Kisah Spiritual, Bilakah 7 (Tujuh) Paku Bumi Telah Tercabut ? (1)


Sudah saatnya…”  Bisik Mas Dikonthole. Impuls itu begitu halus menggetarkan pendulum yang sekian lama dalam jeda. Daya yang memungkinkan dirinya untuk kembali mengkisahkan perjalanan spiritualnya sudah digerakkan lagi. Pendulum itu kini bergerak ke kanan dan ke kiri seperti tengah membaca sesuatu di masa lalu dan masa kini. Terus saja bergerak, sementara dirinya dalam diam mengamati.

Sejak hari pertama menjelang pertemuan para orang-orang masa lalu. Entah sebab apa ada hawa yang sangat halus menelinkung dirinya. Datang saat menjelang sholat subuh senin pagi kemarin itu. Begitu halus menyelusup namun dampaknya tak terkira. Hawa itu seperti lapisan kulit ari pada buah salak. Merasuki seluruh instrument ketubuhannya, sampai kepada jiwanya. Perlawanannya sia-sia, seluruh selnya seperti ber-ekskresi mengeluarkan zat yang membuatnya sakit, seperti dikuliti saja.   Saking tidak tahannya, terpaksa dia meminum 2 butir obat pereda rasa sakit. Dan tidurlah dirinya seharian. Padahal dia tahu pada hari itu pertemuan sudah dimulai. Biarlah saja, sungguh bukan kemauannya jika badannya begini.  Memang begitulah keadaanya, akan selalu dalam kesakitan yang satu kepada kesakitan yang lainnya lagi. Fase demi fase akan membekaskan sakit yang nyata. Jangan ditanyakan bagaimana rasanya.  Semuanya itu kini meski ditempuhinya.

Tidurnya terasa sangat lama, melintas seluruh alam, diantara takut dan kesakitan yang mencengkeram. Hanya diam pasrah dalam takdir, membiarkan guliran rahsa melintas dan meretas, membiarkan  rahsa itu semaunya datang dan pergi. Hingga kesudahannya badannya terasa ada yang membangunkan. Terjagalah dirinya  dengan rahsa yang tak menentu, lungkrah, seperti dilolosi sendi-sendinya. Segera diambil air wudhu sholat dhuhurnya nyaris memasuki waktu ashar. Maka sholatlah dia  dilanjutkan dan dengan ashar. Dalam sholat yang lama, hingga sedikit demi sedikit energynya mulai terbangun, ada rasa yang menguat di badan. Rasanya cukuplah untuk tenaga menghadiri pertemuan. Selesai sholat dikeluarkanlah motornya menuju tempat pertemuan yang dimaksudkan.

“Subhanalloh…!” Dia terpekik saat melihat langit dengan gumpalan awan yang bertindih-tindih. Gelap keadaannya, mendung seperti ada payung raksasa, sepertinya keadaan alam memberikan tanda pada dirinya, mengajaknya berkomunikasi, perihal pertemuan itu. Sepanjang matanya memandang hanya gunpalan awan yang menaungi, anehnya lagi seperti membentuk lorong raksasa,  dimana ujung keluarnya, pada arah tempat Mas Dikonthole menuju. Dujung terowongan sana, sinar matahari sangat cerah. Kembali dirinya hanya mampu bertasbih dan bertakbir. Alam selalu memberikan tanda-tandanya. Benar saja saat memasuki kompleks rumah tempat pertemuan, hujan langsung turun sebagai pertanda bahwa pertemuan direstui sang alam. Setelahnya juga dia dengar khabar pegunungan Dieng juga memberikan pertanda alam. Gempa dan meletusnya kawah Si Timbang, adalah pertanda. “Akan ada apakah nanti..ugh !.” Keluhnya meraba dada.

Disana ditempat pertemuan sudah berdatangan orang-orang masa lalu yang sedang asik berdikusi, menjadi beberapa kelompok. Semua asik dengan kisah-kisahnya sendiri-sendiri. Jangan berprasangka bahwa cerita meraka adalah tentang kisah masa lalu mereka. Tidak. Mereka asik dnegan kisah masa kininya. Sebab sebagian dari mereka sendiri belumlah banyak mengetahui siapa jatidiri mereka sesungguhnya. Jadi mereka hanay terbawa daya dorong saja untuk mengikuti pertemuan.  Hanay mereka merasa aneh saja, untuk mengikuti pertemuan ada saja hambatannya. Ada yang perutnya membesar tiba-tiba, sehingga nyaris akan membatalkan keberangkatannya. Semua hampir senada, termasuk juga Mas Dikonthole yang diliputi hawa yang mungkin saja sama. Mereka dalam kehidupan terkini adalah manusia biasa, ada Kepala Sekolah, ada Camat, ada Direktur, ada pegawai negri, ada kontraktor, dan lain-lainnya.

Sungguh pertemuan biasa sebagaimana layaknnya silaturahmi saja. Namun jangan dikira bagaimana di alam ghaib sana. Begitu raga-raga mereka sudah hadir maka mereka yang di alam ghaib sangat sibuk keadaannya. Begitu banyak makhluk-makhluk yang hadir disana. Bagi yang memeiliki kemampuan spiritual tentu akan mampu melihat ada sesuatu yang aneh dirumah tersebut. Terbukti keesokan harinya salah satu rekan yang memeiliki kemampun, mengkhabarkan saat sholat tahajud, dia melihat rumah tersebut memancarkan cahaya merah keangkasa seperti dinyalakan dengan api. Api yang terus membumbung ke angkasa sangat tinggi.

Yah, realitas dan gahib menghablur jadi satu. Mana yang ghaib dan mana yang realitas sedang bertabrakan di rumah ini. Berada dimensi amnakah kini. Kadang itu yang menjadi tanda  Mas Dikonthole.  Mungkin karena sebab inilah, maka keadaan dirinya seperti tidak ada kemampuan mendeteksi. Dirinya harus membiarkan semau itu terjadi. Membiarkan mereka-mereka menyaksikan sendiri kebenaran tentang khabar ghaib. Kebenaran tentang adanya dimensi ghaib yang paralel dengan diri kita. Kebenaran bahwa hakekat diri kita semua berpasangan dengan saudara kita. Saudara kita yang memiliki dimensinya sendiri.

Tengah malam tepat jam dua belas malam, Mas Dikonthoe seperti ada yang membisiki untuk menjauh dari ruang diskusi, agar pindah ke ruang sebelahnya. Membiarkan Bhre Wirabumi sendiri yang berdiskusi dengan Ki Ageng Tirtayasa. Memang sudah agak lama mereka berdiskusi perihal kebenaran yang diyakini. Perihal mengapa manusia bergolong-golongan. Jika Islam menjadi 73 golongan, maka golongan manakah yang benar ?. Diskusi yang sepertinya membosankan, sebab hanya satu arah, terlihat hanya Ki Ageng Tirtayasa saja yang terus bicara. Dan ini yang membosankan Mas Dikonthole dan lainnya, sehingga mereka meninggalkan ruangan diskusi.

Ki Ageng Tirtayasa dalam sejarahnya masih ada hubungan dekat dengan Sunan Gunung Jati, maka menjadi wajar saja bilamana kemampuan pemahaman agama Islamnya paling menonjol diantara lainnya. Dia mampu menjelaskan dengan sangat detail dan lugas. Dia mampu mematahkan argumentasi apapun.  Maka kalimat demi kalimat meluncur dengan lugasnya dari bibirnya. Seakan tidak ada lelahnya dia bicara. Tatapannya hanya ditujukan kepada Bhre Wirabumi (Minak JInggo). Dan Bhre Wirabumi yang biasanya paling ngotot seperti tersihir, dia begitu khidmad memperhatikan pembicaraan lawannya. Seakan dia sadar bahwa perkataan itu memang ditujukan kepada dirinya sebagai orang masa kini. Maka dia khidmad mendengarkan.

Sampai suatu saat , dia terhenyak, dibenarkannya duduknya, dikejapkannya matanya, disorongkan kepalanya. Dia takjub luar biasa. Orang masa kini yang diajaknya bicara tiba-tiba berubah. Didepannya Nampak seseorang keturunan arab dengan penampilan yang sangat santun sekali. Seorang syekh yang masih tergolong muda yang menggantikannya. Jika orang sebelumnya orang yang diajak bicara adalah berkacamata dengan wajah oval, maka sekarang yang dihadapannya benar-benar orang arab tanpa kacamata. Tentu saja dia blingsatan, apakah dimensi yang berubah, atau orangnya yang berubah. Berulang kali diyakinkann dirinya. Namun dia sangat yakin sekali dengan pandangannya. Dia tahu persis mana jin, mana hantu gentayangan, sebab dia sering berhadapan dengan itu semua. Namun sekarang dia berhadapan dengan wujud sebenarnya. Wujud yang tidak hilang ketika dia mengkejapkan matanya. Dari bibir sang syekh mengalir pesan-pesan yang menghujam dalam sanubari Bhre Wirabumi, seperti membongkar kejumudan pemahaman yang selama ini menggayutinya. Dia dalam keyakinannya kini. Tentang Islam, tentang dualitas, surga-neraka, realitas dan ghaib. Sungguh hidayah yang sangat luar biasa.

Saking takjubnya selang 10 menit, dia tidak tahan berteriakan memanggil Mas Dikonthole dari ruang sebelah. Menceritakan apa yang dilihatnya. Namun ketika Mas Dikonthole datang perwujudan sykeh tersebut sudah berganti menjadi manusia masa kini lagi. Mas Dikonthole hanya tersenyum, melihat keheranan Bhre Wirabumi, yang tergopoh-gopoh menceritakan itu. Katanya, selama hidupnya yang berkecimpung dalam dunia ghaib, baru sekarang ini dia mengalami peristiwa yang seperti ini. Syehk itu nyata sekali, bukan orang ghaib. Syekh tersebut manusia seperti kita. JIka jin dia pasti kenali. Dia paham sekali. Dan dia yakin dengan penglihatannya sendiri. Mas Dikonthole hanya membatin, “Ya, dialah Ki Ageng Tirtayasa sendiri..Maha Besar Allah yang memperlihatkan kekuasaan-Nya.”

Mas Dikonthole kemudian meninggalkan Bhre Wirabumi yang masih keheranan, memebiarkan dirinya mengolah dan mencerna apa-apa yang dilihatnya. Tak ada yang bias dilakukan Mas Dikonthole, perannya kali ini hanyalah sebagai pengamat saja. Dia benar-benar tidak ada niatan untuk berbuat atau mencampuri hal-0hal ghaib. Dia datang dengan raga masa kininya. Daya yang dimilikinya seperti dikunci. Begitu juga Ki Ageng Tirtayasa setelah selesai dengan Bhre Wirabumi, pindah ke ruang sebelahnya. Sementara Mas Dikonthole mencari tempat untuk istirahat. Dalam pikirannya tidak ada yang dilakukannya lagi. Namun belum lama dia rebahan, ada suara yang memanggilnya.

Entah sebab apa, Ki Ageng Tirtayasa seperti kerasukan. Berbicara panjang lebar seperti dalam keadaan marah. Beda sekali penampilannya dengan ketika dia berhadapan dengan Bhre Wirabumi. Dihadapannya adalah saudara Mas Dikonthole yang sedang menerima musibah. (Baca kisah sebelumnya). Banyak sekali yang berdatangan, melalui raga Ki Ageng Tirtayasa berbicara kepada saudara Mas Dikontholoe yang kemarin memang salah. Sudah memanfaatkan ilmunya ke jalan yang tidak diridhoi-Nya, maka sekarang ini dirinya sedang menerima akibat perbuatannya itu. Mulai dari leluhur, kemudian Pangeran Samber Nyawa, satu persatu seperti mengadili saudara Mas DFikonthole yang hanya mampu mengiyakan dan terdiam dalam kekalutan jiwanya. Sungguh kasihan Mas Dikonthole melihatnya.

Belum juga jeda Ki Ageng kerasukan, teman Mas Dikonthole (Bp. Aryo) tiba-tiba bergerak tak biasa. Gerakan yang ingin menunjukan siapa jatidirinya. Dalam penglihatan yang lamat-lamat Mas Dikonthole paham jika yang datang adalah wakil dari Ratu Boko. Hanya uluk salam saja kemudian Mas Dikonthole diam, kediaman yang tidak dimengertinya. Ada rasa enggan bersapa. Entah mengapa tidak ada niatannya untuk menanyakan siapa jatidiri yang datang. Kesadarannya seperti memahami , saatnya bukan sekarang, untuk menanyakan itu. Ada sesuatu yang harus diungkap terlebih dahulu. Ada rencana lainnya yang telah disiapkan alam untuk tugas baru Mas Dikonthole.

Dan benar saja keadaannya, ketika kemudian informasi membombardir kesadaran Mas Dikonthole hari-hari berikutnya.. blam..blam..Mas Dikonthole harus melanjutkan perjalanan spiritualnya. Sesuatu akan terjadi dialam ini. Sesuatu yang sangat besar. Maka tugas Mas Dikonthole harus menyusuri simpul-simpulnya. Dia harus mendatangi seseorang di Indramayu, kemudian akan dilanjutkan ke Dieng, kemudian..bla..bla…He..eh. “Entah harus kemana lagi nanti.” Dia hanya menghela nafas.  Di dengar khabar 7 Paku Bumi telah dicabut dari tempatnya. Blegh…!. “Apakah sudah saatnya..?” Dia hanya bergumam dalam ketidak mengertian.

Sekarang ini dirinya tengah menyiapkan raganya. Untuk menyusuri kejadiannya. Dia tengah menunggu khabar alam yang akan mempersiapkan sarana dan prasarana untuk perjalanannya. Dia harus berjalan sebagai manusia biasa. Maka tentu saja tidak sedikit dana yang diperlukannya. Maka dia hanya diam menunggu. Bersama alam yang menunggu.  Menuggu waktu dan saatnya.

Wolohualam 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali