Kisah Spiritual, Serpihan Kisah Dibalik Kisah Perjalanan Spiritual Ke Dieng


Ditatap wajah anaknya dalam tiwikrama. Diamnya menahan gempuran rahsa yang dahsyat menggelora. Kesedihannya telah membedah angkasa. Mencurahkan air mata dari langit, deras sekali  membanjiri tanah yang terbongkah menahan duka di dalam dadanya. “Mengapa harus anaknya yang menanggung derita ini.” Keluhnya tak tertahan lagi. Gemelatak sendi menahan lara. Teronggok jiwa hampir saja tak percaya. Seluruh instrumen ketubuhannya diajaknya kompromi, “Ini adalah realita adanya.” Desahnya menggugah irama, dalam melody nan nelangsa. Simponi ini begitu mendedah sukma. Dan kembali bertanya, “Mengapa ?.”  Sang alam diam seribu bahasa, menyaksikan duka seorang Ayah yang meratapi keadaan putrinya yang  tergolek tak berdaya.

Ayah mana yang tidak menangis batinnya. Anak yang dikasihinya mengalami nasib yang mengenaskan begini. Diciumnya perlahan pipi dan keningnya, diusapnya kepalanya, dibelainya dengan penuh kasih. Seluruh perasaan tertumpah. Rasa bersalah, rasa ingin menggantikan saja keadaan sang anak yang tergolek seperti tanpa daya itu. Sosok wajah halus lembut, seoranggadis yang beranjak dewasa, kecantikannya seperti buliknya, yang diera tahun 80 an sempat menjadi Ratu Kecantikan di Indonesia. Wajah sang Adik seperti membayang dimata Mas Dikonthole. Kecantikan sang adik sepertinya menurun pada anaknya ini. Wajah yang halus lembut dnegan keceriaan, mulus  tanpa jerawat satupun.

“Kenapa kini harus tergeletak dalam tidur yang dalam. Tidur menahan sakit yang menghujam kepala akibat benturan.”  Mas Dikonthole terus menahan gundahnya. Dipandanginya lagi seluruh badan anaknya. Diusap bagian yang sakit, mencoba sedikit menggunakan tenaga dalamnya, barangkali saja dapat mengurangi rasa sakit. Mulai dari kaki, sampai kepala dicobanya melakukan usapan. Terus dalam tarikan nafas,  yang terus saja mencoba meredam amukan rahsa yang semakin mendekati  titik kulminasinya.   Wajah anaknya yang lembut tetap nampak tertidur dengan tenang. “Namun hati ayahmu tidak tenang nak.”   Dalam helaan nafas panjang Mas Dikonthole kemudian duduk di depan ranjang anaknya. Menatap dengan rahsa yang terus tak menentu. Terkisah bagaimana perjalanan dirinya hingga di pagi ini disini,  menunggu anaknya sekarang ini. Sementara kemarin,  satu hari sebelumnya dirinya masih berada di Dieng.

Malam itu menjadi malam yang sangat melelahkan, di malam Jumat (Kamis/28/3) dirinya mendengar khabar anaknya kecelakaan. Informasi yang mengatakan bahwa kecelakaan sedemikian hebat, hingga warga disekitar jalanan berdatangan sebab mendengar benturannya. Dan ketikapun istrinya mendapatkan  khabarnya itu, anaknya sudah dalam perawatan dan kerumunan warga sekitar.  Sebuah benturan keras dibelakang kepalanya membuat anaknya harus dilarikan ke Rumah sakit. Itulah khabar yang mereka dengar.

Ojek yang ditumpangi anak perempuan Mas Dikonthole ditabrak dari belakang oleh seorang pemuda tak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan anaknya terlempar melambung kebelakang  beberapa meter dan terhujam ke tanah. Jatuh berdentam, dengan punggung belakang menghantam jalanan, maka tak ayal belakang kepalanya membentur aspal jalan dengan keras sekali . “Siapakah manusia biasa yang mampu bertahan dengan benturan sekeras itu.”  Itulah pikiran Mas Dikonthole saat mendengar khabar itu.  Benar saja, ketika dipegang dan  ditekan oleh salah seorang warga,  tempurung kepala bagian belakang anaknya lembut sekali seperti tempurung bayi. Maka karenanya harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit terdekat ternyata tidak memiliki peralatan medis, akhirnya dirujuklah ke rumah sakit yang lebih besar lagi. Proses yang benar-benar menggelisahkan sekali.

Mas Dikonthole bergidik memikirkan kemungkinan terburuk. Dirinya benar-benar merasa bersalah dan berdosa sekali. Harusnya dia yang menjemput anaknya di terminal Bekasi. Karena sebab dia tidak bisa, harus mengemban tugas berdasarkan sebuah keyakinan, maka itulah anaknya terpaksa harus menggunakan ojek. Sementara Mas Dikonthole meyakinkan diri untuk terus melanjutkan perjalanan spiritualnya ke Dieng. Sehingga  dia abaikan seluruh firasat  lainnya. Bahkan kewajiban menjemput anaknya juga dia abaikan saja. Padahal sebagai seorang yang memahami, sebelum kejadian kecelakaan itu, dirnya memang sudah merasakan firasat tidak enak atas diri anaknya yang perempuan ini, maka dia selalu me wanti-wanti agar anaknya jangan pulang malam-malam.

Dieksplorasilah kejadian demi kejadian yang melatari. Kejadian spiritual akhir-akhir ini sudah banyak memakan korban. Bhre Wirabumi beberapa minggu lalu menabrak lapisan ether hinga terpental kebelakang bersalto diudara,  sejauh 10 meter dan jatuh dengan posisi kepala menghantam aspal. Ustad Gus Sholeh juga mengalami hal yang sama. Belum lama Bp. Aryo setelah proses mencari daun Tapak Budha terserang sakit aneh, dia panas sekali namun di thermometer tetap 37 derajat, normal saja.

Dan yang baru-baru ini saja terjadi, sehari sebelum keberangkatan menemui sosok Kangmas di Indramayu Bp. Aryo juga mengalami kecelakaan, dia terpelanting dari motornya, seperti menabrak sesuatu atau ditabrak. Kejadian yangsama, kepalanya yang diincar. Untung mereka semua memiliki olah spiritual hingga kecelakaan tersebut tidak berakibat fatal hanya lecet-lecet kecil saja.  Mas Dikonthole tidak mampu membayangkan, jika hal itu terjadi pada orang biasa. Entahlah seperti apa keadaan mereka itu. ketika itu Mas Dikonthole sudah merasakan ada hawa yang tak wajar sedang mengintai mereka semua, itulah firasatnya. Seperti halnya keadaan dirinya yang juga terserang hawa aneh yang menjebak kesadarannya. Sering membuat dirinya bersama instrumen ketubuhannya terkunci. Saat itu terus dalam pengamatan dan juga menjadi kekhawatiran yang tak pernah dimengertinya, sebab mengapa kejaiannya seperti itu ?.

Namun smeua  perasaan itu dia tipiskan saja. Dia tetap dalam tekadnya, berangkat Rabu malam (28/3). dan apa yangterjadi, satu hari berikutnya  setelah keberangkatan Mas Dikonthole, belum juga sempat dia bermalam di Dieng sana. Tepat malam jumat sehabis isya dia mendengar khabar kejadian itu. Kekhawatirannya terjadi. Namun mengapakah bukan dirinya yang diincar mereka. “Kenapa harus anak kesayangannya.”  Dia membatin tanpa tahu harus berbuat apa. Jika dirinya dan mungkin rekan-rekan lainnya, setidaknya memiliki daya tahan. Energy di dalam tubuh mereka akan secara otomatis bergerak melindungi bagian-bagian yang berbahaya. Energy tersebut akan menjadi bantalan maka keadaan mereka semua tidak apa-apa. namun tidak dengan anaknya. Anaknya sebagaimana halnya anak-anak abg lainnya. He-eh.  Ms Dikonthole benar-benar merasa khawtir dan menyesal sekali.

Sekali lagi Mas Dikonthle tak mampu membayangkan, apa yang  terjadi pada anaknya yang tidak memiliki lapisan energy spiritual, bagaimanakah nanti keadaannya. Sungguh ngeri dia membayangkan hal itu. Dan benar saja, kepala bagian belakang  anak perempuannya melembek bagai ubun-ubun seorang bayi yang baru lahir akibat benturan dengan aspal jalanan. Tempurung kaki sebelah kananya hancur sebagian. Ugh..”Apakah masih bisa diselamatkan Ya Tuhan.” Jauh disana dilereng pegunungan Dieng di bukit Argopeni Mas Dikonthole menatap langit dengan hampa, resah tak terkira. Harapnya hanya kepada-Nya.

Perihnya mengukir malam, menyebabkan langit deras mencurahkan air matanya. Hujan turun saat Mas Dikonthole mendengar khabar itu. Malam itu  Mas Dikonthole baru saja selesai membuka hijab Bhre Wirabumi yang terus mengalami dis-orientasi dalam pencarian jatidirinya. Beberapa leluhur yang mengikuti dirinya menyebabkan dia tidak mampu melihat hakekat ‘sang Aku sejati’. Keadaan itu jika dibiarkan akan menjadi keresahan dia akan selalu mengikuti kehendak keempat leluhurnya. Keempat leluhur mereka akan saling berebutan untuk menjadi yang nomer satu didalam raga Bhre Wirabumi.  Itulah salah satu tugasnya juga, yang harus diselesaikan. membantu proses reinkarnasi Bhre Wirabumi. Selesai prosesi yang melelahkan itulah, dan baru saja Mas Dikonthole menyapu mukanya dengan syukur sebab prosesi berjalan dnegan lancar. Ada bunyi  dering telpon di hp nya, pertama dia abaikan hingga  berbunyi 3 kali.  Bersamaan dnegan suara telpon istrinya. Aneh saja, jika seketika itu juga hujan turun dengan derasnya. dan istrinya dnegan menangis dari rumah sakit menghabarkan kecelakaan itu.

Malam itu memang satu rangkain pertemuan. Mas Dikonthole dan Bhre Wirabumi, saat itu memang sengaja sedang menunggu yang lainnya. Dalam rangka meretas kesadaran baru demi nusantara baru. Kesadaran yang nantinya alan  lebih mampu  memanusiakan manusia. Dan dia pergi ke Dieng juga dalam rangka spiritual untuk membaca tanda berikutnya, berkaitan dengan paku bumi. Namun sungguh khabar yang diterimanya tentang anaknya yang kecelakaan itu,  membuat dirinya gamang dan ragu.

Apakah dirinya akan melanjutkan perjalanannya lagi. Semua dipertaruhkannya. Jika nyawanya sendiri tak mengapa, namun ini sudah menyangkut nyawa anak-anaknya. “Duh..Tuhan berilah kekuatan.”  Mas Dikonthole mencoba menjari jejak pijakan atas  keyakinan itu pada dirinya yang mulai sedikit goyah dengan keadaan dan realitas dimatanya ini. Saat itu dirinya harus memilih apakah akan terus tetap melanjutkan perjalanan spiritual tersebut atau segera meninggalkan Dieng untuk menengok anaknya. Pilihan yang benar-benar menimbulkan pergolakan batin. “Inikah ujian ?.”

 Akhirnya sebagai Ayah dia tidak tega untuk meninggalkan anaknya yang dia tahu pasti dalam kesakitan yang sangat. Nalurinya seperti mendobrak kesadarannya. Naluri seorang Ayah yang ingin melindungi anak-anaknya. Maka dia memutuskan untuk kembali keesokan harinya, di hari Jumat keesokan harinya juga. Keputusan itu bukan tanpa perlawanan. Dirinya benar-benar harus meredam gejolak lainnya. Gejolak  patriotisme atas perjuangan bangsa ini. “Tugasnya masih belum selesai..apakah dirinya harus kembali..duh Tuhan, berilah kami petunjuk.” Dia mencoba menahan amuk rahsa yang melanda, dengan mencoba berkali-kali menarik nafas panjang. Meskipun pergolakan di dalam dadanya belum juga reda.  Mas Dikonthole mencoba realistis, dia harus menyelesaikan pertemuan malam ini bersama orang-orang masa lalu sampai pagi juga tak mengapa. Itulah tekadnya. Dan besok dia harus pulang , kembali ke Jakarta.

Tekadnya untuk kembali sudah cukup bulat, namun keesokan harinya Mas Dikonthole merasa ada daya terus saja berkecamuk didalam dirinya, ada sesuatu yang salah, jika dia kembali ke Jakarta. Ada sesuatu yang tetap harus diselesaikannya di kota ini. Daya itu semakin mengkristal, daya yang menahannya untuk tetap tinggal di kota ini menyelesaikan tugasnya. Apalagi SMS dari Bp. Aryo yang juga baru saja tiba pagi  (Jumat,29/3) memintanya untuk tetap tinggal, banyak tugas yang harus diselesaikan. Bahkan dengan sangat yakin Bp. Aryo mengatakan itu.

Bp. Aryo meyakinkan bahwa saat dirinya saat sholat melihat lafadz Allah diantara gumpalan awan di langit, itu pertanda bahwa Mas Dikonthole harus tetap tinggal. Hah..Penat sekali rahsa di dada. Mendapat informasi tambahan itu. Bagaimana ini ?. Rahsa dan daya memaksa untuk tetap tinggal, katanya,  ini adalah bagian dari ujian. Terus saja bisikan berkata begitu. Ditambah lagi keadaan dana perjalanan sudah sangat tipis, tidak cukup untuk kembali ke Jakarta. Maka mau tidak mau secara realitas dia harus bersabar, dan tetap tinggal, dia harus ikut pulang hari minggu bersama Bp. Aryo, itulah fakta keadaannya sekarang ini.

Namun logikanya kembali menyergah. Menyuruhnya harus tunduk kepada fakta dan realitas yang lainnya. Anaknya membutuhkan Ayahnya. Apakah nanti dirinya tidak akan menyesal jika terjadi apa-apa atas anaknya ini. Bayangkan saja  sejak anaknya lulus Sekolah Dasar nyaris dia tidak ada waktu untuk anaknya. Sebab dirinya memang jarang di rumah, perjalanan spiritualnya ke kota-kota di Indonesia memaksa dirinya untuk begitu. He-eh. Apakah sekarang ini anaknya akan dibiarkan sendirian dalam keadaan tanpa daya, apakah dirinya tega untuk tidak mendampinginya. “Ugh..Ya Allah berikanlah petunjuk-Mu.”

Sungguh dilema yang sangat sulit bagi Mas Dikonthole, dia hanya manusia biasa. Anaknya juga hanya manusia biasa yang pasti butuh Ayahnya.  Logika sekali lagi gunakanlah logika. Apakah dirinya tidak akan menyesal nanti, jika dia tidak menunggui anaknya. Ugh..!.  Benar-benar hari yang sangat melelahkan bagi Mas Dikonthole. Apa yang harus dilakukannya ?. Tetapkah dirinya akan bersikeras dalam keyakinan spiritualnya. Sungguh Mas Dikonthole seperti dipaksa keadaan untuk memakan buah simalakama. “Ini realitas bung..!” Itulah sergahan sang akal.  Sedangkan keyakinan spiritual hanyalah berada dalam dimensi keghaiban kebenarannya. Ugh..!.  Haruskah dia meyakini yang belum pasti ?.

Logika dan rahsa iba memaksanya untuk pulang dan  segera mendapati anaknya,  sementara realitas dan daya yang lain juga terus memaksanya  untuk tetap tinggal di kota ini barang satu dua hari lagi. Dualitas rahsa itu benar-benar menjepit dirinya. “Ya..Allah !. Bebaskan hamba dari rahsa yangmenjepit ini”  Mas Dikonthole menghembuskan nafasnya dengan keras, sekali lagi, mencoba mencari pijakan baru. Diantara gamangnya itu, dia merasa harus mengisi waktu, dia buka email ada beberapa pesan di inbox salah satunya dari Ratu Sima yang menunjukan empati atas perjuangannya. Sepertinya tiba-tiba seperti ada daya yang kuat yang mendorong dirinya untuk berjalan saja ke ATM  Mandiri terdekat. Maka segera saja dia selesaikan mrembaca email, dengan menjawab seperlunya beberapa email. Akhirnya kemudian dirinya melangkah ke ATM yang berjarak 400 meter dari situ.

Entah daya apa yang mendorongnya kesitu, sementara dirinya juga sudah tahu. Dia tahu pasti bahwa ATM nya kosong. Apanya yang mau diambil ?. Namun daya dorong itu seperti menguasai, dimasukannya saja ATM dengan iseng saja. Kemudian dia enter jumlah yang dibutuhkannya untuk pulang. “Allah hu akbar !.” Dia terpekik, kaget luar biasa, mesin ATM ternyata mengeluarkan uang sejumlah yang di tekannya. Ajaib benar-benar ajaib sekali. Darimana datangnya uang tersebut. Dia ingat-ingat beberapa tagihan atas jasanya menjadi ‘freelance’, rasanya semua belum jatuh tempo. Paling cepat juga awal bulan. Apakah ini bertanda, Allah menjawab doanya dan keresahan hamba-Nya.  Apakah tandanya dirinya diperbolehkan pulang awal terlebih dahulu walau belum selesai tugasnya. Sungguh dia tidak mengerti, kebetulan dan kebetulan lagi. Selalu begitu keadaannya.

Sambil terus bersyukur, dia ambil uang dari mesin ATM, dan keluar dari situ. Sementara tanpa dia sadari langit seperti mengglap. Begitu dia menatap awan, langit sudah penuh dnegan awan yang menggumpal-gumpal, awan terus datang berlapis-lapis, seiring dnegan itu mendadak petir menyambar dan hujanpun turun tak terkendali. Awan sungguh pekat sekali, berlapis-lapis hingga tidak bisa ditembus kedalamannya. Padahal sebelumnya saat dirinya masuk ke ruangan ATM cuaca cerah sekali tidak ada pertanda apa-apa.  Ada perasaan aneh saja melihat fenomena ini. Namun perasaan itu seperti terendap sementara, sebab dirinya ingin tahu siapakah yang mengirimkan uang itu. Jumlahnya kok seperti janggal saja. Maka dia mengirimkan SMS ke beberapa orang yang dirasakan dikenalnya.

Belum lagi dirinya selesai SMS tiba-tiba hujan turun dengan dahsyat sekali. Luar biasa derasnya, sehingga sulit bagi Mas Dikonthole untuk tetap berdiri disitu apalagi untuk  menerobos pulang. Maka dia menunggu di emperan depan bank tersebut. Melihat ada orang sendirian kehujanan Satpam bank berbaik hati menawarkan agar Mas Dikonthole masuk saja ke ruang jaganya. “Syukurlah..” Batin Mas Dikonthole, sebab dirinya jadi tidak basah, dia juga berharap di ruang satpam ada mesin pemanas ruangan.  Keadaan disitu tiba-tiba udaranya menjadi dingin sekali, air yang menerpa badan serasa es yang barus saja terbentuk. Benar-benar dingin sekali. Dingin yang aneh saja.

Dalam ruang yang hanya berukuran 1 x 1.5 meter,  diruangan pos Satpam, Mas Dikonthole diam menunggu hujan reda. Ada sergahan rasa yang tak biasa, perasaan bahwa awan dan hujan ini tak semestianya. Maka dicobanya untuk terus memasuki kesadarannya, mencoba lebih dalam lagi. Sambil terus ber-silatun kepada Allah,   mencoba memindai, mencari sensasi rahsa yang dikenalnya, menelusuri perasaan-perasaan yang datang selih berganti itu. Mas Dikonthole berdzikir, menghadapkan seluruh rahsa, berserah atas apapun yang bakalan nanti terjadi, termasuk juga seandainya dirinya tetap harus bertahan di Dieng 1 atau 2 hari lagi.  Dia dalam kepasrahan yang diyakininya.

Perlahan seperti muncul sebuah petunjuk kepada dirinya, agar dia memperhatikan awan yang menggelap di atas kota itu. Berusaha untuk masuki saja terus kedalaman sang awan. Maka dia akan bisa melihat sebuah tanda. Begitu kilasan firasatnya. Tanda alam yang memang harus dia saksikan. Sebuah keyakinan perlahan mengendap, bahwa dia dikota itu, bahwa raganya ada disitu adalah untuk menjadi saksi sebuah tanda alam yang sebentar lagi akan dimunculkan di balik  sang awan nanti. Maka sambil menunggu tanda yang akan dinampakan sang alam, Mas Dikonthole juga  SMS kepada Pak Aryo untuk sholat dan segera melakukan hal sama, memperhatikan langit, menembus kekedalaman awan.

Benar saja kilasan firasat itu, selewat ashar tanda itu muncul. Mas Dikonthole melihat ada sebuah putaran dimensi dibalik awan tersebut, sebuah pusaran maha dahsyat berputar-putar diatas langit tertutup awan yang menggelap diantara hujan deras yang mengguyur kota itu. Diantara desiran angin dan hujan. Seperti putaran sebuah galaksi  yang dia saksikan di televisi. Benarkah itu  sebuah pertanda bahwa pergantian kekuasaan atas kesadaran akan terjadi di bumi nusantara ini ?. Mas Dikonthole seperti diberikan daya untuk meyakini kebenaran hal itu. Pergantian kekuasaan yang akan terjadi di bumi nusantara ini.  Tidak saja akan terjadi pada dimensi ghaib saja, namun juga akan merembet ke dimensi realitas. Nusantara akan memasuki dimensi baru, dimensi kesadaran yang akan merubah seluruh tatanan yang ada. Semua akan seperti dibalikkan. Itulah pertandanya. Allh hu akbar. Diam dalam takjim berdoa, memohon agar semua diselamatkan-Nya. Agar bangsa ini, agar anak keturunannya tidak habis terlibas jaman.

Itulah yang dilihat kesadaran Mas Dikonthole, pertanda alam. Disamping apa yang dilihatnya, khabar yang diterima via SMS dari Pak Aryo juga menggembirakannya, apa yang dilihat Pak Aryo hampir senada dengan yang dilihat oleh Mas Dikonthole. Karenanya, ada perasaan lega yang menyergahnya, jika itu memang tugas yang diembannya, adalah  menjadi saksi pergerseran dimensi yang baru saja dimulai yang tandanya ternyata ada di kota itu. Diatas kota yang dahulu menjadi legenda Kota Saba, Wanasaba. Maka sungguh itu patut disyukuri, terhyata Tuahan mendengar doanya. 

Kemudian dalam kilasan detik diperlihatkan dalam kesadaran Mas Dikonthole bagaimana kejayaan kerajaan Ratu Sima. Sekarang bekas-bekas terkubur di bawah kota ini, membentang sepanjang kota-kota berikutnya hingga mencapai Borobudur, dan masih terus meluas lagi hingga kesadaran Mas Dikonthole takmampu melihatnya lagi. Kilasan itu sepersekian detik, namun cukup untuk menjadi keyakian Mas Dikonthole bahwa kejayaan kerajaan tersebut memang nyata.

Setelah proses itu mereda, kira-kira berlangsung hampir 2 jam lamanya. Kemudian Mas Dikonthole kembali disadarkan atas realitas dirinya. Apakah dirinya akan diijinkan pulang hari ini ?. Jika benar tugasnya yang utama adalah untuk menjadi saksi fenomena alam tersebut, maka bukan tidak mungkin jika dirinya juga diijinkan pulang sore ini. Tak ayal dirinya kemudian ber-tafakur, agar diijinkan pulang. Dia yakin jika dirinya diijinkan maka hujan juga akan berhenti, itu tandanya. Dan dia akan dimudahkan untuk mendapatkan bus untuk kepulangannya ke Jakarta. Yah, hanya pertolongan Allah saja jika memang dia harus pulang sore ini. sebab keadaan hujan juga demikian derasnya lagi pula jika sudah sore hari, tidak ada lagi bus yang ke Jakarta, bus paling akhir biasanya jam 6 sore. Mas Dfikonthole hanya bisa berharap saja. Kepada Pak Aryo dia juga berkata hal yang sama.

Itulah hari yang kemarin  Mas Dikonthole lewati. Sekarang dia sudah ada disini, menemani anaknya. Sungguh perjalanan yang menegangkan yang dialami Mas Dikonthole hingga sampai disini, demi menunggui anaknya yang masih  terbaring dalam tidurnya yang lama. Mas Dikonthole meluruskan badannya dikursi disamping tempat tidur anaknya itu, kemudian dia menarik nafas lega,  Ada rahsa yang tak mampu diungkapkannya. Tuhan ternyata mengabulkannya. Meski tugasnya tidak sempurna 100% seperti saat tugas yang lainnya. Namun setidaknya dia merasa cukup jika tugas utamanya telah dia selesaikan. Maka sat ini, di puas-puaskannya memandangi tubuh anaknya dengan penuh rasa iba. Namun kembali terbersit rahs yang masih menggelisahkan, desela bahagia adalah bagaimana hasil scan anaknya ini. Apakah benturan dikepalanya akan berbahaya bagi masa depannya. Itulah yang sekarang melangutinya.

Akhirnya siang hari khabar itupun datang, hasil scan anaknya sungguh mengembirakannya. Benturan dikepala, dan tempurung kepala yang lembek seperti lenyap tiba-tiba. Digambar foto scan tak nampak sedikitpun trauma, dalam keterangan disitu tidak ada gumpalan darah, tidak nampak ada trauma yang dapat membahayakan jiwanya. Keadaannya bersih.  Luar biasa sekali, Tuhan telah menolong anaknya. Allah telah memperlihatkan kekuasaan-Nya. Allah hu akbar 3x.

Di dengarnya dari keterangan dokter yang menjelaskan kepada istrinya dan rekan-rekan lainnya, bahwa  banyak kasus yang serupa  sebagaimana kasus anaknya itu, semua meninggal atau harus mengalami operasi beberapa kali. Ajaib, sungguh ajaib sekali. Benturan tersebut hanya mengakibatkan pening saja pada anaknya, hanya menganggu sistem kesadarannya saja, sehingga anaknya cukup harus istirahat saja. Dia diharuskan istirahat total 3 minggu untuk mengembalikan kondisinya. Setelah itu,  secara alami otak akan menyembuhkan dirinya sendiri. Dan proses menyembuhkan dirinya itulah yang menyebabkan anaknya tidur terus sepanjang hari. Betapa syuklurnya Mas Dikonthole, seiring rasa syukur yang menggempita di dalam dada, alam sepertinya turut juga mengerti. Mendadak hujan datang berikut dengan petir yang sambung menyambung diatas rumah Mas Dikonthole. “Sungguh sangat nyata sekali kuasa-Mu ya Allah.”  Subhanalloh..

walohualam









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali