DIAMBANG MORALITAS ISLAM

Pemberitaan akhir-akhir ini tentang para Hakim yang pergi Umroh dengan difasilitasi dana dari Gayus Tambunan, tak pelak meninbulkan pro kontra. Baik media cetak, elektronik maupun millis, mencoba mengulas dari pelbagai sudut pandang. Hingga memasuki wilayah teologi Islam. Banyak sekali yang menyudutkan Islam. Tak pelak lagi Islam sebagai ‘Teologi’ tertohok oleh ulah para pemeluknya sendiri. Bahkan yang lebih memiriskan lagi, masalah ini dibawa-bawa sampai kepada sang pembawa risalah sendiri. Muhammad SAW. Tentunya dari sudut pandang yang jelas-jelas merugikan Islam.

Menyikapi fenomena ini saya jadi terusik~dalam keprihatinan saya, saya mencoba ber-kontemplasi kepada diri saya sendiri “SUDAH BERAGAMAKAH SAYA…?”. Apakah bila saya berada dalam posisi hakim tersebut, saya tidak melakukan itu ?. Apakah saya termasuk ke dalam salah satu orang yang berteriak lantang, dikarenakan tidak mendapat posisi ?. Sungguh tantangan yang sangat sulit..?. Karena saya tidak di posisi itu. Mestikah ke-imanan harus diuji..?.



Ini salah siapa ? Ini dosa Siapa ?



Perlahan lagu Ebiet mengantarkan saya ber-kontemplasi ~dari dua buah speker kecil di samping kanan kiri monitor. Sebuah lagu lama, yang syarat dengan pesan-pesan moral. Pandangan sepertinya nanar~tertarik, berpendar , ke lorong-lorong masa lalu, kembali ke masa kini, menyeruak ,menyusuri sel neuron dalam otak saya mencari detail-detail yang dapat saya tuliskan untuk mengawali kajian ini.

Hingga sampai saat. “salah siapa…ini salah siapa, dosa siapa ini dosa siapa..mestikah aku bertanya lagi..?”. Seiring lagu berakhir, pertanyaan itu juga menghentak saya. “Mestikah saya bertanya lagi..?. Kepada siapa..?. Jikalau kenyataannya di Indonesia ~umat muslim terbesar diseluruh dunia ini, secara ber-jamaah telah melakukan korupsi ?. Dengan rasa bangga diri, barangkali ?.”.

Kebenaran menjadi sebuah kesadaran yang nisbi. Sebagaimana kisah 1 orang yang tidak dihipnotis melawan 99 orang yang terhipnotis. Jelas kebenaran semu akan berpihak kepada kolektif. Dan menganggap yang 1 orang tersebut salah. Padahal kenyataannya 99 orang tersebut sedang terhipnotis alias terhijab alias ter-cover alias ter-kafir. Nah, kalau begini bagaimana Negara ini, jikalau sebagaian besar kena hipnotis semua, sehingga mereka memandang baik perbuatannya yang buruk. Waduh….!.

Pertanyaan meliar…Kalau begitu dimana peran agama dalam mendidik moralitas..?. Lebih membuat kita kecut lagi~ bangsa cina yang tidak beragama justru moralitas dalam hal ini lebih baik?. Beragama dan tidak beragama ternyata sama..!. Ternyata beragama tidak serta merta membuat pemeluknya mampu melepaskan diri dari perbuatan keji dan mungkar !..Apakah benar begitu ?.

Frustasi dan skeptis. Bahkan kemudian muncul radikalisme, masih untung jika hanya memboyong seluruh atribut masa lalu saja , atribut sosial budaya masa lalu, masa rosululloh di bawa ke masa kini. Paling-paling hanya dikira orang ‘aneh saja’.

Lha.. kalau pas yang di contoh yang diboyong hanya penggalan saja, sebagaimana, ‘jihad’ . Jihad saat ini hanya dimaknai ‘BALAS DENDAM’~ Jihad dalam arti yang sempit yaitu “dengan mudahnya ~menyalahkan Negara lain , bangsa lain, golongan lain , atas situasi yang menimpa Islam, kemudian juga memusuhi segama yang tidak mendukung atau sealiran “. Inilah salah satu bentuk frustasi menghadapi pergolakan , dan pergulatan jaman karena ketidak siapan seluruh elemen sumber daya manusia muslim sendiri. Maka pada akhirnya Islam akan menjadi agama ‘menara gading’, akan jauh dari rahmatan lil ‘alamin’. Seperti yang sudah terlihat di depan mata kita, dengan moralitas para hakim. Sosok yang mewikili Tuhan di dunia, yang menentukan bersalah atau tidak, menentukan nasib terpidana. Kalau sosok ini bisa terbeli, hancur sudah bangsa ini. Duh..!.



Moralitas Islam



Bicara mengenai moralitas, adalah berbicara mengenai ; tatanan dalam kemunitas. Bagaimana bersikap terhadap diri dan terhadap orang lain dan juga terhadap kelompok, atau negara. Islam sangat memandang penting hubungan ini. Saking pentingnya Raja Manusia~Tuhan semesta Alam `Allah SWT~ menurunkan langsung hukum-hukumnya. Islam tidak mempercayai manusia dalam menyusun hukum-hukum ini. Karena manusia memiliki kecenderungan terhadap nafsu. Maka pasti manusia tidak akan dapat berlaku adil. Tidak akan mampu berkeadilan yang bersinkronisasi dengan alam semesta sebagai satu kesatuan jagad raya ini. Kita wajib berkeyakinan bahwa hukum ini tidak mungkin salah.

Namun, bagaimana transformasi, alih pengetahuan dari umat yang terdahulu ke umat yang ter kini, menjadi problematika serius bagi umat Islam itu sendiri. Seperti ada ‘missing link’. Sehingga informasi yang sampai menjadi sudah tidak utuh lagi. Pendidikan Islam yang bermula sangat sederhana , menjadi sangat kompleks dan rumit untuk dipahami generasi-generasi berikutnya.



“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” [Thaahaa: 2-4)



“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)



“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [Al-Baqarah: 185]

“...Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” [Al-Maa-idah: 6]



Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan itu.

Begitu kita melirik bangsa ini, saya menciut lagi. Dimana mudahnya ya…?. Orang-orang yang sudah hapal ribuan hadist, sudah katam puluhan kali, begitu ada kesempatan tidak lupa korupsi juga. Hopo tumon..!?!.

Pertanyaan jadi menggelitik saya, apakah karena saking mudahnya Islam, maka manusia mencari sulit-sulitnya.?. Dari asal yang sederhana di bikin kompleks biar kelihatan lebih ‘keren’?.







Belajar Mengajar sebagai dasar logika berpikir



Pemeluk Islam di Indonesia mengalami degradasi moralitas yang cukup serius. Menjadi pertanyaan , apakah metodologi pengajaran dan pendidikan yang disusun tidak efektif ?. Mengapa sholat yang dilakukan 5 kali sehari tidak mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar.



Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45).



Ayat ini banyak menjadi acuan dalam mereka melaksanakan belajar mengajar. Belajar membaca al qur’an suudah dimulai sejak dini dari mulai TPA, masih ditambah dengan pesantren, dan lain sebagainya. Sholat juga senantiasa diajarkan, tidak cukup dengan ucapan bahkan sering juga disertai ancaman neraka, kepada anak-anak kita. Kemudian adakah yang terlupa..?.



Baiklah untuk memahami jalan pemikiran saya, saya ajak sedikit bercerita:

Pada era jaman nasakom~era tahun 50 an, saat itu ideology komunis masuk melalui pengajaran di TK-TK. Anak-anak diajak untuk ber-logika melalaui permainan, alat peraga dan lain-lain.

“Anak-anak ayo…mari kita bersama-sama minta uang kepada Tuhan,.. pejamkan mata kalian ibu hitung mundur ya dari 10 sampai 1..mulai 10,9…dst..”. Kata ibu guru dengan renyahnya, sambil suara ditekan. Dengan ketertarikan ala anak-anak, dan berharap-harap cemas anak-anak mengikuti ajakan gurunya, dalam benak mereka Tuhan adalah kaya raya, sehingga pasti akan memberikan uang yang banyak. Itu logisnya. Anak-anakpun memenjamkan mata mereka. Dengan gaya kekanak-kanakan, dikhusuk-kusukan mereka berdoa dalam hatinya masing-masing. Agar diberikan uang sama Tuhan. Begitu selesai hitungan, ibu guru berkata lagi, “Sudah anak-anak... coba buka mata kalian..apakah kalian diberikan uang oleh Tuhan..”. Dengan nada kecewa dan setengah mau menangis, anak-anak menjawab serentak “TIDAK BU GURU…!”.

“Coba sekarang kalian minta sama Ibu saja…ayo mulai seperti tadi lagi..ucapkan dalam hati kalian ya..yang sungguh-sungguh…”. Sekali lagi Ibu Guru mengulang permainannya.

“Baik, sekarang kalian buka mata…”.

Dengan setengah berteriak anak-anak dengan gembira “Terima kasih Ibu Guru…”. Rupanya sambil diam-diam, Ibu Guru membagikan uang kepada tangan-tangan mungil itu.

“Nah, kalau kalian minta uang sama Ibu dikasih nggak..”. Tanya bu guru

“Di kasih bu..”. Jawab mereka serentak.

“Nah, jadi ibu guru jelas adanya karena dapat memberikan kalian uang, betulkan..?. Kemudian Saat kalian tadi minta sama Tuhan..Tuhan kasih nggak..”.

“Tidak bu..”. Jawab mereka, mengerti.

“kalau begitu, Tidak jelas adanya, mungkin juga tidak ada…karena Tuhan yang katanya kaya, Tidak dapat memberikan kalian uang…betulkan..?.

Bocah-bocah kecil serentak mengangguk-angguk, tanda mengerti.



Inilah sekelumit, bgaiman cara memberikan pemahaman sesuatu wujud abstrak dengan cara-cara logika berfikir, secara dini. Dan terbukti paham komunis meluas dengan hebatnya. Hingga berakhir ketika terjadi pemberontakan komunis.



Kalau kita melihat saat sekarang , metodologi pengajaran yang dilakukan di tingkat dini. Banyak kita temui bahwa dalam melakukan pengajaran moralitas Islam, teologi Islam. Mereka mengajarkan sebagaimana mereka mengajarkan pelajaran lainnya; matematika, sejarah, fisika, dan lain-lain.



Saya berpikir, seandainya metode tersebut dipergunakan sejak dini untuk memperkenalkan Allah kepada mereka, dengan konsep yang disesuaikan. Misalnya. Dengan pengenalan diri mereka sendiri. Sambil dengan bermain.

“Anak-anak mari kita kenali diri kita sendiri..sudah..ada jantung, paru,..dan sebagainya.. dapat diarasakan bukan.. coba perintahkan kepada paru agar berhenti jangan bernafas lagi…?. Coba suruh mata agar jangan berkedip…dan seterusnya…..”. Latihan-latihan kecil ini akan membawa kepada pemahaman bahwa ada suatu Dzat yang diluar diri mereka yang mengatur tubuh mereka. Kemudian di lanjutkan dengan kreasi logika-logika lainnya. Saya mulai berandai rupanya.



Pernah suatu hari anak saya yang tertua, saat berumur 5 tahun , sedikit berdiskusi dengan saya. Memang saya akui kecerdasannya lumayan, dia sering mewakili sekolah dan kotanya mengikuti olimpiade. Kejadiannya saat malam saya ajak menonton permainan lampu di suatu tempat.

“Yah…senang ya jadi lampu..”. Dia mulai mengajak saya bicara. Saya hanya menyimak saja.

“ Ada yang sorotannya besar sekali sehingga dia bisa menerangi semua jalan, ada yang kecil, ada yang warna-warni..kalau saya jadi lampu saya mau jadi yang besar ah..gagah sekali kelihatannya ..”. saya diamkan saja dia ngomong sendiri. “Tapi…jadi lampu nggak enak…kalau siang dia mati…”. Keliahatan dia merenung. “Kok dia bisa nyala ya Yah..”. Saya tidak menduga dia mengajukan pertanyaan itu. Saya jawab sekenanya “Karena ada PLN..”. “Emang PLN.. mahluk apa ya Yah..kok hebat sekali dapat membuat lampu jadi bersinar..kalau lampu bias ngomong kayak kita, lampu akan berterima kasih nggak Yah..sama PLN..?”. Saya terbelalak mendengar pertanyaan ala kanak-kanak namun sarat filosofi ini. “Ya..ayah nggak tau, mungkin ada yang berterima kasih…mungkin banyak juga yang tidak kan lampu tidak tau kalau dia dialiri listrik oleh PLN, mana dia tahu..”. Jawab saya diplomatis. “Kalau saya yang ngasih tau kepada lampu tentang hal itu, lampu mau percaya nggak ya Yah…?. Saya kan lebih tau dari mereka kalau ada PLN”. Saya terpekur tidak bias menjawab pertanyaan ini. Jangankan lampu manusia saja yang sudah diberitahu akan adanjya Tuhan oleh para Rosul, banyak yang tidak mau tahu. “Heeh…capai deh”. Ujar saya getun. “Kalau lampu dialiri listrik ama PLN terus nyala…kalau manusia dialiri listrik nggak Yah…kok hidup..?”. Saya menjawab singkat sambil menghindar, takut salah. “Kita dialiri hidup sama Allah..”.



Inilah sebuah analogi, ala kanak-kanak, yang jikalau kita mampu memanfaatkan , dengan cara ini kita dapat mengenalkan Tuhan kepada mereka.. Pikir saya bertahun-tahun kemudian.

Islam banyak mengajarkan, menganjurkan, kepada manusia untuk senantiasa menggunakan logika berfikirnya. Sebab di alam raya ini;, pergantian siang dan malam, hujan yang turun, pertemuan laut, dan sebagainya banyak terhampar tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan cara apa mengetahui, jikalau kita tidak menggunakan logika berfikir kita?. Bagaimana kita bisa beriman kepada yang gaib, jikalau kita tidak mampu ‘meyakininya’ dengan pengetahuan.?.



Hikmah 1; Logika berfikir sebagai basis Islam dalam proses belajar-mengajar sesungguhnya tidak boleh ditinggalkan sejak mulai usia dini.Agar mereka mengenali Tuhannya sejak dini. Untuk membangun moralitas Islam saat dewasa nanti.





Sesungguhnya Islam dibangun dari 3 pilar IHSAN, RUKUN IMAN DAN RUKUN ISLAM. Ibaratnya sebuah bangunan, banyak sekali ahli teologi Islam menekankan hanya kepada pelaksanaan Rukun Islam. Karena banyak sekali ayat-ayat yang mengarah kesana. Sentuhan kepada Rukun Iman nyaris terabaikan, bahkan IHSAN sudah dilupakan dari system belajar mengajar, kalau ada hanyalah sedikit. Banyak umat muslim menganggap hal yang mustahil, ‘SEAKAN-AKAN ENGKAU MELIHAT Allah…”. Melihat Allah yang menjadi syarat dalam beribadah apapun, baik sholat, zakat, puasa, bekerja, ber muamalah, berdagang, dan lain-lain, menjadi kegalaun dan kegundahaan umat.

Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.

(Riwayat Muslim)



Hikmah 2; Sistem belajar mengajar Islam dewasa ini seharusnya mampu membawa umat kepada pemahaman IHSAN secara totalitas. Karena Ihsan sesungguhnya menjadi persyaratan mutlak bagi umat Islam dalam keseharainnya, minimal dalam beribadahannya. Umat Islam harus mampu memposisikan dirinya “seakan-akan dia melihat Allah, dan atau seakan-akan Allah melihat dia terus menerus”. Umat Islam harus mampu mengenali Dzat Tuhannya, dimana kepada-NYA dia menghadap.

JIka tidak~kejadiannya seperti sekarang ini, Di negeri ini. Islam hanya sebagai literature~tekstual, yang harus dipelajari sebagaimana mereka mempelajari akunting, matematika, fisika, kimia, biologi, dan lain-lian. Pemberian nilai system ini tidaklah menunjukan moralitas mereka sama dengan nilai yang di dapatnya.

Maka baiknya, segera dibenahi system belajar mengajar Islam, agar nantinya umat tidak menjadi salah urus lagi. Kalau sudah seperti sekarang ini. Baiknya kita tinggal menunggu datangnya keadilan Allah SWT.

"Saat mana keadilan sudah terbeli maka saat keadilan Tuhan menghampiri, sebagaimana sunatulloh dari sejak dahulu hingga nanti."
Marilah kita mulai dengan anak-anak kita saja. Agar nanti saat menjadi hakim, betul betul menjadi hakim atas nama Allah swt. Amin
·

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali