Langsung ke konten utama

Konspirasi Cinta Sang Hafizs, Yang Terhijab


Daun jambu terakhir jatuh. Tersaput angin yang berputar. Melayang, jatuh tertengadah di pangkuan sang Hafizs. Batang dan rantingnya telah mengering termakan alibi. Darahnya habis, terhisapi gundahnya sendiri. Terkaparlah dia meranggas di senin pagi.  Tangan halus terberkati mengambilnya, dicium perlahan. Ruang dalam hampanya. Ketika sang Hafizs tengah memohon ampun bagi makhluk-Nya.
Tak di barat dan tidak juga di timur.
Tuan berselimut mendung yang mendebarkan.
Penantian tak berarti apa-apa, hanya ketakmengertian
Dengan lusuh, tuan melangut berkata tak biasa,
“Kenapa susah rasanya  ?.“


“Jangan menangis, Kekasihku. Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.”
Tahukah Tuan kalau dialah  sang Kahlil Gibran, yang berkata begitu ?.
Sang maestro cinta, berkata bijak, terus mengelusi.
Duhai Tuanku, kekasih yang mendua hati, temuilah sang Hafizs,
Dia yang sakit sebab perkataanmu. Pada kelokan jalan di sebelah sudut kampoeng tua. Dia tengah menghardik sebatang ranting yang telah kering. Di sekelilingnya anak-anak bersorak sorai (seperti) lucu melihat tontonan.
“Mengapakah engkau meminta aku menari  di hadapanmu ?. Wahai ranting kering, apakah kemuliaanmu sehingga engkau mendatangkan aku”
“Kaummu maunya sepertiku?.  Lihatlah , aku kering meranggas tak dikenali.
 Mereka memujaku, sehingga aku suka keadaanku ini. Terangkanlah padaku?.
Duhai Hafizs, semoga Tuhanmu merahmatimu.
Mengapa manusia suka  keadaanku ini ?. Dihabiskannya cinta dalam setenggak.
Dibakarnya hati dengan api iba diri, di bekapnya nurani dengan hujatan illahi.
Jaring  hijab dipasangkannya sendiri.
Akarnya enggan menghisap susu sari tanah, sang  ibunya
Kejadiannya menyengaja  seperti aku ?.” 
Aku kering meranggas menyendiri, menjadi saksi di alam ini, ketika manusia maunya mati.
Kesedihannya telah meruap. Tiada suplai kebahagiaan lagi dari akarnya. Panas membakar. Daun-daun cinta telah berguguran satu-satu.
Harum aroma buah syukur rontok sebelum berbulir. Sebab bunga tak mampu berputik.  Akarnya telah terinfeksi benalu kemalasan, tak menopangnya lagi.
 Kelopak mayang berwarna jingga kehilangan selera. Kering dan tiada mampu merahsa.  Saripatinya terserak di sapu angin.
Katakan padaku, “Mesti ku sembut apa dia  ?”
Sebab keadaannya hanyalah bahan sisa yang menggumpal.
“Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan penderitaan dan kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak kalah menakjubkan daripada kesenangan.”
Sang Maestro (Kahlil Gibran)  mengatakan itu padaku dari sisi kanan.  
Akan kuteriakan padamu !.
Sang Hafizs terus mengitari, nafasnya kian naik satu-satu. Entah serapah atau doa suci. Anak-anak semakin menyemangati. Bagai aduan yang sednag berlaga.
“Air suci terpancar, serangkaian penyerta keindahan, kelahiran Tuan diberkati-Nya. Mungil, suci, menggirangkan sekali.
Lihatlah sekali lagi dari apakah Tuan diciptakan ?. Dari air suci yang hina dari tulang sulbi lelaki.
Penobatan dalam prosesi Tuan, terangkai dalam perseteruan, sperma ber milyard jumlahnya, selebihnya mati mengorbankan diri. Tidak ada  penguburan, tidak ada serangkai bunga kenangan. Adakah itu kesia-sian ?.
Betapa sangat mahalnya pengorbanan dalam menghantarkan Tuan ke dunia ?.
Kesempurnaan Tuan, dalam kemuliaan tubuh manusia,
Maka apakah tidak melihat, Tuan diperlakukan bagai Raja di hantarkan untuk menduduki singgasana kemuliaan atas makhluk lainnya.
Pantaskah Tuan menyesali diri telah di lahirkan ?.
(Duhai Ibu,  menangislah untuk anakmu..!)

"Benarkah manusia maunya seperti itu ?"

Ranting kering bertanya  tak mengerti, kepada angin yang senantiasa mendatangi, mengusapinya, jika panas terlampau menyengat. Terus keadaanya begitu,  menghabiskan waktu hingga jaman tak bermasa.

Tak peduli meski sang Hafizs memohon untuk menyudahi. Meski batang dan rantingnya telah mengering termakan alibi. Darahnya habis, terhisapi gundahnya sendiri. Dan terkaparlah dia meranggas di senin pagi !.  

Tangan halus terberkati mengambilnya, dicium perlahan. Ruang dalam hampanya. Ketika sang Hafizs tengah memohon ampun bagi makhluk-Nya. Lirih dirinya berucap “Astagfirulloh hal ‘adziem…!”


 salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali