Kisah Spiritual, Diakah Kesatria Ke-enam ?
Seketika wajah memerah. Tak didapatinya pagi.
Perlahan keringat menetes, “Ijinkanlah aku kenang sejenak perjalanan.” Batinnya
terkulai, memohon kepada-Nya. Kilas balik masa lalu, seperti pembalikan
waktu, kembalinya menyisakan banyak cerita. Disana diantara tanah kering dan
remah bebatuan. Diantara rintik hujan dan kegelapan malam. Kejadian demi
kejadian, seperti sebuah film diputar, tayangan hitam putih, gambar demi
gambar, slide demi slide. Hingga penggalan tak terbaca. Masih terus mencoba
dimengerti, mengkais apa yang tersimpan
dimatanya. Tatapan terpejam dan nanar meliputi. Cahaya seperti lenyap dalam
pendaran. Semisal saat kita melihat televisi yang dimatikan mendadak.Maka ada
ruang jeda disana, sampai saat mana kemudian kita menyadari. Dimensi ruang
dan waktu yang kosong. Hampa, sunyi, tanpa apa-apa, hening saja. Blas...blas..!.
Sesaat pikiran terbuka. Bertanya, "Benarkah
telah terbawa kenangan itu , ke masa sekarang ini?." Namun semua
diam, tetapi semua juga bisu.Terasa lama hanya lidah kelu , menanti jawaban.
Cobalah dengar apa
katanya, “Waktu tiada bersisa, hanya rahsa yang ter-sedu di dada,
betapa sakitnya.” Terpaku sendiri menatap langit. Bertanya
lagi, “Barangkali disana ada jawabnya” Maka kemudian
teringat saat pencarian, pulang pergi didatanginya setiap pelosok negri.
Dibukanya kisah-kisah masa lalu, tentang para raja dan para resi. Tentang
kekuatan, cinta dan kemunafikan. Dia tafakur bersama malam,
dipuncak-puncak bukit disana, diantara petilasan-petilasan tua yang tak
terjaga. Banyak diantaranya yang hanya berupa bebatuan dan onggokan batu
merana. Sebab sudah ribuan tahun lamanya. “Mengenang sejenak
perjalanan” Katanya. “Dan semoga kerinduan ini, bukan jadi
mimpi diatas mimpi” Dia berdoa dalam rasanya.
Namun jiwanya, hakekatnya
tetap tak mengerti apa-apa. Ketakberdayaan raga begitu kuat
mencengkeramnya, membelenggu, berkutat dalam tarikan sang waku. Tarik menarik,
hingga hanya lirih tersisa. Bersama
hantaman rahsa, hanya nelangsa yang yang merayap dari fase ke fase
berikutnya. Langkah gotai, terus berusaha menjalani dan merangkai takdirnya
sendiri. Sementara rahsa itu semakin kuat saja. "Coba bayangkan betapa sakitnya." Dia sedang bejalan
dalam mencari siapakah 'jatidiri'nya,
melintasi waktu demi waktu.Keadaan itu meraga, hingga termanifestasi dalam
kehidupan nyata. Menjadikan dirinya bukan siapa-siapa lagi.
Begitulah yang terbaca oleh
Mas Thole. Sosok seorang Resi dari tanah Pasundan. “Diakah kesatria
ke-enam ?” Batin Mas Thole. Kelahirannya tak mendapat sambutan. Namun
Gn Papandayan sempat mengisyaratkan dengan letupan kecilnya. Sehingga karenanya
dinyatakan siaga dan radius 2 km tidak boleh ada aktifitas manusia. Gunung yang
beberapa tahun diam kini dinyatakan dalam keadaan bahaya. Tepat saat prosesi
terjadi di hari minggu (5/5) kemarin ini. “Ugh..kenapakah tak
terbaca..?” Mas Thole dalam merenungi.
Kelelahan dan
keletihan (fatig) jiwa-raga melandanya akhir-akhir ini, yah.. sudah 4 – 5
hari ini. Alam sepertinya membiarkan saja dirinya dalam keadaan begitu. Hingga
nyaris instrumen ketubuhannya tak berfungsi sebagaimana biasa. “Heh,
Apakah pertanda Gn Papandayan hanya kebetulan saja.” Dirinya
mencoba memaafkan keadaan yang menyebabkan rahsa bersalah itu.Angin , awan, dan
instrumen alam, serasa menjauh, menghadirkan keseyapan dalan jiwanya.Begitulah
keadaan Mas Thole. Kini dirinya dalam lamunan, tengah menapaki.
Dia menjadi resi bukanlah
kemauannya sendiri. Cinta dan sakit hati,
melatari. Dia menjauhi kehidupan duniawi bukan karena karena sebab dia suci.
Kekasih hati telah mengkhinati. "Sakitnya
tak terperi" Katanya berkali-kali.Dia ingin menyepi, tidak lagi
kembali ke dunia ini. Namun mengapa dia harus kembali. Sebab apa ?. Haruskah
dia reinkarnasi, dan mengulangi kesalahannya lagi ?. Maka dia menangis sedih
sekali. Tak peduli walau dia adalah resi. "Siapakah
manusia yang mampu bertahan dari gempuran rahsa ?" Mas Thole
menimpali. Dua sosok suami-istri, dua raga yang berbeda, mengalami trauma masa
lalu yang sama. Satu resi dan satunya lagi sang Senopati. Dialah Senopati Putri
gagah berani dan tak takut mati. Namun dia mati dalam sepi sebab cintanya
yang tak diminati oleh kekasih hati. Bukankah ironis sekali ?.
Harta, tahta, wanita dan cinta. Menjadi lakon
yang tak pernah usai. Menjadi melodrama yang mengharukan sekali. Sampaipun mereka
reinkarnasi tetap dalam meratapi, keduanya diam, tak berani menghadapi
keadaannya sendiri. Mereka takut atas cinta mereka sendiri, yang tak pernah
lengkang dimakan api sang
waktu
yang membakari. Mereka takut sekali, menghadapi ini, bila mereka menyadari, saat mana mereka tahu
sesungguhnya bahwa pasangan kekasih hati bukanlah raga-raga yang mereka saksikan
dimasa terkini. Bukankah akan
hanya saling caci maki ?.
Karena itulah, saat dieksplorasi mereka diam antara satu sama lainnya. Mereka
enggan bersapa, mereka takut realitas dirinya hidup diraga terkini yang tak sama keadaannya. Mereka
terlahir lagi didalam raga yang tak tersapa, bukan siapa-siapa. tak dikenali alam lainnya. Raga
manusia biasa yang tertatih-tatih memaknai kehidupan kota. "Mampukah mereka kembali meraih kesuksesan ?" Sang Istri
berharap dalam doa itu.Kembali meraih sukses hidup di dunia bersama
materi yang mencukupi.Begitulah beban manusia.
Mas Thole hanya bertafakur,
“Subhanalloh, betapa berat hidup ini,
terangkai dalam permainan akal dan pikiran manusia. Kita terjebak disana tanpa
mampu berbuat apa-apa. Manakah yang ghaib dan realita, menjadi tak ketara.
Demikianlah manusia diuji, manakah yang paling baik diantara mereka yaitu
manusia yang hanya ingat pada-Nya. Manusia yang sudah mampu lepas daripermainan
kata dan akal indrawi. Manusia yang melepaskan diri dari jebakan permainan kata
dan akal.” Keghaiban telah memebawa
mereka kepada rahsa-rahsa masa lalu. Realitas telah membawa mereka kepada
pengingkaran jatidiri. Sungguh betapa berat meluruhkan semua itu. Hingga tak
terasa raga telah mengering, merenta, dan semakin tua. Betapa mereka sudah
mengembara ratusan tahun lamanya. Mengapa sulit sekali paham itu. “Ugh. Betapa hidayah itu milik Allah.”
“Berapakah kesatria yang
akan diturunkan alam ?” Mas Thole hanya tahu bahwa dalam lingkaran
dirinya ada 7 kesatria. Kemudian diantara mereka akan membuat lingkaran lagi,
sepertinya semua akan ada 39 kesatria. Ya, kesatria pertama akan lahir 39 orang
ke masa kini. Menyusul kemudian kesatria generasi kedua. Semisal Siu Ban Ci,
yang telah lahir dan sekarang masih balita. Begitulah khabar yang diterimanya
dari sosok Kangmas di Indramayu.Jika setiap kelahiran ditandai dengan gejala
alam dan juga sensasi raga yang tak biasa. Maka masih harus berapa kali dirinya
tersiksa. Mas Thole membatin, mencoba memahami takdir yang menjadi bagian dari
kehidupan kekiniannya saat sekarang ini.
Saat sekarang ini baru 6
kesatria yang ditandai alam. Jika dirinya dikeluarkan sebab hanya saksi, maka
baru 5 kesatria yang dipilih alam. Masih ada 34 kesatria yang akan menyusul kelahirannya.
Maka bagaimanakah nanti kejadiannya. Betapa hebatnya saat alam saat memberikan
tanda-tandanya. Bumi merekah, lautan bergolak, gunung-gunung meletus, banjir
dimana-mana. Air, api, angin, dan seluruh elemen akan menysun dirinya
menyesuaikan keadaan diri mereka, menuggu perintah para kesatria. Alam akan
dalam keadaan siaga. Maka saat itulah alam semesta akan dalam keadaan ‘goro-goro’.
Bumi akan gonjang-hanjing dan langit akan berkelap-kelip, menandai para
kesatria yang akan lahir. Ini kepastian yang dikhabarkan alam. He eh. Namun
siapakah yang sadar, dan meyakini ?. Mas
Thole hanya bergidik membayangkan kemungkinan yang bakalan terjadi. Bagi
manusia biasa hanaylah Fenomena alam saja. Anomali iklim. Itu kata mereka. "Terserahlah..!" Mas Thole
mengelu.
"Ini
baru mulai " Bisiknya.
Gunung-gunung, air, angin dan api belum menunjukan eksistensinya. Mereka hanya baru 'latihan' saja. Baru sebatas
melancarkan tenggorokan. Gunung-gunung batuknya juga masih terbata. Belum
bagaimana semestinya. Begitu juga air. Meski
banjir sudah dimana-mana, itu hanya sekedar, mengurangi beban mereka saja,
melancarkan sumbatan selokan, katanya. Lihatlah juga api, meski mereka sudah
melalap perumahan, namun bagi mereka itu hanya sekedar 'warming up' saja. Tahun 2013 adalah tahun
dimana akan banyak sekali kesatria yang akan lahir. Mereka adalah kesatria
pertama yang akan meletakan pondasi dan akan mempersiapkan segala sesuatunya
bagi kelahiran kesatria gelombang kedua. Jokowi-Ahok adalah kesatria pembuka
langkah bagi kelahiran ‘para kesatria piningit’. Itu sudah
kehendak alam. Merekalah yang membuka alam realitas dengan langkah nyata.
Begtulah nanti laku para kesatria berikutnya.
Para kesatria akan lahir dalam tiga gelombang besar.
Masing-masing dengan pengaturan alam yang maha sempurna. Tugas Mas Thole dan
kawan-kawan yaitu para kesatria gelombang pertama yang berjumah 39 orang adalah
meletakan kesadaran. Mengembalikan tatanan alam sebagaimana keadaannya. Alam
gahib harus kembali kepada keghaiban. Makhluk siluman, jin dan perewangan harus
kembali kepada alam mereka semua. Tidak ada konspirasi jin dan manusia. Makhluk
siluman yang sekarang berjalan-jalan di alam manusia, menggunakan raga manusia
harus kembali ke alam meerka. Atau mereka akan ditempatkan di suatu wilayah
tersendiri. Mereka akan diusir sejauh-jauhnya dari bumi nusantara.
Jin dan silmuman yang sengaja ingin dipuja manusia akan
diperangi sehingga mereka kembali memper-Tuhankan Allah. Mereka yang
mengaku-aku sebagai Tuhan akan dibakar oleh api yang panas. Tempat-tempat
pemujaan di gunung , di laut, dan di tempat-tempat terpencil lainnya akan di
datangi para kesatria. Makhluk yang disana akan disuruh untuk menyembah Allah
atau meerka akan dibinaskan. Mereka akan diperangi jika terus melakukan
kesyirikan, dan terus menipu manusia dengan muslihat mereka itu. Pasukan perang
telah disiapkan diseantero negri untuk keperluan itu. Pasukan Pajajaran, Majapahit dan
Mataram sudah terkonsolidasi.
Pasukan Majapahit akan menguasai daratan, Pasukan Mataram
akan menguasi lautan, dan Pasukan Pajajaran akan menghaapi siluman yang
sudah terlanjur menjadi manusia. Mereka sudah terlanjur dikenal sebagai
manusia. mereka berada di elit politik, di pemerintahan, dan di level mana saja. Mereka
sudah menguasai seluruh aspek hajat hidup manusia. Sungguh keadaan ini sangat
mengenaskan. Bagaimana tidak, sejatinya kita sesungguhnya diperintah oleh makhluk tak kasat mata yang
menggunakan raga manusia. Wewe gombel dan makhluk jadi-jadian, mereka menjadi daya penggerak manusia dalam melakukan
aktiftasnya. Mereka memerintahkan raga manusia untuk keperluan mereka. Merekalah yang sesungguhnya memerintah di nusantara ini. Ini penjajahan namanya. Inilah wilayah paling berat
maka Pasukan Pajajaran akan berkonsolidasi disini.
Pasukan-pasukan dari kerajaan lainnya akan berkolaborasi
menjadi satu kesatuan utama. Mereka akan menjaga serangan dari para sekutu
siluman yaitu dari para manusia yang membela siluman dan jin. Sebab manusia
glongan ini adalah mereka yang menjadi antek-antek para jin. Mereka tahu bahwa
hakekatnya mereka men-Tuhankan jin. Mereka manusia-manusia berilmu dari
golongan manusia yang mengerti alam ghaib. Merekalah yang saat ini digunakan
oleh para jin untuk memata-matai pergerakan para kesatria. Maka para kesatria yang berilmu akan
melakukan konsolidasi bagaimana caranya menghadapi manusia golongan ini.
Mas Thole menghela nafas, betapa masih panjang
perjalanannya ini. Kelahiran kesatria keenam ini saja sudah membuatnya, berdesah tak mengerti. Dia masih gamang
sendiri, “Benarkah dia ini kesatria
ke-enam ?.” Dia seperti tak
merasakan dibadannya. Ataukah memang rahsanya seperti itu ?. Seperti rahsa
hampa yang kosong, seperti kelelahan saat frustasi. “Jikalau dia bukan kesatria yang dipilih alam megapa kelahirannya
ditandai dengan meletusnya gunung Papandayan..?” Resi siapakah, dan bagaimanakah keadaan
dirinya ?.Mengapa dirinya belum mampu menembus alam dimana dirinya berasal ?.
Ugh..!.
Bulan tersepuh di langit ketujuh. Pendarnya tak menyisakan
ruang nafas. Angin diam, dan seribu bahasa tak mampu mengurai, apalagi menjelaskan keadaan. Alam ghaib tetaplah
ghaib, meski sudah dijabarkan semuanya. Maka mengapakah harus risau ?. Alam
tetap akan menjalankan skenarionya. Bumi akan mengurusi urusannya. Langit akan
tetap tunduk kepada Tuhan-Nya. Semua akan patuh dan sudah semestinya mereka patuh.
Meski manusia tertatih memaknai itu. Mereka dalam keadan begitu jauh sebelum saat
mereka diciptakan. Begitulah Mas Thole mencoba
menerima rahsa hampa dan kosong yang menderanya. Sungguh dia dalam keletihan (fatig)
yang akut.
walohualam
Komentar
Posting Komentar