Kisah Spiritual, Misteri Daun Tapak Budha
Ya dia merasa sendirian, siapakah yang menjadi saksinya
atas kebenaran kisah-kisah yang dihantarkannya. Semua dalam tataran kesadaran
ghaib. Keghaiban yang misteri. Misteri yang meliputi realitas itu sendiri. Keadaan
ini membuatnya frustasi, dan membuatnya tak peduli pada hal-hal ghaib lagi.
Hari-harinya kemudian dia curahkan untuk realitas kehidupan terkininya. Bekerja
sebagai manusia biasa, sebagai manusia yang punya rasa sakit, sebagai manusia
yang punya nafsu. Diyakinkannya dirinya bahwa dia hanyalah manusia normal, layaknya
manusia-manusia lainnya.
Namun sekali lagi, realitas yang ditemuinya dikehidupan
terkininya, yang ditandai dengan kejadian demi kejadian disepanjang harinya, selalu
saja memaksanya untuk kembali dan kembali, menariknya untuk berada dalam
keghaiban lagi. Apa yang dilihatnya seperti masuk kedalam dirinya. Mobil,
motor, rumah, dan alam raya. Masuk kedalam kesadarannya. Dia kemudian melihat ruang
ghaib. Begitu juga sebaliknya. Ketika dia berada di ruang ghaib, keghaiban
seperti masuk ke dalam dirinya. Bolak-balik disitu. Kilasan itu berlangsung
dalam kilasan detik,namun terus berulang. Dunia ghaib dan dunia realitas
sepertinya sama saja, mana yang ghaib dan mana yang realitas, menjadi tak
berjeda. Sungguh membingungkannya kini. Kadang yang ghaib lebih real dari pada
yang realitas itu sendiri. Kadang yang realitas justru menghablur menjadi
ghaib. “Duh, Gusti Allah...!. Bagaimana
ini, apakah ini yang dinamakan gila ?. Mestikah bagian ini diceritakan.”
Memang ada beberapa kejadian aneh yang terjadi di Hari
Rabu Malam, tepat ditengah malam. Genteng rumah Mas Dikonthole tiba-tiba pecah menimbulkan suara seperti bom.
Anehnya genteng yang sedemikian beratnya jatuh menimpa, atap plafon yang terbuat dari gipsun tidak apa-apa, hanya suara saja yang
menggelegar, membangunkan Mas Dikonthole
yang terlelap. Kejadian yang sama diwaktu yang sama terjadi di rumah Pak Suryo juga. Seorang pemuda yang
dikisahkan dalam kisah ‘Bara di Langit Argopeni’.
Pemuda yang memiliki kemampuan memisahkan awan dan menghalau makhluk jejadian,
jin, genderuwo, dan lainnya. Di tempat Pak Suryo, genting di atas kamarnya juga
pecah menimbulkan suara yang sama.
Kejadian aneh yang sama di waktu yang sama juga terjadi
dilereng Dieng. Minak Jinggo yang
sedang melaju dari atas bukit, tiba-tiba seperti menabrak eter, yang kemudian
melontarkan dirinya bersama motornya sejauh 10 m kebelakang. Minak Jinggo seperti menabrak lapisan
energy yang sangat kuat sekali, sehingga dirinya seperti dilemparkan ke
belakang, dihempaskan ke aspal jalanan. Syukurlah keadaannya tidak apa-apa.
Ditempat lain Pak Ustad juga
mengalami kejadian yang sama dengan motornya. Apakah hanya kebetulan ?. Dihari
yang sama dan waktu yang sama ditempat berbeda, masing-masing mengalami
kejadian yang sama. Mas Dikonthole dengan Pak Suryo gentengnya pecah. Minak
Jinggo dan Pak Ustad terlempar dari motornya, menabrak sesuatu yang tak nampak.
Tidak hanya mereka, terungkap kemudian, semua orang-orang
masa lalu mengalami kejadian yang sama. Meski dengan kadar yang berbeda. Ki Ageng Tirtayasa di Australia juga
mengalami kejadian yang sama. Pesawatnya tiba-tiba rusak navigasinya, untung
diketahui sebelum keberangkatannya, sehingga tidak menimbulkan kecelakaan.
Karenanya keberangkatannya ke Indonesia delay satu hari. Tidak hanya sampai
disitu pengalaman anehnya, dia seperti
dikejar-kejar sesuatu, diatas pesawat dia melihat awan, sebagaimana melihat
melihat ribuan orang yang sepertinya tengah mengikuti dirinya. Didalam pesawat
raganya juga seperti mengalami
pertarungan luar biasa. Meregang tak biasa.
Hingga sampai ketika pesawat tiba di bandara Soekarno
Hata, seluruh badannya tidak dapat digerakkannya. Dia turun terpaksa harus
dipapah oleh anaknya. Keadaan itu berlangsung cukup lama, hingga
untuk proses keimingrasian terpaksa dia harus dibantu petugas. Syukurlah, dia sekarang
tidak apa-apa sedikit demi sediki dia mampu mengobati dirinya. Satu per satu
sepertinya makhluk-makhluk ghaib ke luar dari badannya. Hingga tubuhnyapun
mampu digerakkan seperti biasa. Sampai jemputannya datang.
Peristiwa yang sambung menyambung, sampai berhari-hari
kemudian, menyisakan tanda tanya luar biasa bagi kesadaran Mas Dikonthole.
Masih dengan keanehan yang sama, Pak Suryo hari minggunya kemudian mengalami
sakit demam luar biasa. Sakit yang belum pernah dialaminya sepanjang hidupnya.
Sore hari dia ijin dari kantornya karena mendadak dia demam. Sudah diupayakan
diobati dengan dikerok, dan meminum obat namun sampai keesokan harinya tak
kunjung turun panasnya. Maka dia kedokter. Anehnya suhu tubuhnya yang panas
luar biasa tidak terdeteksi oleh termometer. Angka di termometer tetap
menunjukan 37 derajat C. Mas Dikonthole
pun menjenguk, dan meraskan hawa panas yang luar biasa dibadannya. Saat itu
tidak terlintas apapun, sakit, panas hal biasa bagi manusia. Begitu
anggapannya.
Sampai dihari berikutnya, total 3 hari Pak Suryo menahan
demam yang luar biasa. Hingga ada bisikan yang memberitahu Mas Dikonthole bahwa
Pak Suryo tengah dalam proses penyatuan. Fase reinkarnasinya tidak sempurna,
sebab badan Pak Suryo kotor. Ya memang sebelum ikut Mas Dikonthole ber spiritual, Pak Suryo sudah belajar kesana
kemari, belajar ilmu kesaktian, ilmu karomah, tarekat. banyak tempat yang dia
datangi, kuburan, tempat angker, orang-orang sakti dan lain-lainnya.
Maka setelah pulang kerja Mas Dikonthole menyempatkan
datang ke rumah Pak Suryo untuk menyempurnakan prosesi reinkarnasinya.
Terungkap dialog dengan orang masa lalu bahwa dia tidak bisa menyatu kepada
raga Pak Suryo sebab ada benda-benda
ghaib yang berada ditubuhnya. Dia berterima kasih kepada Mas Dikonthole yang sudah membuang benda-benda ghaib (kodam)
tersebut. Benar saja setelah proses penyatuan selesai Pak Suryo seketika tidak
merasakan demam lagi, walau keadaan tubuhnya masih lemah. Namun rasa sumeng dan
panas, kadang menggigil hebat sudah hilang sama sekali, seperti ditelan bumi
saja.
Ada perbedaan pendapat antara Mas Dikonthole dan Minak
Jinggo dalam menyikapi sakitnya Pak
Suryo. Menurut Minak Jinggo karena disebabkan efek Daun Tapak Budha yang
baru saja diambli oleh Pak Suryo disuatu kuil di lereng pucak sana, satu hari
sebelumnya. Menurut keyakinan Minak
Jinggo, Daun Tapak Budha memiliki
energy yang akan mampu mengunci kodam, sehingga para kodam yang ada di tubuh manusia
akan merasakan panas luar biasa. Sang kodam mau tidak mau akan mencoba keluar
dari badan manusia.
Daun ini memang bukan daun sembarangan. Pohon Bodhi
merupakan pohon yang menjadi tempat Budha bertapa dan dimana disitu beliau mendapatkan pencerahan. Pohon ini hanya
ada 3 pohon di Indonesia yang asli. Jika begitu memang sangat logis, energy
yang dipancaran sang Budha mungkin saja masih tersimpan di pohon ini, sehingga
energy negatif lainnya yang dekat dengan daun tersebut akan terkunci atau tidak mampu keluar,
terdesak energy positif dari daun ini. “Hmm...masuk
akal juga..” Pikir Mas Dikonthole. Maka daun tersebut pun juga disingkirkan.
Apakah karena sebab daun disingkirkan maka panas Pak Suryo turun ataukah karena
prosesi reinkarnasi. Etahlah fakta manakah yang menjadi penyebabnya. Yang jelas
keadan Pak Suryo sudah normal kembali, itusaja. Sebab ;
Mas
Dikonthole tidak tahu mana yang
benar, yang jelas Daun Bodhi tersebut sekarang disimpan dirumah Mas Dikonthole,
Pak Suryo sendiri tidak berani untuk menyimpannya. Kisah mendapatkan daun ini, juga terhitung
serba kebetulan. Pak Suryo dimintakan bantuan oleh Minak Jinggo untuk mencari Daun Tapak Budha. Maka datanglah dia ke
rumah Mas Dikonthole. Mereka berdua
kemudian berdiskusi. Ada lintasan aneh yang Mas
Dikonthole rasakan, sepertinya kisah daun ini ada keterkaitan dengan realitas ‘satria’
(Siu Ban Ci) yang sekarang dalam
pengawasannya.
Berdasarkan informasi, diketemukanlah keberadaan salah
satu pohonnya. Katanya ada di salah satu vihara di puncak. Namun hanya sampai
disitu perbincangan, rencana untuk mengambilnya juga tidak ada. Sampai suatu
hari, Mas Dikonthole mendapat bisikan untuk mengajak Siu Ban Ci kesana, bersama orang tuanya sekeluarga. Awalnya Pak
Suryo ditawari tidak bisa ikut, namun entah mengapa pada hari itu, ada urusan
pekerjaan yang mengharuskan Pak Suryo
untuk datang ke kantor Mas Dikonthole.
Jadilah Pak Suryo ikut rombongan ke
puncak untuk menghantarkan keluarga Siu
Ban Ci sembahyang juga mengambil daun tersebut.
Seperti sebuah kebetulan yang menjadi kebetulan. Keikut
sertaan Pak Suryo seperti disengaja untuk membantu Mas Dikonthole. Memasuki wilayah puncak mendekati area vihara,
kemampuan mata batinnya seperti tertutup. Keadaan dirinya seperti manusia biasa
saja. Hanya ada sirr saja. Sungguh keadaan ini
menyulitkan sekali bagi Mas Dikonthole.
Padahal dirinya tahu, jika dia dan pasukannya sedang memasuki wilayah Prabu Siliwangi. Ternyata benar saja,
Pak Suryo didatangi oleh utusan Prabu Siliwangi yang menanyakan maksud
kedatangan mereka. Saat berhenti dirumah makan Rindu Alam mereka berdialog, dan
akhirnya diijinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Begitu juga sesampainya di vihara yang dituju. Kembali Pak Suryo yang menjadi mata bagi Mas Dikonthole. Disepanjang aliran
sungai kecil di lembah yang menuju
tempat vihara ada ular naga besar sekali yang sedang tertidur, menutupi aliran
anak sungai, warnanya keemas dengan tanduk dan siripnya yang kemerahan,
badannya mengarah ke vihara namun kepala-nya menghadap ke arah sebaliknya. Di
bukit lainnya diseputar tempat itu, nampak banyak sekali tempat pemujaan, dari aura
negatif yang ada, jelas dihuni hantu gentayangan. Benar-benar tempat yang sulit
diketemukan. Permata di tengah lumpur, itulah keadaan vihara tersebut dalam
pandangan batin Mas Dikonthole.
Mas Dikonthole
berhenti di anak tangga pertama, ada bisikan yang tidak memperbolehkan dirinya
ikut masuk, untuk ikut ke vihara, maka dia tidak jadi menuruni anak tangga yang
menuju lembah ke vihara. Jarak dari
tempat Mas Dikonthole ke vihara kurang lebih 150 meter. Maka bersama Pak Suryo, Mas Dikonthole hanya menghantarkan keluarga Siu Ban Ci dengan pandangan mata. Hingga mereka hilang dari
pandangan. Dengan harap cemas Mas
Dikonthole menanti apakah nanti yang akan terjadi. Benar saja dari arah
muka vihara, dari langit nun jauh, seperti meteor yang bergerak cepat sekali, Pak
Suryo melihat ada bola cahaya yang sangat menyilaukan mata, datang dengan
kecepatan tinggi masuk ke dalam vihara, hanya beberapa menit setelah Siu Ban Ci memasuki vihara. “Apakah itu wahyu..yang ditunggu ?.” Mas Dikonthole meregang, harap-harap cemas.
Jika memang benar maka sungguh terbuktilah pencariannya selama ini. Sungguh itu
akan melegakan sekali.
Sambil terus mencoba meluaskan mata batinnya Mas Dikonthole menunggu kembalinya
keluarga Siu Ban Ci dari
sembahyangan. Sayang sekali lagi, sepertinya mata batin nya tidak mampu
menembus lebih jauh. Selang 30 menit kemudian keluarga Siu Ban Ci datang. Maka
kali pertama yang ditanyakan adalah, apakah yang terjadi dan dialami disana.
Ayah Siu Ban Ci kemudian bercerita
saat ketika sedang mulai sembahyang, tiba-tiba ada hantaman cahaya ke badannya,
hingga terasa hangat sekali merasukan badan, rasanya seperti dialiri energi
yang belum pernah dialaminya sepanjang hidupnya. Dia sudah menjelajahi sampai
ke negri cina, sampai kemana saja vihara dia datangi namun baru kali ini dia
mengalami sensasi seperti ini. Maka Mas Dikonthole hanya bersyukur dan menghela
nafas lega. Bola cahaya itu seharusnya untuk Siu Ban Ci, namun sebab dia masih
berumur beberapa bulan, sementara jatuh ke badan ayahnya, nanati pada suatu
saat, jika sudah cukup umur baru akan pindah. Begitulah yang dipahami Mas
Dikonthole kemudian.
Itulah kisah lainnya, dibalik kejadian-kejadian yang dialami
orang-orang masa lalu diminggu-minggu ini. Apakah ada kaitannya. Sungguh sulit
mereka-reka dan menggabungkannya. Mas
Dikonthole hanya mampu mengamati semua kejadian yang berguliran, seperti
puzle yang berlainan namun mengapa seperti akhirnya mengkerucut menjadi sebuah
kisah. Semua menjadi jelas, ketika secara fisik mereka bertemu. Ketika Mas Dikonthole bersilaturahmi satu demi
satu, rangkaian kejadian seperti terbaca alurnya. Semua sekarang ini seperti
mengkerucut. Entah sebab apa, saat sekarang ini orang-orang masa lalu seperti
terpanggil semua, sekarang mereka sedang mempersiapkan dirinya untuk berangkat
ke Jakarta. Ada panggilan yang tidak mereka ketahui. Sungguh mereka semua bukan
orang-orang biasa dikehidupan terkininya, banyak dari mereka eselon 1 dan 2
dipemerintahan, atau selevel direktur di swasta. Atau minimal dari mereka adalah manager.
Pertemuan yang akan diselenggrakan satu hari sebelum haru
raya nyepi di tahun ini. Adalah
pertemuan luar biasa. Ki Ageng Tirtayasa
dari Australia, Penembahan Senopati dari Depok, Minak
Jinggo (Bhre Wirabumi) dari Dieng, Ratu
Kalinyamat dari Purwokerto, Ratu Boko dari Jepang (Sudah dikonfirmasi-akan
membantu dengan caranya), dan lain-lainnya. Semua berjumlah 7 orang yang sudah
mengkonfirmasikan kedatangannya, mereka akan bertemu, dan akan mengambil seting
di puncak. Apakah yang akan terjadi ?. Wolohualam. Mas Dikonthole hanya mampu
mengkisahkan apa adanya saja, sebagaimana pemahaman dan keyakinannya. Sungguh
alam semesta saat ini sedang menyusun dirinya. Ditandai dengan romantika per
politikan di Indonesia, di tandai dengan hujan badai dan banjir melanda, maka
siapakah yang tidak miris nantinya.
Jika para danyang telah menyusun dirinya, berlapis-lapis,
siap menggantikan mengisi raga-raga manusia. Bagaimana keadaannya. Mereka akan mengambil
jiwa-jiwa manusia. Hingga manusia hilang kemanusiaannya. Hingga manusia tidak
memiliki jiwa manusianya lagi. Hingga (mereka) manusia berjalan sebagaimana binatang ternak. Itulah juga
yang sudah dikhabarkan Al qur an, berulang kali, bagaimana peradaban manusia
nanti, pada suatu jaman, jika manusia sudah melupakan Tuhannya. Tunggulah
saatnya, itulah juga sumpah sang Sabdo Palon, Raja Para danyang Tanah Jawa. Tanah
Nusantara ini. Sungguh peristiwa yang akan menggiriskan hati. Lihatlah saja
nanti bagaimana di televisi, bagaimana realitas keadaan mereka semua. Para
petinggi dan pejabat negri. Ghaib yang kita saksikan adalah realitas diri
mereka. Adakah yang mampu ‘melihat’ nya ?. Maka dunia 'para kesatria' menjadi sibuk, maka sudah saatnya mereka (para kesatria) lahir kembali di bumi nusantara ini. Memerangi para begundal, para danyang, yang bersemayam didalam raga-raga manusia. agama Budhi bersenjatakan Trisula Wedha. Wolohualam bisawab.
Komentar
Posting Komentar