Kisah Spiritual, Jejak Putri Sriwijaya dalam Asmara Dahana
Kepodang terbang, kicaunya menyelusup memasuki ruangan. Hari telah menjelang malam, suasana pekat diluar sana. Angin serasa berhenti, membuat hampa kosong dalam jarak 100 meter persegi. Gelapnya telah melewati waktu isya. Sementara rintik hujan masih jatuh satu-satu, sisa-sisa hujan di siang hari tadi. Rumah tersebut dari luar nampak sepi saja. Pohon mangga yang menjulur dari pekarangan tetangga terlihat hampir menyentuh tanah. Seperti sebuah tangan dalam kegelapan yang ingin meraih sesuatu.
Langit
tertutup awan, bergumpal, bergulung dan saling bertindih, tiada celah lagi bagi cahaya bulan. Nuansa dan romansa malam
menjadi semakin tak terkata, hawa dingin bercampur wingit, mencekam, pepohonan
berhenti bergerak, hanya kadang suara
kendaraan melintas dipelataran. Suasana
itu sudah terasa sejak siang. Saat mana kedua insan bertemu. Putri Sriwijaya
dan Gusti Ratu Pambayun. Dua energy masa lalu yang bertolak belakang, bertemu
dalam realitas terkini. Maka dapat dibayangkan suasana alamnya saat itu. Menjadi
hujan deras yang mengguyur kota Jakarta. Air menggenangi permukaan tanah, sepanjang
jalan yang dilalui mereka berdua.
Sejak sore ribuan pasukan Sriwijaya sudah berjaga, berbaris diluar sana. Mengitari kompleks
perumahan. Angkasa seakan berderak
menahan tubuh mereka yang berjumlah ribuan orang. Suara yang berderit dan
berdesakan terdengar nyata saat Mas Thole sholat ashar. Ada yang berbaris disepanjang
jalan. Dan ada juga yang merapatkan barisan di tanah kosong depan rumah tempat
prosesi. Kedatangan mereka bersama awan, bersama angin, dan hujan. Sungguh hampir saja awan berjatuhan menahan
berat badan mereka. Maka awan secara realitas kelihatan seperti menggantung
menunggu jatuhnya.Mereka dipimpin sesepuh mereka sendiri. Sesepuh Sriwijaya,
dengan baju kebesaran mereka. Menghantarkan utusan mereka, wakil dari mereka
para pinisepuh Sriwijaya, sebagai restu mereka atas nusantara baru. Menghantarkan
Sri Sanggramawijaya alias Dewi Tara,
alias Dewi Sudihwari alias Dewi Sekar Arum. Ibu dari semua Ibu. Ibu dari Ibu
para Raja-raja Jawa.
Lamat terdengar suara erangan dari dalam kamar. Tangisan, dan kadang seperti suara hentakan, seorang wanita, seperti suara sumpah. Sosok itu sedang mengikrarkan sumpahnya kepada Allah. “Tiada Tuhan selain Allah..” Teriakannya menggetarkan dinding, membangkitkan alam, semua makhluk berdunyun merapatkan telinga, semua ingin mendengar. Rangkain kata-kata meluncur satu-satu, mengucapkan sebuah sumpah bahwasanya dirinya hanya mengabdi kepada Allah.Kadang melengking tinggi, kadang terisak, kadang terbata, dan kadang penuh amarah. Rahsa iba begitu membelenggu dirinya. “Tidak ada yang bisa dilakukannya, dia hanya memohon kepada Allah.” Katanya mencoba dimengerti. Sebuah perasaan bersalah telah melahirkan anak-anak yang saling berperang.
Begitu ungkapan dan luapan perasaan yang sepertinya ingin
menyanggah apa yang dituduhkan oleh Mas Thole, diawal prosesi. Kepasrahan dan
nelangsa yang tidak pada tempatnya, akhirnya memaksa Mas Thole melontarkan
kata-kata. Kepasrahan yang diam, dan nelangsa yang tak berujung, sebuah
manifestasi iba diri. Angannya disibukan dengan dzikir dan tasbihnya, namun
sangat disayangkan dirinya telah mengabaikan hatinya sendiri. Ketakutan yang
hanya disebabkan oleh pemahaman satu sisi saja. Bukan sebuah pemahaman yang
utuh. Yaitu sebuah pemahaman bahwa Allah memiliki kehendak. Kehendak Alllah ada
pada skenario atas peradaban dan kesadaran manusia. Maka kita wajib berserah
atas kepastian ini. Kita yakini ini dengan seluruh jiwa raga. Namun dalam
diujung sebaliknya bukan berarti kita kemudian berpangku tangan saja, atas kemungkaran yang
terjadi di muka bumi. Semua pemahamn ini harus sinergi. Kepasrahan dalam keyakinan
gerak, kelembutan dalam liputan kekuatan.
“Allah
tidak menyukai peperangan, namun peperangan adalah sebuah jalan terakhir.
Lihatlah bagaimana Nabi Daud, lihat bagaimana perkasanya Nabi Sulaiman, dan
dipenghujung para nabi, Rosululloh juga berperang. Lihat juga bagaimana Arjuna,
dan bagaimana Ali bin Abi Tholib. Mereka semua tidak ada yang lari dari
peperangan yang memang disiapkan Allah atas diri mereka itu.Mengapakah mereka
yang suci hatinya tetap harus perang ?. Bilakah tangan mereka berlumuran darah
?. Bagaimana kita memaknai hal ini ?.Lebih baik mana dimata Allah ?.”
Nada Mas Thole semakin meninggi, sebab sosok tersebut masih terus
menangis, dan melarang agar para kesatria tidak berperang. “Masih ada cara lain, masih ada cara lain.
Ibunda jauh-jauh datang untuk mengingatkan kalian semua. Jangan perang,
hindarilah peperangan. Kita semua bersaudara. Ibunda yang harus mempertanggung
jawabkan anak cucunya. Bersabarlah..bersabarlah. Sungguh bersabar itu lebih
baik. Biarlah Allah yang mengurusi mereka.”
Memang kemarin saat para kesitatria bersiap menyusun formasi
perang, ada besutan rahsa dari egonya. Sebab dirinya begitu sedih menangkap
kemarahan para leluhur Jawa. Mengapakah seorang tokoh arab berani seweng-wenang
menancapkan paku bumi kesadaran mereka di tanah Jawa ini, dan mengabaikan
keberadaan para pinisepuh. Sehingga kesadran anakketurunan Jawa terbelenggu
karenanya. (Baca Kidung Pralaya-Tangisan Peperangan).
Malam semakin merayap. Memasuki isya dan terus hingga menembus
gelapnya. Mereka terus berdialog, kadang terdengar
suara lelaki yang berwibawa, berkata kepada langit, bumi, awan, hujan, bumi,
dan juga kepada elemen alam semesta, agar mau menjadi saksi. Agar semua menyaksikan
apa-apa yang diucapkan sosok wanita itu. Sepertinya tengah terjadi prosesi di
rumah tersebut. Sosok wanita yang cantik, anggun, bagai ratu dijaman tempo
dulu. Wajahnya lembut, penuh keibuan, ada guratan nelangsa membekas di dahinya.
Penderitaan hidup yang luar biasa, telah membuatnya menjadi seorang ibu
yang dewasa.
Ada nada yang belum puas dibalik kata-kata Mas Thole, sebab dia
merasa bahwa sebagai kesatria sudah sewajarnya mempersiapkan dirinya untuk
perang. Menyerahkan jiwa raganya hanya kepada Allah. Maka jika kemudian dia dan
kawan-kawannya dipaksa untuk lari dari medan pertempuran, apalah kata alam
nantinya. Maka Mas Thole terus mencecar pemahaman Ibunda tersebut. Kadang
kata-katanya tajam menusuk bagai belati langsung ke ulu hati.
Kadang terkesan agak arogan, menganggap bahwa sosok ini lemah, yang
hanya diam berdzikir saja, tidak tergerak hatinya untuk berbuat sesuatu. Dalam
kesadaran Mas Thole sosok ini nantinya akan diam saja membiarkan keadaan
berlangsung didepan matanya. Jikalaupun ada pembunuhan dihadapannya, maka dia
pasti akan hanya menangis saja. Berdoa saja dan tidak berbuata apa-apa. Inilah
yang dirasakan Mas Thole, sehingga seakan-akan dia tidak menaruh rahsa hormat
kepada Ibunda ini. Dia mengatakan datng jauh-jauh, dia mengatakan ada tugas
suci untuk nusantara yang harus dikerjakannya, maka dirinya dibangnkan dari
tidur lamanya. Tetapi mengapakah sepertinya dia asik didalam raganya saja.
Tidak mau berinteraksi dengan alam sekitarnya. Seperti ada kemalasan, ada
kepasrahan yang tidak wajar, walau bibir selalu dipoles dengan lafadz dzikir
dan tasbih.
Begitu kesalnya Mas Thole sudah sejak dari habis ashar sosok ini
tidak bergeming dengan sikapnya yang begitu itu. Dia mengabaikan keberadaan Mas
Thole. Dia tidak mau menunjukkan jatidirinya. Akhirnya tidak sabar lagi Mas
Thole bergerak, seperti mengambil sesuatu dari langit, menghempaskan tangan
beberapa kali ke bumi. Tangannya bergerak cepat mengambil bantalan kursi
sebagai landasan untuk memukul punggung sosok tersebut. Raga Mas Thole bukan
muhrimnya maka dia tidak berani langsung menyentuhnya. Siang dia sudah meminta
bantuan Pambayun, namun rasanya masih saja hawa negative di seputar badannya.
Maka terbuka sudah raganya, Mas Thole melihat secara keseluruhan. Beberpa
prosesi dilakukan secara cepat oleh Mas Thole, sehingga wanita tersebut
tiba-tiba lunglai dan terjatuh ke lantai. Dia melihat rahimnya yang diikat makhluk besar
sekali. Maka tak ragu lagi dia menghantam disana. Dengan dilapisi bantalan
kursi. Menghantam beberapa kali. Kesadaran Mas Thole seperti merasa sosok hitam
besar keluar dari perut tersebut. Sungguh orang yang berbuat keji, pantas saja
raga ini tidak bisa hamil sudah 11 tahun lamanya. Maka disuruhlah makhluk hitam
dan besar itu keluar dan kembali kepada tuannya.
Disaat sudah tidak ada hawa negative itulah, Mas Thole terus
mencecra dengan kalimat-kalimat yang tajam, untuk membangkitkan sosok leluhur
yang berada di dalam raga tersebut. Bahkan Mas Thole sempat mengancam, akan
mengembalikan dirinya ke alamnya, sebab alam ini tidak membutuhkan kesatria
yang tidak memiliki kekuatan hati.
“Percumah
saja anda jauh-jauh hadir disini, menyebrang lautan, jika mengurusi raga yang
ditempati sendiri saja tidak bisa.
Mengurusi hatinya saja tidak bisa. Kalau begitu lebih baik anda akan saya
kembalikan saja ke alam dimana anda berasal !.“ Begitu
keras hardikan dan ancaman Mas Thole, sehingga membuat panas hatinya. Dan
tiba-tiba dia bangkit, nada yang semula pasrah dan nelangsa, berubah menjadi
keras dan tegas. Sumpahnya meluncur tak terkendali. Maka seketika itulah
,kejadiannya sebagaimana dikisahkan diawal tulisan ini.Belum habis tangis dan isak raungan. Tiba-tiba mendadak
pintu terbuka paksa, sosok tinggi besar dengan suara helaan nafas memberat
menerobos memasuki kamar tempat jalannya prosesi.
Hawa amarah bagai bara
menyeliputi seluruh badannya. Entah apa yang diarasa, panasnya saja
hampir menjebol kepalanya. Dorongan yang kuat sekali dari dalam
dadanya. membuat dia tidak lagi memperhatikan bahwa dia sedang di tempat siapa.
Hampir saja pintu di tendangnya. Hampir saja di menerjang, dan mengamuk disana.
Serasa ada hawa ada gejolak amarah luar biasa yang memaksa dirinya untuk
melakukan itu. Nafasnya tersengal nampak sekali dia tersiksa. Berusaha
menguasai dirinya. Begitu pintu terbuka, tiba-tiba ada tangan yang menyentuh
pundaknya. Tangan Mas Thole menyentuhnya, untuk duduk dan diam dahulu. Dan aneh
sekali dia pun menurut saja. Duduk disamping kiri Mas Thole. Amarahnya bagai
bara api yang keluar masuk bersama nafasnya.
Tidak
ada satupun orang yang didalam ruangan menyadari kehadiran Patih Nambi sejak
beberapa menit lalu. Saat itu prosesi masih dalam titik kulminasinya. Jika
lengah sedikit saja akan dapat membahayakan semua. Maka meskipun Mas Thole
menyadari ada sosok yang hadir di luar rumahnya sana. Namun dirinya tak berani
menyapa. Mas Thole benar-benar sedang fokus kepada sosok yang telah berusia
ratusan tahun, dalam kesadarannya usianya telah menembus 1000 tahun. Dua
generasi setelah Ratu Sima. Bahkan jauh sebelumnya pun dia sempat terlahir.
Jika tidak salah penglihatannya sosok ini sudah 2-3 reinkarnasi. Persatuan dari
2-3 orang inilah yang menyebabkan memorynya banyak yang hilang. Hal ini sama
persis dengan yang dialami Banyak Wide sendiri yang sekarang reinkarnasi di
raga Mas Thole.
Diskusi dengan sosok ini meskipun disela tangisan dan lengkingan
yang tajam. Menghiba dan selalu menyebut anak cucunya. Dengan selalu mengatakan
kepada dirinya dan kepada Mas Thole, bahwa kita yang tua-tua harus mengalah.
Telah mendekati kulminasinya, ada kesepahaman yang dirasakan Mas Thole. Sebab
diakhir kata, sosok Ibunda tersebut memahami argumentasi Mas Thole, dan memnta
agar melakukan yang terbaik, hindari saja peperangan. Dalam hal ini Mas Thole
setuju. Tidak perlu ada peeprangan jika memang bisa disatukan.
Mas Thole kemudian teringat wasiat Prabu Silihwangi dimaan disana
dikatakan suatu saat orang Sunda akan bersatu, akan saling berbaik-baikan. Mungkin
saat sekarang inilah yang dimaksudkan. Bahwa para raja-raja di nusantara ini
hakekatnya adalah satu kelaurga besar. Keluarga Pasundan, sudah selayknya jika
semua harus menerima keadaan diri mereka dan saling memeafkan. Maka symbol untuk
itu adalah 2 paku bumi terakhir yang akan di tancapkan Mas Thole. “Bnera..benar..sekarang
ketemu hikmahnya.” Begitulah Mas Thole semakin yakin dengan pemahamannya. Untuk
segera menancapkan paku terakhirnya.
Tiba-tiba dari arah kiri belakang Nampak erangan dari Patih Nambi semakin keras. Baru saja Mas Thole akan mengakhiri. Kejadian yang tak disangka oleh Mas Thole. Bru saja sosok Ibunda selesai memberikan nasehat kepada Gusti Putri Ratu Pambayun agar mampu memaafkan perbuatan Ayahnya yang telah tega membunuh suaminya. Agak alot memberikan pemahaman ini, Pambayun terus saja menangis, meminta agar Ayahnya tahu betapa penderitaannya karena sebab ulah Ayahnya ini. Betpa teganya seorang Ayah kepada anaknya, yang katanya sangat dikasihinya. Pambayun ingin agar Ayahnya tahu itu, Betapa dia hidup sangat menderita akibat ulah sang Ayah. Sungguh permintaan yang sulit sekali. Menemukan Panembahan Senopati dalam realitas terkini adalah suatu kesulitan. Apalagi jika Panembahan disuruh memahami fenomena yang aneh ini. Apakah tidak nanti dianggap orang-orang gila.
Dan akhirnya Pambayun mengerti, dan berusaha memaafkan Ayahnya,
meski sulit namun dia akan berusaha untuk itu. Mas Thole juga mengingatkan
kepada Pambayun, kasihan raga terkininya jika dirinya tidak segera memaafkan
Ayahnya. Energy kebencian itu akan memancar keluar, sehingga siapapun lelaki yang mendekati Pambayun di realitas terkini,
pada akhirnya akan terpapar kebencian yang sama. Sehingga tanpa disadarinya
mereka akan terpental, menjauhi raga terkini. Jelas akan banyak lelaki yang kesulitan
untuk mendekati raga terkininya. Sykurlah semua bisa memahami keadaan ini.
Baru saja semua menganggap selesai, Patih Nambi bergolak, amarahnya
naik ke kepala. Tangannya diangkat sejajar pundaknya, seperti burung yang
hendak terbang. Ibunda Nampak terus memanggil Patih Nambi agar mendekat
kepadanya. Dengan terisak, dengan memohok Ibunda meminta agar Patih Nambi
membuang amarahnya. Patih Nambi sungguh dalam ksiagaan perang, perintah Ms
Thole saat itu untuk menyerang tokoh sakti pemaku bumi rupanya masih
dipegangnya. Dia merasa penasaran sekali mengapa awan dan petir itu mampu
dibuyarkan. Dia marah kepada dirinya atas ketidak mampuan itu. Sudahdijelaskan kepadanya,
tokoh sakti pemaku bumi bukan tokoh sembarangan. Maka kita harus kembalikan
saja kepada Allah.
Berulang kali Patih nambi diingatkan Ibunda. Namun rupanya tidak
mampu meluluhkan hati Patih Nambi, dia kemudian meminta Mas Thole untuk meredakan
amarahnya. Kasihan sekali Mas Thole kepada Ibunda, dia benar-benar tulus
mengingatkan agar anak cucunya jangan menggunakan amarahnya. Maka Mas Thole
mengucap salam, menyapa Patih Nambi, mengingatkan kembali masa lalu mereka. Dengan
raga mereka dahulu saja mereka bisa dihancurkan, diadu domba. Apalagi dengan
raga terkini, tidak bisatidak, sekarang ini mereka harus menggunakan kekuatan
hati. Hati yang bersih, jiwa yang bersih, kita berserha kepada Allah. Maka
hanya dnegan itulah kita akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya.
Mendengar nasehat saudaranya itu Patih nambi, mereda, berbarengan
dengan itu, erangan yang hamper saja meruntuhkan atap rumah terdengar dari
mulut Patih Nambi. “Ya, ada pencuri rahasia langit di badan ini, mereka para
jin .“ Patih Nambi Nampak bergerak mengambil dan mengeluarkan sesuatu dari
dalam badannya. Beberapa kali dilakukan itu, kemudian dia luruh lemas, terjatuh
dilantai. Mas Thole kemudian menutup prosesi, memeinta kepada Ibunda untuk
membesihkan diri, membersihkan raga terkininya. Kasihan dia seandainya nanti
penyelarasan pasti akan sangat tersiksa. Maka Mas Thole meminta bantuan untuk setidaknya
mengurangi , dengan memeperbaiki system ketubuhannya.
Langit seakan diam, prosesi telah berakhir, semua terjawab, siapakah
sosok yang terus saja minta dikenali, sekarang sudha dikenali. Semoga para
kesatria semakin yakin dan semakin menetapkan hati. Sungguh jika tidak karena
TUhannya, mereka smeua tidak akan diberikan KESEMPATAN KEDUA ini, untuk
memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Kesalahan mereka yang menduakan
Allah. Kesalahan mereka yang masih tersu dalam anggapan telah menuhankan Allah.
Padahal hakekatnya mereka belum yakin akan kebesaran Allah.
Maka dengan pembelajaran inilah semua kesatria diuji, diuji
keimanan mereka smeua. Maka sekarang mereka sadar, betapa berat kehidupan
realitas terkini mereka. Betapa perihnya mereka melalui takdir-takdir mereka
sendiri. Rupanya smeua itu ditujukan sebagai bentuk pembelajaran saja. Agar
meerka mampu ber-serah. AGAR MEREKA MAMPU BER-ISLAM. Dengan sebenar-benarnya
ISLAM.
Asmara sang Putri Srwijaya adalah asmara api (dahana) yang telah
membakar nusantara ini. Sungguh asmaranya telah melahirkan para raja. Para raja
yang tumbuh oleh pupuk asmara api, dengan dendam dan bara api pada cinta-cinta mereka. Sebab mereka dilahirkan oleh Ibu yang diliputi ASMARA DAHANA (API). Api yang siap membakar siapa
saja. Api cinta yang akan meluluhkan siapa saja. Karena itu, saat sekarang ini Sang Putri lahir kembali
meluruskan sejarah, meluruskan niatnya agar CINTA tidak lagi menyimpan API.
Sungguh tragis kisah Sang Putri Sriwijaya, sebuah kisah Asmara
Dahana, meninggalkan jejak di mayapada, sungguh ironis, jika saja ada yang mengerti,
sebagaimana yang Mas Thole mengerti. Mereka pasti akan menangis bersama alam
yang terus menangis, mengiringi setiap keajadian dalam fase kelahiran sang Putri ini. Karenanya, biarkan saja jika alam ingin menangisi
kesatria yang dipilihnya. Biarkan saja hujan turun berkepanjangan di bumi ini. Bersama doa para pinisepuh Sriwijaya. Dia lahir
bersama cinta yang tak mampu dimaknainya. Semoga dia mengerti jatidirinya setelah
ini.
Ironinya apa yang dialami di masa lalunya terulang kembali di kehidupan realita terkininya. Raga terbarunya juga mengalami hal yang sama. Kisah masa lalu seperti terulang kembali di raga terkininya. Bagaimana tidak porak poranda dirinya memaknai semua yang terjadi. Tarik menarik orang masa lalu dan raga terkini. Belum lagi berhadapan dengan realita terkini. Maka sungguh hanya orang-orang terpilih yang akan mampu lepas dari jebakan smeua itu. Yaitu orang-orang yang sungguh-sungguh ber-serah (Islam). Asmara apinya meninggalkan nelangsa di masa kininya. Sama keadaan masa lalu dan masa kini maka asmaranya sungguh ASMARA DAHANA (API).
Ironinya apa yang dialami di masa lalunya terulang kembali di kehidupan realita terkininya. Raga terbarunya juga mengalami hal yang sama. Kisah masa lalu seperti terulang kembali di raga terkininya. Bagaimana tidak porak poranda dirinya memaknai semua yang terjadi. Tarik menarik orang masa lalu dan raga terkini. Belum lagi berhadapan dengan realita terkini. Maka sungguh hanya orang-orang terpilih yang akan mampu lepas dari jebakan smeua itu. Yaitu orang-orang yang sungguh-sungguh ber-serah (Islam). Asmara apinya meninggalkan nelangsa di masa kininya. Sama keadaan masa lalu dan masa kini maka asmaranya sungguh ASMARA DAHANA (API).
wolohualm
Komentar
Posting Komentar