Kisah Spiritual, Bencana Mulai Dari Sebelah Utara
Entah sampai kapan, tidak ada
yang mampu menghitung. Meskipun dia lapar, meskipun dia sakit, meskipun dia
hina. Dia berjalan melintasi nusantara.. Meskipun dia merasa nista, meskipun
dia merasa papa. Dia berjalan lebih jauh dari siapapun. Gunung-gunung seperti bertasbih
bersamanya, angin dan burung seperti mengiringi. Para bidadari seperti menyapa,
karena dia tampan, meskipun tubuhnya penuh luka. Dia lelaki yang selalu berkata, “Bahwa kita adalah makhuk dimensi akherat
dan akan kembali kesana”. Dalam
keyakinannya, dia menjadi aneh saja. Tidak ada yang dapat membantu, tidak ada
yang menolongnya. Dia yang selalu berdoa,
agar seluruh makhluk yang melata, dimuka bumi, yang terbang di angkasa, yang
kasat mata ataupun yang tak nampak dimata, untuk menyegerakan diri bertasbih
kepada-Nya, mumpung kita masih diberi waktu. Entah sampai kapan dia dalam
keadaan begitu, tidak ada yang mampu menghitung. Mungkin saja sudah beraabad-abad
lamanya, hingga sekarang dia menempati raga terbarunya ini.
Perjalanan yang terasa menyedihkan
dan melelahkan. Tak ada yang duduk disampingnya, sesungguhnya banyak kisah yang
ingin disampaikannya. Cobalah dengar desiran angin, cobalah dengar kicauan
burung, cobalah dengar gumam pepohonan, semua mengkhabarkan keagungan-Nya.
Mengapa semua diam, mengapa semua bisu. Tidak ada yang menjawab. Hati mereka
telah lama mati, ditelan hiruk pikuknya kota. Tinggal Mas Thole sendiri menatap
dalam kesadarannya, dengan nelangsa. Mencoba mengerti dan memahami, betapa perihnya kesatria itu, yang tengah
duduk didepannya. Selalu dia bertanya, mengapa ditanah kelahirannya nusantaraa
ini akan banyak bencana. Apakah alam mulai enggan, apakah Tuhan mulai bosan ?.
Sehingga azab akan segera diturunkan. Ugh !.
Semakin jauh kedalam memasuki
kesadaran, Mas Thole langut dikedalamannya. Mencoba merasakan gundahnya seorang
kesatria yang duduk di depannya lagi dan sekali lagi, dan sambil dalam hatinya bertanya tak mengerti. Dia masih saudara muda Banyak Wide. Mas Thole memasuki dimnsinya bersapa, mengalun bagai angin, mengikuti irama
kesadaran. Kadang kepala Mas Thole meski dimiringkan kekanan dan kemudian juga diganti kekiri, seperti memasang telinga saja. Mencari
pijakan agar tidak salah dalam memahami. bahasa energi, bahasa rahsa,
banyak referensi yang tidak dipunya, takut jika terjadi kesalahan makna saja.
Semakin dalam, kesadarannya sudah hampir seluruhnya dikuasai Banyak Wide. Namun
secara lamat-lamat Mas Thole mencoba mengerti,
mencoba merasakan apa yang menjadi beban pikiran saudara ghaibnya ini. Gundahnya
tak terperi, menyoal ulah manusia sekarang ini, yang banyak diantara mereka
adalah saudara-saaudaranya juga.
Mas Thole sempat terlintas ada apakah ini,
mengapakah (?), sehingga saudaranya yang tidak biasa ingin bertemu. Kemarin (29/9) sepertinya
sangat memaksa sekali untuk berkomunkasi. Bukan apa-apa, sudah lama Mas Thole
tidak mengijinkan Banyak Wide untuk tampil dalam dunia realitas, biarlah Mas
Thole yang menjadi imam, sebab dunia ini adalah dunia raga terkini. Banyak Wide
sudah sepakat akan hal ini. Sebab jaman sudah berbeda, peradaban sudah berubah,
lingkungan juga sudah tak sama. Mas Thole khawatir akan terjadi benturan disana
jika didalam raga banyak yang ingin jadi nahkoda. Maka ketika raga terkini
saudaranya datang, mengajak bertemu muka Mas Thole tidak terlalu menanggapi. Hingga samapai 3 kali berturut-turut dia datang. Banyak
Wide sepertinya juga menghargai apa yang sudah diputuskan Mas Thole. Saling
menghargai memang akan membuat keadaan raga menjadi lebih nyaman. Namun tidak
hari kemarin ini, nampaknya ada sesuatu yang mendesak yang ingin disampaikannya.
Apa boleh buat, jika keadaan memang memaksa. Maka setelah melaksanakan sholat
dhuhur memohon petunjuk kepada-Nya, apakah memang hal itu mesti dilakukan. Setelah cukup mendapat petunjuk, Mas Thole bersedia menerima
kedatangan saudaranya ini.
Begitulah kejadiannya. Mas Thole
terus masih bersama saudaranya, duduk berhadapan, berbincang-bincang dalam
dimensi mereka sendiri. Berkali-kalai kesatria ini memohon maaf atas kelancangannya,
sebab memang begitulah tabiatnya. Dia seorang Panglima perang, sudah terbiasa
dengan karakter itu. Wataknya selalu terbuka, bicara dengan apa adanya, tidak
ada yang disembunyikan. Dengan tegas saudaranya ini menegur Banyak Wide, yang
sepertinya bergerak lambat sekali. Padahal alam semesta ini sudah sedemikian
murkanya. Mengapakah Bayak Wide disibukkan dengan kehidupan yang hanya ilusi.
Mengapakah kemampuannya tidak digunakan untuk terus mengamati suasana alam, sehingga
sampai kecolongan tidak ‘ngeh’ akan adanya bencana besar yang sebentar lagi
akan melanda daerah utara. Dari utara akan menuju ke selatan. Sungguh
itu bencana yang sangat besar. Bukan bencana sebagaimana yang dibayangkan,
inilah ‘panggebluk’, inilah wabah yang tidak bisa ditahan. Sebab memang
kehendak alam itu sendiri.
Mendengar teguran sosok tersebut
kepada Banyak wide, Mas Thole merasa agak kurang nyaman. Sesungguhnya diapun
sudah tertatih-tatih mengikuti sepak terjang Banyak Wide, dia lelah menjalani semua ini. “Adakah
yang kurang, adakah yang salah ?“. Batin Mas Thole bertanya. Namun nyatanya pertanyaan itu hanya kilasan Mas
Thole saja, sebab dimuka Banyak Wide malah mengakui kebenaran yang dikatakan saudaranya
itu. Ugh..!. Adapakah ini. Mengapa ada dua lintasan yang begini. Agak getun juga
Mas Thole. Sebab didalam kesadarannya apa-apa yang dillakukannya sudah menguras
kemampuannya. Semua kemampuan yang dimiliki sudah dikerahkannya, dalam perasaannya dia sudah melakukan semua. Secara samar Banyak Wide memberikan pemahaman kepada Mas Thole, katanya saat sekarang ini
Mas Thole masih dalam anggapan saja, belum sampai kepada hakekat gerak itu
sendiri. Belum sampai kepada hakekat dalam memaknai gerak raga, memaknai gerak jiwa, memasuki keadaan gerak itu
sendiri. Mas Thole setelah mendapat penjelasan ini akhirnya mengerti. Dan kemudian dia diam, menyaksikan dialog
antara dua saudara tersebut. Secara samar didengarnya ketika saudara muda Banyak Wide menambahi, dia memberikan gambaran pemuda tetangga sebelah yang hilang kesadaran adalah buktinya betapa kurang bersungguh-sungguh Mas Thole dalam mengobati. Hati yang setengah-setengah, tidak totalitas, tidak kafaf dalam segala hal. Menjadi penyebab Mas Thole tidak sanggup mengobatinya. Itulah penyakit manusia. Lakukanlah sesuatu dengan hati, dengan keyakinan utuh, itulah makna jihad sesungguhnya di keseharian manusia, yang banyak sudah dilupa.
Kesatria yang duduk bersila di
depan Mas Thole berulang kali menghela nafas. Sepertinya dia sedang mengalami
beban yang sangat berat sekali, dia tengah menyaksikan dengan mata kepalaanya
sendiri apa-apa yang bakalan terjadi. Ya, dia sudah menyaksikan di dimensi ke
empat adanya sinyal-sinyal bencana itu. Sinyal yang sedang merambat ke alam nyata ini. Semua
menunggu, semua berharap-harap cemas. Maka karena itulah dia sengaja memaksakan
diri datang kepada Banyak Wide agar Mas Thole mau mengkhabarkan keadaan ini
kepada manusia lainnya. Hiks..!. “Mengapa
harus saya “. Sergah Mas Thole saat kemarin itu. Rasanya
Mas Thole sudah enggan mengkhabarkan berita-berita negatif begini ini. Biarlah yang
terjadi biarkan terjadi. "Apa yang bisa dilakukannya". Batin Mas Thole apatis saja. Namun nyatanya Banyak Wide sudah terlanjur berjanji
akan mengkhabarkan berita yang dibawa saudaranya ini. Ugh..!. Maka sudah
seharian dari kemarin terjadi tarik menarik antara Banyak Wide dan Mas Thole
menyoal ini.
“Sudah banyak peringatan dan khabar model begini, sejak jaman dahulu, jaman para nabi hingga
sekarang ini. Sudah banyak sekali bencana, sudah banyak mereka melihat dengan
mata kepala sendiri. Toh, mereka juga sama saja, tidak merubah apa-apa. Mereka
tetap saja tidak beriman. Apa gunanya
jika khabar ini dituliskan lagi ?”. Heh..!. Mas Thole terus berusaha mendebat Banyak Wide.
Jika bukan karena Banyak Wide sudah berjanji untuk mengkhabarkan itu, enggan
rahsanya Mas Thole mengkisahkan bagian ini. Lihatlah bahkan Al qur an juga sudah berkata. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
akan beriman. Allah telah mengunci-mati
hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka
siksa yang amat berat.” (QS. 2 , 6-7).
Bukan apa-apa, seluruh kajian dan
berita spiritual yang disampaikan Mas Thole semua perihal ini. Bkan suatu yang meng ada-ada. Peringatan
kepada manusia, bahwa sebentar lagi alam akan murka, dan akan melibas orang-orang
diatasnya. Bukankah begitu berita dari KAMI ?. Lolong burung malam dirimba,
melengking, menyayat jiwa. Namun mereka tetap tak mau mendengar. Bagaimana
tangis KAMI tidak pecah di batu ?. "Lantas, bagaimana Mas Thole akan membawakan
kisah-kisah model seperti ini lagi ?". Banyak Wide dengan lembut kemudian
berkata kepada Mas Thole, "Sampaikanlah berita KAMI kepada saudara-saudara kita
diluar sana, berita itu". Yaitu pertanyaan KAMI, “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal
kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan
dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 2, 28-29).
"Kembalinya, teserah kepada mereka semua memaknai berita ini,
kebalikan urusan kepada Allah, entah mereka mau memahami atau tidak, entah mereka
mengerti atau tidak. Tugas kita hanya menyampaikan khabar ini". Kata Banyak Wide
bijak. Maka karena sebab itulah, Mas
Thole mengkisahkan ini lagi. Masih terasa dalam ingatannya pesan para leluhur-leluhur yang turut
hadir dalam pertemuan tersebut. Pesan mereka para pinisepuh Jawa. Kepada kesadaran Banyak
Wide dititipkan pesan-pesan mereka. Bahwa sesungguhnya mereka paham serta
mengerti sekali, atas kesulitan anak keturunan mereka, dan karena itu mereka pahami keengganan Mas Thole. Memang melakukan kebaikan adalah sesuatu yang berat, semisal memberi khabar saja, itu bukan suatu yang gampang. Banyak sekali kegamangan disana. Maka karena itulah KAMI berpesan. “Dan
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. 2, 46-47). Begitulah
keadaannya, agar Mas Thole tetap dalam keyakinan, tetap pada satu jalan, sedang
berjalan di jalan-Nya. KAMI mengerti itu, bagaimana sulitnya manusia dalam
himpitan dualitas. Karenanya KAMI akan selalu menemani manusia-manusia yang
bersedia membuka hatinya untuk kehadiran KAMI. Bersabarlah bersama KAMI, sebab
mereka juga sedang sama-sama menunggu, kebenaran berita ini.
Engkau telah
mengerti hitam dan juga merah
Keriput telah
memberikan gambaran kehidupan
Langkahkan
kaki, meski kadang gemetar
Tetaplah di jalan,
bergerak maju ke depan
Tuhanmu
tidaklah meninggalkanmu
Entah sampai kapan, tidak ada yang mampu menghitung.
Meskipun dia lapar, meskipun dia sakit, meskipun dia hina. Dia berjalan
melintasi nusantara. Meskipun dia merasa nista, meskipun dia merasa papa. Dia
berjalan lebih jauh dari siapapun. Gunung-gunung
seperti seperti bertasbih bersamanya, angin dan burung seperti mengiringi. Para
bidadari seperti menyapa, karena dia tampan, meskipun tubuhnya penuh luka. Dia
lelaki yang selalu berkata, “Bahwa kita
adalah makhuk dimensi akherat (surga) dan akan kembali kesana”. Mas Thole menutup kisahnya ini dengan berurai
air mata membasahi sanubarinya, mengingat saudara-saudaranya yang diluar sana,
yang mungkin saja tidak mendengar berita ini. “Langit-langit kamar, tergambar wajah MU, kapankah lagi nanti kita kan bertemu.”
Senyum tipis Mas Thole tersungging
dari bibirnya. Membayangkan saat pertemuan dengan kekasih hatinya nanti.
wolohualam
saudaraku semua ...
BalasHapusMatahari bersinar lembut, hangatnya mengelus kulit,
nyaman terasa di hati
angin berhembus, tak terlalu kencang, sepoi-sepoi saja
menggeraikan rambut yang bermain-main di kening,
terasa nakal menggelitik
terasa kenyamanan menyebar, mengisi rongga dada,
menyisir menyelusuri setiap inchi tubuh
memulai dari sebuah hal yang lama
{ ......
Akhirnya satu tahapan telah berhasil dilalui. sebuah perjalanan panjang
Menapak jalan onak berduri, telah dilampaui.
Sebuah pilihan telah ditetapkan. tidak ada jalan untuk kembali.
Ibarat sebuah sampan telah berlayar, maka daratan di belakang,
telah terbakar menjadi puing-puing abu.
Hanya ada lautan luas, sang penumpang beserta awak kapal
dengan lautan yang maha luas dan menakutkan.
Tidak ada jalan untuk kembali.
Itulah kehidupan yang harus kita lalui.
Apakah layak seseorang dekat dengan Sang Pencipta,
apabila dia mengasingkan diri dalam menara-menara doa
yang jauh dari realitas kehidupan.
Apakah layak menjadi kekasih Tuhan,
apabila menghindari dengan sengaja cobaan Tuhan.
Apakah kita telah parnipurna pada saat bersembunyi di menara-menara doa,
hanya bertasbih pada Tuhan, tanpa melihat dan berusaha mengubah realitas kehidupan?
Manusia akan mencapai derajat tertinggi pada saat dia mampu menghadapi semua cobaan yang diberikan Tuhan,
pada saat manusia mampu mengarungi bahtera lautan luas dan menemukan kembali dataran luas,
sebagai awal kehidupan baru.
Dia harus mendapat banyak tantangan dan hambatan, baru layak mendapatkan Kasih Tuhan.
Seorang yang tamak harta, akan dicoba dengan jutaan kesempatan untuk melakukan korupsi.
....... Mampukah dia menghadapi?
Seorang yang takut kehilangan harta, akan dicoba dengan jutaan kemungkinan untuk kehilangan harta.
....... Mampukan dia menghadapi?
Seorang yang terlalu cinta dunia, akan dicoba dengan jutaan cobaan, yang membuatnya makin menikmati dunia, hingga lupa Sang illahi.
....... Mampukah dia menghadapi?
Seorang yang terlampau mengikuti nafsu seksual, akan dicoba dengan wanita demi wanita yang rela berhubungan dengannya.
Mampukah dia menolaknya?
Seorang yang haus akan kekuasan, akan dicoba dengan jutaan impian tentang nikmatnya menjadi penguasa.
Mampukah dia menetapi takdirnya
....... dan jutaan kemungkinan hidup lainnya.
Inilah kehidupan, inilah spiritual sejati. Inilah hakekat tertinggi dari makrifat.
Hidup di dunia menjalani sebaik-baiknya, dengan tetap berlandaskan keimanan dan keyakinan kepada cinta kasih Ilahi.
Tuhan mencintai mahluknya, bukan karena dia sempurna, melainkan karena dia begitu rapuh dan lemahnya, tak berdaya, selalu berbuat salah dan khilaf.
Namun, manusia mempunyai kemampuan untuk memperbaikinya menjadi sesuatu yang lebih baik, meningkat kedekatannya dengan Sangi Ilahi.
Inilah realitas, inilah spiritual.
Satu sisi, hanya satu sisi namun bermakna milyaran kemungkinan.
Setiap pilihan membawa kita kepada pilihan lain.
Saat ini kita telah memilih, untuk menjadi hambaNya
yang mengakui dan menjadi Saksi KekuasaanNya.
Mampukah kita bertahan ditengah gempuran realitas.
}
Melesat, mengapung, menerjang, menempuh jalan realitas dengan menggunakan kekuatan dua sayap spiritual, sayap iman dan sayap takwa.
BalasHapusMenjadi manusia normal, manusia biasa, manusia yang sangat biasa dan melakukan kegiatan biasa yang tidak ada bedanya lagi.
Kembali sebuah cuplikan dari tulisan seseorang terdekatku untuk mengingatkanku
{........
Kemudian manusia saling berlomba..
memaknai setiap rahsa dalam angannya..
maka ketika itu...
............
Manusia akan sedih kehilangan senang..
atau manusia senang kehilangan sedih..
senang dan sedih menempati persepsinya dalam jiwa..
sedih menghampiri maka senang dilupa..
senang menghampiri sedih menjadi tak ada..
wajah sedih..
wajah senang..
tidak pernah dalam satu tampilan..
........
untuk itukah manusia tahu jati diri..?
senang tak bisa dimaknai ketika sedih tak ada..
sedih tak mampu diresapinya sebagai kesedihan
ketika tidak pernah merasakan adanya senang..
.......................
Manusia mampu memaknai semua itu..
ketika manusia pernah merasakan kedua rasa itu
sedih dan senang..
hanyalah kata pengungkap rahsa..
namun hakekatnya apa..?.
...................
Arus listrik mampu menyalakan water heater
hingga mendidihkan maka air menjadi panas sekali
Arus listrik juga mampu menggetarkan freon
hingga membekukan maka air menjadi dingin sekali..
apakah listrik kepanasan
ataukah listrik menjadi kedinginan..?
siapakah yang kepanasan
siapakah yang kedinginan
...........
panas dan dingin juga hanyalah kata
pengungkap rahsa
namun hakekatnya apa..?
.................
ketika manusia mengambil range
sebuah interval sebuah nilai pada persepsinya
bagaimana dia mempersepsikan sedihnya
juga bagaimana dia mempersespsikan senangnya..
dan jika nilai itu berjarak terlalu jauh..
sebetulnya itulah yang menyiksanya..
......
Tuhan tidak pernah menyiksa hamba-hambanya..
namun manusialah yang senantiasa menyiksa dirinya sendiri..
...................
menetapkan nilai pada persepsi kesadaran dirinya..
dan kesadaran kolektif..
atas kedua persepsi sedih dan senang
panas dan dingin..
siang dan malam..
sebuah dualitas alam semesta..
menjadi under estimate dan over estimate..
jauh dari kehendak Tuhan sendiri..
.............
maka Tuhan adalah Esa..
maha suci dari semua itu..
maha suci dari persepsi itu..
panas dan dingin..
sedih dan senang..
dalam skenario Tuhan..
hanyalah sebuah rahsa dalam methode pengajaran manusia..
agar mereka menyerah pasrah kepada Dzat yang Maha Esa..
Dzat yang Satu bukan dualitas
apalagi pantheisme..
.......................
maka manusia harus menuju kepada NYA..
dalam satu rahsa..
karena DIA tidak menerima dualitas
karena dia tidak mau di DUA kan..
karena DIA tidak menerima manusia yang masih terhijab dalam dualitasnya
dalam kesyirikannya..
pada rahsa-rahsa itu..
.....................
Maka mulailah masuki
keimanan sang Ruh..keimanan sirr..
dalam martabat ke tujuh...
yang sudah tidak mengenal dualitas rahsa..
yang tidak mengenal ke syirikan..
apalagi thogut..
}
Dengan langkah tegap, dada tengadah, penuh kepastian, penuh keyakinan, dalam semangat, dalam tekad, dalam niat.
Satu kata dengan perbuatan, kulangkahkan kaki menempuh jalan realitas. Tak ada lagi kata mundur. Tak ada ingatan untuk itu.
Seperti puisi lama: "Sekali berarti sesudah itu mati".
Memandang dengan mata dan melihat dengan hati.
Berfikir dengan akal dan memutuskan dengan nurani
Yang bergantung sepenuhnya kepada Sang Pemilik hidup ini, Allah. Tuhan semesta alam.
Sebuah jalan kehidupan dalam realitas, rutinitas kehidupan sehari-hari.
Selangkah demi selangkah, membaca apa kehendak Sang Pencipta, melaksanakan seluruh kehendakNya tanpa persepsi.
Perjalanan yang sebenarnya justru baru dimulai. Selama ini hanyalah persiapan untuk menempuh perjalanan, bukan akhir perjalanan. Betapapun panjang perjalanan, berapapun jauh perjalanan, harus dimulai dari satu langkah pertama. Maka langkah awal sudah dimulai.
Marilah kita semua bersama-sama berjalan, menapaki seluruh permukaan bumi, melihat tanda-tanda kebesaranNya. Menjadi saksi atas keberadaanNya. Melihat bukti keagunganNya
Asslmkm wrwb...
BalasHapuskidung alam saudaraQ
Klo khabar itu benar dari utara pulau jawa...berarti berawal dari tempatQ ini...
Sudi kiranya kau mengabarkan kpdQ...duhai saudaraQ...
Slm kasih&sejahtera kidung alam saudaraQ...
jam berapa dimulainya?
BalasHapusSaudaraku Sabranglor...
BalasHapusDemikianlah bahasa simbol dan lambang terserah dimaknai apa saja.
Sebelah utara?... sebelah utara yang mana? Pulau apa?. Kota apa..
utaranya selatan ataukah utaranya barat?
di utara masih ada utara lagi...
kepenyaanNyalaha utara dan selatan..barat dan timur
sabranglor atau seberang utara biasanya diartikan seberang utara laut jawa
tapi apakah ini kepastian?...
Bolehkah orang mengartikan yang lain
sabranglor sumatra atau sabranglor sulawesi?.
Lambang tetap lambang
silahkan dimaknai sendiri
realitas adalah apa yang ada dalam keyakinan diri
sekali itu ada, maka tak ada keraguan lagi
mari kita bertanya kepada diri sendiri
karena di dalam diri ada yang tahu dan sadar
dengan melihat tanda alam
dengan kesatuan akal, hati dan ruh dalam keseimbangan alam
salam sejahtera
Kidung alam saudaraQ
BalasHapusTerima ksh atas khabarnya...
Insya allah akan Q renungi kata2mu...
Slm kasih&sejahtera