Kajian Sapi Betina (1), Mengapa Manusia Bergolong-golongan
Berawal dari pertanyaan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Kajian ini di hantarkan. Dalam kepenatan pikiran
atas perbedaan. Dalam logika yang tak sama, mencoba mengambil frame yang tak
biasa. Mencoba mengajak pembaca untuk melakukan eksplorasi atas sebuah berita,
atas sebuah petunjuk, atas sebuah kesadaran yang telah menembus waktu,
kesadaran yang membingkai peradaban dan alam pikir manusia. Kesadaran yang
tengah merajai di melenium ini. Berawal dari sebuah pertanyaan. Adakah
pluralisme ?. Maka kajian ini
mencoba menjelaskan dari sisi seorang kontruksionis.
Sebuah realitas kejadian atau di sebut
fakta, dapatlah menjadi bermacam-macam makna, tergantung siapakah pengamatnya.
Setiap manusia memIliki kecenderungannya masing-masing untuk melabelkan atau memaknai
apa saja atas kejadian tersebut, kembali tergantung kepada seberapa banyak
referensi yang di milikinya dan tak kalah pentingnya adalah seberapa jauh
kepetingan penguasa berperanan dalam pemaknaan atas terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam kajian sebelumnya, pluralisme di gugat, karena realitas dalam
kesadaran diri setiap individu manusia tidaklah memiiliki referensi atas
pluralisme. Manusia yang mengaku tidak ber Tuhan sekalipun, nyatanya
realitasnya dia tetap Memper- Tuhankan materi, jabatan, golongan, dan lain
sebagainya. Maka dalam teologi Islam tidak di kenal adanya atheis. Teologi
Islam hanya mengenal apakah suatu kaum ber Tuhan kepada Allah atau ber Tuhan
kepada selain Allah (materi misalnya).
Manusia tidak akan mampu mengakui
kebenaran pihak lain, apapun alasannya. Inilah realitas yang sering kita
pungkiri, meski keadaan sesungguhnya sudah begitu.
Manusia mencoba bersembunyi dalam dirinya sendiri, mencari pembenaran atas
sikapnya. Karena hubungan antar manusia mensyaratkan demikian. Maka wacana pluralisme di
sodorkan. Mencoba mengakomodasi kepentingan penguasa, agar masyarakat tidak
saling berebutan kebenaran atas mereka sendiri. Agar masyarakat tidak saling
baku hantam.
Maka menjadi jelas bagi kita, bahwa
pluralisme adalah wacana yang tengah di
usung oleh kaum cendikiawan untuk mengatasi problematika akut, yaitu
problematika perebutan kebenaran atas setiap golongan.
Bagaimana sejatinya Islam menyikapi hal ini ?. Sudah benarkan
wacana pluralisme ?.
Meskikah Islam terlarut wacana ini, kemudian mengakui kebenaran
golongan lainnya ?. Bagaimana selanjutnya dengan akidah umat Islam ?.
Bagaimanakah
sebenarnya menyikapi keadaan ini ?.
Yaitu menyikapi fakta dan realitas
manusia yang bergolong-golongan, dan setiap golongan mempertahankan versi
kebenarannya sendiri.
Dengan maksud itulah, kajian ini di
hantarkan. Semua kembalinya kepada sidang pembaca yang di muliakan Allah untuk
menyikapinya. Tiada maksud penulis sedikitpun untuk merendahkan satu paham
dengan paham yang lain. Namun penulis mencoba untuk memberikan pembanding,
menelaah fakta ini dari frame yang berbeda. Dalam sebuah tema yang ber tajuk
SAPI BETINA.
Logika yang di
kontruksi
Marilah kita eksplorasi kisah-kisah dalam Al quran, mengapakah
kisah tersebut di ceritakan kepada kita ?. Al quran telah meriwayatkan kepada
kita, kisah-kisah dimana pada masanya peristiwa tersebut terjadi. Contoh
peristiwa yang mampu mengguncangkan kesadaran manusia dan masyarakat saat itu.
Dimana peristiwa tersebut begitu hebatnya, sehingga akal mereka tak mampu
menerima, maka goyahlah keyakinan lama mereka. Masyarakat begitu terguncang,
sensasi rasa yang tak biasa. Mereka kesulitan untuk menerima kejadian
tersebut. Kejadian tersebut harus mampu dijelaskan kepada diri mereka sendiri
dan masyarakat pada saat itu. Kaum cendikiawan mereka berfikir keras meredam
gejolak yang diakibatkan peristiwa hebat tersebut. Berikutnya, mereka mencoba
memaknai, menguraikan, berandai-andai maka kemudian muncullah ber macam-macam
spekulasi manusia dalam memaknai kejadian tersebut.
Cerita kemudian di kontruksi di bingkai, untuk memuaskan jiwa.
Tarik ulur kekuatan politik, kekuatan nafsu diri manusia
menguasai orang-orang yang diberikan ilmu (baca; kekuasaan). Maka berita dan
cerita kemudian di bangun, di kontruksi lagi sedemikian rupa, di buatlah
cerita, agar masyarakat pada saat itu dalam suasana yang tetap terkendali. Agar
masyarakat tetap tenang. Padahal orang-orang yang diberikan ilmu tersebut
sebenarnya tahu firman Allah, mengerti hakekat tentang peristiwa tersebut. Namun, sungguh
sayang sekali, nafsu diri mereka agar tetap berada dalam posisi kekuatan
politiknya (baca; berkuasa) membuat mereka mengabaikan firman Allah tersebut. Inilah yang diisyaratkan Al qur
an.
Mengambil
alur tersebut, maka peranan umat Islam, seharusnya menjadi sosok peranan yang
sangat sentral. Menjadi kaum yang semestinya tidak larut dan terjebak dalam
medan ‘kontruksionis’. Umat Islam seharusnya terbebas dari beban tersebut dan
mampu keluar dari ‘binding’ kesadaran kolektif yang melingkupi alam pikiran
mereka. Kesadaran kolektif yang telah mencengkeram keberanian mereka yang telah
terjadi sejak berabad-abad
lalu dalam setiap generasinya.
Pemikiran umat Islam harus logis, sesuai dengan alur logika dan
fitrah manusia itu sendiri, sesuai dengan hukum-hukum yang mengikuti raga
mereka. Hukum yang mengatur hidup mati manusia. Manusia seharusnya hanya tunduk
akan ini. Tunduk akan hukum-hukum Allah. Tunduk akan firman-firman Allah. Maka
manusia yang tunduk berserah diri inilah yang di maksudkan atau di namakan oleh
Al quran sebagai ‘umat Islam’. Manusia yang tunduk berserah adalah manusia yang
di pilih Allah untuk menjadi saksi atas pertikaian setiap golongan. Sebagaimana
firman Allah sbb:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak
menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa
orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia. (QS. 2:143)
Umat Islam di harapkan menjadi
penengah, menjadi saksi atas kesalahan sejarah, atas kesalahan proses pemaknaan
dalam peristiwa tersebut (sebagaimana kisah-kisah dalam Al qur an). Umat Islam di harapkan adil
dalam menyikapi fenomena masyarakat terkini, menyikapi golongan-golongan yang
ada. Menyikapi orang-orang yang menjadi korban, nafsu nenek-nenek moyang mereka
dengan bijak dan adil. Nenek moyang merekalah yang
sudah meng-kontruksi berita, sehingga berita tersebut sampai ke jaman kita itu
dalam keadaan yang seperti ini. Berita
yang akhirnya menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan yang akhirnya melahirkan
agama. Agama yang telah membingkai manusia dalam kebenaran. Menjadi
keprihatinan kita umat Islam, bahwa kebenaran yang di yakini berdasarkan dan di
bangun atas sebuah cerita yang telah di kontruksi. Kebenaran yang kemudian di
golong-golongkan oleh manusia itu sendiri. Sungguhkah ini tidak memprihatinkan
kita umat Islam (?).
Umat Islam di harapkan tidak mengulang
kesalahan yang sama, yang telah di lakukan nenek moyang mereka dalam memaknai
peristiwa. Mereka di harapkan akan senantiasa berserah kepada maunya Allah.
Seluruh peristiwa seluruh kejadian adalah skenario Allah. Umat Islam diharapkan
mampu mengambil hikmah kejadian, tetap lurus dalam agamanya. Sebagaimana Allah
kemudian juga telah merubah arah kiblat umat Islam. Apakah umat Islam mampu
memetik hikmah tersebut ?. Ataukah sebagian umat Islam akan kembali mengikuti
hawa nafsu mereka ?. Mengarang dan membuat berita, mengkontruksinya menjadi
kebenaran lainnya lagi ?. Begitulah yang di isyaratkan ayat QS. 2;143 tersebut.
Apakah umat Islam akan mengulang sejarah, mengulang kesalahan mereka kembali ?. Mampukah umat Islam memetik hikmah
dengan benar ?. Tetap berimankah mereka kepada Allah dengan di rubahnya arah
kiblat ?.
Peristiwa perubahan arah kiblat adalah
peristiwa yang menggoncangkan umat Islam saat itu. Sebagaimana peristiwa yang
terjadi pada kisah-kisah Al qur an lainnya. Kisah Sapi Betina, kisah Unta nabi
Saleh as, kisah di salibnya nabi Isa as, dan juga setara dengan kisah-kisah
lainnya. Kisah yang
mengguncangkan jiwa manusia, kisah yang mampu melahirkan kesadaran baru
lainnya. Maka hanya manusia yang ber iman, yang akan mampu mengambil hikmah
atas kejadian tersebut. Sehingga manusia mampu memngambil hikmah kejadian, dan
berada dalam posisi yang adil atas orang-orang yang berbeda dalam memaknai
kejadian tersebut.
Itulah ruh ruh Islam, ruh yang menjadi
sebab mengapa kemudian Allah menjadikan umat ini adalah umat pilihan. Menjadi
umat yang akan menjadi saksi atas fenomena terjadinya proses perbedaan dalam
pengambilan hikmah kejadian. Menjadi saksi umat yang kemudian ber
golong-golongan sebagai akibat hal ini. Menjadi saksi atas kesalahan dalam
proses berfikir manusia, dimana kesalahan
ini telah menyebabkan manusia ber golong-golongan lagi. Inilah sesungguhnya
sikap Islam. Kesalahan berfikir para penguasa dan cendikiawan yang kaya, yang
memiliki ilmu namun dia tak mampu berserah kepada takdir. Mereka kaum yang
tidak berserah kepada Allah. Dan umat Islam menjadi saksi atas mereka itu.
Kemudian Rosululloh juga menjadi atas kita (umat Islam). Bukankah ini anugrah
yang luar biasa bagi kita umat Islam. Sungguh kenapakah kita tak menyadari
jikalau kita di muliakan-NYA. Masihkah kita sia-siakan dengan bersikap
sebaliknya ?.
Dimanakah posisi ?.
Maka menjadi tanda tanya jika kemudian
umat Islam di wacanakan untuk mengakui kebenaran golongan yang lain. (baca;
PLURALISME). Umat Islam, malahan sudah seharusnya diatas semua itu, diatas
semua golongan yang bertikai dalam memperebutkan kebenaran. Menjadi saksi atas
mereka semua itu dengan keprihatinan yang amat dalam. Sungguh mereka-mereka
adalah korban para kontruksionis cendikiawan masa lalu. Umat Islam selanjutnya
mestilah adil dalam menyikapi fenomena tersebut. Umat Islam harus bijak, arif,
sebab umat Islam telah diatas semua itu, telah dipilih oleh Tuhan yang
menciptakan manusia itu sendiri. Sekali lagi, agar menjadi saksi atas
pertikaian antar golongan yang terjadi dalam ranah kesadaran manusia. Bukannya
malahan ikut larut berebutan kebenaran dengan mereka.
Bukankah menjadi keprihatinan kita
sendiri , jika kemudian umat Islam jatuh ke lembah nista turut larut bersama
mereka (baca; golongan) memperebutkan kebenaran. Sungguh ironis, jika umat
Islam malahan bersaing dengan mereka, hingga baku hantam. Betapakah kita telah merendahkan martabat kita
sendiri yang telah di pilih oleh Allah menjadi saksi atas mereka. Bagaimanakah
kejadiannya, jika wasit sepak bola ikut bermain dan bernafsu untuk memasukkan
gol ?. Mengapakah kita
tidak mampu menjadi saksi dan hakim yang adil atas mereka yang
bergolong-golongan ?.
Bagaimanakah itu..?
Kajian ini masih terus
bergulir....bersambung....
Wolohualam
kajian yang luar biasa.. ini dapat dijadikan bahan renungan yang berguna
BalasHapus