namun justru suara Ratu Shima semakin kuat ditelinga, terdengar dia berkata, “Dia tidak pantas menjadi calon suamimu, dia seorang pesakitan. Dia seorang yang hina. Telah melanggar aturan Negara. Telah menistakan kewibawaan Ratu..” Bukankah dia adalah juga anaknya sendiri ?. Entahlah, yang jelas sejarah sudah mencatatnya begitu.   Sebuah tragedi seorang Ibu. 

Begitu dalamnya kesakitan Putri itu, menyaksikan kekasih hatinya diseret dan di buang ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya. Jurang yang tidak pernah terlihat dasarnya. Adalah kesakitan yang menggentarkan angkasa. Hingga kemudian melintasi peradaban. Kesedihan yang kemudian lahir melalui raga anaknya ini. “Ugh…mengapakah kejadiannya selalu begitu..” Mas Thole mencoba menghela nafas. Pekat sungguh meliputi dadanya. “Benarkah ada peristiwa itu, benarkah energy Ratu Shima begitu..Tidakkah dirinya juga megalami cinta yang terlalu. Mengapakah diluarnya dia bisa begitu tegas, seolah-olah benar dengan keputusannya itu, argh..!?” Mas Thole terus saja mencari detail kejadian. Mencoba menelusuri keadaan. Mencoba meluruskan sejarah, bila perlu mengambil tanggung jawab atas kesalahan pemaknaan kejadian di masa lalu. Agar residu rahsa yang menampar anaknya tidak terlalu sebagaimana biasa begitu.

Terbayanglah saat Mas Thole berinteraksi dengan  Ratu Shima, ada saja friksi yang tidak pernah dimengertinya. Padahal secara realitas, dia paham raga terkini Ratu Shima sangat baik sekali. Bahkan saat putrinya kecelakaan Ratu Shima jugalah yang mengulrkan bantuan. APkah ini semua menjelaskan ?. Mengapakah ada daya dorong ratu Shima membantu putrinya ?. Apakah ada daya dorong masa lalu ?. Entahlah itu. Semua serba tak pasti, sulit dipahami. Mas Thole hanya mencari pijakan atas keyakiann diri, menyoal fenomena yang dialaminya atas lintasan hati selama ini. Friksi yang tidak pernah dimaui selama ini sekarang ini ditemukan jawaban logisnya. Kini dirinya paham. Sebab ternyata dirinyalah Sang Resi ayah dari Putri yang gagal dipersunting oleh anaknya Ratu Shima (Pangeran Iswara). Dahulu dia ayah putri itu dan kini raga terkini diapun ayahnya. Kejadian terulang lagi. Jika jaman dahulu dia ayah dari Putri itu, maka di masa kini diapun ayah biologis dari reinarnasi Sang Putri tersebut. Maka menjadi jelas kiranya, mengapakah rasa sayangnya kepada putrinya ini, begitu ‘sesuatu sekali’. Dari sinilah muasal maka mengapakah kepada Ratu Shima ada saja lintasan ‘aneh’. Perseteruan dahulu saat dirinya menjadi penasehat Ratu Sima, saat dahulu saat anaknya gagal di ambil menantu. Dimana kemudian putrinya ini mengalami kegoncangan jiwa, telah menorehkan residu rahsa kepada sang Ratu. Pada kisah lainnya, sejarah mencatat karena sebab perseteruan dengan pamannya ini Sang Penasehat kerajaan, akhirnya Ratu Shima bertapa, mengasingkan diri, melepaskan kerajaannya.

Benarkah begitukah runutan, jalan ceritanya..?.  Mas Thole menggeleng tak pasti. Namun setidaknya dia memiliki gambaran, paham dari manalkah muasal sergahan energi yang berbenturan. Maka Mas Thole bertekad mulai sekarang akan mengambil alih  tanggung jawab kejadian di masa lalu yang tidak pernah ditahuinya itu.  Dia akan memohon kepada alam agar memaafkan siapapun dirinya di masa lalu. Dan diapun akan memaafkan apapun dan siapapun yang berseteru dengan dirinya di masa lalu. Sehingga tidak ada lagi residu rahsa yang tertinggal apalagi sampai mengganggu. Mungkin itu hikmah kejadian yang dapat dipetik dari peristiwa anaknya ini.  

Gugusan hari-hari
Indah bersamamu
Bangkitkan kembali
Rinduku mengajakku kesana 
Inginku berlari
Mengejar seribu bayangmu
Tak peduli kau kuterjang
Biar pun harusku tembus padang ilalang

Tiba-tiba langkahku terhenti
Sejuta tangan telah menahanku
Ingin kumaki mereka berkata
Tak perlu kau berlari
Mengejar mimpi yang tak pasti
Hari ini juga mimpi
Maka biarkan ia datang
Di hatimu... di hatimu...

( Ilustrasi bait syair di adaptasi dari lirik lagu Ebiet G Ade Camelia 2 dan 4)


Wolohualam…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali