Kisah Spiritual, Demi Pohon Tin dan Zaitun, Demi Sebuah Negri




Nun jauh disana, dipelosok sebuah desa, di ujung wilayah barat pulau jawa. Hari selewat maghrib (28/12), gelap keadaannya. Nampaklah serombongan manusia mendaki, menembus belantara pohon perdu. Kanan kiri tidak terlihat apa-apa, jalan setapak benar-benar menyulitkan pendakian.  Satu doa orang mencoba mengangkat tangan, terlihatlah cahaya terpancar dari alat yag digenggamnya.  Penerangan dari Hp yang diarahkan ke depan sedikit membantu.    Satu orang laki-laki terlihat di depan sebagai pemandu jalan, diikuti oleh 3 orang yang  ketat menempel dibelakangnya.  Agak jauh tertinggal  terlihat tertatih-tatih beberapa orang, 2 orang perempuan dan 4 orang lelaki merayap salaing berpegangan. Beberapa kali terpaksa mereka harus meraih pegangan. Jalanan memang licin dan berbatu. Seorang ibu yang berada ditengah terdengar terus menerus melontarkan tasbih. Suasana di bukit itu memang lain dari biasanya. Alam seakan sedang menunggu, para ghaib entah sebab apa seperti berduyun-duyun datang ke bukit itu.

Bukit itu memang tergolong unik sekali. Sebuah bukit yang diapit oleh 7 bukit lain yang bentuk serta ukurannya hampir sama semua. Bukit yang mencerminkan karakteristik para bidadari. Dari nama-nama yang di sandang bukit tersebut, mencerminkan filosofi yang luar biasa dan sangat dalam. Jika diterjemahkan maka kita akan dapati runutan kisah-kisahnya sebagaimana kisah para nabi, bukit Thursina. Al qur an sering menyebutkan seperti apakah peranan bukit tersebut bagi peradaban dan kesadaran manusia.

Hampir 15 menit sudah mereka mendaki, bukit itu tidak terlalu tinggi namun hawa wingit yang meliputi membuat lelaki setengah baya yang berjalan di urutan nomer 3 sering berterika menahan laju jalan laki-laki sang menunjukan jalan. “Rasanya sudah cukup, disini tempatnya..” Ada 2 atau 3 kali,  lelaki setengah baya tersebut meneriakan kalimat itu. Tapi lelaki yang pertama terus saja berkeras untuk menuju lereng dibalik bukit yang berada di balik puncak bukit itu. Bukan tanpa sebab lelaki setengah baya tersebut berkali-kali berkata seperti itu. Kaki lelaki paruh baya itu seperti tak bertenaga. Seperti ribuan ghaib memegangi kakinya.  Jalan mendaki kearah puncak bukit yang semestinya biasa menjadi sangat sulit baginya. Dia sering seperti menyeret langkah kakinya, menjadi siksaan tersendiri. Akhirnya alas kakipun dilepaskannya, agar tidak menggangu langkah berikutnya.

Bukan tanpa sebab lelaki paruh baya mengalami keadaan lemas itu. Pertarungannya menembus dimensi ghaib, tentunya akan berefek di badan. Bukit itu begitu misteri, setiap beberapa langkah seperti emmasuki dimensi alam yag berbeda, semua di sambut angin yang misterius disetiap tahapannya. Angin yang bukan angin biasa, semakin keatas semakin kuat terasanya. Bagi yang memeiliki mata batin pasti akan mengerti angin apakah itu. Semakin keatas semakin kuat paparan energinya. “Sudah, tahan sebentar disini tempatnya..!” Teriak lelaki paruh baya lagi. Sorot lampupun diarahkan kepada suara tersebut yang rupanya adalah Mas Thole. Hemm..rupanya Mas Thole tengah menjalankan prosesi penanaman pohon kesadaran, yang di simbolkan dengan menanam pohon Tin dan Zaitun di bukit itu. Di bukit yang menjadi simbol bukit Tursina. Sebagaimana sumpah KAMI dengan saksi pohon Tin dan Zaitun, dan juga bukit Thursina. Simbolisasi itulah yang akan dijadikan tonggak bagi kesadaran nusantara baru.

Sumpah atas negri yang aman dan sentosa. Kesadaran itulah yang ingin dicanangkan, memperkuat kembali energy kesadaran yang dipancarkan bapak para nabi di sebuah bukit, ribuan tahun lalu. Prosesi yang dimaksudkan untuk memperkuat sinyal kesadaran para nabi di negri ini. Mengambil momentum saat mana Nabi Ibrahim berdoa, Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” [QS, Al ba qoroh, 126].    Dengan tekad dan niat itulah mereka menempuh ratusan kilometer. Jarak yang cukup jauh. Meskipun harus ditempuh seharian dari tempat tinggal mereka, rupnya hal itu tidak menyurutkan langkah mereka.

Jauh dilubuk hati, masih terukir asa itu..
Jauh disanubari, masih terasa

+++

Mas Thole seperti setengah memaksa agar lelaki penunjuk jalan itu menghentikan langkahnya. Dalam kesadarannya, tempat yang dilewatinya ini sudah mencukupi. Malam terlihat cerah, bintang-bintang terlihat di atas sana. Mas Thole kemudian hening sejenak, memohon petunjuk alam. Membahasakan dirinya dengan seluruh ghaib disana. Tangannya tiba-tiba bergerak perlahan. Tangan kanan menuju ke angit dan tangan kirinya seperti menahan bumi. Tiba-tiba dia berkata kepada lelaki yang disampingnya, “Rasanya disini tempatnya Sang Prabu..!. Disini boleh namun dibalik bukit ini juga boleh. Semua tergantung kepada Sang Prabu sendiri.” Sang Prabu menjawab tegas, “Saya pilih yang dibalik bukit ini..!”  Maka merekapun melanjutkan langkah mereka lagi. Kira-kira seperminuman teh, akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Sebagaimana tempat yang diinginkan Sang Prabu sendiri. Sang Prabu kemudian hening sejenak melakukan eksplorasi keasadarannya, memindai seluruh alam, mencari pijakan dan petunjuk. Sementara sambil menunggu rombongan yang dibelakangnya Mas Thole juga mengamati keadaan sekitar.

Tak begitu lama rombongan yang mengikuti sampai juga di tempat tersebut. “Tentukanlah tempatnya Sang Prabu “ Terdengar suara dari  mulut Mas Thole. Maka terlihatlah Sang Prabu ‘tiwikrama’ badannya bergetar hebat, tangannya disorongkan ke depan.Ternagkat sedikit, tangannya seperti bergerak mencari titik-titik yang sesuai dengan koordinat yang diinginkan oleh Kami. Udara seperti hampa dalam radius 1 meter seputar tubuh Sang Prabu, akibatnya sedikit menyesakkan dada Mas Thole. An tiba-tiba..begh…blaar….!. Tangan Sang Prabu dengan kekuatan luar biasa menghantam bumi. Menembus jauh ke lapisan demi lapisan hingga 7 lapis bumi ditembusi. Nampak lorong udara memercik ke angkasa seperti sinar yang tak kasat mata mencuat ke langit. Seperti sinar kembang api saat tahun baru yang di luncurkan, kemudian pecah menyebar memenuhi langit pada malam itu. “Disinilah tempatnya..” Ujar Sang Prabu yakin. Maka tanpa banyak bicara di galilah tanah disitu dengan tangannya sendiri, sambil tak lupa tersu bertasbih kepada Tuhan. “Disinilah akan di tanamkan pohon Tin..” Kata Sang Prabu. Setelah selesai lubang di gali. Maka Mas Thole mengajak kepada romobngan sejenak berkhidmat.

Disampaikannya bahwa apa yang dilakukan saat sekarang ini disini, dibukit ini,  adalah sebuah simbol. Keyakinan membutuhkan sebuah simbol di alam semesta ini. Simbol-simbol inilah yang akan menjadi saksi atas sebuah sumpah yang diyakini dalam kesadaran manusia. Sebagaimana Nabi Ibrahim meletakkan simbol di tengah gurun pasir.  Sebagaimana doa Nabi Ibrahim atas anak keturunannya. Alam semesta menjadi saksi atas sumpah sucinya. Maka saksikanlah bahwa sumpah itu kemudian terbukti jauh hingga menembus ke jaman ini. Betapa kuatnya sumpah dan keyakinan Nabi Ibrahim. Keyakinan atas sebuah negri. Keyakinan atas sebuah janji. Keyakinan atas anak keturunannya yang akan senantiasa mengikuti jalan-jalan-Nya. Doa inilah yang dicatat alam. Sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadist, keberadaan rosululloh di alam ini pun berkat doa dan keyakinan Nabi Ibrahim. Nah, untuk itulah mereka semua ada disitu. Mengkuatkan kembali sinyal kesadaran dari bapak para nabi. Menjadi pelaku sejarahj sebagaimana Nabi Ibrahim atas tanah Mekah. Pada malam itu, disana mereka semua dalam keyakinan itu.

Maka Mas Thole mengajak kepada semua rombongan, untuk berniat dalam keyakinan itu. Sebagaimana keyakinan Nabi Ibrahim untuk negri kita Nusantara Baru. Semoga nanti akan lahir diantara anak-anak kita yang akan terus melanjutan perjuangan tersebut. Itulah doa, itulah sumpah, itulah janji, itulah keyakinan diri. Semoga alammersertui. Maka dengan sigap Sang Prabu di bantu Mas Thole menanam Pohon Zaitun. Dengan iringan doa dan sumpah, sebagaimana surah At Tin. Pada saat itulah Mas Thole mearsakan getaran luar biasa dari bukit yang dipijaknya. Namun saat itu hanya dibatinnya sendiri, sebab dirinya takut sekali jika nanti kesaksiannya ini akan menjadi fitnah. Ternyata apa yangdisaksikan Mas Thole juga disaksikan oleh Ibu Mertu Sang Prabu yang saat itu mengikuti prosesi. Hal ini diketahui jauh hari setelah prosesi. Subhanalooh.

Selesai Pohon Tin ditanam, maka dilakukan prosesi yang sama untuk penanaman pohon Zaitun. Sebagaimana prosesi Pohon Tin, Sang Prabu pun mulai dari awal kembali. Akhirnya tempat penenanam Pohon Zaitun. Diringi tasbih dan tahmid ditanamlah Pohon Zaitun, tempat penanamannya persis di bawah batu besar disana. Selesai penanaman, tangan Mas Thole tiba-tiba bergerak keatas, seperti membuai perisai ghaib atas bukit itu. Cahaya sinar perak berkilauan memancar ke langit membentuk perisai ghaib. Seiring dengan itu dari kedua pohon juga memancarkan aura ke langit menajdi mercusuar kesadaran. Menjadi sebuah penanda alam atas sebuah keyakinan anak manusia. Dirasakan semua cukup maka Mas Tholepun tunduk berdoa dengan takzim , bersyukur bahwa prosesi tersebut telah selesai. Sebelum meninggalkan tempat, ada bisikan agar Ibu Mertua SangPrabu diberikan kesempatan memohon dan berdoa. Luar biasa, apa yang diinginkan dan apa yang disampaiakn Ibu Mertu Sang Prabu sebagaimana maksud prosesi ini. Tidak ada yang berbeda, semua dalam satu misi dan satu visi. Subhanallloh.

Rasa syukur, atas segala nikmat, dirasakan Pambayun. Bagaimana tidak, sejak dari awal naik ke bukit ini, dirinya etrus saja was-was. Pasalnya Ibu Mertua Sang Prabu terus saja melafadzkan dzikir dengan keras. Pambayun khawatir ada yang mengganggu prosesi. Dan terjadi apa-apa, maka dia selalu menempel di belakangnya. Baru ketahuan setelah selesai, emngapa Ibu Mertua Sang Prabu tersu bertasbih. Kakinya katanya terus di jilati Harimau yang sebesar rumah. Belum lagi penampakan di kanan kiri bukit. Ribuan makhluk terasa sekali disana. Mas Thole memang menyadari bahwa prosesi ini disaksikan oleh makhluk ghaib. Maka sebelum turun dirinya menyempatkan untuk berpamitan dan mengucapkan terma kasih kepada seluruh yang hadir, Sriwijaya, Pajajaran, majapahit, Mataram, dan seluruh kerajaan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.  

+++

Mereka turun satu persatu,kembali ke rumah seorang nenek yang konon telah berumur ratusan tahun. Raga terkininya telah berusia 135 tahun. Dialah yang menjadi penguasa 7 bukit itu. Memorinya masih mampu mengingat masa lalu hingga sampai abad ke 7 Masehi. Luar biasa sekali. Beliau terus menceritakan legenda-legenda nusantara ini. Beliau juga tahu perihal 7 bidadari yang telah lahir. Beliau juga tahu bagaimana keadaan para bidadari yang sekarang ini. Bagaimana problematikanya. Mas Thole duduk takzim, sementara Nenek itu terbaring di ranjangnya. Sebelum naik ke 7 bukit memang Mas Thole sudah mohon restunya terlebih dahulu. Dan setelah selesai diai juga berpamitan. Tubuh yang nampak ringkih ini, begitu sumringah menerima kedatang Mas Thole dan kawan-kawannya. Dari  sesepuh yang berada di situ di dapatkan khabar kelelahan nenek tersebt karena sebab banyak tamunya yang meminta bantuan dirinya untuk harta dunia. Sebenarnya nenek sudah tidak mau, sudah lelah sekali. Ingin rasanya berhenti dari semua ini. Namun itu adalah takdirnya. Maka dia hanya sedang menunggu kapan saatnya salah satu bidadari, mau menerima amanah dan meneruskan apa-apa yang belum diselesaikannya.

Setelah selesai basa-basi, maka Mas Thoe bersiap untuk pulang. Sebagaimana biasa prosesi, alam pun memberikan tandanya. Saat mana Mas Thole meninggalkan tempat itu, hujan mendadak turun disitu dengan lebatnya. Hjan turun semalaman, menyirami pohon yang ditanam. Subahnalloh , semoga ini menjadi bukti. Bahawa sumpah kami di amini oleh seluruh si alam ini. Semoga ya robb.


Wolohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali