Kisah Spiritual ; Kidung Pralaya-Tangisan Peperangan


Kidung Pralaya, hawa perang seperti mengendap dalam dada. Bungkahan bara naik sampai kepala. Memenuhi rongga dadanya. Api dalam sekam terbakar bersama erangannya yang tak tertahankan. Dalam sholat yang panjang dirinya berserah atas rahsa yang demikian menghujam. Dadanya seperti panas terbakar, sesak sekali keadaannya. Kancing bajunya dibiarkannya terbuka, agar hawa dapat masuk dari sana. Siang itu keadaannya tengah berdiam, dalam helaan nafas berulang. Sebuah perjalanan panjang bagi rohani tengah diajarkan-Nya. Bagaimana memaknai sebuah peperangan.

Sebuah kidung, sebuah tarian perang tengah di mainkan para kesatria. Sungguh mereka tidak mengerti, sedang memainkan apakah itu. Apakah memang mereka memiliki hak atas itu ?. Mereka tengah tersundut sebuah kemarahan masa lalu. Kemarahan atas arogansi seseorang yang mengaku memiliki kesaktian dan mampu memaku bumi tanah Jawa. Kesombongan tokoh yang satu ini, yang saat kemarin akan reinkarnasi, sungguh sangat terlalu. Tokoh ini menganggap rendah para kesatria, menyepelekan sekali leluhur tanah Jawa. Bagaimanakah kemarahan tidak memuncak sampai kepala ?.

Dan sampai paginya masih terasa. Ada hawa yang tak biasa mengendap di pikiran Mas Thole. Meski dirinya. Sholat malam, hingga waktu  subuh, masih saja terasa berat di kepala. Hawa itu menyelusup tak ketara, beberapa kali harus direbahkan. Denganbegitu memang terasa nikmat rahsanya.. Namun dia harus bekerja sebagaimana manusia lainnya. Tidak ada rahsa malas dalam kamus orang Islam.  “Barangkali memang terlalu capai kemarin ini..” Batinnya menenangkan raganya.  Kiidung pralaya yang di dendangkannya, tengah berbalik atas dirinya. Meresep mengukiri jiwanya.

Dalam perjalanan rasa berat itu tidak hilang, justru semakin menghebat saja. Sehingga beberapa kali nyaris dia ditabrak dari belakang. “Hmm..sesuatu tak wajar..” Batinnya seketika itu. Maka sambil tetap menjalankan kendaraannya, dia memohon ampunan kepada Tuhannya, mengembalikan semua milik-Nya. Sepersekian detik dadanya bergolak, hawa dari kepala turun ke dada, kemudian ada sesuatu yang bergerak, seperti rahsa ditarik, maka dia muntah, terpaksa minggir sejenak beberapa kali.

Kesadaran Mas Thole mulai bekerja, memindai dari mana energy negative tersebut menyerang raganya. Dan bahkan kemudian menetap dikepalanya. Ditelusurinya dari awal kejadiannya. Dirinya sedang mengeksplorasi kisah-kisah Putri Sriwijaya, kemudian dirinya juga  sedang perang kesadaran dengan seorang tokoh sakti masa lalu, yang konon tokoh tersebut adalah seorang sakti dari tanah arab yang pertama kalinya memaku tanah Jawa. Kalau eksplorasi sang Putri rahsanya energynya tidak sampai demikian. “Apakah sebab keberadaan tokoh sakti tersebut  ?” Dia membatin.  Tapi dirinya tak yakin jika energy tersebut adalah ‘serangan’ tokoh sakti itu yang masuk.  

Memang kehadiran tokoh sakti tersebut menjelang siang hari sangat terasa sekali di raga Mas Thole. Tubuhnya tiba-tiba seperti dipompa, menimbulkan sesak di dada. Mas Thole mengenali itu adalah energy amarah para leluhur, sebagaimana energy yang kemarin memaparnya. Namun dirinya tidak mengerti sebab apakah energy itu datang lagi. Dadanya menjadi sumpek sekali rahsanya. Kesibukannya menyelesaikan pekerjaan membuat sementara dirinya mengabaikan rahsa itu. Namun saking tak tahannya, segera saja dia pergi sholat. Setelah sholat agak tenang rahsanya. Ada hawa menyejukan sekali mengitari badannya. Sebentar lagi pasti akan ditunjukan dari manakah energy tersebut.

Benar saja selang beberapa menit, ada SMS dari Gusti Putri Pambayun. Rupanya dia sejak jam 10 an sudah intens SMS dengan tokoh sakti (syekh) yang kemarin lagi. “He..eh..” Mas Thole mendesah perlahan. Mencoba mengabaikan saja apa isi SMS mereka. Namun gejolak rhas tidak mereda. Alam sepertinya sangat murka, ada nada pelecehan yang tidak disuka oleh leluhur. Berkali dirinya mencoba menggunakan akal dan logikanya, membiarkan saja smeua terjadi. Sayang tak bisa. Hawa itu kuat sekali untuk  segera bereaksi. Seperti ada gugatan atas apa yang terjadi di masa lalu. Sebuah ketidak puasan leluhur dan alam ini.

Leluhur ingin mengatakan, “Ini negri kami nusantara, kami sudah ber-tauhid sebelum kaum kalian datang. Kami sudah ber-iman sebagaimana nabi Daud ber-iman, Tuhan kami  adalah Tuhannya Harun dan Musa. Kami menerima semua agama-agama yang datang dengan tangan terbuka. Namun mengapakah kami harus berubah seperti kaum kalian ?. Apakah bumi jawa ini akan dibumi hanguskan oleh peradaban kalian. Apakah kami harus mengikuti seluruh budaya padang pasir. Apakah bumi Jawa yang sejuk damai akan diganti dengan bumi yang kering dan gersang. “

Gemeletak tulang-tulang Mas Thole menahan geramnya alam. Maka dalam kesadarannya beberapa kali Mas Thole mengirimkan SMS kepada kesatria lainnya untuk menyusun diri dalam sebuah formasi. Sebuah formasi para kesatria, formasi bintang pari. Prabu Silihwangi, Ratu Boko (Ratu Sima), Banyak Wide, Gusti Putri Pambayun, Putri Sriwijaya, Ki Wiroguna, dan Patih Nambi. Tersusun sudah kali pertama. Mereka terikat dalam suatu tekad dan visi, terangkai dalam sebuah hati, kekuatan hati yang hanya mereka sendiri yang tahu keadaan itu.

Awan ditarik ke Jakarta, air sudah terdengar berderak-derak, mengisi ruangannya. Bumi hari itu sepertinya akan dicuci. Terdengar dari berita, sejak mulai jam dua saat kejadian tersebut, Bendungan Katulampah masuk stadium Siaga 3, warga Jakarta agar waspada. Pasukan Pjajaran, Pasukan Ki Wiroguno sepertinya disiagakan. Inilah perang kesadaran. Bumi Jawa tengah bertahan dari serbuan kesadaran lainnya, sebagaimna waktu jaman dahulu. Saat mana bumi Jawa dipaku oleh kesadaran tokoh sakti tersebut. Paku tersebut tanpa disadarinya telah menutup kesadaran orang-orang Jawa.

Tokoh tersebut secara tidak disadarinya akan menjadikan bumi Jawa sebagaimana di arab sana. Bumi Jawa dalam proses arabisasi.Itulah yang menyebabkan para leluhur sangat murka kepadanya waktu di jaman dahulu. Penerimaan leluhur Jawa di salah artikan. Leluhur Jawa dianggap bangsa yang tidak beradab, dianggap menganut anisme dandinamisme. Padahal sebagaimana nabi Sulaiman yang bersahabat denganseluruh makhluk alam ini. Begitulah lelaku orang-orang Jawa. Persahabatan mereka dengan para lelembut, para ghaib dianggap sebagai musyrik. Sungguh anggapan yang keliru. Sebab mereka tidak mengerti kearifan disini, di bumi Jawa, yang lebih menekankan kepada harmonisasi alam. Alam realitas dan alam ghaib. Harmonisasi air, tanah, api, dan seluruh elemen-elemen lainnya di alam semesta ini.

·  …dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir, padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir) (QS , Albaqoroh 102).

Al qur an telah menjelaskan kepada kita, bahwa berkomunikasi dengan bangsa lelembut, Jin, Syetan, Perewangan dan lain-lainnya tidak menybabkan diri kita menjadi kafir. Namun syetan itu sendiri yang sudah kafir dari asalnya. Syetan tersebutlah yang mengajak manusia untuk berbuat kafir. Maka kenapakah  Nabi Sulaiman mampu menjalin komunikasi kepada mereka semua, malah dituduh kafir ?. Inilah yang dipertanyakan Allah kepada manusia yang berfikir. Begitu juga halnya leluhur Jawa bertanya hal yang sama kepada tokoh sakti yang berasal dari arab itu. Tidakkah dalam kisah-kisah Al qur an sudah ada pengajaran disana, bagaimana seharusnya suatu kaum menyikapi keadaan peradaban di setiap jamannya.

Sungguh luar biasa sekali kearifan yang diajarkan nabi Sulaiman kepada umatnya. Harmonisasi alam itulah yang diajarkannya. Maka kenapakah sekolompok umat yang mencoba tetap menjalankan pengajaran Nabi Sulaiman kemudian dituduh kafir ?.

Banyak sekali tokoh-tokoh spiritual yang luar biasa lahir dijaman Nabi Sulaiman. Pada masa itu peradaban manusia dipenuhi kesadaranmodel begitu. Yaitu kesadaran yang mensinergikan, antara kesadaran ghaib dan realitas, agar keduanya ter-harmonisasi meskipun saling  berimpit. Dan dahulu  leluhur tanah Jawa inilah yang terus mencoba mempertahakan kesadaran yang diajarkan Nabi Sulaiman dan Nabi Daud. Kesadaran tersebut mendapat tempatnya, dan berkembang subur di tanah Jawa ini. Salah satunya adalah ahli kitab yang diceritakan dalam al qur an yang mampu memindahkan singgasana Ratu Bilqis.  

Sayang kesadaran tersebut semakin tergerus oleh jaman. Anak-anak Jawa sekarang ini kehilangan Jawa-nya. Mereka seperti anak panah lepas dari busurnya. Kesadaran padang pasir, kesadaran dari kaum-kaum lainnya terus membombardir anakketurunan orang Jawa. Apalagi sat setelah bumi di paku oleh salah seorang tokoh sakti dari Mesir. Maka alam bumi Jawa seperti terselimuti kabut kesadaran, yang menjadi hijab mereka semua. Nah karena hal inilah, maka para leluhur Jawa kemudian marah kepada tokoh sakti yang satu ini. Luar biasa sekali marahnya.

Maka alam ditarik dari segala arah, air, awan, hujan dan petir, mereka berdoa kepada Tuhannya agar disegerakan saja, agar bumi ini segera dicuci sebersih-bersihnya. Mereka dalam kesedihan yang sangat, mendapati anak keturunan Jawa sekarang ini kehilangan jatidiri mereka. Orang Jawa yang lupa siapakah leluhur mereka. Orang Jawa yang lupa hakekatnya mereka semua hidup dimana ?. Semua dipicu oleh kelahiran sang tokoh sakti yang satu ini. Leluhur tersulut amarahnya. Hh…Mas Thole terdiam, satu malam dirinya mencoba mengurai. Mengapakah ada kejadian seperti ini. Dan kenapakah sekarang dengan raganya. Beberapa kali Patih Nambi juga memberi khabar yang sama. Apakah hikmah semua ini ?. Dia melihat awan diangkasa berwujud orang yang tengah tahyat akhir. Pertanda apakah ?.

Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati ,  dari  rasul-rasul (terdahulu) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Lihatlah nanti) Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan  mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.(Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. 46:35)

Ayat inilah yang kemudian menyergah Mas Thole. Jangan karena edar Alam, kemudian dirinya juga ikut  menghakimi. Posisi jiwanya harus masuk kedalam makna dan hikmah ayat tersebut. Bukan dirinya yang harus menggerakkan alam ini. Dirinya harus menunggu Allah yang menggerakkannya. Jangan dengan nafsunya. Itu yang semestinya dilakukan. Juga pesan ini disampaikan kepada para kesatria lainnya. Kita para kesatria tidak boleh tersulut amarah. Kita para kesatria harus mampu menahan ego diri kita. Jangan sampai para kesatria terjebak buju rayu syetan. Sehingga kemudian para kesatria memohon kepada Tuhan agar disegerakan hukuman bagi sang tokoh ini. Walau niat kita baik untuk mengingatkannya.

Biarkanlah sang tokoh sakti itu terus merasa benar. Biarkanlah dirinya terus merasa paling berjasa atas tanah Jawa ini. Biarlah dirinya terus mengabaikan leluhur tanah Jawa ini. Yakinlah , tetap alam tetap tahu sebenaranya siapakah yang mereka restui. Memangku khalifah di bumi nusantara ini. Jelas bukanmereka orang arab atau orang suku-suku lainnya. Mereka yang memangku bumi Jawa ini adalah orang-orang yang ber-Islam. Mereka yang telah mampu menanggalkan ego kesukuan mereka, mereka yang telah mampu menanggalkan superior mereka atas kaum lainnya. Sebab merekalah yang mampu memahami kedua alam.

Perlahan kesadaran Mas Thole terbangkitkan, dia serasa ditarik ke masa lalu. Suatu masa dimana pernah terjadi perang kesadaran anatara leluhur Jawa dan para pendatang lainnya. Keprihatinan leluhur Jawa bukan tanpa alasan. Ketika suatu kaum dijabut dari akarnya, maka mereka semua akan kehilangan jatidirinya. Hal inilah yang juga dikhawatirkan oleh sang Sabdo Palon Naya Genggong. Dan jaman sekarang ini semua terbukti. Orang-orang Jawa sekarang ini telah kehilangan Jawanya. Kehilangan empati mereka terhadap alam realitas dan alam ghaib. Dimana kedua alam ini sejak leluhur-leluhur mereka sudah bersahabat.

Kita adalah bangsa Jawa bangsa Nusantara, semuai adalah satu keluarga. Satu keluarga yang kemudian menyebar ke seantero tanah perdikan ini. Mereka menjadi raja-raja dimana tempat yang mereka tinggali. Dari tanah Pasundanlah dahulu orang tua mereka. Jadi semua bangsa nusantara adalah satu keluarga dari asalnya. Nafsu keserkahan merekalah yang membuat mereka musuhan. Berperang anatar satu dan lainnya. Satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Duh, tidakkah mereka tahu bahwa hakekatnya mereka masih keturunan yang sama ?.

Begitulah keadaannya, permusuhan Sunda dengan Sriwijaya, hanya bermula karena seorang wanita. Ratu Sima menolak pinangan Raja sri Wijaya. Ratu Sima telah membuat raja tersebut marah sekali. Maka dendam tersebut diwariskan kepada anak cucunya. Cerita kemduian bergulir, sambung menyambung. Sampailah kepada Putri Sri Wijaya yang kemudian menjadi ‘tumbal’ peperangan itu. Sehingga terjadilah peristiwa Pralaya yang menguncangkan kesadaran saat itu. Seluruh keluarga dan siisi kerajaan Dharmawangsa dibumi hanguskan. Dan sang Putri Sriwijaya ada disana menyaksikan peristiwa itu.

Sungguh peristiwa yang menghadirkan nelangsa dan iba. Karena perseteruan Sunda dan Sri Wijaya maka sang Putri Sriwijaya bersedia dikawinkan dengan Raja Sunda sebagai selirnya. Namun apa mau dikataka saat Sri Wijaya ternyata kemudian malah menyerang mertua dari permaisuri suaminya (Jayaputi). Entah berapa korban nyawa disana. Karena merasa bersalah akhirnya Putri Sri Wijaya diserahkan kepada Airlangga. Seorang Putri yang halus tutur bahasanya, dijadikan objek untuk sebuah kekuasaan, dilempar kesana kemari bagai sebuah barang yang bisa diperjual belikan.

Begitulah sejarah peradaban anak manusia. Maka Mas thole kemudian sedikit maklum. Bahwasanya residu rahsa masalalu mereka masih kental sekali. Sehingga para kesatria terkadang masih sangat emosional. Termasuk juga dirinya ini. Maka terus dikuatkan hatinya. Dia juga berpesan kepada para kesatria lainnnya, agar tyerus kuatkan hati mereka ini. Tugas para kesatria hanyalah menjadi saksi atas kekuasaan-Nya. Jangan mengaku-akau bisa ini dan itu. Tugasnya hanyalah bersyahadat pada setiap kali kesempatan yang ada. Dan terus memperkokoh itu.

Para kesatria harus focus atas hal itu. Persatuan para raja-raja Jawa harus segera dimulai terlebih dahulu. Keikhlasan mereka bersatu atas tanah nusantara ini, tidak ada lagi perebutan kepemimpinan disini. Biarlah Alam yang memilihnya sendiri. Maka secara spiritual (ghaib) meerka harus berniat untuk itu. Perlu symbol atas semua itu. Suatu symbol yang mempersatukan tekad meerka. Mereka dari tanah Pasundan.

Seluruh raja-raja di nusantara ini memiliki leluhur satu yaitu SUNDA. Maka symbol yang dapat mempersatukan itu adalah tanah dari pasundan sendiri asal dari raga mereka itu. Oleh karena itu, Mas Thole harus meneruskan kembali paku-paku yang mestinya ditancapkan ke pelosok nusantara. Tinggal 2 paku lagi yang terhenti. Maka minggu ini dirinya harus berangkat mengemban misi ‘Perjalanan’ lagi. Semoga Allah memudahkan perjalannya. Demi sebuah keyakinan, demi sebuah kecintaannya kepada negri ini. Negri nusantara.  Sekarang dia akan menuju ke ujung pulau Jawa, orang menyebutnya Madura.

Dan semoga perang tidaklah akan terjadi lagi. Meskipun itu dalam tataran kesadaran. Sebab hasilnya sama. Perang tetaplah perang. Akan menyisakan permusuhan dan dendam. Semoga ushanya direstui-Nya. Dan karenanya para kesatria tidaklah perlu sampai harus menyanyikan KIDUNG PRALAYA, sebuah kidung peperangan.

wolohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali