Pembenaran Bukan (dari) Kebenaran
Kebutuhan
makan, kebutuhan pakaian, perumahan, anak sekolah, hingga kartu kredit yang
macet. Masih ditambah pula keadan rumah tangga yang tidak kondusif, betul-betul
membuat kita kelelahan fisik maupun non fisik. Jiwa menjadi penat, begitu
melelahkannya hidup ini. Itulah yang sering kita keluhkan. Biasanya kemudian kita mencari agama sebagai
solusi. Kita datang kepada kyai yang ahli spritual. Kemudian kita diobati
layaknya orang sakit; kalau masalahnya adalah rejeki, maka diberikanlah surat
atau ayat yang harus dibaca sekian ratus kali atau sekian ribu kali. Kalau
masalahnya jodoh juga sama, tinggal nama surah dan jumlahnya saja yang
membedakannya. Dan demikian juga masalah-masalahan lainnya. Betul-betul seperti dokter saja memberikan
resep. Dan obatnya harus diminum berapa kali sehari. Dan memang biasanya juga
sembuh. Sang kyai bertindak bak dokter saja memberikan parasetamol kalau sakit
kepala. Kambuh lagi datang lagi, dan seterusnya. Akhirnya Kyai dianggap ampuh kemudian di
puja-puja. Inilah dinamakia kehidupan
kita, di Indonesia mungkin negera mayoritas muslim lainnya. Pemahaman agama
yang hanya sepotong-potong akhirnya
menimbulkan frustasi tersendiri.
Menghadapi
peradaban sekarang ini bahkan lebih hebat lagi nanti, memang diperlukan
ketahanan mentalitas yang paripurna. Ketangguhan sebagai seorang muslim dan
kegigihan sebagai seorang pekerja. Sosok umat yang bermental baja, tahan godaan
dunia namun gigih membangun peradaban.Inilah yang diinginkan Tuhan. Selamat
dunia dan akhirat. Begitulah kesempurnaan manusia. Namun tidak sedikit kita dapati umat muslim
terseok-seok mengikuti jaman. Kita malah lebih sibuk saling menyalahkan satu
sama lainnya. Saling menyalahkan justru malah menumbuhkan persepsi. Persepsi akan menhijab generasi berikutnya, demikianlah
kesadaran kolektif kebencian di bangun antar golongan.
Allah
telah menurunkan Islam sebagai teologi yang sempurna ; yang akan
mampu menyempurnakan Jiwa , sebagaimana tuntutan jamnnya, terutama dalam
menghadapi situasi sulit sekarang ini dan dalam menangkal ekses negatif
peradaban manusia. Bahkan Allah sendiri telah bersumpah “Demi Jiwa dan penyempurnaannya. ... “(QS.
As Syams:7-8).
Sebagai
contoh kesempurnaan Jiwa, ~Nabi Muhammad saw, adalah salah satu manusia
paripurna, sebagai teladan kesempurnaan Jiwa. Manusia yang mampu men-sinergi, ~ entitas materi dan anti
materi , entitas Jiwa dan Raga, menjadi
entitas Manusia seutuhnya, sebagai sang khalifah. Sinergi ini menghasil
resultan yang gaya begitu hebat sehingga tubuh mampu diperjalankan beribu kali
kecepatan cahaya. (Isroq Mi'roj). Islam telah menyempurnakan ajarannya, untuk
kesempurnaan Jiwa manusia. Semua disempurnakan dalam Islam.
"Dan Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu (al qur'an) sebagaimana kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat mengubah-ubah kalimatnya . Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui
"(QS ; 006 ; 115).
Untuk
itulah kita sebagai umat muslim harus meyakini akan kebenaran ini. Sehingga
kita tidak terkecoh mencari methodology lain di luar Islam.
Semua
teologi mengajarkan bagaimana mengolah Jiwa, mensucikan Jiwa, baik melalui
amalan hati, meditasi dan lain sebagainya. Misalnya melalui ~ Meditasi .
Meditasi adalah methode yang ber kecenderungan mengolah Jiwa sebagaiamana entitas antimateri-nya. Banyak sekali
pengalaman dan testimony yang mengabarkan latihan-latihan seperti ini, mampu
mengolah energi dalam tubuh. Sehingga raga memiliki kelebihan-kelebihan dan
lain sebagainya. Latihan penyempurnaan Jiwa memang sudah berumur ribuan tahun.
Namun tentunya, kembali peradaban manusialah yang nanti membuktikan methode
mana yang paling sempurna.
Islam
memiliki methode penyempurnaan Jiwa yang dibangun melalui 3 pilar utama Rukun
Iman, Rukun Islam dan Ihsan. Tiga pilar tersebut sejatinya adalah untuk
mempertahankan positioning Jiwa agar tetap berada dalam keadaan 'Jiwa yang
tenang'.
Posisi
jiwa yang tenang, akan mampu kita dapatkan pada saat kita telah meyakini
‘kebenaran’ yaitu kebenaran yang haq. Kebenaran yang senantiasa akan
berkesesuaian dengan akal, dengan perbuatan, dan berkesesuaian dengan hati.
Maka orang yang telah berkata sesuai dengan hati nuraninya, adalah orang-orang
yang telah menemukan makna ‘kebenaran sejati'. Yaitu orang yang jujur kepada
hati nuraninya sendiri. Dan berani bertindak sesuai dengan kata hatinya
sendiri. Meski resikonya dia akan dipecat atau akan dimusuhi.
Kebenaran
selalu akan menjadi satu rangkaian dengan hati nurani. Maka kebenaran akan
selalu menuntut kepada akal dan jiwa manusia untuk selalu mengikuti ‘kata
hati’nya. Orang yang menentang kata hatinya adalah orang yang tidak mampu
memaknai ‘kebenaran’. Kata hati akan selalu menuntun manusia untuk kebaikan,
akan mengarahkan manusia untuk selalu berempati kepada manusia lainnya. Maka
kebenaran adalah perikemanusiaan itu sendiri. Maka orang yang tidak memiliki
perikemanusiaan adalah orang yang tidak mengerti kebenaran, meski dirinya adalah termasuk orang berilmu.
Dalam
Islam orang yang mengikuti kata hati, dikarenakan meyakini bahwa semua itu
memang dikehendaki oleh Allah, dikatakan sebagai orang yang ‘ber-IMAN’. Yaitu
orang yang percaya bahwa kebenaran akan selalu membuahkan kebaikan bagi
dirinya. Kebenaran yang tidak membuahkan kebaikan kepada dirinya. Tidak merubah
keadaan dirinya, yaitu menjadi manusia
yang lebih ber-moral, ber-etika, dan ber perikemanusiaan bukanlah kebenaran
yang dimaksudkan agama. Kebenaran model seperti itu adalah kebenaran permainan
akal manusia saja. Dan Islam menganjurkan kepada umatnya untuk tidak
bermain-main di wilayah ini. Sebab akal akan mengangkangi kebenaran dirinya.
Sehingga mengabaikan nuraninya sendiri. Inilah bahayanya.
Islam
menetapkan pondasi keimanan ini , adalah kebenaran yang dibangun atas nurani
dan kata hati. Kata hati yang senantiasa di arahkan kepada kecintaan kepada
ilahi. Kecenderungan dirinya yang berempati selalu dikaitkan dengan
kehendak-NYA. Inilah kebenaran yang diyakini dalam Islam. JIka tidak
dikarenakan hal ini, maka kebenaran yang di pahaminya tidak bermakna. Dia hanya
baik untuk kehidupannya di dunia saja. Sementara di akherat dia akan tidak
mendapatkan balasan apa-apa dari kebaikannya di dunia. Islam mengajarkan kepada
umatnya agar kebaikannya di dunia tidaklah sia-sia. Maka semua perbuatannya,
semua kebenaran yang diyakininya harus di sandarkan kepada-NYA. Kebenaran yang
tidak mungkin didapatkan dari akal manusia yang terbatas. Karenanya kebenaran dalam
Islam selalu diyakini sebagai sebuah Ilham yang disusupkan oleh-NYA. Maka bagi
manusia yang ingin mencari kebenaran tidak ada cari lain, selain berserah diri
memohon pengajaran-NYA. Menanggalkan
seluruh ilmu yang dimilikinya saat berhadapan dengan-NYA. Inilah totalitas
dalam menyembah-NYA. Sehingga kebenaran yang diyakininya akan merasuk kedalam
jiwa dan seluruh sel-selnya. Keyakinan yang tidak mungkin digoyahkan lagi,
karenanya dengan keimanannya dia akan sanggup menghadapi dunia yang begitu
keras ini. Karena dia yakin, “Sholatnya, ibadahnya, hidup dan matinya, karena
kehendak Allah semata. Dan dia termasuk orang yang berserah diri.” Dan semoga
kita dimasukan kedalam golongan orang-orang yang mencari kebenaran seperti itu
keadaannya. Semoga. Amin
wolohualam
Komentar
Posting Komentar