Kajian Al Dzauk 2, Keberanian Yang Diuji


Rahsa hilang ketika kehilangan

Dan pohon kemuning akan segera kutanam 
Satu saat kelak dapat jadi peneduh
 
Meskipun hanya jasad bersemayam di sini
 
Biarkan aku tafakkur bila rindu kepadamu
Walau tak terucap aku sangat kehilangan
 
Sebahagian semangatku ada dalam doamu
 
Warisan yang kau tinggal petuah sederhana
 
Aku catat dalam jiwa dan coba kujalankan
Meskipun aku tak dapat menungguimu saat terakhir
 
Namun aku tak kecewa mendengar engkau berangkat
 
Dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup bawa bekal
 
Dan aku bangga jadi anakmu
 

(Ayah Aku Mohon Maaf by Ebiet G Ade)

Nyanyian jiwa ini, sering aku nyanyikan bila aku tersudut dalam sepiku, dalam kehilanganku akan sosok seorang Ayah. Nyanyian yang mewakili seluruh perasan bersalah kepadanya. Perasan yang ingin memperbaki apa-apa saja yang pernah kulakukan, teringat, bagaimana aku mengabaikannya, kala itu, seakan-akan aku tak pernah ada waktu.

Bagaimana tidak,  kalau waktu sepertinya  selalu tertinggal jauh. Angan selalu berkejaran menembus apa saja, sehingga apa-apa  yang disekelilingnya, apa-apa yang berada dalam kebiasaannya, menjadi seperti tak nampak. Tak merasa, tak berasa, aku tak merasakan, kehadirannya, seperti hal yang sangat biasa. Suatu kewajaran saja. Kehadiran seorang Ayah adalah hal biasa. Sebagaimnana matahari yang selalu terbit setiap pagi. Apa anehnya..?. Ternyata aku salah. Aku tercenung sendiri,setelahnya,  ada yang hilang, sebagian semangatku hilang.

Sesungguhnya aku menangis sangat lama 
Namun aku pendam agar engkau berangkat dengan tenang
 
Sesungguhnyalah aku merasa belum cukup berbakti
 
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku
Ayah aku berjanji akan aku kirimkan 
Doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
 
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang
 
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana
 
(Ayah Aku Mohon Maaf by Ebiet G Ade)

Setiap jiwa akan mengalami mati. Setiap diri akan mengalami kehilangan, kesedihan mendalam,  jika orang yang di kasihi meninggalkan dirinya.  Namun selalu saja, jika sesuatu sudah menjadi hal biasa, maka kita tidak mampu merasakan bahwa hal tersebut  ada,  berkat karena rahmat Allah saja kepada Nya. Karena rahmat Allah,  sesuatu itu berada dalam kekuasaan, bertada dekat dalam kehidupannya sehari-hari.  Entah itu harta, tahta, atau orang yang di kasihi (wanita). Setelah sesuatunya itu,  diambil oleh Nya,  maka manusia kemudian menghiba, yang tertinggal hanyalah penyesalan dan nelangsa.

Air hujan mengguyur sekujur kebumi 
Kami yang ditinggalkan tabah dan tawakkal
 
Ayah aku mohon maaf atas keluputanku
 
Yang aku sengaja maupun tak kusengaja
 
Tolong padangi kami dengan sinarnya sorga
 
Teriring doa selamat jalan buatmu ayah tercinta
(Ayah Aku Mohon Maaf by Ebiet G Ade)

Kemudian sang waktu ingin di putarnya kembali. Itulah ironisnya. Begitulah manusia, begitulah jiwa ini, mau bagaimana lagi.

Maka coba perhatikan,  bagaimana perjuangan manusia untuk mendapatkan sebuah mobil misalnya. Bagaimana kejadiannya setelah mobil tersebut menjadi miliknya sekian tahun lamanya. Apakah jiwanya masih dapat merasakan nikmatnya mobil tersebut ?. Hmm.. yang ada jiwanya akan selalu meninggalkan keadaan dirinya. Selalu akan berangan-angan ganti mobil baru, menambah mobil baru, ingin rumah baru, ingin ke ujung dunia, dan lain-lainnya. Karena matanya melihat di sekelilingnya, banyak kenikmatan yang belum di rasakannya. Perbandingan , jiwa selalu membandingkan dirinya, jiwa selalu merasa rumput tetangga lebih hijau. Jiwa selalu ingin merasakan seluruh kenikmatan yang ada. Begitulah keadaanya.  Persepsi manusia, dalam pikirannya semua adalah kenikmatan semata.

Persepsi akan inilah yang harus di hancurkan. Maka Allah kemudian mendatangkan ujian dan cobaan-cobaan hidup. Agar manusia menyadari. Bahwar apa yang hilang dan yang luput dari dirinya tidaklah merisaukannya. Semua dalam kekuasaan Allah semata dalam kehendakNya.  Selaykanya kita tabah dan tawakal. Berserah diri dengan total. Ber – Islam.

Jiwa akan senantiasa berkeluh kesah, bagaimanapun keadaan sang raga, bagaimanapun kaya, bagaimanapun kuasanya, jiwa selalu tidak pernah merasa cukup. Dalam kajian terdahulu selalu seputar keluh kesah jiwa, jiwa dan jiwa lagi. Memang begitu kenyataannya, jiwa harus mengerti keadaan dirinya, dengan kalimat yang ber ulang-ulang. Karena jiwa senantiasa meliar dengan sendirinya. Karena jiwa selalu sekehendak dirinya.

Kalau begitu, bagaimana jiwa mau ber serah diri..
Bagaimana jiwa mau menanggalkan ego dan  keinginannya..
Bagaimana jiwa melepaskan diri dari belitan rahsa..
Inilah masalahnya..
Manusia kemudian di handapkan kepada ujian-ujian..
Atas diri dan jiwanya..
Bagaimana rahsanya kehilangan..
Bagaimana rahsanya kesedihan, kesakitan..
Manusia diuji bagaimana jalannya rahsa..
Melalui  kehilangan harta, kematian, melalui apa saja..
Apakah manusia tetap akan lurus..
Apakah manusia akan tetap silatun..
(karena ujian tersebut akan mengaburkan jiwa, jiwa akan di hadapkan kepada perguliran rahsa)
Inilah tataran Iman..
Masih tetap tegarkah dia dalam keyakinannya..
Keyakinan semua dari Allah akan kembali kepada Allah..
Maka kenapakah manusia kemudian di uji keimanannya..?.
Manusia di paksa untuk menyadari  ini..
Manusia di paksa untuk mengerti bahwa semua yang ada pada dirinya adalah pemberian Allah semata..
Manusia di paksa untuk memahami..
Manusia di paksa untuk menyerah, selanjutnya menyadari bahwa daya yang dipergunakannya bukanlah dayanya..
Manusia dipaksa untuk berserah diri..
Manusia di paksa untuk menetapi sumpah sumpahnya, ketika dia masih dalam perut ibunya..
Mengakui bahwa Allah Tuhannya..
Manusia di paksa untuk memenuhi sumpahnya atas ke-islamannya, yang setiap kali di ikrarkan pada saat sholat, memenuhi sumpah sejatinya, dan dengan tegar mengatakan :

 Katakanlah (Muhammad): sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku  dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. “(Q.S Al An’aam : 162)

Mengikuti dengan takzim apa yang dikatakan Rosulnya. Mengatakan dengan sebenar-benarnya, dengan seluruh keberanian. Bukan hanya seremonial semata. Bukan hanya sekedar ritual saja. Dengan seluruh pengetahuan dan pemahamannya. Dengan rahsa, dengan jiwa, dengan seluruh anggota badannya. Pernyataan dan ikrar dirinya ini terus akan di uji, hingga akhirnya nantinya manusia mampu dengan se yakin-yakinnya mengatakan :

Tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)“(Q.S Al An’aam : 163)

Karena memang tiada daya upaya bagi manusia, tiada pilihan lain baginya, selain mengatakan hal tersebut.

Maka menjadi jelas, mengapa ketika seseorang mencoba mengenal Allah, melalui tapak spiritual, melalaui jalur ikhsan akan di benturkan dengan keadaan ini. Jiwanya menjadi halus, sehingga semua terasa berat, semua terasa membelit, semua terasa menikam, semua terasa seakan meremukan seluruh sendi-sendinya. Semua rahsa yang di susupkan oleh Tuhan, menjadi sangat nyata, sangat realistis baginya.

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk hidayah oleh Tuhanku ke jalan yang betul lurus, (kepada) agama yang tetap teguh, yaitu agama Nabi Ibrahim yang ikhlas dan tiadalah ia termasuk orang-orang musyrik. “(Q.S Al An’aam : 161) 

Berdiri tegak, dengan keyakinan, mengatakan dengan sebenar-benarnya, agama yang tetap teguh adalah agama nabi Ibrahim yang ikhlas. Inilah arti ujian arti cobaan bagi penempuh jalan spiritual.  Sebab dalam kesadarannya dia telah membuktikan semau itu, dalam eksplorasinya, dalam kontemplasinya, dalam sholatnya, dalam setiap gerak nafasnya. Maka dia dengan ikhlas akan mengatakan sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.

Dia akan mengerti jalannya rahsa, dia akan mengerti hakekat dirinya, dia akan mengerti bahwa sejatinya dirinya hanyalah penikmat saja. Dia akan berjalan diatas rahsa, meliputi dan diantara rahsa.  Sehingga rahsa tidak akan menyudutkannya lagi. Dia mengerti bahwa dirinya adalah entitas di luar system ketubuhan manusia. Bukan rahsa itu sendiri. Dia kemudian  menjadi khusuk dan tegar. Meskipun badai rahsa menerjangnya.  Meskipun ujian dan cobaan datang silih berganti. Meskipun diantara itu berguliran rahsa bertubi-tubi mengiringi. Dirinya akan tetap tegar mengatakan :

Katakanlah (Muhammad):  “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku  dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. “(Q.S Al An’aam : 162)

Sebuah keyakinan Islam, hanya spiritual Islam yang dengan tegar mengatakan hal ini. Maka meskipun pedang telah menempel di leher. Dia tetap akan berserah diri hidupku dan matiku karena dan untuk Allah semata. Meskipun telah hilang harta benda, bangkrut dan banyak hutang. Dia tetap akan berserah diri sholatku dan ibadahku untuk Allah semata.

Dan..
Dia tetap akan berserah diri  ; sholatku dan ibadahku karena dan untuk Allah semata. Dia tetap akan berserah diri  ; hidupku dan matiku karena dan untuk Allah semata. Dia tetap akan berserah diri apapun maunya Allah pada dirinya. Karena sesungguhnya dia telah berikrar, bersumpah : “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta Alam.” Maka tidak ada lagi gundah, tidak ada lagi gelisah, tidak ada lagi was-was pada dirinya.

Maka sambutlah ujian dan cobaan dari Allah dengan terus senantiasa mohon petunjuk dan pertolongan Nya, agar kita senantiasa di bimbing, dan di ajarkanNya. Sehinggaa kita mampu berserah diri. Sehingga kita mampu ber Islam, menjadi muslimin sejati.

Senja hitam ditengah ladang
Dihujung permatang engkau berdiri
Putih diantara ribuan kembang
Langit diatas rambutmu
Merah tembaga
Engkau memandangku
Bergetar bibirmu memanggilku
Basah dipipimu air mata
Kerinduan, kedamaian
 

Batu hitam diatas tanah merah
 
Disini akan kutumpahkan rindu
Kugenggam lalu kutaburkan kembang
Berlutut dan berdoa
Syurgalah ditanganmu, Tuhanlah disisimu
Kematian adalah tidur panjang
Maka mimpi indahlah engkau
(Camelia IV by Ebiet G Ade)

 walohualam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali