Kesadaran Kepiting Vs Pemimpin
Negara yang kaya, nuansa panorama
indah dimana-mana. Jutaan hewan melata, dan lembah seribu bunga. Begitu
harmoni, seindah nyanyian suarga loka, maka layak saja jika negri ini seraya
dipuji. Bahkan konon diisyaratkan juga oleh al qur an suasananya. Negri yang
indah penuh syahdu, dimana air mengalir, sungai-sungai dan lembah.
Pucuk-pucuk daun tumbuh seribu.
Ranting-ranting yang keringpun gugurlah sudah. Namun dendam hati, tak ingin
berhenti, rasanya ku ingin remas hati. Hai,
cobalah tanya salah siapa. Kau cobalah lihat bayanganmu, tak mungkin kau
dapat bersembunyi. Mungkin kau telah berubah, namun harus kau jawab getar hati.
Lihatlah nelangsa bumi, dan bangsa ini. Kau tanam cinta kemudian kau pergi.
Mungkin kau telah berpunya, dengan sejuta impian. Namun kau harus jawab
panggilan jiwamu. Angin, hujan, dan
badai, telah gundah menanti para kekasih hati, dengan tersenyum penuh syahdu. Tidakkah kalian
dengar panggilan ini. Tiadakah engkau lihat bumi ini duduk bersimpuh untukmu.
Tiadakah kau dengar doanya, memanggili. Jangan-jangan kau tinggalkan sang Ibu sendiri,
menahan duka. Jangan-jangan kau biarkan Ibu Pertiwi menangis. Bawalah dia
bersamamu kemana saja.
Jangan pernah sangsikan, hujan turun disini.
Jangan pernah kau sangsikan
indahnya matahari.
Jangan kau sangsikan kasih
sayang KAMI.
Dalam tidur nanti, engkau akan
mengerti.
Hati dan jiwa yang selalu
bersamamu.
Dalam tidur nanti, kau akan
selalu bermimpi.
Indahnya matahari, indahnya bumi
pertiwi.
Janganlah pernah engkau
sangsikan.
Kalau masih biru air samudra,
jangan sangsikan ikan akan menari.
Kalau masih hijau daun cemara,
jangan pernah engkau sangsikan
suci cinta KAMI.
Ku tanyakan pada hatiku, adakah
engkau masih disana.
Kudengarkan burung bernyanyi
Seindah pagi seindah hati
berbunga
Tersenyum seluruh tubuh…
Pesan tersebut mengalir, agar untuk dituliskan dalam rangkaian kajian
ini. Ada sakit yang menusuk kalbu saat membacanya. Bertanya dimanakah saja
anak-anak bangsa ini. Mengapakah mereka bercerai berai ke seluruh dunia.
Mengkais makanan disana. Adakah bumi Indonesia kurang kayanya. Adakah Ibu
Pertiwi kurang sayangnya ?. Rasa benci semakin menggebu, ingin rahsanya pergi
berlari. Sebab katanya bukan karena itu. Mereka justru tidak diterima oleh
saudara-saudaranya sendiri disini. Betapa susahnya kesadaran yang melingkupi
bangsa ini, betapa sulitnya merubah paradigma yang sudah mengakar sampai ke otak dan syaraf
mereka. Bacalah kisah-kisah haru mereka itu, mereka yang berjasa bagi dunia,
mereka yang sangat disegani di dunia international, ironisnya mereka justru tak
diakui dan diabaikan oleh bangsanya sendiri. Ingin kembali pulangpun rahsanya
sulit sekali. http://indonesiaindonesia.com/f/85699-orang-orang-jenius-indonesia-berjaya-luar/. Link ini hanya kisah sepenggal, dari
sebagian nelangsa mereka disana.
Mengapa kesadaran kolektif bangsa kita seakan justru malah ketakutan
dengan mereka itu. Harusnya merekalah kesatria-kesatria yang sudah saatnya
meski kembali, sayang sekali kesadaran kolektif bangsa kita memusuhi mereka.
Tidak ada tempat bagi mereka di tanah kelahiran mereka sendiri. Kita semua menganggap remeh saja. Kecerdasan
mereka diabaikan, dan tidak diberi tempat layak bagi mereka untuk berkreasi. Mereka
justru dianggap sebagai benalu kesadaran, bagi para penguasa dan kaya. Betapa
kita tidak nelangsa dibuatnya. Kesadaran kita bagai kepiting-kepiting yang
bertempat di satu kotak. Kepiting akan menjapit tangan siapa saja yang berusaha menolong, keluar dari kotak mereka. Perahtikan
saja , kedua tangan kepiting yang besar dan ganas, akan menejepit tanpa belas
kasihan. Menjapit tangan-tangan yang justru bermaksud menolong. Itulah keadaan
kesadaran kita semua. Kita akan selalu memandang orang lain dengan penuh
curiga. Kita akan selalu memandang orang barat atau lainnya yang dari sana dengan
prasangka. Memang bukan salah jika kita semua masih memiliki jiwa seperti itu.
Penjajahan atas bangsa kita memberi implikasi paradoks, sehingga kita selalu
akan penuh curiga. Ketakutan dan rahsa takut yang tersembunyi, telah menjadi
penyakit bagi bangsa kita. Ketakutan akan sinkretisme telah meracuni keimanan mereka
sendiri. Mereka semua ber Tuhan sayang tidak sadar, bahwa Tuhan berkehendak dan
berkuasa atas segala sesuatu. Mereka tidak yakin atas janji Tuhan yang akan
menjaga agama yang lurus. Tidak usahlah takut terhadap hantu sinkretisme, dan
isme-isme lainnya. Racun sinkretisme hanyalah buatan manusia itu sendiri. Maka
bagi kita diwajibkan berbaik sangka terhadap siapa saja. Termasuk juga kepada saudara-saudara
kita yang sekolah di barat sana.
Ketakutan kita hanya sebab kekerdilan jiwa kita sendiri yang takut
terhadap dunia. Ketakutan yang menjadi hijab sehingga telah menyebabkan mereka
membabi buta. Saat mana berkuasa dia akan menghabisi siapa saja, saat dia berjaya
dia akan mengumpulkan harta sebanyak yang dia bisa, walau mungkin harus
mengorbankan puluhan juta anak-anak bangsa ini. Kita seperti kepiting saja,
saat mana ada yang ingin mengentaskan kemiskinan, lantas kita cemooh, kita pandang dengan curiga. Maka yang berusaha maju
ke depan akan dijapitnya, ditarik mundur ke belakang. Bangsa kita bangsa yang sedang sakit saat
sekarang ini. Sakit yang tidak diakui oleh mereka. Sakit yang tidak pernah
disadari oleh kita semua. Sehingga jika ada dokter yang bermaksud menyembuhkan
diri kita, malah akan dihardiknya. Kita sangat super sensitif, sayang kita
sendiri tidak merasa sensitive. Kita merasa hal tersebut wajar saja. Marah adalah
wajar, korupsi adalah hal wajar, memperkosa hak orang lain hal wajar. Segala
perbuatan yang seharusnya hanya pantas dilakukan oleh kesadaran rendah, sudah
menjadi kewajaran saja, ironisnya justru saat sekarang ini merupakan
kebanggaan.
Kita seperti kepiting yang bersama-sama didalam kotak yang sangat
besar. Menjadi wajar saja manakala, kita saling menyikut, menjapit siapa saja yang ada
didekat kita. Perhatikanlah ulah para kepiting saat ditempatkan pada tempat
yang sama. Mereka tidak peduli kawan, saling japit, saling tindih, seakan-akan
mereka bukanlah bersaudara. Tidak ada cara untuk menyelamatkan para kepiting.
Sebab saat kita ingin menolongnya, pasti kita akan dijapitnya pula. Begitulah
yang dirasakan para kesatria bangsa kita. Mereka yang memiliki kecerdasan luar
biasa, tidak mampu berbuat apa-apa. Harus ada satu orang yang mau berkorban
untuk mereka semua, yaitu dengan cara membuatkan pintu disana. Agar para
kepiting tersebut bisa bersama-sama keluar. Para kepiting akan bersama-sama
keluar menuju pintu, itulah nanti yang akan terjadi. Mereka harus keluar
bersama-sama, sebab jika tidak mereka pasti akan menjapit siapa saja yang
mencoba mendahului. Itulah keadaan bangsa kita.
Begitulah para pemimpin kita saat sekarang ini. Siapapun yang ingin
keluar dari kotak protokoler , pasti akan akan dijapit dibuang ke belakang lagi. Begitu
seterusnya. Sampai pada suatu saat nanti ada satu kesatria yang akan membuka
gerbang bagi kesadaran-kesadaran para kepiting ini. Inilah kesadaran kolektif.
Kesadaran yang tidak akan mudah dibuka hijabnya. Sebab sudah menjadi bagian
bagi protokoler kenegaraan. Siklus ini akan terus menuju ke titik muasalnya
lagi. Menuju keseimbangan baru lagi. Nanti akan terjadi hal yang sama. Meski
KPK sudah menyiapkan segala cara, namun yakinlah itu hanyalah gangguan kecil
bagi kesadaran para petinggi negri ini. Sebentar lagi mereka akan menemukan
titik keseimbangan baru, dimana mereka akan kembali menjalankan tradisi lama
mereka, dengan kecanggihan cara dan metode yang lebih baru untuk menguras harta
negri ini. Sebab kesadaran kolektif disana adalah semisal dengan para kepiting
tadi.
Bukan-bukan karena para kesatria tidak ingin kembali ke Ibu Pertiwi,
namun sungguh jikalau mereka kembali, mereka pasti akan dibunuhi, semisal
kisah-kisah para nabi jaman dahulu yang membawa kebaikan dan berita yang benar,
pasti akan selalu dibunuhi. Mereka akan dibunuh kesadarannya, kesadaran yang
menggebu-gebu saat mula kembali dari perantauan, untuk memperbaiki keadaan
bangsa ini, akan segera diberangus. Para kesatria harus mau mengikuti sistem
dan cara-cara para petinggi, dan para ahli yang mereka punya (ahli kitab). Sama
saja keadaannya, dengan dibunuh karakter mereka sebagai kesatria bangsa. Jiwa
kesatria pasti akan dibunuh, jika berani memasuki wilayah mereka itu. Mereka
takut kehilangan kekuasaan, mereka takut tersaingi, mereka takut tidak bisa
kaya, mereka takut kehilangan kenikmatan. Ketakutan-ketakutan yang memebuat mereka
semua berlaku telengas, membunuhi para kesatria yang mencoba melawan. Maka
wajar saja jikalau para kesatria yang berada di luar negri berfikir dua kali
untuk kembali. Jika kembali saat sekarang ini, itu namanya mati konyol adanya.
Dalam tidur nanti, kau akan
selalu bermimpi.
Indahnya matahari, indahnya bumi
pertiwi.
Janganlah pernah engkau
sangsikan.
Itulah yang dipesankan kepada anak-anak bangsa, janganlah kita
sangsikan. Marilah kita kembali ke Ibu Pertiwi, bangun bangsa dengan sepenuh
hati. Minimal, setidaknya kita mulai dari sini, di tempat diri kita
masing-masing. Cukup sementara dengan itu, sampai suatu saat pintu gerbang
kesadaran bangsa kita akan terbuka. Jikalau sudah terbuka, insyaallah para
kepiting akan keluar bersama-sama dengan tertibnya, mereka tidak akan
membahayakan kita lagi. Sebab mereka akan berada di tempat yang luas, mereka
bisa liar, berada dimana saja dibumi
nusantara ini. Mereka akan tenang dengan mainan-mainan mereka. Sehingga kita
dapat membangun nusantara ini dengan jalan yang lurus. Jalan yang diridhoi-Nya.
Jangan takut kepada kepiting, sebab kepiting hanya sedang mengalami kebingungan
saja. Saat mana berada ditempat luas, mereka akan menyenangkan, lucu, dan
menggemaskan. Berikan ruang kesadaran untuk para kepiting yang sedang
berdesak-desakan, sebab hanya itulah obat untuk mereka itu. Mereka akan merasa
lega jika ruang kesadaran mereka juga luas. Maka tunjukanlah dunia sebaliknya,
dunia yang maha luas, yaitu akherat. Hanya dunia akherat yang akan bisa
menampung gejolak jiwa mereka. Mari kita berdoa bersama-sama, agar diluaskan
hati mereka. Seluas alam seemsta ini, dengan begitu para kepiting tidak akan
menjapit teman-temannya lagi.
Jiwa manusia adalah cahaya, jiwa manusia harus menempati ruang yang
luas. Ruang kesadaran adalah ruang inersia bagi jiwa manusia. Sebagaimana hukum
Newton massa (jiwa) membutuhkann ruang
inersia sebagai pijakan ruang dan waktunya. Tanpa memahami ruang inersia ini jiwa (massa) akan hilang tidak teramati
lagi. Begitulah permisalnya. Jiwa harus diam dalam ruang dan waktu nya. Pijakan
pada awal mula dia berasal. Oleh karena itu, jika kita melakukan pengamatan
maka tentukan dahulu ruang acuan (inersia) nya. Kita akankenalikeadaaanjiwa
sesungguhnya, dan dari manakah asal jiwa itu. Mengamati gerak jiwa adalah
mengamati gerak cahaya, maka ruang dan waktu manakah yang kita gunakan, ini
akan menentukan sekali hasil akhir pengamatan kita. Sekali lagi, begitulah
keadaan jiwa manusia. Manakala jiwa kehilangan ruang acuannya, mereka akan
gelisah, liar dan tak terkendali lagi. Mereka akan mengalami ketakutan yang
tidak pernah disadarinya, sebab dia tidak memiliki pijakan ruang dan waktu
(inersia). Dia tidak tahu dimana berada dan juga berasal.
Maka jangan salahkan kesadaran para kepiting, sesungguhnya jiwa mereka
sangat menderita. Mereka tidak berada pada ruang dan waktu yang semestinya.
Meerka tidak memiliki acuan bagi kesadaran dirinya. Sungguh mereka sama saja
tengah berada di lubang hitam kesadaran. Kesakitan akibat ketakutan lebih
dahsyat dari pada kesakitan itu sendiri. Mari kita doakan para pemimpin, para
ahli kitab (agama), para pemikir, dan orang-ornag yang berakal, yang berada di
negri kita ini. Sebab mereka-merekalah yang paling banyak disebutkan dalam al
qur an. Merekalah yang lebih sering mendapat teguran dari Tuhan. Para nabi
diutus kepada mereka semua. Maka yakinlah jika mereka sakit, bangsa ini akan
sakit terus menerus. Selayakanya kita berdoa bersama untuk keluasan hati
mereka. Berhentilah menghujat para pemimpin kita. Ajarilah mereka bagaimana kasih
sayang. Meski mereka berkuasa, meski mereka kaya, meski mereka berjaya, meski
mereka berilmu agama, nyatanya mereka-merekalah yang justru ditegur dan dihujat
al qur an. Mereka yang menjadi teladan dalam sejarah peradaban tidak pernah
mampu memberikan teladan. Maka oleh sebab itulah kesadaran bangsa tersebut
kemudian dianggap sebagai virus oleh KAMI.
Maka tunggulah saat mana perintah ‘delete’ dieksekusi oleh alam.
Bencana angin, air, gunung, teriakan, dan banyak sekali cara KAMI melakukan
eksekusi pada kesadaran yang sudah menjadi virus bagi alam. Alam semesta adalah
makro komputer, sebab memiliki system dan process. Alam semesta memiliki RAM
(memory), alam semesta juga memiliki ‘processor’. Bayangkan mekanisme kerja
komputer milik kita. Komputer akan mampu melakukan ‘scanning’ dan menghancurkan
virus-virus yang masuk di dlam systemnya. Begitu juga alam semesta akan semisal
dengan itu. Maka marilah kita akhiri hujatan atas pemimpin kita, sebab alam
sudah ada yang mengurusnya. Marilah kita berhenti untuk saling menyalahkan atas
situasi bangsa ini. Mari kita gaungkan doa, dari diri kita saja. Tidak perlu
orang tahu, tidak perlu orang harus mengerti. Bahwa sesungguhnya kita sedang
memberi arti atas hidup kita sendiri. Sebab setiap diri adalah saksi kunci bagi
kekuasaan Allah. Kita harus syukuri penghargaan tertinggi oleh alam, atas diri
kita manusia ini. Tidak ada diri yang sia-sia, karena itu janganlah kita
sia-siakan hidup kita. Cukuplah kepiting kita jadikan analogi dalam kajian kita
ini. Akhir kata mohon maaf, dengan tulisan ini.
wasalam
Amin.
BalasHapusSemoga Allah meridhoi kita semua. Amin
Salam.
Ya Tuhan kami..
BalasHapusKami selalu mendholimi diri kami sendiri. Ampunilah kami.
Sungguh Engkaulah yang Maha Pengasih lagi maha Pengampun.
Bila Engkau tak mengampuni diri kami.
Maka kepada siapa lagi kami memohon selain kepadaMu.
Maka ampunilah diri kami.
Terimalah permohonan ampun kami.
Sungguh Engkaulah tempat memohon.
hanya kepadaMulah Ya Allah, Tuhan segenap alam semesta ini
kami semua kembali
kami menunggu kepulangan kami
Terimalah jiwa kami.
Kami berserah diri kepadaMu.
perlukah kendaraan(perahu/doa) penyelamat atau diam saja melihat eksekusi alam
BalasHapus