POLIGAMI DALAM MISI SUCI

Misi Suci
Mengemban misi suci. Para nabi membawa misi suci, melahirkan generasi generasi yang terpilih. Maka diijinkanlah mereka menikahi banyak istri. Memberikan contoh teladan kepada umat manusia pada jamannya dan jauh setelah keberadaannya. Maka diantara mereka dipergilirkan, diantara mereka masing-masing memberikan dan membawa contoh akhlak dan perilaku mulia. Seorang nabi yang raja, seorang nabi yang rakyat jelata, seorang nabi yang diberikan mukjijat, seorang nabi biasa saja berbekal kesabaran, berbekal kemuliaan akhlaknya dan sebagainya. Kisah-kisah mereka digambarkan di dalam Al qur’an. Diantara mereka ada yang melakukan poligami dan banyak juga yang tidak. Itulah perintah Tuhan atas mereka. Menjadi teladan kita semua.Dengan keunggulan akhlak ini, tersimpan gen atas diri mereka, padanya dimungkinkan akan menurunkan generasi manusia yang akan mewarisi sifat-sifatnya. Itulah harapannya.
Namun seiring dengan waktu, tidak hanya para nabi yang melakukan praktek poligami. Manusia yang tidak mendapatkan titah suci mengambil peranan ini. Banyak istri selanjutnya menjadi simbol sebuah kekuasaan, symbol kesombongan manusia di muka bumi ini. Para raja, para pembesar negri, para manusia yang merasa kuat dan kaya pada setiap peradaban dan jamannya, melakukan poligami dengan tujuan yang sudah menyimpang dari misi suci. Dalam skenario Tuhan. Dibiarkannya semua itu terjadi, tidak ada satu kitab sucipun yang membatasi. Karena Allah belum memutuskan, belum menetapkan satu satu, bagaimana hukumnya bagi manusia-manusia yang ber poligami.
Manusia bersama~Agama agama sebelumnya, mengalami ambivalensi dalam menyikapi parktek poligami ini. Beberapa , mengambil sudut ekstrim dengan mengharamkan dirinya dengan perkawinan. Mereka para rahib, para brahmana dan para pendeta. Mereka menganggap dengan itu mampu mensucikan jiwa mereka, mampu menghindarkan diri mereka atas nafsu ber poligami. Melepas nafsu syahwat mereka, dengan menyiksa jiwa dan raga mereka sedemikian rupa. Mereka sedikit lupa, manusia kodratinya adalah tidak begitu. Manusia senantiasa tunduk dalam rencana Tuhan. Raga tunduk pada sunatulloh, sebagaimana atom-atom tanah pembentuk tubuh manusia yang ada dalam diri mereka. Maka kiat menyaksikannya~ beberapa diantara mereka malahan jatuh ke lembah kenistaan. Hilang akal budi mereka, menjadi orang-orang munafik yang sangat dibenci Tuhannya. Di muka nampak sebagai pendeta, namun perilaku jauh dari semua itu. Dan maka~
Islam datang memerangi kedua kelompok tersebut. Baik kepada kelompok yang melakukan poligami atas nafsunya ataupun kelompok yang mengharamkan dirinya untuk kawin. Secara tegas Al qur’an menurunkan hukumnya melalui surat An nisa ayat 3.
Didalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 3 Allah berfirman:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Sebuah Sikap Sebuah Pilihan
Meski hukum tersebut masih banyak ditafsiri. Namun, kebolehan poligami dari dahulu hingga kini tidaklah dapat dipungkiri. Kita mensyukuri, dengan diiturunkannya hukum poligami, telah mengakhiri ambivalensi agama dalam menyikapi praktek poligami berabad-abad lalu. Suku atau tidak suka , pro atau kontra Allah telah memutuskan hukumnya. Fakta nash dan praktek nabi dan para sahabat tidak bisa diabaikan begitu saja. Menjadi sulit bagi kita jika tidak meletakan sudut pembahasan ini kedalam suatu kerangka skenario Tuhan, rencana Tuhan dalam mengatur populasi manusia, sebuah grand desaign maha sempurna, yang ditujukan untuk kemuliaan manusia itu sendiri, menuju sebuah peradaban yang belum pernah ada, dalam bayangan makhluk manapun di dunia ini.
Rosululloh sebagai pembawa misi suci terakhir para nabi, membenarkan praktek poligami yang dilakukan para nabi sebelumnya. Dan beliau melakukannya sendiri. Namun disi lainnya, beliau juga harus, dan telah meletakkan dasar-dasar perkawinan,untuk umat Islam nanti, bagaimana seharusnya nanti umatnya menyikapi poligami ini. Maka kita selanjutnya mengkaji bagaimana sikap ROSUL sesungguhnya. Adalah bagaimana sikapnya yang ditunjukkan, sebagaimana ketika Siti Fatimah akan di poligami oleh Ali bin Abi Tholib suaminya. Beliau melarang hal ini. Terlepas pro dan kontra atas yang terjadi dari pelabagai golongan menyikapinya,. Ini adalah fakta dan realitas yang terjadi, dimana Rosululloh tidak mengijinkan seorang wanita di poligami. Sangat jelas dan tegas. Ini adalah hikmah. Sebagaimana menyampaikan sikapnya, jika tidak beliau contohkan sendiri melalui keluarganya. Bagaimana jadinya..?. Apakah beliau akan melarangnya melalui orang lain..?. tentu akan menyulitkan posisi Islam saat itu, yang baru saja berkembang. Islam akan dijauhi oleh umatnya, hal yang akan memberatkan Islam saat itu. Sebab akan menjadi debat yang tidak berkesudahan pada kaumnya saat itu dan nanti, sebab nash secara tegas tetap memperbolehkan poligami. Rosululoh mengetahui bahwa nash tersebut, mengandung banyak dimensnyai, Dimensi populasi manasia nanti. Nash itu akan dipergunakan sepanjang jaman, misalnya, pada jamannya nanti ketika para istri sudah tidak mau melahirkan lagi. Nash ini akan memberikansolusi dan arti sebenarnya poligami. Inilah yang tersirat.
Kondisi lainnya, peradaban saat itu, tidaklah memungkin untuk serta merta memupus habis praktek poligami, yang dilakukan oleh para raja dan manusia berkuasa saat itu. Sangat berbahaya sekali, poligami adalah masalah harga diri, masalah suatu kebanggaan, suatu bentuk pamer kekuatan dan kekuasaan. Persepsi peradaban masih disitu. Jika dilakukan pemaksaan, maka hal ini , dikhawatirkan, akan mempengaruhi perkembangan Islam secara politis saat itu dan beberapa generasi sesudahnya. Maka nash pun masih sedikit memberikan kelonggaran, masih diperbolehkan poligami dengan maksimal 4 istri saja. Maka kepada para sahabat diminta untuk menceraikan selebihnya.

Sekeping mata uang dengan dua sisi
Bagaimana Rosululloh menyampaikan sikapnya itu. Tegasnya, bagaimana sikap sesungguhnya beliau memandang poligami. Adalah sebagaimana sikapnya ketika Siti Fatimah akan di poligami. Bila Rosululloh menginginkan poligami kepada wanita, tidak ada alasan apapun bagi beliau untuk melarang Siti Fatimah di poligami. Sungguh Rosululloh sangat mengerti ini. Apa alasan rasional beliau melarang Ali..?. Apakah hanya karena akan dimadu dengan anaknya Abu Jahal saja. Apakah hanya karena alasan inikah beliau melarang Siti Fatimah di poligami..?. Tidaklah sesederhana itu. Bukankah Ali bisa juga memilih wanita lainnya..?. Wanita tidak hanya satu. Masih banyak sekali wanita yang mau dengan Ali. Yakin tidak sesederhana itu, lebih dari semua itu. Jikalau hanya alas an itu, menjadi tanda tanya tersendiri bagi kita, akan kebesaran hati nabi. Seorang nabi sangat jauh dari sikap-sikap seperti itu.
Sungguh menjadi kesulitan tersendiri bagi Rosululloh menyampaikan sikapnya terhadap poligami ini. Sebagaimana mata uang yang memiliki dua sisi. Beliau harus menjelaskan masing-masing pada sisi yang benar. Pada sisi yang semestinya pada jamannya nanti, manusia akan mengerti setelahnya. Apa Hakekat poligami. Bagaimana hakekat poligami diperbolehkan namun sejatinya tidak boleh. Situasi yang akan sangat sulit dijelaskan pada jamannya itu. Maka tidak ada jalan lain, kecuali melalui contoh nyatanya bagaimana sikapnya. Sikap yang harus di dimaknai oleh umat-umat selanjutnya nanti, bagaimana beliau sesungguhnya tidak rela jika wanita di poligami. Dikarenakan ada misi yang harus diembannya maka beliau sendiri ber poligami. Sesungguhnya beliau adalah sosok lelaki yang setia dengan satu istri, dan ini sudah dibuktikannya pula, sepanjang, sebelum pengangkatan beliau menjadi nabi. Beliau tetap bertahan dengan satu istri. Dan Ali sesudahnya mengerti itu, menyadari bagaimana sikap sesungguhnya, sikap beliau atas poligami. Sikap seorang nabi yang Umi yang dikaguminya itu. Maka seumur hidup Ali kemudian tidak melalukan poligami. Tidak terlintas pikiran sedikitpun untuk ber poligami setelahnya. Membaca sikap rosululloh maka Ali jadi mengerti, kemana arah Islam sebenarnya. Begitulah penjelasan ini saya ulang-ulang, dengan maksud mempertegas muatan dan esensinya.
“Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku (baca pen : wanita) itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.”

Hukum Yang Memaksa dan Membatasi
Bila kita cermati dalam hukum poligami ini, beberapa nash yang sering diajukan oleh pengusung dan penentang poligami. Sesunggunhnya adalah hukum dalam batasan untuk memaksa dan membatasi populasi. Pada satu sisi membatasi terhadap praktek poligami yang marak pada saat itu, pada peradaban jaman itu, dan abad-abad kelam setelahnya itu, yang dilakukan oleh para raja dan orang-orang berkuasa serta kaya, para diktator, para tirani, para pemuja nafsu yang menonjolkan kekuasan dan kekuatannya, yang sudah terlanjur melakukan poligami. Agar menceraikan semua Istrinya dan menyisakan hanya 4 saja. Sebuah hegonomi dan dominasi harus dihancurkan. dengan menghancurkan symbol-symbol atas itu. Symbol dominasi kaum lelaki terhadap wanita, symbol kekuasaan dan kekuatan, symbol politis kaum raja. Inilah budaya yang diperangi Islam. Dalam setiap masanya. Maka menjadi pertanyaan mengapa kebiasaan ini dan perilaku budaya masa itu, mesti kita usung kembali ke jaman kini. Bukankah lebih baik biarkanitu menjadi kisah masa lalu saja, kisah para raja dan permaisurinya. Sungguh jika kita usung kembali. Bukankah sekilas hanya nampak hanya berganti baju saja. Dominasi lelaki atas wanita..?. Dominasi kekuasaan..?.Dan dominasi kesombongan..?.
Masih disisi yang sama, faktor lainnya adalah membatasi keinginan orang-orang yang berkecenderungan untuk poligami. Yang belum melakukan poligami. Orang-orang yang beriman, orang-orang yang berakal dan mengerti. Baik dari nash yang telah ada maupun bagaimana sikap rosululloh kepada kaum wanita, melalui petunjuk perlakuan kepada putrinya. Orang tersebut akan berkontemplasi, membatasi dirinya. Kondisi ini akan selalu terjadi pada setiap generasinya. Adil yang diisyaratkan adalah tanda , sebuah isyarat saja bagi orang yang berakal, Sikap adil adalah sebab, bukan menjadi akibat. Bukan menjadi sebuah syarat mutlak. Sebab jika berlaku adil akan meng-akibatkan sebuah tatanan, perilaku yang harmonis. Namun sebab ketidak adilan akan mengakibatkan, melahirkan perilaku yang jauh dari tatanan harmonis. Tatanan keharmonisan akan menjadi salah satu sebab jiwa menjadi tenang, jiwa menjadi puas, jiwa menjadi ridho. Sebuah perilaku yang diinginkan oleh semua muslim. Sebuah perilaku ikhlas dalam tataran ihsan. Sebuah sikap jiwa yang akan dimuliakan Tuhannya. Sebuah sikap jiwa yangmenjadi persyaratan memasuki surga bersama jamaah lainnya. Inilah fenomenanya. Sehingga orang yang beriman, akan memperhitungkan kemampuan jiwanya. Jika jiwa malah tidak menjadi semakin tenang, sungguh banyak mudhorotnya disitu.
Tidak terdengarkah panggilan mesra Tuhanmu, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (Qs. Al-Fajr : 27-28).

Pada sisi satunya lagi, nash tersebut juga dapat bersifat memaksa lelaki dan membatasi perilaku para wanita. Pada suatu saat nanti, pada suatu masa, kecenderungan wanita akan mulai malas dan bahkan tidak mau melahirkan lagi. Fenomena ini sudah ditemui di banyak Negara maju. Para lelaki juga sudah mulai ogah dan tidak mau direpotkan dengan anak-anak lagi. Sebuah perilaku peradaban yang akan menyebabkan habisnya populasi suatu kaum di dunia ini. Bukan tidak mungkin terjadi, realitasnya sekarang sudah seperti ini. Apalagi.. saat jiwa dihadapkan kepada konsumerisme, materialisme, dan kehidupan duniawi lainnya. Maka sudah pasti, muncullah generasi ‘egois’ yang hanya memuja pangkat, derajat, dan martabat. Perkawinan hanyalah sekedar melegalkan ‘nafsu syahwat’ , Sudah tidak ada lagi apa itu misi suci, manusia sudah tidak peduli lagi. Disinilah peranan Tuhan mengatur melalui hukumnya. Pemerintah, atau khalifah yang berkuasa dapat memaksa kepada masyarakatnya untuk melakukan perkawinan poligami. Bagi istri yang tidak mau melahirkan lagi, suami diperbolehkan menambah istrinya lagi. Dan seterusnya, rivalitas akan muncul disini, dari kaum wanitanya sendiri. Tentunya kewenangan ini hanya ada pada kepala pemerintahan pada khalifah. Sebagaimana yang dicontohkan Khalifah Umar ra. Saat orang muslim mulai berkecenderungan mengawini wanita nasrani (meski nashnya diperbolehkan), Khalifah melarang perilaku perkawinan ini. Karena suatu alasan politis yang lebih besar.

Sebuah pemikiran tentang poligami
Dalam tulisan yang mengawali , dua tulisan terdahulu, dan ketiga ini, telah dibahas dibuka sebuah wacana membaharui. Ada beberapa point yang harus digaris bawahi :
1. Poligami adalah misi suci para nabi, untuk melahirkan generasi terkini agar generasi selanjutnya mewarisi, dan menurunkannya lagi, gen-gen pembawa sifat sifat mulia gen para nabi, kepada manusia-manusia dari generasi ke generasi berikutnya.
2. Islam mengakui hukum poligami sebagaimana yang telah dilakukan para nabi terdahulu. Bentuk pengakuan tersebut dilakukan dengan cara Rosululloh mempraktekan, melakukannya sendiri. Sehingga umat manusia sampai kapanpun tidak meragukan lagi hukum poligami yang dilakukan para nabi sebelumnya. Adalah kehendak Illahi. Umat Islam harus mengimani ini, sebagaimana iman kepada para nabi.
3. Dalam sejarahnya kemudian, poligami dipraktekan oleh segolongan manusia lainnya. Segolongan manusia yang sering memperturutkan hawa nafsunya. Para raja dan sebangsanya. Para ketua kelompok yang merasa berkuasa dan kaya. Para tirani kekuasaan. Dan manusia-manusia yang sejenis dengan itu. Perilaku poligami tidaklah terjadi pada rakyat biasa.
4. Sikap rosululloh sendiri, adalah tidak merelakan wanita di poligami. Sikap yang diharapkan dapat dimengerti umat Islam generasi berikutnya. Akhlak rosul adalah Al qur’an maka apa yang tidak di relakannya adalah tidak direlakan juga dalam Islam.
5. Sebagaimana sekeping mata uang. Poligami memiliki dua sisi. Agar senantiasa manusia mampu untuk mempertahankan populasinya tetap berada dalam keseimbangannya. Dalam setiap peradabannya. Di setiap masa.
6. Hukum nash poligami bersifat memaksa dan membatasi. Hukum yang sangat berkeadilan, karena sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu pasti skenario diciptakannya manusia. Peradaban apa yang akan di banguan manusia dengan akal budinya. Dan berapa jumlahnya yang dibutuhkan untuk itu. Hukum keseimbangan sunatulloh.

Dalam Sebuah Dimensi
Menjadi pertanyaan penting, sepanjang kajian ini, berlandaskan pemikiran yang mendasari; kemudian apakah posisi, pengambilan keputusan sebuah poligami boleh diputuskan sendiri, atau ada lembaga yang mengaturnya lagi..?. Apakah peranan sangat penting ini diserahkan secara bebas kepada setiap manusia atau harus diatur oleh Negara..?. Apakah manusia diperbolehkan poligami tanpa diatur Negara..?. Bukankah hukum poligami di arahkan untuk keseimbangan manusia dan populasi di sebuah negara.?. Siapakah wakil Tuhan yang mengatur masyarakat muslim, jika bukan khalifah..?. Maka menjadi wacana yang harus dipertimbangkan, apakah layak dan tidaknya hukum poligami, wajib dan haramnya, dan kapan diberlakukannya di serahkan saja kepada negara. Negara yang mengerti seberapa banyak populasi dibutuhkan agar negaranya tetap dalam keseimbangan populasinya. Jika setiap manusia diserahkan sekehendak dirinya, maka kecenderungan poligami menjadi sebuah kecenderungan sebagaimana kisah-kisah terdahulu, sebagaimana ke-kelam-an nafsu manusia kepada manusia lainnya. Biarkan wacana ini bergulir saja. Manusia pasti nanti akan mengerti. Maka poligami memang masih menyisakan banyak misteri, tentang manusia, skenario Tuhan dari dahulu hingga kini.

SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali