Kisah Spiritual, Bara Kuasa dan Cinta di Kalingga
Borobudur kala prosesi |
Seperti bintang diam menunggu fajar.
Sunyinya serasa mati. Tidak pernah ada jawabnya. Mengapa semua ini harus diyakini.
Perjalanan melintasi waktu dan dimensi. Kembali menjejaki peristiwa-peristiwa
yang ditorehkan kesadaran manusia atas bumi pertiwi. Coba katakan apa yang
seharusnya dilakukan. Bila semakin larut diri ini, dalam kerinduan yang semakin
dalam untuk memahami gejolak jiwa anak manusia di mayapada ini. Anak-anak
manusia yang telah melegenda dalam alam pikiran manusia. Bila saja semua
menjadi mudah, maka tidaklah bila malam mata enggan terpejam. Cobalah dengar
lagu yang sering disenandungkan mimpi. Nada sudah tidak indah lagi. Bayangkan,
langit-langit kamar akan penuh gambar, menampakan semua peristiwa yang terjalin
rapi tanpa ada satupun makhluk mengetahui apakah makna dari itu . Tidak juga diri ini, maka semua hanyalah dalam
tataran keyakinan diri. Sebab alam tidak pernah berdusta dia akan menyimpan apa
saja yang menjadi niat anak manusia. Pergulatan
yang panjang dalam kesunyian. He eh..!.
Mas thole mencari jawaban di langit.
Diseretnya langkah menyusuri bukit demi bukit, disepanjang pantai yang mampu
dijangkau pandangan. Menorehkan pengalaman di bumi seberang. Mencoba menguak
misteri demi misteri kelahiran yang melingkupi diri dan juga putrinya sendiri. Dia tersergah dalam langutannya yang dalam. “Kemanakah akan dicari jawaban ini .“ Kemanapun
dia pergi selalu terbawa-bawa, perasaan bersalah yang datang menghantui. Masih
mungkinkan pintu terbuka. Dengan kunci yang sering dipatahkannya. Lihatlah dia
terkapar dan luka. “Bagaimanakah dengan
anaknya ini ?” Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa. Mengapakah semua bermuara
disini. Di pegunugan ini. Disebuah daerah yang dingin, wingit dan penuh dengan
makhluk tak kasat mata ribuan jumlahnya. Di sebuah tempat dataran tinggi yang
disebut DHIENG. “Aku harus pulang..” Begitulah bisik dalam hatinya. “Ijinkanlah aku kenang sejenak perjalanan..”
Dia memelas berkata pada pagi.
+++
Mobil Kijang putih tahun 80 an merayap
mendaki. Jalan berliku nampak di sisi kanan jurang terjal dan dalam. Angin gunung
basa-basi, menyapa dan terbang entah kemana. Jalan yag hanya pas dilalui dua
kendaraan, terbungkus kabut. Siang itu jarak pandangan hanya 10 meter ke depan.
Mas Thole mendaki dengan penuh teka-teki. Menuju puncak pegunungan Dieng. Daya
dorong dari dalam hatinya memberikan kekuatan lebih. Sesungguhnya dia sudah
sangatlah letih. Beberapa hari ini dirinya terus di hantam gelombang kesadaran
dari masa lalu dan masa depan. Semua seperti tak berjeda lagi. Perjalanan spiritualnya
kali ini nyaris membuatnya tak berdaya. Seenjak ditanamkan pohon Tin dan
Zaitun, kemudian dirinya melihat pertanda matahari yang mengualrkan darah di
Pantai Parangtritis. Masih ditambah lagi dengan keadan putrinya ini yang
terkoneksi dengan masa lalunya. Dia mampu merasakan bagaianakah keadan raga
masa kini yang terkonkesi. Sakitnya bagai ribuan jarum menusuki seluruh syaraf.
Naluri seorang Ayah, ingin melindungi, ingin berbuat apa saja agar putrinya ini
tidak mengalami, apa apa sebagaimana yang dialami dirinya.
Teringatlah Mas Thole apa yang dlihat
putrinya sesaat di makam Putri Sasi. Putrinya memasuki alam dimensi, dia
bertemu dengan Putri Sasi sendiri dalam kesadarannya. Dimensi yang tidak
terbayangkan ada di dunia ini.
“Senja
hitam ditengah ladang
Dihujung
permatang engkau berdiri
Putih
diantara ribuan kembang
Langit
diatas rambutmu
Merah
tembaga
Engkau
memandangku
Bergetar
bibirmu memanggilku
Basah
dipipimu air mata
Kerinduan,
kedamaian oh..”
Seketika pecah lah tangis putrinya
ini. Bersimpuh dia..
“Batu hitam diatas tanah merah
Disini akan kutumpahkan rindu
Kugenggam lalu kutaburkan kembang
Berlutut dan berdoa
Syurgalah ditanganmu, Tuhanlah disisimu
Kematian adalah tidur panjang
Maka mimpi indahlah engkau…”
Kejadian itu masih menyisakan tanda tanya
bagi Mas Thole. Mengapakah tidak berhenti lintasan ini. Mengapakah seperti ada daya tarik
untuk melanjutkan perjalanan, mencari jejak-jejak reinkarnasi lagi atas diri
putrinya ?. Maka diikuti saja suara hati. “Semua
harus tuntas, harus selesai dalam pencarian ini..” Sekalian saja sambil
dirinya juga sedang menjalankan misi nusantara ini. ‘Sekali dayung dua atau tiga pulau terlampoi.’ Itu tekadnya. Dilanjutkannya
perjalanannya menuju Borobudur. Hari sudah menjelang sore. Dan hujan sudah mulai turun, setelah selesai makan siang. Perjalananya
tersendat karena cuaca ini. Syukurlah, Mas Thole dan anaknya masih bisa masuk
Borobudur, nyaris saja perjalanannya sia-sia, sebab kurang 30 menit lagi tutup.
+++
Borobudur dengan keangkerannya, auaro
mistik terlihat sangat kental disana. Mas Thole mengabadikannya. Awan seperti
meliputi dan berputar di candi itu. Semua tertangkap jelas di kamera. Terlihat
para Resi, Biksu, dan Mpu bahkan para dayang-dayang lengkap dengan selendang
mereka seperti sudah menyambut kedatangan mereka. Nampaknya Mas Thole sudah
ditunggu disana. Dayang-dayang itup[un terlihat oleh putri Mas Thole, nampaknya
putrinya senang sekali berada disana. Bagaia berada di suatu tempat yang indah
sekali. Walau secara realitasnya Borobudur diselimuti kabut saja. Mas Thole
segera mencari koordinat untuk menyampaikan khabar atas keyakinan Nusantara
Baru. Keyakinan yang sudah di tancapkan di 7 bukit. Para ghaib mendengarkan dan
nampaknya mereka mengerti sekaligus juga merestui. Ghaib dari dimensi ini
mendukung sekali perjuangan. Mereka siap berdoa kepada Hyang Widhi Wase.
Legalah hati Mas Thole.
Mereka hanya naik sebentar melakukan
prosesi seperminuman teh. Lantas hujan turun dengan lebatnya. Mas Thole diminta
untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Sebab sebentar lagi akan terjadi
turbulensi waktu. Akan sangat berbahaya sekali akan ada badai tornado dalam
dimensi kesadaran. Begitulah pesannya. Maka
Mas Thole segera mengajak putrinya turun dan melanjutkan perjalanan lagi ke
Dieng. Entahlah, apakah masih bisa ke kejar untuk naik ke Dieng dalam suasana
seperti itu. Jika tidak terpakas mereka akan menginap di bawah terlebih dahulu.
Dan benar saja, kendaraan umum kesana sudah langka. Hingga sampai disana sudah
tidak memungkinkan lagi untuk naikke puncak. Jalna yang licin dan berliku
sangat berbahaya. Lagi pula tidak ada angkutan umum kesana di malam hari.
Keesokan harinya hujan juga tidak
berhenti. Tidak mungkin perjalnan dilanjutkan dengan angkutan umum. Mas Thole
pasrah, jika harus menyewa kendaraan dananya tidak akan cukup untukpulang ke
Jakarta. Hingga siang hari dirinya dlaam gamang. Namun ternyata alam tidak
diam, mendadak ada rekannya yang menawarkan kendaraan, meskipun umurnya sudah
tua, namun katanya malam tahun baru sudah dicoba untuk naik dan tidak apa-apa.
Dengan kendaraan itulah Mas Thole naik ke pegunungan Dieng dalam suasana hujan.
Dalam keyakinan Mas Thole hujan ini akan sedikit reda di puncak sana. Karena
itu mereka berangkat . Waktunya tidak banyak sebab sore hari dirnya sudah harus
balik ke Jakarta. “Mudah-mudahan tidak
ada halangan..” Begitulah doanya.
+++
Candi Arjuno Dieng |
(“Ijinkanlah
aku kenang sejenak perjalanan..”
Pinta Mas Thole pada pagi, saat dituliskan kisahnya ini.)
Blaagh….!. Mas Thole tergagap dari
lamunannya. Jantungnya seperti terkena palu godam. Tangannya yang sedang
memegang setir nampak terguncang, dari
arah jok belakang terdengar suara tangisang begitu hebat dari anaknya. Tangisan
entah datang dari mana. Tangisan masa lalu yang menyeruak memasuki dimensi
sekarang ini. Ditariknya nafas, ditenangkanlah dirinya. Entah kenapa, walau
sudah berpengalaman puluhan kali menghadapi situasi ini. Namun jika menyoal
putrinya ini disa selalu hilang kendali. Perasaan seorang Ayah terlalu
mendominasi dirinya. Perasaan yang tidak rela jika ada yang meyakiti putri
satu-satunya ini. Tak perduli setan bekakak dari mana asalnya, pasti dia akan
hadapi. Saat sekarang ini, dia dalam perjalanan pulang dari prosesi di Dieng. Diingat
kembali apa yang terjadi saat disana. Mas Thole mencoba mencari pijakan sebab
apa putrinya menangis begitu luar biasa
ini. Terguguk bagai seseorang yang mengalami penderitaan hebat. Kehilangan kesakitan.
Penderitaaan hidupo yang seakan tak mampu ditahannya lagi. Ugh…!. Apakah anaknya terkoneksi ke masa lalu Kejadian apakah itu ?.
Teringatlah dirinya. Begitu sampai di
lokasi candi Dieng, di tempat parkir. Memang anaknya sudah terlihat tidak biasa.
Alam kesadarannya seperti sudah tidak berpijak di dimensi ini. Matanya seperti
menerawang saja. Seperti tidak ada daya sama sekali. Turun dari mobilpun
terpaksa harus dipapah oleh Mas Thole. Hujan kala itu rintik, Mas Thole harus
mencari sewa payung untuk ke lokasi. Sambil memampah putrinya ini. Mas Thole
berjalan menuju pusat candi. Langkahnya langsung saja menuju ke candi Arjuno.
Di tinggalkan anaknya, dia menuju sendiri. Tiba-tiba angina begitu dahsyat
menerjang. Terlintas hatinya untuk memasuki
candi Arjuno berteduh disana namun entah mengapa saat dia mau masuk ada
lintasan hati yag menahannya agar jangan masuk. Lintasan yang begiu kuat.
Seperti insting tanda bahaya. Maka diurungkan saja niatnya. Angin dan hujan
tadi mendadak berhenti. Diabadikanlah momen tersebut.
Begitu sudah berada diluar, tiba-tiba angin
dan hujan datang lebih hebat lagi memaksa Mas Thole mencari tempat berteduh. Dihadapannya
ada candi Semar. Lintasan hati memaksanya untuk kesana. Ada seorang pertapa
gila yang memanggil-manggilnya untuk datang. Dia tepat di belakang pintu. Bicaranya ngacau tidak karaun. Tangannya di
sodorkan untuk meminta recehan. Mas Thole basa-basi menyapa dan diberikan uang recehan juga. Sebelum masuk dia
berteriak kepada putrinya untuk berteduh di dlaam candi Arjuno saja. Setelah
dilihatnya anaknya berteduh, Mas Thole masuk lebih dalam ke Candi Semar. Tiba-tiba
ada bisikan yang memerintahkan untuk dilakukan prosesi disini. Maka Mas Thole memasuki kesadrannya. Hening, sebagaimana biasa. Disapalah seluruh alam,
seluruh ghaib yang ada disana. Luar biasa sekali dalam kesadarn Mas Thole
terlihat keadaan disana. Keadaan ghaib disana sangat berbeda sekali dengan
tempat-tempat lainnya. Banyak sekali ghaib yang setinggi pohon kelalap. Banyak
ragam dan banyak keanehan. Setengah manusia setengah binatang. Ada yang berkepala
buaya dan berbadan wanita. Banyak para
resi, dan banyak para kesatria. Semua bercampur menajdi satu. Luar biasa, penampilan
mereka hampir menyerupai pasukan Sabdo Palon.
Hanya seperminuman teh prosesi,
setelah didapatkan kesanggupan dan erstu ghaib disana. Mas Thole segera
berpamitan. Diajaklah putrinya kembali ke mobil. Keadaannya sungguh megenaskan, putrinya sudah
seperti tidur namun dalamkeadan terjaga. Dan puncaknya, adalah tangisan yang
meledak hebat. Mas Thoel harus mencari jawaban atas misteri ini. Sebab ini
menyangkut keadaan anaknya. Sampaipun turun dari mobil terpaksa anaknya harus
digendongnya. “Hmm…semua terkait dengan
Ratu Shima..?.” Mata batinnya mulai menemukan pijakan kemanakah dirinya
harus mulai mencari. “ Namun apakah
kaitannya putrinya ini dengan Ratu Shima.” Sedikit demi sedikit mulai
terbuka tabir. Dengan sangat hati-hati ditanyalah anaknya, perihal tangisanya
itu.
+++
“Pagi, engkau berangkat hati mulai membatu
Malam, kupetik gitar dan terdengar
Senandung ombak dilautan
Menambah rindu dan gelisah
Adakah angin gunung, adakah angin padang
Mendengar keluhanku, mendengar jeritanku
Dan membebaskan nasibku
Dari belenggu sepi..”
Kesedihan anaknya, adalah sebagaimana
kesedihan para putri raja, yang harus tunduk kepada pakem kerajaan. Adalah kesedihan
saat mana keindahan cinta direnggut dari hadapannya. Terkisah di jaman dahulu
kala di kerajaan Kalingga diperintah oleh seorang Ratu yang sangat perkasa. Ratu
yang sangat tegas dan berkuasa. Ditangannya hukum berlaku tanpa pandang bulu.
Sang Ratu memerintah dengan tangan besi. Keinginannya adalah bagaimana rakyatnya dapat hidup aman dan
tentram. Demi mencapai cita-citanya itu semua cara dilakukannya. Banyak sudah
rakyatnya yang di hukum mati. Dalam mata
batin Mas Thole mendapatkan keyakinan itu bahkan anaknya sendiri juga ada yang
di hukum mati olehnya. Terkisah anaknya sendiri Pangeran Iswara, yang sedianya
akan di hukum mati olehnya, karena sebab yag sangat sepele. Sang Pangeran
menendang kendi yang berisi emas yang tergeletak di alun-alaun. Kendi itu tak
sengaja tertendang oleh sang Pangeran hingga terjatuh dan tumpah ke tanah.
Mendapati kendi itu telah pecah dan
isinya berantakan murkalah sang Ratu. Padahal saat itu tidak ada yang tahu isi
kendi itu berapa dan apa saja. Dalam benak Sang Ratu bagaimana nanti dirinya
mempertanggung jawabkan kepada pemiliknya. Jika dia melakukan klaim bahwa ada
yang mengambilnya bukankah akan jatuh wibawa kerajaanya. Maka diperintahkan
kepada prajuritnya untuk mencari Sang Pangeran. Di sidanglah Sang Pangeran dan
dijatuhi hukuman Mati. Namun para petinggi istana mencoba melunakan hati Sang
Ratu. Tidaklah terkisah apa yang terjadi sesungguhnya, sebab sejarah hanya
menceritakan dari sisi penguasa dan kepentingan Raja saja. Namun dalam mata
batin Mas Thole terpindai residu rahsa yang kejadiannya lebih dahsyat dari
sekedar itu. Sang Pangeran akan dihukum buang ke sebuah jurang.
Ratu Shima menjatuhkan hukuman potong
jari kaki, namun Pangeran harus menerima hukuman lainnya. Pangeran akan dibuang
di sebuah jurang yang terkenal sangat wingit. Tidak ada satupun manusia yang
dibuang kesana kembali hidup. Jurang maut adalah jurang tempat pembuangan bagi
orang yang membangkang kerajaan. Sebelum dijatuhi hukuman buang sang Pengeran
memohon kepada Ibundanya agar dirinya diperbolehkan berpamitan kepada calon
istrinya. Keinginan itupun disetujui oleh Sang Ratu. Bahkan Sang Ratu itu
bersedia mendampingi anaknya untuk bertemu calon menantunya itu. Sungguh
tragedi dalam sejarah peradaban manusia yang memilukan mayapada. Bagaimana
kisah dua orang kekasih ini di pisahkan oleh kekuasaan. Bagaimanakah alam tidak
menjerit kesakitan menyaksikan duka mereka berdua. Beberapa hari lagi mereka
akan melangsungkan pernikahan. Cinta mereka begitu terlanjur sudah di gantung di langit. Kini mereka harus dipisahkan dnegan cara itu. Sebuah kesalahan kecil saja telah membuat Ibunda Ratu Shima semarah itu. "Apakah sepadan." Begitu langit mempertanyakan.
Kejadian itulah yang dilihat oleh
putrinya Mas Thole. Bagaimana kekasih hatinya Pangeran Iswara, diseret-serat
oleh prajurit Ratu Shima. Bagaimana kekasih hatinya itu memanggil-manggil
namanya. Namun apalah dayanya, dirinya pun dipegang oleh puluhan parjurit yang
besar-besar. Terdengar olehnya suara Ratu Shima begitu tegas tanpa perasaan,
begitu kuat menghardik dan memarahinya. Suara Ratu Shima seperti menembus ke masa kini. Bagaikan baru saja kemarin sore ini kejadiannya. Tentu saja pecahlah tangisnya, termanifestasi di raga terkini, menampar kesadaran putri Mas Thole. Sepertinya pada kala itu di
masa itu dia memanggil-manggil nama kekasihnya. Namun justru suara Ratu Shima semakin kuat ditelinga, terdengar dia berkata, “Dia tidak pantas menjadi calon suamimu,
dia seorang pesakitan. Dia seorang yang hina. Telah melanggar aturan Negara. Telah
menistakan kewibawaan Ratu..” Bukankah dia adalah juga anaknya sendiri ?. Entahlah, yang jelas sejarah sudah mencatatnya begitu. Sebuah tragedi seorang Ibu.
Begitu dalamnya kesakitan Putri itu, menyaksikan kekasih hatinya diseret dan di buang ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya. Jurang yang tidak pernah terlihat dasarnya. Adalah kesakitan yang menggentarkan angkasa. Hingga kemudian melintasi peradaban. Kesedihan yang kemudian lahir melalui raga anaknya ini. “Ugh…mengapakah kejadiannya selalu begitu..” Mas Thole mencoba menghela nafas. Pekat sungguh meliputi dadanya. “Benarkah ada peristiwa itu, benarkah energy Ratu Shima begitu..Tidakkah dirinya juga megalami cinta yang terlalu. Mengapakah diluarnya dia bisa begitu tegas, seolah-olah benar dengan keputusannya itu, argh..!?” Mas Thole terus saja mencari detail kejadian. Mencoba menelusuri keadaan. Mencoba meluruskan sejarah, bila perlu mengambil tanggung jawab atas kesalahan pemaknaan kejadian di masa lalu. Agar residu rahsa yang menampar anaknya tidak terlalu sebagaimana biasa begitu.
Begitu dalamnya kesakitan Putri itu, menyaksikan kekasih hatinya diseret dan di buang ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya. Jurang yang tidak pernah terlihat dasarnya. Adalah kesakitan yang menggentarkan angkasa. Hingga kemudian melintasi peradaban. Kesedihan yang kemudian lahir melalui raga anaknya ini. “Ugh…mengapakah kejadiannya selalu begitu..” Mas Thole mencoba menghela nafas. Pekat sungguh meliputi dadanya. “Benarkah ada peristiwa itu, benarkah energy Ratu Shima begitu..Tidakkah dirinya juga megalami cinta yang terlalu. Mengapakah diluarnya dia bisa begitu tegas, seolah-olah benar dengan keputusannya itu, argh..!?” Mas Thole terus saja mencari detail kejadian. Mencoba menelusuri keadaan. Mencoba meluruskan sejarah, bila perlu mengambil tanggung jawab atas kesalahan pemaknaan kejadian di masa lalu. Agar residu rahsa yang menampar anaknya tidak terlalu sebagaimana biasa begitu.
Terbayanglah saat Mas Thole berinteraksi
dengan Ratu Shima, ada saja friksi yang
tidak pernah dimengertinya. Padahal secara realitas, dia paham raga terkini
Ratu Shima sangat baik sekali. Bahkan saat putrinya kecelakaan Ratu Shima
jugalah yang mengulrkan bantuan. APkah ini semua menjelaskan ?. Mengapakah ada
daya dorong ratu Shima membantu putrinya ?. Apakah ada daya dorong masa lalu ?.
Entahlah itu. Semua serba tak pasti, sulit dipahami. Mas Thole hanya mencari
pijakan atas keyakiann diri, menyoal fenomena yang dialaminya atas lintasan
hati selama ini. Friksi yang tidak pernah dimaui selama
ini sekarang ini ditemukan jawaban logisnya. Kini dirinya paham. Sebab ternyata
dirinyalah Sang Resi ayah dari Putri yang gagal dipersunting oleh anaknya Ratu
Shima (Pangeran Iswara). Dahulu dia ayah putri itu dan kini raga terkini diapun
ayahnya. Kejadian terulang lagi. Jika jaman dahulu dia ayah dari Putri itu,
maka di masa kini diapun ayah biologis dari reinarnasi Sang Putri tersebut. Maka
menjadi jelas kiranya, mengapakah rasa sayangnya kepada putrinya ini, begitu ‘sesuatu
sekali’. Dari sinilah muasal maka mengapakah kepada Ratu Shima ada saja lintasan ‘aneh’. Perseteruan dahulu saat dirinya menjadi penasehat Ratu Sima, saat dahulu saat anaknya gagal di ambil menantu. Dimana kemudian putrinya ini mengalami kegoncangan jiwa, telah menorehkan residu rahsa kepada sang Ratu. Pada kisah lainnya, sejarah mencatat karena sebab perseteruan dengan pamannya ini Sang Penasehat kerajaan, akhirnya Ratu Shima bertapa, mengasingkan diri, melepaskan kerajaannya.
Benarkah begitukah runutan, jalan ceritanya..?. Mas Thole menggeleng tak pasti. Namun setidaknya dia memiliki gambaran, paham dari manalkah muasal sergahan energi yang berbenturan. Maka Mas Thole bertekad mulai sekarang akan mengambil alih tanggung jawab kejadian di masa lalu yang tidak pernah ditahuinya itu. Dia akan memohon kepada alam agar memaafkan siapapun dirinya di masa lalu. Dan diapun akan memaafkan apapun dan siapapun yang berseteru dengan dirinya di masa lalu. Sehingga tidak ada lagi residu rahsa yang tertinggal apalagi sampai mengganggu. Mungkin itu hikmah kejadian yang dapat dipetik dari peristiwa anaknya ini.
Benarkah begitukah runutan, jalan ceritanya..?. Mas Thole menggeleng tak pasti. Namun setidaknya dia memiliki gambaran, paham dari manalkah muasal sergahan energi yang berbenturan. Maka Mas Thole bertekad mulai sekarang akan mengambil alih tanggung jawab kejadian di masa lalu yang tidak pernah ditahuinya itu. Dia akan memohon kepada alam agar memaafkan siapapun dirinya di masa lalu. Dan diapun akan memaafkan apapun dan siapapun yang berseteru dengan dirinya di masa lalu. Sehingga tidak ada lagi residu rahsa yang tertinggal apalagi sampai mengganggu. Mungkin itu hikmah kejadian yang dapat dipetik dari peristiwa anaknya ini.
Gugusan
hari-hari
Indah bersamamu
Bangkitkan
kembali
Rinduku
mengajakku kesana
Inginku berlari
Mengejar seribu
bayangmu
Tak peduli kau
kuterjang
Biar pun harusku
tembus padang ilalang
Tiba-tiba
langkahku terhenti
Sejuta tangan
telah menahanku
Ingin kumaki
mereka berkata
Tak perlu kau
berlari
Mengejar mimpi
yang tak pasti
Hari ini juga
mimpi
Maka biarkan ia
datang
Di hatimu... di
hatimu...
( Ilustrasi bait syair di adaptasi
dari lirik lagu Ebiet G Ade Camelia 2 dan 4)
Wolohualam…
Komentar
Posting Komentar