haa
Haa . (QS. 20:1)
Thaa Siin . (Surat) ini adalah
ayat-ayat Al-Qur'an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, (QS. 27:1)
Thaa Siin Miim (QS. 28:1)
Ini adalah ayat-ayat Kitab
(Al-Qur'an) yang nyata (dari Allah). (QS. 28:2)
Menghantarkan
kajian kehadapan sidang pembaca. Kembali bahwa kajian ini adalah sebatas
pemahaman penulis. Untuk menambah keyakinan (diri) penulis. Diungkap
sebagaimana khabar saja. Jika bermanfaat maka kebenaran datangnya dari Allah.
Serasa berdoa kepada_Nya agar
terlindung dari kemudharatan atas ini. Maka dalam keyakinan niat ‘membaca’,
atas hal yang ingin di komunikasi kan Al qur an kepada kita. Kajian ini
dihadirkan dalam permohonan perlindungan Allah SWT yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
Ruang antar dimensi
Kita sudah sering mendengar adanya ruang antar dimensi.
Dalam istilah tasawuf juga dikenal kalimat metafora yang berkonotasi
adanya suatu tempat (mighrab/tabir) yang memiliki makna hampir mendekati
makna ruang. Kita seperti diperkenalkan istilah ‘ruang Allah’ atau ‘kelas
Allah’ atau dengan istilah yang lebih familier lagi adalah istilah‘rumah
Allah’. Yaitu suatu ruang tersendiri yang akan menjebatani antara
dimensi. (Yaitu) dari dimensi satu ke dimensi lainnya lagi. Bisa saja dari
dimensi yang lebih tinggi kepada dimensi yang lebih rendah. Atau dari dimensi
yang lebih rendah ke dimensi yang lebih tinggi lagi.
Dalam pemahaman yang saya maksudkan ini, maka ketika di
dalam ruangan ini kita (telah) difasilitasi untuk mengatasi problematika
segala macam kesulitan bahasa manusia (di pahamankan dengan sendirinya).
Sehingga ketika berada di ruangan ini, kita seakan-akan seperti sedang
(dalam keadaan) berdialog dengan makhluk lainnya yang memiliki ordo dalam
dimensi lebih rendah, misalnya dengan binatang, tumbuhan, dengan angin dan
banyak lagi yang lainnya. Atau bahkan dengan makhluk-makhluk yang tak kasat
mata. Dengan jin, syetan atau lainnya.
Mereka
berdua di fasilitasi di ruang ini untuk saling bertukar informasi. Dalam
bahasa mereka sendiri. Bahasa yang dimengerti oleh kedua makhluk yang
saling berkomunikasi. Dua makhluk yang berbeda dalam satu bahasa
yang sama.
Ruang yang saya maksudkan ini tentunya bukan sebagaimana
ruang yang ada di alam materi. Ruang ini lebih menyerupai keadaan ‘hal’
dimana ketika kita berada di dalam suasana ini, ~ kita seakan-akan mengerti,
memahami dan sepertinya (memang) sedang berbicara langsung dengan
entitas yang kita ajak dialog itu. Meskipun mereka bukan bangsa manusia.
Al quran sendiri telah mengisyaratkan adanya ‘ruang’ ini.
Ketika Nabi daud dan Nabi Sulaiman berbicara dengan para burung, semut, angin
dan gnung-gunung. Dan juga ketika Nabi Musa berbicara dengan Allah. Ruang ini
adalah ruang yang ‘sangat dekat’ dengan Allah. Atau ‘rumah Allah’. Inilah
ruang yang dalam pemahaman saya ~disymbolkan dengan ~ Thaa
Siin.
Ruang ini juga (mampu) memfasilitasi dimensi ghaib dan
realitas, sehingga karenanya manusia bisa berkomunikasi dengan makhluk
ghaib. Dan bahkan yang lebih fenomenal dan mungkin kontaversial adalah
jika ruang ini, (yaitu) dimaknai sebagaisebuah ruang antara
dimensi dimana kita bisa (serasa) berada ‘dekat’ dengan Allah,
berdialog dengan mesra dengan-Nya bagai dua orang kekasih, kita (seakan-akan)
berbicara dengan Allah di dalam ruang ini. Ruangan inilah yang saya
usung dalam pemahaman yang di symbolkan dengan huruf ~ Thaa
Haa.
Mengapa saya sebutkan seakan-akan, sebab bagi manusia
biasa, ruang ini hanya ada dalam dimensi keyakinan. Hanya yang melakukannya
saja yang tahu hakekat sebenarnya. Sebagaimana ungkapan yang sangat
kontraversial dari Al Hallaj yang mengatakan bahwa ‘Ana Al Haq’.
Menurut pemahaman penulis pada saat itu Al Hallaj sedang berada di
dalam ruangan yang di maksudkan tersebut (baca; suasana/hal).
Dalam ruangan ini, diri kitalah yang (nampak oleh
lainnya) sedang berdialog dengan diri sendiri. Suara-suara ‘entitas’ lain
tersebut kadang bermunculan melalui pita suara kita. Inilah yang terjadi pada
umumnya. (Ada kekecualian bagi orang-orang yang di kehendaki, seperti halnya
para nabi). Semisal dalang, maka sang dalang dapat menyuarakan apa
saja. Seluruh tokoh berbicara melalui sang dalang. Itulah yang nampak oleh
kita. Para nabi yang terpilih tentunya sudah di berikan ‘ruang’ khusus
dimana para nabi akan di undang untuk berdialog’ dengan-Nya. Seperti yang
terjadi pada nabi Musa as.
Namun tentunya akan berbeda kejadiannya dengan
dengan manusia biasa. Seperti halnya apa yang terjadi pada Al Hallaj.
Karena ungkapannya inilah, Al Hallaj harus menerima hukuman mati yang
mengenaskan. Ungkapan yang dikatakannya di tafsiri keliru. Keadannya yang
sedang berada di dalam ‘ruang’ ini di nampakkan kepada mansuia lainnya.
Padahal ‘dimensi ruang’ ini adlaah dimensi yang sangat ‘pribadi’ antara ‘sang
hamba’ dan ‘Kholik’. Dimensi yang berada dalam ‘frekuensi’ khusus. Dan
manusia harus menjaganya agar tetap begitu. Tetap dalam ‘kerahasiaan’nya.
Ruang yang disediakan agar setiap manusia dapat berdua dengan Tuhannya.
Jika rahasia ini di uangkapkan pasti akan menimbulkan fitnah adanya.
Hal inilah nasib yang dialami Al Halaj. Hakaketanya dia
sedang berada di ‘ruangan ini’. Namun benarkah Al Halaj tengah berdialog
dengan Allah SWT ?, ataukah berdialog dengan entitas yang lainnya ?. Maka
jawabnya adalah “walohualam bisawab”. Hanya Allah yang tahu hakekat
sebenarnya. Dalam realitasnya tidak ada satu manusiapun yang tahu
kebenarannya. Dimensi ini hanay ada dalam keyakinan Al Hallaj, yang
melakoninya. Di akherat nanti, Allah akan menjadi hakim
atas apa yang terjadi.
Kematian Al Hallaj waktu itu telah menggeparkan dunia
tasawuf , sehingga melahirkan sifat-sifat mutasawif ke arah yang lebih arif
dan bijak bagi generasi setelahnya. Dan mereka lebih hati-hati dalam menjaga
diri, saat sedang berada di dalam ‘ruangan’ ini. Mereka tidak lagi menyengaja
menampakkan diri hadapan manusia biasa, ketika sedang berada di ‘ruangan’
ini. Inilah hikmah yang dapat di ambil atas kejadian tersebut.
Namun kajian ini ingin berlepas dari spekulatif itu.
Kajian ini hanya ingin menghantarkan pemahaman penulis. Bahwasanya ruang
antara dimensi tersebut ~ menurut keyakinan penulis adalah memang ada di
sediakan dan keadaannya telah diisyaratkan oleh Al qur an itu sendiri.
Ruang yang memfasilitasi agar manusia mampu berkomunikasi dengan entitas
‘jatidiri’ lainnya. Ruang itulah yang dalam keyakinan penulis telah
di symbolkan dan di isyaratkan dengan satu huruf huruf ~ Thaa.
Merangkai makna yang terurai
Setelah Thaa kita maknai sebagaimana
pemahaman yang diulas dimuka, maka selanjutnya akan dapat kita pahami
jika Siin adalah, symbol untuk untuk mewakili seluruh
entitas yang diajak berkomunikasi. Siin adalah yimbol
seluruh makhluk Allah yang memiliki ‘jatidiri’. Seluruh entitas yang dalam
pemahaman kita adalah ‘makhluk-makhluk’ ciptaan Allah. Baik dari golongan
yang kita ketahui maupun dari yang tidak ketahui. Dalam ruang ‘dialog’ Thaa
Siin inilah seluruh makhluk-makhluk Allah dapat berkomunikasi.
Sementara Haa sendiri telah kita
urai maknanya dalam kajian Haa Miim sebelumnya. Maka kita dapati makna dan
pemahaman Thaa Haa dalam suatu kesatuan makna. (Yaitu) Dalam
ruang ‘dialog’ Thaa Haa inilah manusia dapat bermunajat dan
berdialog dengan Allah SWT. Inilah rangkaian pemahama yang saya usung dalam
rangkaian kajian.
Kunci untuk memasuki ‘ruang’ Thaa Siin ini,
sudah pernah diajarkan Allah SWt, kepada nabi Daud as dan
Sulaiman as. Dan Allah memberikan ijin-Nya kepada nabi Sulaiman as,
untuk mengajarkan kepada siapa saja yang dikehendaki beliau. Tanpa
pertanggungjawaban. Artinya bahwa setelah ilmu ini di ajarkan, manusia
itu sendirilah yang akan memikul pertanggung jawabannya sendiri. Oleh
karenanya kita dapati sekarang banyak manusia bisa memasuki ‘ruang’ dimensi
alam ghaib. Berbicara dengan para jin dan makhluk di dimensi itu. Manusia
juuga bisa berbicara dengan binatang, banyak yang kemudian menjadi pawang
ular, pawang buaya, pawang hujan dan masih banyak sekali yang
lain-lainnya.
Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan
Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang
melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman". (QS.
27:15)
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia
berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung
dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu
kurnia yang nyata". (QS. 27:16)
Kemudian kami
tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja
yang dikehendakinya, (QS. 38:36)
dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya
ahli bangunan dan penyelam, (QS. 38:37)
dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu. (QS. 38:38)
Inilah anugerah kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau
tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab. (QS. 38:39)
Sehingga dalam pemahaman ini rangkaian makna menjadi lengkap
yang di symbolkan dengan Thaa Siin Miim. (Yaitu) ada ruang ada makhluk dan
ada kesadaran (Miim). Sebuah rangkaian yang saling menguatkan keberadaan
(eksistensi).
Sementara kunci untuk ruang Thaa Haa sudah
diisyaratkan saat nabi Musa berbicara dengan Tuhannya. Kejadian ini
banyak menimbulkan multi tafsir. Kesulitan dalam mengungkap kejadian
sebagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi, ~ oleh karena sebab tidak
ada istilah yang mewakilinya. ~ (dikarenakan) Manusia belum pernah mendapat
referensi atas keadaan ini (makanya tidak di kode/dinamai) ~ Menjadi
alasan lainnya jika berita ini kemudian (seakan) terabaikan.
Symbol Haa secara terpisah, telah
kita ulas dalam kajian Haa Miim, yang mengandung makna adalah
Kesadaran Universal. Kesadaran yang mewakili Allah di alam semesta. Kesadaran
ini yang sering kita dapati di dalam surah Al qur an ~ menyebut dirinya
sebagai ‘k-a-m-i’. Sebagaimana dalam surah (QS. 38; 39)
“Inilah anugrahkami ;…”.
Maka dengan demikian rangkaian Thaa Haa juga
dapat kita uraikan maknanya.
Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu,
diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon
kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Rabb semesta alam “. (QS.
28:30)
(Kemudian Musa diseru): "Hai Musa
datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk
orang-orang yang aman. (QS. 28:31)·“…
Inilah ruang yang di peruntukan bagi Nabi Musa, tempat
dimana Nabi Musa dapat berbicara langsung dengan Allah. Ruang yang
menempati Haa. Adalah dimensi yang tidak bisa disebutkan. Dimensi
yang dekat dengan Allah. Dimana menjadi antara ~ dari dimensi yang tidak bisa
disebut menuju kepada dimensi ruang dan waktu. Dua dimensi ini akan bertemu.
Disinilah ruang yang dimaksudkan. Maka sering kita mendapatkan istilah
bahwasanya Allah berbicara dari balik ‘tabir’.
Pemahan Haa dalam kesadaran kolektif
berbagai agama, memang sering di salah artikan. Kesulitan memahami hakekat
Kesadaran Universal (Haa) adalah sebab Haayang
(mampu) menguasai kesadaran Miim, (sebab Miim adalah
bagian intergral dari Haa). Karenanya mereka menganggap Haa adalah
entitas tertinggi dan Tunggal di alam semesta. Sehingga Haa dianggap
sebagai Tuhan itu sendiri.
Kesadaran manusia (Miim) hanya mampu sampai Haa.
Ketika sudah bersatu dengan Haa, maka kesadaran Miim akan
lenyap. Makanya mereka menganggap telah bersatu dengan Tuhan itu sendiri. Kesadaran
ini bergitu berpilin. Menjadi anggapan dalam ‘angan’ semata. (Pemahaman atas Haa
Miim dapat diperdalam di kajian Haa Miim ).
Pemahaman
Haa, juga sering disebut sebagai ‘Ruh Alam Semesta’ atau
Dewa dalam pemahaman Hindu. Sayangnya lagi, mereka juga menganggap
bahwa ‘Haa’ inilah , (sebagai) Tuhan itu
sendiri. Karena sebab pemahaman inilah, mereka kemudian berusaha
mengembangkan ajaran untuk dapat bersatu dengan Haa. Bersatu dengan
Tuhan menurut anggapan ajaran ini.
Mereka dalam anggapan bahwasanya symbolisasi Haa dalam
Al qur an adalah sebagai Tuhan. Inilah yang perlu di kritisi. Maka dari
pemahaman inilah berkembang ajaran Hulul, atau immanenstis
bersatunya ‘manusia dengan Tuhan’. Selanjutnya
derivatifnya, menjadi ajaran Wahdatul Wujud, dan di Jawa
terkenal dengan Manunggaling Kawula Gusti.
Sekali
lagi, sejatinya sebab ajaran ini menganggap ~ Haa~ sebagai
Tuhan. Menganggap bahwa Haa adalah sebagai
tempat’akhir’ kembalinya mereka.
(Yaitu)
Bersatunya antara kesadaran ‘Miim dengan Haa’ dan
selanjutnya menganggap bahwa penyatuan tersebut adalah sebagai
akhir perjalanan rohani mereka.
Padahal berdasarkan kajian atas symbolisme Haa dan Miim tersebut
dapat kita temukan fakta bahwa Haa dan Miim adalah
sama-sama makhluk Allah. Allah sendiri yang menciptakan mereka. (hal
ini akan diberikan ulasan tersendiri dalam kajian Alif Lam Mim Ra).
Allah sebagai wujud entitas tertinggi telah memberikan
‘amanah’ kepada langit dan bumi untuk mengatur urusan. Baik itu kepada Haa ataupun
kepada Miim. (Yaitu) urusan yang di perintahkan kepada
mereka. Perintah tersebut kita lihat sebagaimana keadaan sekarang. Alam
semesta kita lihat harmoni dengan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Tidak
ada cacad sedikitpun di antaranya. Semua bekerja sesuai dengan
perintah Allah. Mereka bersama-sama menyebut diri mereka dengan ~ KAMI. Perintah-perintah
ini senantiasa terjaga sebagai Al qur an. Sebagai ayat-ayat Allah. Tidak ada
satupun dari mereka tidak mengikuti ayat-ayat ini.
Maka akan nampak (keadaan) seperti halnya alam semesta
mengatur keadaannya sendiri. Alam semesta seperti ada begitu saja. Maka
sebagian kaum matrialis tidak meyakini adanya Tuhan yang mengatur semua
urusan di langit dan di bumi. Karena memang setiap ‘jatidiri’ sudah pasti
berjalan sesuai kehendak Tuhannya. Seperti begitu saja, seketika muncul
dalam keadaan yang begitu. Serba otomatis.
Maka untuk menjebatani ‘kebingungan’ ini.
Allah menyediakan ‘ruang’ khusus kepada manusia yang berakal. Kepada manusia
yang hendak kembali kepada Tuhannya. Untuk senantiasa dekat, dan berada di
ruangan ini, di rumah ini, disinilah manusia diperkenankan untuk berdialog
dengan Tuhannya. Ruang yang memfasilitasi segala rahsa, segala bahasa,
segala ilmu. Inilah ruangan Allah. Ruang yang sangat dekat dengan Allah.
Dimana Allah akan ‘berbicara’ kepada kita.
Dan juga kepada manusia yang ingin berkomunikasi dengan
makhluk-makhluk lainnya. Telah juga disediakan ‘ruangan’ khusus. Agar
diantara mereka bisa saling berkomunikasi. Agar manusia yakin
bahwasanya semua makhluk Allah senantiasa bertasbih menganggungkan nama-Nya
(karena diantara mereka mampu bersapa). Kembalinya agar manusia ini yakin
atas hakekat Tuhan yang mengatur, menciptakan dan mematikan, menghidupkan,
dan seluruh asma-asma-Nya (Asmul Husna) agar nama-nama-Nya , ~ manifestasi
dari sifat-Nya dapat dikenali manusia.
Ruang
inilah yang masing-masing di symbolkan sebagai ~ Thaa Haa, Thaa Siin, serta
keadaan bagaimana sedang dalam suasananya di symbolkan sebagai ~ Thaa
Siin Miim.
Maka
karena hal ini manusia kemudian hari akan mampu ber-saksi atas ~ La
illa ha ilallah. Muaranya
akan kembali kesitu-situ lagi. Dari seluruh pemahaman yang dihantarkan
maka muaranya akan selalu menuju kepada hakekat makna syahadat.
Keadaan ini dengan lugas di informasikan kepada kita,
melalui firman-Nya dalam ayat kursi yang senantiasa kita baca
sehari-hari (Lihat QS. Al ba qoroh ; 255). Maka menjadi
kepahaman sekarang , maka menjadi jelas ~ sebab apa, (yang) menjadikan
Ayat Kursi tersebut , menjadi ayat yang senantiasa kita baca berulang
setiap hari.
Inilah kaitan antara Thaa Haa, Thaa Siin, dan Thaa
Siin Miim. Dengan mengurai hakekat symbol-symbol ini kita akan dapat
menguraikan kemana arah pemahaman kesadaran kolektif yang sekarang ini
menjadi ‘trend’. Al qur an berusaha memfasilitasi keseluruhan pemahaman yang
berada di dalam kesadaran manusia. Menunjukkan kepada mereka hakekat alam
semesta dan bagaimana keberadaan masing-masingnya diantara mereka semua itu.
Ruang yang memfasilitasi
Keberadan ruang ini menunjukan bahwa Allah di luar dimensi
alam semesta ini. Kita hakekatnya tidak pernah tahu wujud Allah
itu sendiri. Maka bagaimana kita bisa ‘bersatu’ dengan Allah ?. Kita
hanya bisa memaknai apa-apa yang sudah di ciptakannya. Yaitu alam semesta ini
berikut dengan isinya dan segala sesuatu yang berada diantaranya. Dalam
skenario Allah Tuhan yang Menciptakan segala sesuatu. Dan selanjutnya
karena keberadaan alam semesta ini, kita meyakini atas keberadaan Tuhan.Dan
karenanya kita selanjutnya mampu ber-saksi dengan ‘haqul yakin’ atas ‘la ila
haa ilallah’.
Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan
barat maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sungguh Allah
Mahaluas, Maha Mengetahui.’(QS. 02;115)
Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS. 55;27)
Maka dengan rangkain pemahaman ini, diri dengan sadar akan
(lebih) meyakini lagi dan lebih dalam lagi (atas keyakinan yuang
sudah ada) dan ber-saksi atas firman ini ;
Katakanlah
“ (Bahwa) Dia-lah Allah Yang Maha Esa’
“Allah
tempat meminta segala sesuatu” (QS. 112; 1-2)
“Kepunyaan
Allah-lah, kerajan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’
(QS. 003 ; 189).
Demikianlah kajian ini dihantarkan. Dengan permohonan maaf
yang dalam. Sekiranya pemahaman ini akan berbenturan dengan sebagian yang
lain, yang juga ‘membaca’. Kajian ini hanya berusaha
mengungkap keadaan, dalam meyakini ayat-ayat Allah dengan cara berbeda, karenanya bukan
berarti tidak sama.
Hakekatnya agama adalah ‘Tauhid’, Dhien adalah satu
(yaitu) Islam. Kembalinya adalah Ina lillahii wa ina ilaihi rojiun. Semua
akan kembali kepada Allah dalam bentuk pertanggung jawabannya masing-masing.
Dalam konsekuensi besar, (dengan keyakinan) inilah; kajian ini di
hadapkan kepada sidang pembaca. Dalam segenap takut dan harap.
Konsekuensi diri ini, (akan) di hadapankan kepada
Allah , sang Hakim yang Maha Agung, yang membaca setiap lintasan hati di
dalam diri ini. Karenanya hanya kepada-NYA diri ini memohon ampun, jika
khabar ini tidak seperti keadaannya. Sebab diri hanyalah manusia ‘pembelajar’
yang sedang belajar ‘membaca’. Maka hanya kepada-Nya penulis memohon
pengajaran. Semoga keadaanya memang demikian. Amin..amin, ya Robbal
‘alamin. Insyaallah.
Wolohualam bisawab
Salam
arif
|
Komentar
Posting Komentar