Kisah Spiritual, Melacak Keberadaan Sang Pertapa Sakti
Khabar kepastian
keberangkatan ke Dieng sudah diterima dari alam. Alam juga sudah menyiapkan
sarananya, seorang dermawan menyumbangkan sedikit hartanya untuk keperluan itu.
Kemana tempat yang akan dituju ?. Itulah yang hingga sampai saat sekarang ini
masih menjadi pertanyaan juga. Hanya sedikit firasat menguatkan bahwa dirinya
harus melacak tokoh sakti yang sudah berumur 1500 tahun. Tokoh yang melegenda
di masyarakat sana.
Masyarakat di lereng
pegunungan Dieng yang berada sejalan dari arah Wonosobo meyakini bahwa tokoh
itu memang ada. Banyak saksi yang pernah melihat kedatangannya. Konon saat
datang selalu didahului oleh petir yang menyambar ke tanah menimbulkan percikan api dan asap. Persis seperti sinetron
laga dilayar kaca. Dan ketika asap sirna terlihatlah sosok orang yang
berpenampilan biasa saja. Seperti orang-orang kebanyakan disana, hanya masih
menggunakan pakaian jawa kuno. Perawakan normal tergolong kurus. Masyaarkat
disana memanggilnya , “Mbah Arum”.
“Benarkah tokoh itu ada ?.“
Mas Dikonthole sempat mengkrenyitkan dahinya. Mengapakah semakin lama
perjalanan spiritualnya semakin aneh saja. Jika manusia berumur ratusan tahun mungkin
masih wajar, dilereng pegunungan Himalaya masih banyak ditemui pertapa-pertapa
yang berumur diatas 200 tahun, tapi kalau berumur 1500 tahun ?. “Waduh, apa jangan-jangan dia termasuk
golongan jin .” Entahlah Mas
Dikonthole tidak berni ber spekulasi lebih jauh, dia ingin menyaksikan dnegan
mata kepalanya sendiri tokoh sakti yang satu ini.
Pak Aryo juga meyakinkan
dirinya, bahwa tokoh itu benar-benar ada. “Manusia
biasa seperti kita.” Katanya dia juga pernah bertemu sekali. “Hik..benarkah..?.”
Rasanya tak masuk logika, dan semakin dipikir semakin pening rasanya dikepala.
Sekarang ini dia hanya fokus kepada daya yang menggerakkan saja. Biarlah alam
yang menampakkan kepada dirinya, jika memang tokoh itu benar adanya, dan memang
hak untuknya mengetahui fenomena tak biasa ini. Jika memang haknya, tentunya
tokoh tersebut nanti akan mau ditemuinya.
Jika toh, benar tokoh itu
ada, pasti sejaman dengan sang Ratu Sima itu sendiri. Bukankah akan kebetulan
sekali jika dia dapat bertemu dengannya. Mungkin dengan itu dia akan mampu
menyibak misteri legenda sang Ratu itu sendiri. Itulah yang dipikirkan Mas
Dikonthole. Kemudian akan menjadi jelas mengapa dirinya dipertemukan dengan
tokoh Kangmas dan juga tokoh-tokoh lainnya yang pertalian dengan kerajaan Kalingga,
Sunda Galuh hingga Pajajaran kemarin ini. Juga bagaimanakah peranan mereka
nantinya dalam melahirkan peradaban nusantara baru. Biarlah nanti waktu yang
akan memberitahu.
…
Pergolakan politik,
pergolakan dinamika masyarakat, tingkat kriminalitas, dan begitu banyak
problematika masyarakat lainnya, inilah yang sekarang ini terasa sekali disekitar
kita. Bangsa kita sedang sakit. Bangsa yang sedang menuju kepada jurang
penghancuran dirinya sendiri. Realitas kehidupan berbangsa yang tidak nyaman,
telah menghantui seluruh masyarakat. Entah sebab apa, kadang kita sendiri tidak
mengerti. Kita seperti larut dalam drama komedi yang sungguh menggelikan
sekali. Ulah para tokoh politik negri dan pejabat negri ini yang lucu-lucu, sebab mereka seakan bangga
sekali dengan permainan mereka itu. Mereka tidak menyadari bahwa baju dan
celana mereka sudah terbuka, hingga auratnya nampak sekali dimata.
Maka wajar saja jika alam mulai murka, maka
wajar saja jika kemudian para leluhur negri ini, ‘cingcut taliwanda’,
menyingsingkan lengan baju mereka untuk membenahi kebobrokan bangsa ini. Membenahi
buruknya akhlak anak keturunan mereka itu. Bukankah Allah senantiasa akan
meminta pertanggung jawaban kepada diri mereka juga. Yaityu pertanggung jawaban
atas apa-apa saja yang mereka tinggalkan,
bekas-bekas kesadaran yang mereka turunkan akan dimintakan pertanggung jawaban.
Begitu beratnya tanggung jawab orang berilmu. Maka menjadi pemikiran kita
sekarang ini, benarkah sudah saatnya mereka (leluhur) reinkarnasi lagi ?.
“ Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami tuliskan
segala yang mereka kerjakan dan bekas-bekas (kesadaran) yang mereka tinggalkan.
Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.” (QS. Yasin
;12)
Kesadaran (pemahaman) yang
ditinggalkan ‘sang Aku’, akan membekas dan berefek kepada entitas lain. Dan karena sebab pada hakekatnya diri kita
manusia selalu ada pasangannya. Kesadaran ‘sang
Aku’ mereka (leluhur) akan melakukan duplikasi, menguat dan mengkristal
pada diri entitas yang memang serupa dengan diri mereka (kembaran). Duplikasi ‘sang Aku’ inilah yang kemudian akan menajdi
kesadaran ‘Aku’ berikutnya, mereka
akan menempati dimensi nya sendiri.
Kesadaran ini banyak
dikenal dengan pelbagai versi, seperti saudara kembar, kakang kawah dan adik
ari-ari, qorin, leluhur, Guru Sejati, atau kadang mereka menyebut Ruh Sejati.
Hakekatnya sulit sekali membedakan hal ini. Sebab mereka pada alamnya, pada
dimensinya. Mereka kadang menepati
nirvana dan kadang mengelana di jagad raya seuysai dengan amal kebai8kannya
pada masa hidupnya. Itulah, sebelumnya mereka diam dalam dimensi mereka sendiri,
hingga kemudian alam membutuhkan mereka, mengembalikan mereka kealam manusia
(menghidupkan) mereka kembali. Melalui raga-raga anak-anak cucu mereka yang
memiliki kesamaan genetika DNA nya. Maka
wajar saja jika kemudian jika kesadaran
ini akan mencari anak cucunya kembali, dan fenomena ini kita kenali dengan reinkarnasi.
Pemahaman
inilah yang menjadi keyakinan Mas Dikonthole menyoal reinkarnasi ini.
Blam..blam..semua keyakinan ini
semakin mengkristal. Menyadari dan memahami siapakah hakekat diri mereka.
Mereka para leluhur bangsa ini. Mereka duplikat ‘sang Aku’ dari leluhur. ‘Aku
sejati’ akan kembali kepada Allah. Namun ‘Aku lainnya’ masih harus terus mempertanggung jawabkan bekas-bekas
yang mereka tinggalkan hingga mereka menuntaskan semua pekerjaan yang sudah
dibebankan atas mereka semua. Bekas-bekas peradaban, bekas-bekas kesadaran yang
kemudian telah melahirkan kesadaran-kesadaran lainnya.
Pemikiran mereka (leluhur) bisa jadi
telah melahirkan pemikiran dan pemahaman lain bagi anak generasi berikutnya,
kesadaran anak cucu yang sudah jauh melenceng dari kebenaran illahi. Kesadaran
yang mereka tinggalkan telah mengalami difraksi memecah menjadi banyak sekali. Kesadaran
itu diperadaban terkini telah berani menantang Tuhannya. Kesadaran yang telah menentang system alam itu sendiri. Membuat
kacaulah peradaban dan tatanan bumi ini. Manusia merajalela sebab kesadaran
mereka telah diracuni.
Diracuni oleh pemikiran-pemikiran yang
tidak sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri. Itulah keadaan kesadaran
manusia terkini di bumi nusantara ini. Keadaan ini menjadi keprihatrinan mereka
semua para leluhur di demensi mereka. Begitulah yang disaksikan Mas Dikonthole.
Alam sendiri yang menceritanya sendiri.
Apa yang diwasiatkan Prabu Siliwangi,
Ranggawarsitoi, Ki Ageng Selo, Jayabaya, dan semua leluhur bangsa ini, terlihat
senada. Mereka para leluhur sudah membaca , Membaca alam ini, jauh sekali
sebelum itu terjadi. Mereka mengerti jika
suatu saat nanti anak cucu bangsa ini akan mengalami jaman yang seperti ini. Jaman
kalabendu, jaman anak sudah menjadi bapak, jaman ibu mengubur bayi mereka,
jaman bapak menghamili anak, jaman anak menyetubuhi ibunya, jaman bapak
memutilasi istri. Jaman nyawa manusia seperti laron-laron saja, yang sering
mati tanpa tahu kenapanya.
Lihatlah tentara menghabisi rakyatnya,
polisi menakut-nakuti rakyatnya. Maka rakyat mulai murka melibas apa saja,
tidak pejabat negri, tidak petani, semua sudah murka. Mereka semua mengamuk.
Sang parabu sudah melihat polah anak cucunya. Dan itu kita alami sekarang ini,
lihatlah nusantara kita ini. Lihatlah bangsa kita sekarang ini. Kita tinggal
menunggu saja saatnya 7 gunung meletus dalam waktu yang nyaris bersamaan. Sebagaimana
wangsit sang Prabu. Tanda-tanda itu sudah mulai terlihat, paku bumi telah
meleset ke angkasa. Maka pesan wangsit sang Prabu Siliwangi saat sekarang ini
haruis mampu dimaknai oleh anak cucunya. Kemanakah mereka melangkah, Selatan, Utara,
Timur atau Barat ?.
Duh, Mas Dikonthole
hanya mampu menetapi langkahnya sendiri, berusaha dengan caranya sendiri.
Bersama para pertapa sakti, mencoba memperbaiki kerusakan yang terjadi,
berusaha meminimalisir kemungkinan terburuk yang akan terjadi atas murkanya
sang alam. Bersama para leluhur yang telah siap menyusup ke raga-raga manusia
terkini.
Mereka yang di Pesisir
Utara telah menyiapkan diri, mereka yang di Barat, di tanah Pasundan tinggal
menunggu komando sang Prabu. Satu demi satu kekuatan tersusun, mereka telah
termobilisasi, kesatuan demi kesatuan telah terbentuk. Turunnya para raja raja tanah
jawa, dari setiap masanya hampir terwakili. Tinggal dari Demak, Pajang, dan
Luar Jawa, menunggu tanda yang sama. Mereka akan berperang dengan cara mereka
sendiri. Memerangi dedemit, dan hantu gentayangan yang menguasai para pejabat
negri. Maka ditetapkannya langkah. Mas Dikonthole minggu ini meski ke daerah Dieng, untuk menemui Mbah Arum,
tokoh manusia sakti dari era ratu Sima yang sekarang ini masih tetap menunggui
pertapaan sang Ratu.
Wolohualam bisawab
Assalamualaikum, mohon maaf , siapa anda...Yg pangersa ceritakan itu sebagian benar, sy sedang mengalami hal itu. Para leluhur datang ,,para leluhur sakti dari segala penjuru datang ....Termasuk penguasa pantai selatan, dan termasuk 8 para guru sakti para wali songo
BalasHapus