DALAM KEADILAN TAKDIR

Mengugat takdir..!
Menggugat Takdir..?. Mungkinkah..?. Tanpa kita sadari seringkali kita mempertanyakan nasib kita~takdir kita. Entah kepada diri sendiri, dan atau bahkan diantara do’a kita. Kita mempertanyakan mengapa begini , mengapa begitu ? kepada Tuhan~sang Kreator, sang Pencipta ~yang telah mengadakan kita ada di muka bumi ini. Nyaris, keluh kesah kita mengalahkan apa-apa yang saat sekarang dan diwaktu-waktu lalu sempat kita nikmati~dan sudah kita terima ‘cash’ saat lalu dan kini.

Sebagai manusia~sebagai pribadi. Tak jarang kita juga selalu membandingkan, kenapa saya tidak dilahirkan dari rahim istri pejabat itu, atau dari istri orang kaya dan terpandang itu. Di dimensi lain; pribadi yang terlahir dari istri pejabat~berkeluh kesah pula, harta sekian banyak tidaklah berguna, dia lebih meng-inginkan kasih sayang orang tua, mereka ingin orang tua senantiasa ada disampingnya. Kisah itu sering kita saksikan sehari-hari. Begitu seterusnya antar si kaya dan si miskin, sama-sama mengeluhkan nasibnya~takdirnya.

Keduanya mengalami hal yang sama~Jiwanya terhimpit terhadap suatu persoalan~terhimpit oleh persespsinya. Anehnya rasa ini, tidak pandang kepada tampilan kulitnya, semua manusia memiliki Jiwa yang sama, memiliki rasa yang sama.

Itu baru dari sudut pandang kaya dan miskin~kalau kita lihat dari si baik dan si jahat~surga dan neraka lebih parah lagi ; pribadi yang dilahirkan dari rahim seorang pelacur misalnya. Si baik akan melihat dengan sinisnya, memberikan legitimasi neraka, tidak perduli apakah dia melakukan kebaikan sebesar gunung. Bagi si baik~persepsinya ~pelacur sama dengan neraka. Sehingga untuk kembali ke masyarakat normal mereka butuh energi luar biasa.

Semua pasti sepakat~bahwa tidak ada satu manusiapun yang dapat memilih dari rahim manusia mana dia akan dilahirkan. Tiba-tiba saja kita ada~dari suku apa, benua apa, agama apa, jabatananya apa, rahim siap, jahatkah , baikah, di tengah kota, di tengah dusun, dan lain sebagainya.~kita tidak pernah tau itu, dan memang saat kita kecilpun kita tidak pernah perduli itu. “Emang Gue Pikirin (EGP)”, kata kita saat kecil. Namun persoalan muncul, ketika kesadaran si kecil bertemu dengan kesadaran kolektif. Kesadaran komunitas~yaitu sebuah kesadaran yang dibangun berdasarkan persepsi-persepsi manusia secara bersama-sama. Dimana kesadaran ini biasanya menggunakan standar yang dibuat manusia, yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.

Contoh persepsi pada kesadaran kolektif yang paling gampang misalnya HANTU; kalau kita tanyakan kepada manusia, apakah pernah melihat HANTU.?. Lebih banyak mereka akan menjawab BELUM. Tapi kenapa kita takut terhadap HANTU, melihat saja belum pernah. Berdasarkan dari katanya~namun diyakini keberadaannya. Inilah persepsi yang dibangun oleh kesadaran kolektif. Anehnya, gambaran visualisai Hantu disetiap wilayah ternyata juga tidak sama.; hantu pocong, kuntilanak, tidak dikenal di Amerika, demikian juga halnya hantu Amerika tidak di kenal di Indonesia. Persepsi hantu setelah divisualisasikan ternyata juga berbeda-beda. Masing-masing wilayah mencari bentuk-bentuk yang biasa mereka dapati di sekitarnya. Wilayah yang lebih banyak srigala; maka hantunya Manusia Srigala. Wilayah yang banyak orang mati ; maka hantunya Hantu Pocong , dan lain sebagainya. Ketika terjadi globalisasi informasi maka kemudian di Indonesia ikut latah mengimpor HANTU dari daratan eropa ; drakula, dan sebagainya. Meski kita sendiri juga belum pernah melihat drakula itu sendiri, namun kesadaran kita mengamini adanya hantu tersebut. Inilah cara bekerjanya kesadaran manusia.

Bagaimana jika presepsi kemudian mengarah kepada wujud Tuhan..?. Islam datang menantang presepsi seperti itu dengan pengajarannya~Al qur’an menantang dengan ayat-ayatnya. Buktikan kebenaran ayat-ayat Kami, demikian ajakan al qur’an. Kita mesti melakukan kontempelasi pada diri kita sendiri, bila persepsi dari kesadaran kolektif sesuai dengan Al qur’an ~ adanya itulah kebenaran yang harus kita yakini.

Kembali kita lanjutkan; manusia memang diwajibkan memohon dan berdoa kepada Tuhan. Namun perlu terlebih dahulu kita coba kenali siapakah sebenarnya yang memohon kepada Tuhan; apakah nafsu kita, diri kita, ataukah lainnya. Sejenak kita amati kecenderungan manusia melalui narasi berikut.

Pertama; Pada saat kita melihat foto kita saat bersama teman-teman kita,~ siapa yang pertama kali kita cari di foto itu..?. Kita pasti akan mengamati foto kita sendiri, kita perhatikan dengan sangat tekunnya, apakah foto kita terlihat baik atau terlihat buruk. Kalau pas kebetulan terlihat buruk, kita lantas mengeluh, dari A sampai Z. Kita tidak peduli foto temen-teman kita lebih parah dari kita.
Kedua ; Saat kita mengalami sakit gigi~mampukah kita memikirkan lainnya, kita merasa sebagai manusia yang paling merana di seluruh duni. Saat tak sengaja kita melihat berita tentang tsunami di aceh menelan sekian ribu jiwa, kitapun tetap saja masih merasa paling merana. Saat itu, tidak ada rasa empati yang muncul, gara-gara sakit gigi saja.
Ketiga ; Saat kita mau berangkat ke kantor siap yang paling sibuk ?. Otak kita~ Jiwa kita paling sibuk. Mobil masih belum sempat di starter Jiwa kita sudah sampai di kantor, mengelana ini itu saat di kantor, membayangkan apa saja yang akan dikerjakan, bahkan kitapun dibawa seakan-akan kita sudah mengerjakan itu semua. Raga dipaksa-paksa agar mengikuti Jiwa. Akhirnya saat terjebak macet, raga menjadi stress, penginnya raga juga sudah sampai ke kantor juga. Syaraf akhirnya overload menerima perintah yang nggak jelas ini. Kita kemudian jadi marah-marah sendiri. Sesampainya di kantor,~ karena Jiwa dari pagi tadi sudah berangan-angan mengerjakan ini itu (dan bagi Jiwa memng sudah mengerjakan itu semua, sudah mengeluarkan energi juga) menjadi lunglai lemah sudah. Begitu duduk di kursi~akhirnya Jiwa kelelahan sendiri, kita tidak ada daya untuk mengerjakan pekerjaan lagi. Baru saja menarik nafas dua tiga kali, Jiwa sudah meliar lagi , bagaimana kalau kerjaan tidak selesai, nanti bos marah. Jiwa kemudian sudah sampai di adegan ketika kita di marahin bos, kita dengar makiannya, kita dengan hardikannya lengkap visualisasi sang jiwa kepada otak kita. Dan ini berlangsung terus menerus Jiwa akan terus meliar dimanapun dan kapanpun. Capai dech..!.
Keempat ; Saat kita sholat~seharusnya momen ini dapat kita jadikan sebagai tempat untuk mengisi ‘charge’ energi kita, sebagai tempat untuk kita melakukan negosiasi dengan Tuhan. Namun apa yang sering kita alami. Lagi-lagi Jiwa tak mau diam, mengelana kemana-mana, ingat istri, ingat kerjaan, ingat kunci dan lain sebagainya. Selesai sholat kita malah tidak mendapatkan kesegaran~kita menjadi capai. Bagaimana tidak capai, Jiwa mengelana kemana mana, bukankah perlu energi?. Begitu juga saat berdo’a, entah apa yang di baca, entah meminta kepada siapa, yang penting itu doa yang diajarkan, ya di baca. Sudah.
Mari kita analogikan; bagaimana saat kita meminta projek kepada atasan; kita diminta menyiapkan proposal yang berisi analisis dari pelbagai segi, untung rugi, factor resiko, disitu sudah meliputi keahlian kita tentunya. Lengkap sudah. Kemudian kita ajukan, kita sampaikan dengan hati-hati, dengan sangat runut dan santun. Kemudian kita diam menunggu respon dari bos kita. Belum ada rspon, kita mulai lagi jelaskan detail-detail yang sekiranya dapat meyakinkan bos. Kalau hari itu belum dapat respon, hari berikutnya kita datangi lagi dengan cara yang sama, dan seterusnya dan seterusnya. Melihat kegigihan kita, bos kemudian yakin kemudian beliau mulai merespon. Dengan kesungguhan kita, kemantapan hati kita, bos pun yakin. Meskipun sudah disetujui, segala sesuatunya pasti tetap harus di negosiasi dan dikonsultasikan dengan bos. Bahkan mungkin akan terjadi tawar menawar anggaran, dan sebagainya.
Apakah dalam berdoa kita melakukan hal yang sama seperti itu kepada Tuhan..?. Kita bahkan tidak yakin bahwa kita berhadapan dengan Tuhan. Apalagi saat kita menyampaikan doa kita. Kita tidak pernah perduli mau sampai atau tidak mau direspon atau tidak. Kita panggil Tuhan berkali-kali, ribuan kali malahan. Cuek aja kita panggil terus. Saat Tuhan sudah meresponpun, kita cuek aja terus manggil-manggil. Nah…kita tidak sadar itu kan..?.( Bagaimana kalau kita memanggil bos kita dengan cara seperti itu..?. )

Kalau kita mau amati sebenarnya banyak sekali contoh-contoh yang dapat kita ingat~yang sungguh kadang-kadang membuat geli kita sendiri. Saat kemudian jika kita analogikan, kitapun hanya senyum-senyum simpul.

Sekarang kita sudah menyadari siapakan Jiwa itu; entitas yang bolak balik sering disebut Qolbu, sering meliar, meluas, tidak bias diatur, penginya minta bebas. Bisa kemana saja bias kepada kefasikan atau kepada ketakwaan. Marilah kemudian kita lanjut lagi.

Dalam Keadilan Tuhan..
Takdir sering disandingkan dengan keadilan Tuhan. Dalam perspektif manusia, atribut keadilan yang melekat pada sisi kemanusiaan adalah ; Kaya Miskin, Susah Senang, Baik Jahat, Puas Tidak Puas, Sedih Gembira, dan sebagainya. Kesemua kata tersebut masuk ke dalam wilayah RASA.
Setiap suku kata yang kita sebutkan akan memberikan sebuah imajinasi dan asosiasi tertentu tentang sesuatu yang di dalam perspektif manusia akan mengandung sebuah NILAI. Manusia memberikan nilai dalam perspektifnya, bahwa kalau miskin itu tidak bahagia, susah, kemudian dikaitkan dengan kesulitan-kesulitan lainnya. Inilah kata miskin bagi manusia. Begitu juga pada atribut atribut lainnya PELACUR misalnya, akan dipersespsikan mengandung konotasi , jorok, jijik, jahat, sampah masyarakat, dan hal-hal negatif lainnya.

Implikasi kepada Raga yang kebetulan terlahir dari rahimnya orang miskin, dan rahimnya pelacur , dan lain sebagainya akan dicap dengan stigma stereotip sebagaimana persespsi kesadaran kolektif mereka itu. Kemudian manusia mempertanyakan dimana keadilan Tuhan, kenapa dilahirkan dalam kondisi seperti itu ?.

Subhanalloh. Maha suci Allah dari persepsi seperti itu. Allah adalah Dzat yang tidak bisa dipersepsikan dengan apapun, baik dalam sifat maupun dalam Dzat-Nya. Dan Allah lepas dari persepsi-persepsi manusia itu.

Allah menganggap bahwa semua Jiwa saat dilahirkan adalah sama; entah itu kaya, entah miskin, pelacur, pejabat, dan lain sebagainya. Manusia dilahirkan dalam keadan fitrah. Inilah konsep Tuhan. Islam tidak mengenal dosa turunan, bahkan Islam juga tidak mengenal hukum karma. Menurut Islam sangat tidak adil jika Jiwa manusia sekarang harus menanggung kesalahan masa lalu dari nenek moyangnya, atau harus menanggung dosa ibu bapaknya. Apakah bila ibunya seorang pelacur anaknya akan menjadi pelacur..?.Apakah seorang pelacur kemudian tidak akan masuk surga..?. Manusia kemudian diajak berfikir. Bukankah perspektif manusialah yang menghakimi demikian.

Demikian juga, untuk anak-anak yang kebetulan terlahir dari rahim seorang ibu yang non muslim. Apakah juga akan mengalami hal yang sama. Apakah mereka pasti akan masuk neraka. Kalau demikian dimana keadilan Tuhan..?. Mereka bahakan tidak pernah minta dilahirkan apalagi dilahirkan dari rahim seorang ibu yang non muslim. Apakah salah ibu bapaknya..?. Ternyata ibu bapaknya juga terlahir dari nenek moyang yang non muslim juga. Kalau demikian bagaimana ini.?.

Kemudian menjadi menarik, apakah anak-anak muslim pasti juga masuk surga. Padahal tingkah laku dan perbuatannya jauh dari ahlak seorang muslim. Apakah jika sudah bersyahadat dia dijamin masuk surga..?. Bukankah semua Teologi juga mengajarkan hal yang sama. Jika manusia ber-iman dengan iman mereka akan dijamin masuk surga. Kenapa semua agama bias mengatakan hal yang sama. Apakah setiap agama meimiliki surga sendiri, memiliki kapling sendiri sehingga dengan sangat yakin menentukan siapa-siapa saja yang akan masuk surga..?. Kalau sudah begini kajian ini menjadi semakin berat saja. Baiklah nanti hal ini akan kita kaji kemudian.


Setiap manusia telah dibekali oleh sang Pencipta untuk mengenali kebenaran sejati. Di dalam diri , manusia baik muslim maupun non muslim ada ‘Bashiroh’. Semacam GPS atau semacam system peringatan dini. Sistem ini akan bergetar saat manusia melakukan sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak selaras dengan system yang ada dalam jagad raya ini. (Sunatulloh). Tidak peduili apakah dia tidak sekolah, lulusan SD, hingga S3 sekalipun, memiliki system yang sama. Bekerja dengan cara yang sama dengan kualitas yang sama pula pada setiap manusia. System ini inheren dalam Ruh manusia bukan lagi pada Jiwa. Sangat sederhana sekali cara bekerjanya. Setiap manusia yang mengikuti system peringatan dini ini, pasti akan dapat menemukan Tuhannya dengan benar.
System ini berfungsi atau tidak berfungsi pada manusia tergantung atas persepsi manusia tersebut dan kecenderungan yang diikutinya serta kesadaran kolektif pada komunitas tersebut. Bukan kepada pendidikan orang tersebut. Justru semakin pandai orang tersebut biasanya dia akan terjebak kepada pola berfikirnya~kepada persepsi-persepsi yang dipelajarinya. Orang yang terlahir diantara penganut agama Kristen , ada kecenderungan akan mengikuti agama tersebut. Manusia secara alami~sebenarnya mampu menemukan apakah kebenaran dengan adanya system tersebut. Namun biasanya system ini akan bekerja jika manusia tersebut mendengarkan terus system ini. Misalnya ; Bila ada pemahaman yang tidak pas system ini akan berdering, menuaikan tanda Tanya kepada hati,~ kemudian manusia tersebut berusaha mencari, bila dia mampu merunut terus pasti akan ketemu. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim. Namun biasanya dorongan ini, dikalahkan oleh kesadaran kolektif yang bersifat atribut-atribut saja.
Betapa sulitnya seorang anak yang terlahir dari komunitas Kristen untuk beralih ke Islam. Kesadaran kolektif telah membelenggu, belum lagi sanksi sosial dari komunitas mereka. Maka Islam menghapuskan seluruh dosa yang telah dibuatnya sebelum dia masuk Islam. Inilah keadilan Tuhan.

Penjelasan yang sama seperti pada anak dalam komunitas Kristen, berlaku juga untuk anak dari komunitas pelacur. Tingkat kesulitannya untuk menjadi muslim yang baik lebih berkali kali lipat sulitnya bila dibandingkan dengan anak yang terlahir dari komunitas santri. Untuk melakukan satu kebaikan saja, dia harus melawan kesadaran kolektif pada komunitasnya. Contoh saja ; Sholat. Saat dia mengerjakan sholat, perlawanan dari komunitasnya sangat hebat, di tertawakan, dikucilkan, dianggap aneh dan sebagainya. Bila dia mencoba berbaur kepada muslim yang lain, dia juga masih harus menerima tatapan dan pandangan lain, curiga, sinis, jijik, manusia kotor, dan lain sebagainya. Dua kelompok ini mengadili dengan perspektifnya masing-masing. Namun Allah maha tahu, setiap kebaikan yang dilakukan oleh Jiwa di dalam raga pelacur ini memiliki NILAI tinggi di mata Allah. Dalam hadist diriwayatkan ada seorang pelacur yang masuk surga karena kebaikannya memberikan minum kepada seekor anjing. Kebaikan dari Jiwa yang tulus. Inilah keadilan Tuhan.

Kemudian bagaimana dengan keadilan bagi si kaya dan si miskin. ?.
Tuhan telah mengaliri rasa senang, sedih, puas, cinta dan kasih sayang, dan lain-lain. Kepada si kaya dan si miskin Tuhan mempergilirkan ras-rasa itu dengan sangat luar biasa sekali. Dengan suatu ukuran formulasi yang demikian seimbang dan pas sesuai dengan ukuran manusia itu. Saya akan memberikan satu ilustrasi untuk rasa puas~kepuasan dalam mendapatkan uang saja. Misal kita berikan skor tingkat kepuasan adalah 1 – 10.
Pertanyaannya, berapakah uang yang harus didapatkan oleh si kaya dan si miskin untuk mendapatkan skor tingkat kepuasan di angka 5 saja.
Si Miskin mendapatkan uang 10 ribu rupiah sudah sangat bersyukur, dia bias makan hari ini, tingkat kepuasannya mencapai 5. Namun sebaliknya, si Kaya karena terbiasa mendapatkan uang ber milyar-milyar. Jika dia mendapatkan uang 1 juta rupiah pun, skor tingkat kepuasannya tidak mencapai angka 1. Bisa diperbandingkan..?. Anda dapat cari contoh lainnya, yang menyimpulkan bahwa uang (kekayaan) bukanlah segala-galanya. Inilah keadilan Tuhan.

Masih banyak sekali pertanyaan sebenarnya yang bisa di kaji lagi, namun semua~kalau kita jeli dalam mengamati~akan nampak bahwa entitas Jiwa-lah yang senantiasa ter-bolak balik. Dari contoh-contoh kasus diatas,
terlihat bahwa peranan Jiwa sangatlah dominan. Jika kita sadar ‘beruntung lah orang yang senantiasa menyucikan Jiwa-nya’. Dia tidak akan terbolak-balik, menghadapi takdirnya dengan tenang dan puas serta ridho.

Kalau sudah demikian, bagaimana kita bisa menggugat Takdir . Jika keadilan dalam perspektif kita ternyata hanya diatas logika persepsi manusia saja. Walohu’alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali