Kisah Spiritual, Bilakah Bidadari Mengajarkan Cinta ?
Kalau masih turun hujan ke
bumi, jangan pernah sangsikan bunga berkembang
Kalau masih ada
matahari bersinar, jangan pernah sangsikan kasih sayang
Kalau masih biru air
lautan, jangan pernah sangsikan ikan
berenang
Kalau masih hijau hutan
cemara, jangan pernah sangsikan
kehidupan
Kalau masih ada cahaya
bulan, jangan pernah sangsikan keindahan
Kalau masih ada gunung
yang tinggi, jangan pernah sangsikan rindu dihati
Kalau masih ada burung
bernyanyi, jangan pernah sangsikan cinta suci
Dalam hidup ini, hanyalah nyayian
hati, sendunya terasa. Menatap langit lazuardi, terpejam mata tersenyum
bibirnya. Ditanyakan pada hatinya, masihkan puspita merajai singgasana. Seindah
rembulan, di malam hari, terbangun sejenak, hela nafas semoga ini hanyalah fatamorgana.
Barangkali dia tidak ingat lagi. Barangkali sudah ada mimpi indah lainnya.
Kalau saja dia dapat dengarkan, apa tutur katanya. Hidup menjadi indah, sebab
alam semesta semua dilagukannya. Kalau saja benih-benih cinta tidak
disemayamkannya dihati. Mungkin saja dipagi ini, dia akan beranjak pergi. “Kalau saja…hhh. Kalau saja semua bukan masa
lalu”. Dan juga barangkali bidadarinya
juga memang tidak pernah ada.
Bunga bougenvile merah, seperti
bunga terbuat dari kertas, bunga yang selalu tumbuh disegala cuaca, walau bukan
musimnya dia tumbuh dipelataran halaman rumahnya. Daun kelopak bunga, sering
tertiup angin yang kadang begitu kencang, berhamburan disepanjang jalan. Masuk
dipekarangan rumah. Sering dengan menggerutu dia harus membersihkan bunga yang
berguguran itu. Namun tidak dipagi ini, bunga itu nampak indah sekali, walau
hanya sebagian yang baru mekar. Tidak seperti biasanya, hampir seluruh daunnya
berubah menjadi bunga. Anak kecil tetangga sebelah rumah sering memetiknya dan
dibuat mainannya. Saat itu semua berlalu begitu saja. Namun tidak dipagi ini,
bunga itu tersenyum padanya. Mewartakan keindahan semesta, dan nyayian suarga
loka.
Pohon mangga dibelakang rumahnya, dihalaman
yang tidak begitu luas, mungkin 3 kali meja pingpong. Tumbuh dengan lebatnya,
menggayut sehingga dahan seperti tak mampu menahannya. Beberapa jatuh ditanah,
terpaksa dibuatlah alas, agar buah manga tidak busuk terkena tanah. Entah
mengapa pohon manga yang sudah tidak pernah berbuah beebrapa musim, kali ini
berbuah. Mewartakan khabar gembiranya. Semua tertata, keindahan semesta. Karenanya
meski bangun dipagi buta, dia tidak terasa, diambilnya air disiramnya tanaman di
pekarangan rumahnya. Hidupn terasa mengalir bagai air dari pancuran di pinggir
kali yang bening. Sejuk alam pegunungan terasanya, walau cuaca Jakarta tetap
saja panas di kulit. Satu persatu disapanya, tanaman yangnyaris seumur hidupnya
tidak pernah mendapat perhatiannya. Hingga tanaman yang disebarng jalan tak
luput dari siraman air. Air seakan merubaha pagi itu menjadi lebih indah
terasa.
Secara lamat dentuman musik
nostalgia, lagu cinta masa lalu, diera tahun 80 an, mengalun. Sendu terasanya,
ada perasaan aneh memasuki kembali alam-alam dahulu semasa kecilnya. Seingatnya
lagu-lagu itu dahulu sering diputar oleh neneknya, dan pada saat itu dia sama
sekali tidak menyukai lagu-lagu cengeng begitu. Neneknya seperti asik dnegan
dirinya sendiri, tak peduli orang lain suka atau tidak suka, setiap hari
lagu-lagu itu diputarnya. Kadang dalam hati kecilnya dia getun, umur neneknya
sudah tidak muda lagi, paling tidak da dia cucunya mengapakah masih menyukai lagu-lagu
cengeng percintaan anak muda, apakah tidak malu ?. Itu dahulu dia beranggapan
seperti itu. Namun tidak hari ini, lagu-lagu yang terasa aneh jaman dahulu
sekarang ini terasa indah kedengarnya. Apakah ada yang salah dengan hatinya ?. “Pengajaran apa lagi ya Allah..” Sepanjang
menuju kantornya Mas Thole membantin. Rasa yang beda, rasa yang tak sama,
keindahan, kelapangan dada, etrasa harmonis keadaannya. Alam semesta seperti
bersapa kepada dirinya. “Rahsa apa ini ,
adakah rahsa cinta yang sama ..?”
Alam telah mengajarkan banyak
rahsa kepada dirinya, ada rahsa cinta dan rindu yang terlalu, sehingga mengharu
biru, cinta yang mampu merobek hatinya, membuat seluruh instrument ketubuhannya
terkunci, ingin mati saja rahsanya, cinta yang melukai siapa saja. Kemudian
datang cinta kedua, cinta yang penuh nelangsa, menghiba, rasa kasih yang tak sampai, rahsa seperti
kosong dan kehampaan meliputi ruang-ruang hati, kosong angan menerawang, membesut
sanubari, rahsa inipun menyiksa dirinya dalam suasana ketidak pastian dan
keraguan. Pada saat itu dia sering berkata, “Ternyata
mengagungkan cinta harus ditebus dengan duka lara”. Dua cinta yang
didapatinya melahirkan rindu dan sakit hati. Dalam anggapannya semua cinta akan
menyebabkan duka lara. Membuat manusia kehilangan kendali jatidirinya.
Tak diminta diajarkan kepadanya
rahsa ketiga, cinta yang dewasa, penuh pemahaman, penuh pengertian, apa adanya
cinta, cinta yang saling memberi, cinta yang saling membutuhkan, cinta yang
meliputi keadaan, sungguh keadaan rahsa itu memebingungkan, namun sudha ada
ketenangan disana, seperti halnya kita berada di alam luas, rahsanya
terlindungi, rahsa tenang dan yakin. Dan sekarang datang berikutnya rahsa cinta
yang penuh keindahan, kelapangan dada, sebagaimana keadaan dialam impian, bunga
bermekaran, semua tanaman menyapa, angin seperti memanjakan dirinya. Hiks.. Pengajaran apalagi ini ?. Adakah rahsa
ini memang ada di dunia ini ?. Siapakah yang mampu mencinta dengan keadaan ini.
Sungguh luar biasa model rahsa cinta ini. Bagaimana nikmatnya surga ada di
dalam hati.nya. Mas Thole sesampainya di kantor selekasnya mengkisahkan ini. Siapakah pemiliknya ?.
Setiap bidadari mengajarkan
rahsa, mengajarkan hakekat makna cinta. Apakah bidadari mengerti ?. Bahkan diri
mereka sendiri sering bertanya, adakah cinta ?. Itulah rahsa yang meliputi, datang sebagaimana
gelombang, begitu dahsyatnya. Lantas harus mesti terkapar beberapa kali lagikah
raga yang ringkih ini. Koordinat rahsa tidaklah sama, sulitnya raga memaknai,
sebagaimana sulitnya kesadaran terjebak, dan ingin keluar dari lorong waktu.
Belum juga diajarkan rahsa cinta lainnya, cinta yang penuh kesetiaan, cinta
yang diliputi intergitas, cinta yang penuh dengan pengkultusan kepada kekasih
hati. Hingga dia tetap bertahan mencintai kekasihnya itu, meski dia telah
dilahirkan berkali-kali, meski itu semu sudah berlangsung berabad-abad lalu. Semua
untuk dan karena kekasih hatinya. Keyakinannya hanya satu, cintanya hanya satu,
hanya kepada kekasih hatinya yang satu, dia tidak tergoyahkan, walau ribuan
kumbang siap menggantikan. Hiks..beginikah cinta ?. Adakah yang mengerti selain
pelakunya sendiri ?.
Jiwa Mas Thole, mendeking lirih.
Lelah..teramat lelah. Dia harus menyaksikan semua rahsa yang berguliran
diantara anak manusia. Semua rahsa
begitu berat, semua rahsa begitu kuat, hingga jiwanya nyaris limbung. Bila saat
sekarang ini, jiwanya bagai terbang ke langit, berjalan diatas bintang-bintang.
Memandang lembah bagai seribu bunga terhampar. Melihat awan bagai permadani
yang digelar. Bagaimanakah nanti, jika rahsa lainnya menghampiri. Rahsa ini
akan sanggup menina bobokan dirinya. Akan memalingkan dirinya dari wajah
Tuhannya. Dirinya akan asyik berjalan diantara lembah seribu bunga. Diantara
aroma cinta dan kasih sayang. Bagaimana nanti jika di lupa asyik dengan rahsa ini ?.
Bagaimaan juga nanti jika dia
diajarkan rahsa yang kebalikannya dari semua itu, rahsa sakit hati dikhianati,
sebagaimana rahsa yang dipunya Dyah Pitaloka, akankah dirinya sanggup
merasakannya. Mas Thole menggeleng, pasrah dengan keadaan dirinya ini. Masih
saja belum hilang dari bayangan, bagaimana nelangsa Dyah Pitaloka mengakhiri
hidupnya. Residu cintanya akan sanggup membalikan bumi, begitu kuat rasa ketidak mengertian dirinya. Bagaimana raga
terkininya tidak sungsang. Gunung Tangkuban Perahu pun sampai-sampai memberikan
tanda dengan letusan kecil pada tanggal 5/10 kemarin ini, yang diikuti 3 hari
kemudian. Letusan yang tidak ada gejalanya sama sekali, menjadi sesuatu yang
aneh bagi penjaga disana. Biasanya terlebih dahulu diberikan tanda, sebelum
meletus. Namun kenapa kemarin ini tidak. Mas Thole hanya membatin, begitu kuat
alam menerima residu rahsa anak manusia. Atom-atom di dalam tubuhnya bergetaran,
hingga memicu sang ibu pertiwi. Letusan itulah tanda keprihatianna alam atas
ketidak mampuan manusia menerima takdirnya.
Alam sekarang sudah semakin
membaik, gejolak di langit tidak sedahsyat bulan September kemarin ini.
Selayaknya para kesatria mulai menata diri. Pengajaran perihal cinta cukuplah
sebagai pembelajaran bahwa DIA yang berkehendak atas semua itu. Keberadaan para
bidadari sudah diketemukan semuanya, tinggal menunggu saja kehendak alam mempersatukannya.
Bukankah akhir lebih baik dari permulaan. Pahamilah keadaan diri, mengertilah
bahwa semua rahsa hanyalah titipan. Tidak Pambayun, tidak Putri Manik, Tidak
Anarawati atau juga lainnya. Selesaikanlah pembelajaran perihal rahsa,
ajarkanlah kepada manusia, hakekat cinta sejati. Cinta yang hanya layak kita
persembahkan kepada-Nya. Semoga
Kalau masih turun hujan ke
bumi, jangan pernah sangsikan bunga berkembang
Kalau masih ada
matahari bersinar, jangan pernah sangsikan kasih sayang
Kalau masih biru air
lautan jangan, pernah sangsikan ikan
berenang
Kalau masih hijau hutan
cemara, jangan pernah sangsikan
kehidupan
Kalau masih ada cahaya
bulan, jangan pernah sangsikan keindahan
Kalau masih ada gunung
yang tinggi, jangan pernah sangsikan rindu dihati
Kalau masih ada burung
bernyanyi, jangan pernah sangsikan mimpi
Wolohualam
Jikalau Allah menghendaki..... ""Rahsa Cinta Kasih Sayang ~Nya"" khan meresap dihati. Ianya Indah.... damai.... terbang ke awan... Suatu BUKTI bahwa Surga itu ada dihati.
BalasHapusBerbahagialah yg bisa menikmati Rahsa tersebut.
Semoga semua BIDADARI mampu menebarkan Kasih Sayangnya ke Alam semesta ini, Amin.
Amiiinnn yaa allah Allahumma Amiin
BalasHapusSlm kasih&sejahtera
Semoga mulai mampu mengakses energy merkaba. Bersamanya ada kasih sayang. Ada kekuatan dan kelembutan.
BalasHapusAda ketenangan dan keteduhan. Ada kebahagiaan dan harapan. Ada cinta yg dalam yg hanya mampu dimengerti sang pencinta sejati. Sebuah bahasa alam yg difahami sang alam. Semoga.