Kisah Spiritual : Tanda-tanda Lahirnya Kesatria Ke-7




“Aku berdiri diatas peron stasiun Bekasi, seperti orang tengah patah hati. Bukannya aku tengah putus asa, beban hidup dan hendak bunuh diri. Bukannya aku terlibat asmara terjatuh di dalam cinta buta. Bukan itu, bukan itu maksudku. Bahwa manusia kerap mengalami keresahan hatinya. Bahwa manusia selalu mengalami kosong hidupnya.”  Mas Thole seperti bicara kepada dirinya sendiri. Mengabarkan kepada awan di langit, menyergahkan tatapan mereka yang menduga-duga.

Pagi kemarin itu dia memang tengah menunggu kereta commuter line yang akan membawanya ke Jakarta. Terlihat awan , seperti gumpalan gula-gula kapas yang dilemparkan ke angkasa. Menimbulkan tanda-tanya lainnya bagi Mas Thole. Peristiwa beberapa hari kemarin saja masih menyiskan ruang kosong hampa di dalam rongga dadanya.  “Apakah yang akan dia alami lagi di hari ini.” Tak terasa dia menatap juga ke angkasa, memperhatikan gumpalan gula-gula kapas yang terus saja menyusun dirinya.

Peristiwa selama dua hari berturut-turut memang bukan peristiwa biasa. Bahkan Gusti Putri Pambayun akhirnya juga tidak masuk kerja. Badannya mengalami tepar, dan rasa pegal-pegal, diare beberapa kali. Energy kesadaran telah menghantamnya. Menimbulkan sakit di badan dalam realitasnya.  Bagaimana tidak , meskipun seperti nampaknya hanyalah dalam kesadaran, namun efek begitu luar biasa. Mereka tahu resiko itu. Dan setiap kesatria akan mengalami hal yang sama. Inilah perang kesadaran. Perang angan, yang sesungguhnya dapat merenggut nyawa mereka semuanya. Nyaris sulit dipercaya, namun faktanya, pemuda yang menjadi lawan Gusti Putri sempat terheran-heran, ketika mendapati ada 3 kelabang besar yang mati di dalam gayung bak mandinya. Padahal rahsanya kemarin serasa hanya dalam kesadaran saja. Dia kebingungan sendiri, kenapa kelabang itu nyata jadinya. Dia sempat bingung menanyakan hal itu kepada Gusti Putri. Karena mereka memang berteman dalam keadaan sehari-harinya.

Kejadian yang sebenarnya tidak aneh bagi Mas Thole, walau begitu tetap saja Mas Thole sering tersergah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. “Apa benar, apa iya, kenapa bisa begitu,” dan sebagainya. Realitas dan ghaib memang sulit dipahami, kesadaran apakah, dan kesadaran siapakah yang meyakini. Bahkan alam semesta pun dapat menjadi tidak ada jika kesadaran kita tidak disana. Begitulah keadaannya. Pada saat kemarin saat peristiwa terjadi, Mas Thole begitu sangat yakinnya, energy seakan-akan sudah meliputi dirinya. Dalam kesadarannya tidak hanya ratusan pasukan bumi meninggal bahkan ribuan. Mereka tidak terlihat jasadnya, Sebab jasad mereka seperti abu obat nyamuk bakar, bilamana kena angin akan langsung tersebar. Meninggalkan bau saja. Namun jika mereka terkena air jasad itu akan mewujud seperti seperti binatang nyata. Seperti 3 kelabang yang mewujud ada di gayung pemuda tersebut.

Peperangan yang meninggalkan gumpalan rahsa nelangsa, seperti rahsa kehilangan sesuatu, terselip dalam hati Mas Thole di pagi itu. Dia akan berangkat ke Bandung menemani clientnya untuk suatu urusan. Namun rahsa itu masih belum seberapa. Banyak peristiwa hebat yang terjadi di hari kemarin itu. Satu demi satu sepanjang perjalanan kereta menuju  Jakarta. Dibukalah file-demi file. Mulai dari berita yang di khabarkan Ratu Boko, tentang akan terjadi bedar alam. Begitu juga yang di khabarkan oleh adik sang Prabu di Bandung. Akan terjadi kelahiran besar-besaran, namun juga akan didahului oleh kelahiran sang kegelapan. Musuh-musuh kesatria akan muncul terlebih dahulu, mereka akan mencoba menggagalkan kelahiran berikutnya.Maka bagaimanakah raga ini tidak porak poranda. Inilah cuplikan rangkaian  email dengan Ratu Boko.
***
Tetap bersabar & Tawakal.
Setiap Satria dengan tugas nya masing2 yang akan bahu membahu membangun Nusantara BARU. Semua harus di selaraskan. Semua harus bersatu hati, & Ikhlas Ridho menjalankan  tugas Ilahi.

Alam sudah patuh & mengikut Satria... tinggal menunggu Satria2 yg lain & menyelaraskan nya.

Salam. 

Dari:
Kepada:
Dikirim: Selasa, 14 Mei 2013 13:37
Judul: Bls: Bedar Alam.


Ya..ya, mungkin semua orang ada bagiannya masing-masing. 

Salam

Dari:
Kepada:
Dikirim: Selasa, 14 Mei 2013 11:21
Judul: Bedar Alam.

Yang Kangmas informasikan ke saya Hanya... Ki Mangun Tapa adalah Awal mula Bedar Alam dimulai. Insyaallah minggu ini. Ilapat sudah di dapat.... semoga Allah SWT memudahkan segala urusan, Amin.

Salam.


***

Semangat adalah semangat, adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan. Namun bagaimanakah rahsanya. Jika gempuran rahsa terus saja bertubi-tubi menghantam dirinya ?.  Meniti anak tangga satu persatu itulah yang dilaluinya, menjadi perjuangan tersendiri. Setiap anak tangga tidak sama rahsanya. Setiap anak tangga memiliki kesulitan tersendiri. Keadaan dirinya  tahu sesuatu, sepertinya  tahu saja namun sulit sekali mengutarakan bagaimana keadaan tahu itu. Satu kata yang sama, rahsa membelit rahsa. Maka bagaimanakah keadaan itu ?.

Sebagaimana keadaan dirinya saat di peron. Tentunya dirinya akan mampu menceritakan keadaan di pagi kemarin itu. Saat mana dia berdiri di stasiun Bekasi seperti orang tengah patah hati. Tidak.. dia tidak akan mampu menceritakan rahsanya itu.  Walau seakan orang-orang disana menanatapnya dengan tanda tanya. Dan Mas Thole hanya mencoba  menyergah, tatapan anggapan  itu, “Bukan, bukan itu maksudku..”  Dan tentu saja dia hanya bicara kepada hatinya saja.

Begitu juga yang terjadi di pagi ini (17/5) , saat dia akan berangkat kerja. Diatas motornya, rahsa itu menyergahnya lagi. Air matanya mengembang perlahan. Hampir saja jatuh dipelupuk matanya. Hawa kesedihan  insan yang nelangsa, hawa kepasrahan atas kesedihan,  perlahan merasuki meliputi rongga dadanya menuju ke kepala. Merayapi bagai semut yang berbaris, menuju ke sel-sel syaraf otaknya. Diam disana alam. Menimbulkan sensasi keadaan sedih saja.  Membuat kesadarannya kembali harus menelusuri kejadiannya.

Ya, di Rabu malam (17/5) kejadiannya, saat beretepatan dengan peristiwa Gusti Pembayun. Malam itu dipikirnya sudah tidak ada peristiwa lain lagi, maka Mas Thole merapikan barang-barangnya untuk pulang. Dalam perjalanan pulang  tengah asyiknya dia menyelusup kesana kemari, mengurai kemacetan.  Ada perasaan yang aneh menyelusup dihatinya, menyuruhnya berhenti sejenak, ada firasat untuk membuka SMS. Dan…blegh…blegh…sontak kesadarannya tertarik ke suatu masa yang dirinya tidak tahu. Dia merasa dibawa kesuatu alam, ya..dia dibawa ke Haa. Sebuah SMS masuk dari seseorang di sebrang sana. Inilah bunyi SMS nya.

“Selesai membaca inbox Mas, tadi siang, saya tdk bisa membendung rasa sedih hati saya. Saya benar2 menangis tanpa saya ketahui penyebabnya. Disii lain saya bingung, disisi lainnya saya sedih teramat sangat sedih, smoga dalam waktu dekat, dimudahkan Allah jln sya untuk bisa silaturahmidgn teman2 disini.”

Rangkain kata itu seperti membawa energy masa lalu yang sangat luar biasa sekali. Pantas saja kesadaran Mas Thole ditarik ke kesadaran Haa (universal) jika tidak paparan energy yang dibawa kata-kata itu akan melukai dada Mas Thole. Energy kesedihan yang pasrah. Menggedor pertahanan Mas Thole. Seperti pusaran air yang mengaduk-aduk isinya. Seperti ada yang menuntunnya untuk membalas SMS itu. Meminta agar raga yang disana segera keluar melihat tanda-tanda alam. Maka sepanjang perjalanan pulang hampir 2 jam. Berulang kali Mas Thole harus berhenti, untuk menjawab SMS itu, memandu dia disana,  apa-apa yang harus dilakukannya. Dan sepanjang perjalanan itulah, dirinya harus bertahan atas gempuran rahsa sedih yang luar biasa.

Waktu dua jam perjalanan terasa sangat lama, kesadarannya ditarik ke masa lalunya, kesedihannya seperti dibongkar oleh hawa yang datang, kisah seperti diulang, bagiamana keadaan dirinya, bagaimana kisah cintanya, seperti dibalik-balikkan. Kemudian juga bagaimana perjuangan raga terkininya untuk mampu menyelaraskan diri. Semua seperti dipilin dan digulung menjadi satu. Namun diseling rasa itu ada bersitan raha bahagia mengemuka, bahwa ternyata pencariannya satu demi satu mengarungi pelosok nusantara ada hasilnya. Keyakinan dirinya dan ayahnya akan kebenaran mitos Kestria ternyata dinampakkan kepadanya satu demi satu. Kesedihan, kebahagian, nelangsa, sejuta rahsa bercampur, ber-sinkretisme menjadi sebuah bola raksasa yang melibas habis perasaannya.

Maka satu demi satu air mata Mas Thole menetes, jatuh dipipi, membasah tanpa mampu dia mencegahnya. Dibiarkannya saja air mata itu  tertumpah, air mata haru, air mata nelangsa, air mata iba, air mata bahagia, berguliran disana. Biarlah dirinya menangis, siapakah yang bilang lelaki tidak boleh menangis. Perasaan manusia sama saja. Hanya dia berkeluh pada Tuhannya.  “Tuhan beginikah rahsanya..!” Dia hanya mampu menyerahkan kepada-Nya. Menandai rahsa itu.  “Ini kesedihan yang tulus..” Batinnya siapakah dia ?. Kesadarannya mencoba mencari jejak-jejaknya. Residu ini demikian hebatnya. “Kesedihan seorang Putri Raja. Ya, dia seorang Putri Sriwijaya.” Dia tersentak, kesadarannya seperti mengingatkannya.

Kesedihan, kepahitan hidup, atas nama cinta, pengorbanan, atas nama kekuasaan, atas nama keyakinan. Sungguh hakekatnya kesedihan adalah kesedihan. Manakah manusia yang mampu menahan rahsanya. Dia mengorbankan cintanya demi sebuah keyakinan, dia mengorbankan raganya demi sebuah mimpi tentang kedamain. Dia mengorbankan seluruh cita-cita demi sebuah keyakinan. Berharap dengan pengorbanannya itu akan lahirlah sebuah bangsa yang damai. “Mengapakah manusia harus berperang ?” Itu selalu yang diutarakannya.  

Namun apalah arti semua pengorbanannya ini.  Jika nyatanya, kemudian kekasih hatinya dibunuh didepan matanya sendiri, jika kemudian apa yang diyakininya nyatanya hanyalah sebuah kenisbian saja. Terus apalah artinya jika semua pangkat, kedudukan, dan jabatannya tidak  mampu untuk mencegah semua itu. kalau begitu bukankah sia-sia ?. Apakah apa yang diimpikannya, apakah apa yang dikorbankannya sebanding ?. "Tidak..tidak sebanding sekali." Dia mneyergah kata hatinya sendiri. Berkata kepada langit dan bumi.  Hatinya benar-benar luka. Dia melihat kematian para kerabatnya. Dia melihat kematian demi kematian, yang  disaksikannya dengan mata kepala sendiri. Lautan telah menjadi bara api air matanya. Menenggelamkan dirinya dalam kesedihan yang pasrah.

Dahulu sebelumnya, dia berharap dengan pengorbanan dirinya perang tidak akan terjadi.  Namun pa yang terjadi ?. “Apalah artinya pengorbanannya ini..?” Dia ingin berteriak kepada langit. Dia ingin menjejak bumi. Apalah daya dia hanyalah wanita. Untuk apa tahta, untuk apa jabatannya ?. Meskipun diia ingin menghardik siap saja. Nyatanya hanya gema suaranya sendiri.  “Mengapa harus saling bunuh membunuh, bukankah kita sudah menjadi saudara..?”  Keluhnya lirih, nelangsa memsut sukmanya dalam diam. 

Teriakannya hanya semisal buih, yang kemudian ditelan ombak.  Buaih yang terdampar di tepi pantai, dan kemudian hilang di telan pasir-pasir pantai. Bertemanlah dirinya dengan itu, pasir pantai dan gulungan ombak, angin dan juga camar melayang diatasnya. Maka dia menangis amat lama, menjelah angkasa, menembus waktu, menerobos ke milinium ini. Dialah Putri Sriwijaya, yang dikirimkan sebagai ‘upeti’ ke kerajaan Pasundan. Demi sebuah persahabatan, persaudaraan, dan perdamaian. Padahal tidakkah ada yang tahu, bahwa dia punya jiwa , dia punya kekasih hati, dia punya nurani dan harga diri. Namun sebab apakah semua seperti tak peduli ?. He-eh !.  Dan dirinya pasrah, rela untuk itu. Namun apakah jadinya jika pengorbanannya itu sia-sia ?. Coba tolong , jawab pertanyaannya ?. Sebandingkah pengorbananya itu ?. Jawablah wahai manusia !. 

Ugh..!. Kesadaran Mas Thole, mulai tertata, menyusun kembali benturan rahsa yang menghardiknya, sekarang dia menyadari siapa yang dihadapinya. “Sungguh romansa kehidupan anak manusia, tidak lepas dari harta, tahta-kuasa dan cinta..” Bagaimankah menguraikannya ?. Meski dipoles dengan symbol-simbol perdamain atau lainnya. Tetap saja, rahsa menjadi realita utama anak manusia. Menyadari itu, Mas Thole kemudian, terus intens berkmunikasi via SMS. Meminta raga terkini untuk diam menatap angkasa, memperhatikan tanda-tanda alam, sebab dalam kesadaran Mas Thole sebentar lagi pasti aka nada yang bakalan terjadi. Angin, awan, dan hujan, sedang menuju posisinya.

Beberapa kali SMS masuk ke Hp Mas Thole mengkhabarkan perkembangan disana. Di khabarkan dia melihat awan berbentuk manusia, sedang menyangga sesuatu dari kedua belah tangannnya, dan sesuatu oitu akan iberikannya. Semenatra sosok awan itu di bawahnya lagi dia melihat awan berbentuk binatang yang ditungganginya. Mendengar perkembangan tanda alam sudah saatnya, Mas Thole menjawab agar segera mempersiapkan diri untuk menerima amanah-Nya. 

Dari SMS yang terus berdatangan Mas Thole tahu keadaan disana Dia tahu jika keadaan dirinya sedang menangis terus menerus. Hal ini terasa sekali di badan Mas Thole. Maka ketika saat itu badan raga-nya disana tiba-tiba panas demam, tanpa sebab tangan dan kakinya dingin sekali. Mas Thole menyadari bahwa raganya tidak akan kuat. BIlamana harus dipaksakan menahan energy kesedihan itu. Maka dia menganjurkan agar  istirahat aja terlebih dahulu. Namun sebelum dia istirahat dia sempat mengkhabarkan bahwa dirinya mendengar suara alam yang hiruk pikuk hebat sekali.

“Nanti akan diperlihatkan tanda-tanda alam.” Hanya itu saja jawaban singkat Mas Thole. Sepertinya dirinya yakin saja. Benar saja begitu keadaannya, sebagaimana yang dia saksikan dan diberitakan via SMS ini.  “Selesai menyaksikan tanda2 dr angkasa saya istirahat tdr dan tersentak bangun saat angin mulai kencang dan hujan deras bercampur kilat dan petir, sy hanya diam di dlm rumah, tdk berani keluar, hingga semuanya reda, baru kantuk menyerang dan sy pun tidur..Smg dalam wkt dekat sy bs dtg ke jkt..”

Berkisar jam 1 malam amukan alam memang berhenti, anehnya tiba-tiba rasa kantuk hebat menyerangnya lagi. Maka dia tertidur sampai pagi. Bangun pagi dia kemudian mengirimkan SMS kepada Mas Thole, yang memang sudah menanyakan khabarnya terlebih dahulu. Dan inilah petikan SMS nya ;

“Alhamdulillah sudah rada mendingan Mas, hanya saya tadi mlm di mulai dari jam 11 hingga sekitar jam 1 an, hujan deras disertai angina kencang, sepertinya angina puting beliung , menghantam kotapekanbaru, sy baca dr status bbm dan fb, katanya banyak pohon2 tumbang, sy hanya bisa diam, mungkin suara angin itulah yg tadi mlm yg sy dengar”

Apakah ini suatu kebetulan. Apakah pertanda alam yang dinampakkan akan menambah keyakinan, ataukah malahan membuat kita berpaling ?. Sebab keadaannya memang seperti sebuah kebetulan saja. “Tuhan..lindungilah kami, sungguh kami hanya manusia lemah. Sulit bagi kami memaknai kejadian. Maka berilah kami petunjuk”, Mas Thole hanya lirih dalam takjim berdoa, bertanya, “Benarkah itu tanda-tanda akan lahirnya kesatria ke -7”

Begitulah beberapa kejadian yang mendampar kesadaarn Mas Thole hanya dalam waktu 2-3 hari ini. Sungguh pantas saja jika keadaannya kemarin ini seperti yang diisyaratkannya sendiri. “Aku berdiri diatas peron stasiun Bekasi, seperti orang tengah patah hati. Bukannya aku tengah putus asa, beban hidup dan hendak bunuh diri. Bukannya aku terlibat asmara terjatuh di dalam cinta buta. Bukan itu, bukan itu maksudku ! Bahwa manusia kerap mengalami keresahan hatinya. Bahwa manusia selalu mengalami kosong hidupnya.”   Dan siapakah yang mengerti ?.

Wolohulam bisawab.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali