Kisah Spiritual, Alam Sedang Memilih Khalifah
Kesadaran mereka dibingkai
sedemikian rupa, atas kisah mitos dan legenda babad tanah Jawa. Semisal
reinkarnasi, ‘penitisan’ atau yang lainya. Orang Jawa sangat lekat
dengan leluhurnya. Disadari atau tidak fenomena ini telah menghujam di relung
hati mereka terdalam. Kesadaran ini sejalan dengan pemahaman yang diyakini
Hindu, Budha ataupun kearifan lokal (baca; kebatinan jawa). Meskipun semua
meyakini Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta ini. Meskipun mereka
mengakui bahwasanya Tuhan itu Maha Esa. Namun realitas keseharian mereka selalu
berhubungan dengan alam-alam ghaib. Sebab fenomena ini yang sangat terasa di
badan, bagi yang tidak mengalaminya mungkin akan menafikkan saja, menganggap
hal yang remeh. Namun tidak bagi pelaku (saksi) itu sendiri. Seperti saya
permisalkan antara saksi banjir (korban) dan orang yang hanya mendengar dari
radio saja.
Keyakinan orang Jawa kepada
leluhurnya tidak akan mampu tergoyahkan. Meskipun sang pembantah akan
menyodorkan ribuan kitab ulama untuk membantah keyakinan mereka. Atau agama
apapun menistakan mereka, dan meminta orang Jawa untuk mengenakan baju mereka
yang membantah, seperti halnya baju padang pasir. Maka orang Jawa hanya akan
tersenyum saja, mereka tetap akan mengenakan pakaian yang di sodorkan namun sejatinya orang Jawa tetap
akan dalam keyakinan mereka. Inilah pemahaman yang ingin saya hantarkan.
Menjadi sekuel selanjutnya
bagaimana kemudian orang Jawa akan terus dibenturkan oleh peradaban-peradaban
asing yang masuk kedalam kesadaran mereka. Hindu, Budha, Kristen dan tak kalah
sengitnya adalah peradaban Islam itu sendiri. Perhatikan bagiamana
setelahnya. Banyak orang Jawa yang kemudian limbung, mereka semua seperti
tercerabut dari akarnya, seperti layang-layang putus talinya. Mereka gamang dan
bingung dengan keyakinan dan pemahaman
nenek moyang mereka sendiri. Pemahaman yang sepertinya bertolak belakang dengan
agama-agama yang datang. Sungguh pelik sekali meretas dan merentang keadaan.
Padahal keadaannya tidaklah begitu. Hanaya saja orang jawa sudah terdogma oleh
persepsi yang dibawa oleh agama-agama baru. Persepsi yang dibawa oleh orang-orang
yang tidak mengerti atas hakekat laku orang jawa itu sendiri. Sehingga laku
jawa terus disorot dan dijauhi.
Orang Jawa ‘malah’ kemudian
mencoba lari dari “Jawa’nya, mereka takut disangka ‘musrik’, kafir atau apalah
sebutan nista lainnya. Mereka kemudian bersembunyi dari bayangan mereka
sendiri. Melupakan pitutur, petuah, dan kearifan ajaran-ajaran leluhur-leluhur
mereka sendiri. Pendek kata mereka semua mencoba membuang ‘jatidiri’ meerka
sendiri, membuang predikat sebagai ‘wong jowo’. Sungguh para pinisepuh
jawa sangat prihatin sekali. Dan Mas
Dikonthole sangat menegrti atas keprihatinan mereka ini. Mengerti sekali akan keadaan ini.
Banyak orang jawa mencoba mengenakan baju padang
pasir, lengkap dengan atribut-atributnya. Membuang semua ‘baju’ jawanya,
menganggap baju jawa tidak pantas pakai. Ageman (baju) jawa mereka dibuang
begitu saja. Bahkan ironisnya ‘jatidiri’ mereka sebagai ‘orang jawa’ juga turut
dibenamkan didalam ‘lumpur’ peradaban, yang sangat deras memasuki kesadaran
mereka.
Ketika manusia jawa
kehilangan jawanya, maka alam yang mereka tinggali tidak mengenali lagi
pemimpinnya. Alam merasa diasingkan oleh manusia ‘jawa’. Leluhur-leluhur mereka
yang dahulu senantiasa menyapa alam, berdialog dengan alam, bermain dengan
alam, bernyanyi bersama alam, bertasbih bersama alam semesta ini, alam yang
dahulu merasa nyaman terlindungi oleh pemimpinnya (khalifah), kini merana,
menangispun sudah tidak ada yang peduli, mau apalagi ?. Alam merasa terabaikan
keadaannya.
Padahal manusia hakekatnya
adalah pemimpin alam ini. Manusia seharusnya mampu memimpin disemua alam. Alam
tanaman, alam hewan, alam bebatuan, dan juga alam-alam lainnya. Secara
ringkasnya seharusnya manusia mampu memimpin keseluruhan eleman alam semesta,
air, api, udara, tanah, kayu, logam, manusia dan jin. Manusia-manusia jawa ,
para pinisepuh terdahulu paham dan sangat tahu itu. Maka mereka mengajarkan
kearifan kepada anak cucunya untuk itu. Sayang sekali sekarangini, banyak manusia
jawa yang sudah tidak ingat ‘JOWO’ nya. Mereka semua mengedepankan ambisi dan
ego diri. Merasa sudah mengenakan baju padang pasir kemudian mengangap dirinya
telah suci dan berhak mewakili Tuhan. Memperkosa sang alam dengan suka.
Mas Dikonthole, tidak tahan
dengan perenungannya, memikirkan saudara-saudaranya yang terus saja begitu. Mengapakah
mereka lupa, dan mengapa ?. Sehingga meraka tidak pernah mau mengakui lagi
hakekat ‘jatidiri’nya sebagai orang jawa, mereka seperti malu mengakui bahwa
mereka orang jawa yang memiliki kekayaan intelektual, kearifan spiritual yang
luar biasa, dan serta juga warisan
budaya leluhur yang sangat tinggi. Sunguh mereka lupa, adalah bagaimaa hakekat
‘wong jowo’ yang selalu bersahabat dengan alam.
Alam kemudian seperti
kehilangan pemimpinnya. Maka alam sekarang menjadi tak terkendali. Itulah yang
diberitakan alam kepada Mas Dikonthole. Sehingga sekarang ini alam yang akan memilih pemimpin mereka
sendiri. Memilih sang Khalifah. Mereka akan memilih orang jawa yang telah
kembali ‘jawa’nya untuk memimpin bangsa ini. Hakekat ruh orang jawa, bukan raga yang hanya tampak dimuka saja. Dan
tiba..
“Aaargh...!.” Suara teriakan tertahan
terdengar dari lantai 2. Membuat pondasi kantor itu bergetaran karenanya. Tiang
serasa bergoyang. Seorang lelaki seperti tengah menahan getaran energy yang
menghantamnya dari segala penjuru. Kemudian tubuh itu terlihat limbung dan tumbang,
menimbulkan suara berdentam.
Mas Dikonthole yang tengah
bermeditasi, tiba jatuh tersungkur, menyuruk ke depan, dia tengah meregang
menahan aliran informasi ribuan kilobite. Alam sedang berkomunikasi dengan
dirinya, memberitakan sebab banjir yang mengepung Jakarta. Kepalanya
seperti balon yang terus ditiup hingga nyaris meledak. Hingga dia tak tahan
dibuatnya. Dan dirinya berteriak sekerasnya.
“Kami telah memilih wakil
kami untuk memimpin kami..” Suara itu seperti dentingan , nyaring
sekali seperti mau memecahkan kepala Mas Dikonthole. Kemudian suara itu terus
berutur , dan rasanya diri Mas Dikonthole seperti Accu yang tengah diisi strum,
“Banjir itu adalah
pertanda kami, bahwa kami telah merestui dan memilih anak yang belum lama
dilahirkan ini sebagai pemimpin kami.”
Suara yang mengaku dirinya
Ruh Alam terus saja bercerita, dan dalam kesadaran, Mas Dikonthole juga paham apa yang
disampaikan, ya dia memang baru saja bertemu dengan anak yang dimaksudkan. Itupun
berkat atas petunjuk dari Ratu Sima yang dua hari lalu baru saja menyambanginya.
Hingga dia mampu menjadi saksi atas
anak yang terpilih itu. Ketika semua prosesi telah usai. Takl terduga
kejadiannya, malamnya alam mulai menggeliat, hujan turun dengan derasnya.
Mas Dikonthole tak mampu
menguraikan dengan kalimatnya, bagaimana prosesinya, dan seperti apa rahsanya.
Itu terjadi satu hari sebelumnya, ya kemarin ini. Pengalaman antara ghaib dan
realitas. Bagaimana kesadarannya nyaris hilang, kembali, hilang, kembali. Dan
itu terjadi sepanjang perjalanan pulang dari tempat ‘client’nya. Sejauh 3 jam
perjalanan berkendaraan motornya. Mas Dikonthole dipaksa untuk mengelana ke
masa lalu, kesadarannya tiba-tiba hilang, kembali lagi, dan itu berulang kali.
Coba bayangkan sementara dia terus melaju diatas motornya. Dia limbung beberapa
kali. Nyaris saja motornyamenghantam kendaraan yang di depan di kiri dan di
belakang. Sungguh nyawa menjadi taruhannya.
Begitulah awalnya. dan hari
ini, (17/1/13) banjir mengepung Jakarta. Sebagiamana telah
dikisahkan sebelumnya. Entah apa ada sesuatu yang memaksanya untuk meditasi
(sholat), ternyata siang ini Alam mengajaknya berkomunikasi. Ugh, rasanya
seperti dialam mimpi. Masih terbayang perkataan alam kepada dirinya, “Apakah
kamu tidak percaya..?. Lihatlah nanti fakta-faktanya. Kamu akan dapati bahwa
ini adalah benar. Kamu tidak sedang bermimpi atau halusinasi.Kamu bukanlah gila
!.” Sang Alam terus menyakinkan
diri Mas Dikonthole.
Dan suara Sang Alam, itu
terus membombardir dengan informasi-informasi, “Kami telah memilih
kesadaran Siu Ban Ci (Ratu Handrawati/Dewi Kian) adalah Ibunda Raden patah untuk
lahir kembali. Menjadi wakil kami memimpin seluruh alam. Dialah khalifah kami.
Suara itu bagai palu godam sang Hakim, tak terbantahkan.”
Kembali Mas Dikonthole
terhenyak, “mengapa Siu Ban Ci yang terpilih sebagai salah satu satria
dari 7 satria pilihan alam ?, bukankah dia seorang keturnan china ?. Akankah
satri pilihan adalah keturunan china
juga ?.” Mas Dikonthole mencoba berkilah.
“Aargh..!” Kembali Mas
Dikonthole seperti dialiri listrik ribuan volt, pertanyaannya seperti tak
disukai sang Alam. Mas Dikonthole, mencoba menelusuri kisahnya Siu Ban
Ci dalam kesadarannya. Siapakah tokoh wanita utama ini ?. Tak begitu
lama Mas Dikonthole paham kenapanya. Siu Ban Ci adalah tokoh wanita utama yang
dapat disejajarkan dengan Ken Dedes. Sebagaimana Ken dedes ternyata Siu Ban Ci
adalah Ibu bagi para Raja Jawa. Dialah yang menurunkan raja-raja. Dialah yang
sesungguhnya ‘tokoh utama’ dibalik
layar, dengan kecerdasannya luar biasa, dengan strateginya Majapahit dapat
runtuh ditangannya. Dia menggunakan tangan anaknya Raden patah. Sebab dia
tahu sekali bagaimana kelemahan Prabu Brawijaya V, yang adalah bekas suaminya
sendiri. Maka dengan pasrah Mas Dikonthole, menerima keputusan sang
Alam. Bahwa salah satu satria pilihan berasal dari keturunan China. Ini sudah
diputuskan kemarin. Maka sang alam mewartakannya begitu.
Dengan limbung, Mas
Dikonthole turun ke lantai satu, disana dia bertemu dengan salah seorang
karyawan, yang kemudian menyodorkan print out berita. BMKG belum mampu
memprediksi sebab-sebab banjir kali ini, curah hujan masih jauh dibawah ambang
saat peristiwa banjir pada th 2007. Daerah-daerah yang terendam juga lebih luas
dibanding banjir 2007. Bundaran HI berubah menjadi danau yang menjadi tempat
wisata masyarakat. Dan semua ini adalah sasmita, perlambang bagaimana nanti
pusat-pusat kekuasaan akan di cuci habis oleh alam itu sendiri. Para pejabat
yang korup, para begundal dan lainnya, akan urus oleh sang Alam itu sendiri.
Tentu saja melalui pasukannya Nayagenggong. Begitulah Mas Dikonthole
dipahamkan.
Ugh. Fenomena-fenomena itu
seperti apa yang disampaikan Alam kepadanya. Adalah sebuah pertanda seperti apa
nanti nusantara akan dicuci. “Jadi ini bukan peristiwa alam biasa ?.
Sebuah kisah dan kejadian. Mas Dikonthole melenguh.“kenapa harus
dirinya yang menjadi saksi. Siapakah yang akan percaya. Siapakah dirinya ?.” Sakit
kepala tiba-tiba menerjangnya, memikirkan semua itu.
Namun dirinya tak mau
berlarur-larut dalam pikiran tersebut. Pikirnya dia harus mengkhabarkan ini. Terlepas
ada yang percaya atau tidak. Tugasnya toh hanya mengkhabarkan saja. Maka lega
sudah. karenanya. Dia kemudian memutuskan untuk memakai media ini untuk mewartakan keinginan sang Alam.
Begitulah alam senantiasa
ingin bersapa dengan manusia-manusia yang sadar, alam ingin manusia jawa
kembali kepada jawanya. Bukan berarti meninggalkan agama yang sudah dianutnya
sekarang ini. Namun mereka semua harus memasuki ajaran agama mereka masing-masing.
Sehingga mereka akan menemukan bahwa kearifan jawa tidak mungkin dihilangkan
dari kesadaran mereka. Sebab kearifan jawa sesungguhnya adalah realitas mereka
sendiri. Sebab itu, nanti orang jawa tidak akan limbung, dalam memahami hakekat
ghaib dan realitas.
Alam menginginkan manusia
jawa tidak dibingungkan lagi bila dibenturkan dengan kesadaran padang pasir
atau budaya-budaya lainnya. Kearifan jawa telah teruji ribuan tahun lamanya,
telah mendiami bumi nusantara ini. Telah bersama alam ini bertasbih
kepada Tuhannya. Maka menjadi pertanyaan, kenapakah manusia jawa tega
meninggalkan ‘wong jowo’nya ?. Duh, Kepada manusia jawa seperti inilah
‘para pinisepuh’ bertanya ?. Bersama alam yang juga bertanya.
Mengapa...?. Maka dalam renungan ini, Mas Dikonthole terus mengkaji,
bahwa hekekatnya ;
“Sesungguhnya, kearifan
jawa bukanlah hanya sekedar wewe gombel, kuntilanak atau makhluk astral
lainnya. Kearifan jawa menyapa seluruh alam semesta dalam kesadaran ‘wong jowo’. Bumi , alam semesta dan beserta isinya, mereka
juga adalah makhluk-makhluk Allah, sama dengan manusia. Mereka membutuhkan
interaksi manusia. Mereka membutuhkan pemimpin. Dan Manusialah yang telah
diberikan amanah untuk memimpin (khalifah) dimuka bumi. Karenanya para
pinisepuh jawa menempatkan semua itu dalam tempat semestinya dalam
kesadaran mereka. Adalah kearifan yang tidak dimengerti oleh para pengusung agama-agama
yang datang kemudian. Bagaimana sesungguhnya hubungan manusia jawa denean alam
semesta. Adalah hubungan yang harmonis adanya. Sungguh ini telah dilupakan kita
sebagai ‘wong jowo’. Dan semua telah dijelaskan oleh para pinisepuh jawa.
Begitulah keadaan sesungguhnya.”
Alam sedang menggelar, perhelatan akbar, semisal dengan pilpres, maka
hiruk pikuk keadaannya. Maka saksikanlah kejadian demi kejadiannya nanti.
Perhatikanlah dan saksikanlah bagaimana nanti alam akan berkisah, bagaimana
cara mereka semua bertutur sapa. Sebentar lagi akan kita saksikan bersama, air, tanah,
kayu, logam, dan api dan udara, akan berkisah tentang diri mereka masing-masing. Gemuruh petir telah mengkhabarkan kepada Mas
Dikonthole saat dia terjebak banjir bersama lainnya. Langit
akan mendung, bumi akan berguncang, pohon-pohon akan tumbang, duh...!. Apalagi
yang akan alam wartakan..?. Dengan bahasa apalagi ?. Apakah dengan bahasa ini,
manusia jawa akan mengerti ‘jawa’nya ?. Menjadi ‘wong jowo’ kembali ?. Wolohualam.
Semoga kita senantiasa mendekatkan diri
kepada-NYA, mencoba untuk bersahabat kembali dengan alam. Bertasbih
bersama angin, burung, pohon, dan gunung-gunungg. Sebagaimana Nabi Daud
bertasbih bersama mereka semua. Semoga. Amin
Komentar
Posting Komentar