Anak Sang Kesadaran


Tak lekas aku melihat. Tak lepas aku memandang. Bila mataku tak setajam pedang. Kali pertama engkau akan menghujamkan pena didadaku. Bukan diriku, bukan pula mauku. Maka anak-anakku ada disini dalam pelukanku. Mereka semua satu dalam nafasku. 

Lihatlah, mereka bertumbuh kembang. Bernyanyi indahnya dunia. Mereka anak-anak kesadaran. Kertas putih yang meski ditulisi. Maka kisah apakah yang akan engkau lukis dalam kanvas nurani mereka ?. Hati suci tanpa debu. Dan kilapnya menyentuh kalbumu.  Tegakah engkau membiarkan jelaga nafsu dunia menutupinya ?. 

Biarkan mereka memilih, itu katamu ?. Kalau saja dia (anakmu) bisa memilih, maka dia akan memilih tidak terlahir dari rahimmu. Dia akan memilih dari Ayah yang disuka, dan pasti bukan dirimu. Sang Khalil Gilbranberkata padamu. Namun selayaknya engkau dengar apa kata nabimu. “Seorang anak adalah suci, orang tuanyalah yang menjadikan dirinya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” 

Tatap matamu layaknya berspekulasi. Dan sementara  langit berkata pasti pada bumi. “Lihatlah anak-anak manusia berdebat, padahal mereka semua tahu pasti keadaan dirinya yang akan mati, berulang  kembali kepada bumi, menjalani siklus mineralnya kembali. Dari bumi kembali ke bumi. Bumilah yang sibuk, bumilah yang terus merangkai dirinya, menyusun dirinya;  dari mineral menjadi tanaman, menjadi hewan, menjadi raga-raga manusia dan kemudian mengurai dirinya kembali menjadi mineral lagi.”

Maka tidakkah layak jika engkau lukis kepastian itu pada anak-anakmu. Raga-raga manusia yang pasrah , berserah atas siklus kehidupan. Keadaan tubuh mereka semua berserah saja atas hukum-hukum alam. Hukum-hukum  alam yang menjadi peraturan atas raga. Peraturan yang menjadi sebuah agama bagi alam. Alam dengan agamanya. Alam yang senantiasa pasrah berserah kepada peraturan, kepada agama. Alam yang ternyata ber-Islam.

Keberadaan anak-anak manusia dimuka bumi, adalah untuk mengerti ini. Untuk menyadari betapa bumi mengolah dirinya sendiri, menyusun dirinya sehingga menjadi ramai permukaannya. Karenanya semua yang melata dipermukaannya tunduk dalam peraturan bumi. Tunduk dalam agama (aturan), pasrah mengikutinya, begitulah mereka ber-Islam. Itulah hakekat Islam. 

Tidakkah kewajibanmu adalah menghantarkan anak-anakmu ?. Kesadaran apakah yang akan engkau susupkan ?. Kesadaran ber-Islam kah ?. Atau kesadaran lain yang mengingkari dan mendustakan ini ?. Sungguh engkau akan dimintakan pertanggung jawaban atas pengajaran apa yang engkau berikan kepada anak-anakmu.

Anak-anakmu adalah anak-anak kesadaran. Berikanlah kesadaran, agar diia sadar jika dihidupkan, dia sadar jika digerakkan, dia sadar jika di perlihatkan, dia sadar jika diperdengarkan, dia sadar jika tidak ada pilihan bagi dirinya, selain ber-serah mengikuti peraturan alam. Tidak ada pilihan bagi anak manusia kecuali ber-ISLAM. 

Layakkah para orang tua mendustakan hakekat keadaan dirinya sendiri?. Kemudian membuat pernyataan miris, “Biarkanlah anak-anakmu memilih agamanya (aturan).” Maka yakinlah dia (anak-anak kita) pasti akan memilih tidak terlahir dari rahim kita, jika mereka tahu bahwa  kita tidaklah pernah  mampu untuk menghantarkan diri mereka untuk kembali ke tempat dari mana dirinya berasal. Jika kemudian mereka tahu bahwa kita tidak pernah mampu menunjukan jalan ber-serah, jalan ber-Islam untuk kembali kepada pencipta-NYA. 

Aturan alam. Hukum-hukum alam. Agama alam, sudah begitu keadaannya sejak dahulu hingga kini. Maka tidaklah banyak pilihan manusia. Mereka semua manusia pasti akan mengikuti aturan sang alam, hanya yang membedakannya adalah mereka ikut secara sukarela atau terpaksa. Jika mereka ber-serah (Islam), maka mereka ikut secara sukarela.  Sebaliknya jika tidak ber-serah (Islam) maka mereka dianggap pembangkang, tidak akan diakui oleh alam,  sebagai bagian dari alam, jika begini mau hidup dialam mana lagi ?. Sungguh  betapa berat siksa mereka. Karenanya bilakah kita biarkan anak-anak kita memilih lainnya. Selain Islam. Sungguh kasihan anak-anak kita nantinya, jika kita tidak tahu hakekat ini.

Tak lekas aku melihat. Tak lepas aku memandang. Bila mataku tak setajam pedang. Kali pertama engkau akan menghujamkan pena didadaku. Bukan diriku, bukan pula mauku. Maka anak-anakku ada disini dalam pelukanku. Mereka semua satu dalam nafasku. Mereka semua ada dalam kesadaranku. Tak kubiarkan mereka tersiksa karenaku. Akan kuhantarkan mereka ber-serah (ber-Islam) kepada pemilik kedua alam, kepada Alif Lam Lam Ha  (ALLAH).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali