Kajian Nafs, Yang Datang Di Malam Hari
Al qur an senantiasa memperingatkan kepada kita hakekat realitas
sesungguhnya. Mengapakah manusia menganggap bahwa dunia lebih realitas daripada
akherat. Mengapakah manusia tetap dalam keyakinannya itu. Meyakini bahwa hidup
hanyalah di dunia ini saja. Mengapakah manusia tidak memikirkan ulang, meng up
grade cara berfikirnya. Meletakkan hakekat pemahaman dan kesadaran kita kepada
sejatinya realitas itu sendiri. Bahwa kehidupan kita nantinya sesungguhnya
berada di akherat. Mengapakah manusia bisa terpedaya tipuan pandangan matanya
?.
Sekali-kali janganlah begitu !.
Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan (akherat)
Dan sesunguhnya bagi kamu ada
malaikat (penjaga) yang mengawasi
(QS. Al infithar, 9-10)
Pernyataan tersebut kembali diulang dalam ayat berikutnya,
menguji pemahaman kita, menguji kesadaran kita, menguji sejauh manakah kita
mampu dalam melakukan penerimaan atas realitas dan ghaib itu sendiri.
Bagaimanakah pemahaman manusia atas akherat itu. Pemahaman manusia atas
Hari Akhir yang lebih pasti daripada dunia dan segala isinya. Bagaimanakah
manusia menanggapi khabar ini (?). Mengapakah manusia kemudian tidak memikirkan
hal ini ?. Pertanyaan kemudian di ulang.
Dan tahukah kamu apakah Hari
Pembalasan itu (akhir) ?
Sekali lagi, tahukah kamu akan Hari
Pembalasan itu (akhir) ?.
(QS. Al infithar, 17-18)
Bahkan teori fisika terbarukan sekalipun mengakui dan
meyakini akan adanya Hari Akhir Zaman. Setiap atom yang membentuk bumi memiliki
waktu paruhnya, dimana setiap atom akan meluruh dan mengalami kematiannya.
Inilah hukum kepastian yang ditemukan manusia. Maka menjadi realitas manakah;
kelahiran kah atau kematian kah bagi kita sekarang yang sudah menjadi “ada” di bumi ini ?. Logika kita diuji
untuk memahami ini. Siapkah kita melakukan penerimaan atas khabar ini. Mampukah
jiwa kita meyakini dan melakukan penerimaan secara utuh. Manusia di tantang
memikirkan. Untuk inilah manusia senantiasa di uji, dibenturkan pemahamannya.
Bahwa setiap makhluk yang bernyawa juga pasti mati. Realitas ini
sepertinya nampak jelas dan menjadi keseharian kita. Tiada dan Ada. Ada dan
Tiada. Kelahiran dan kematian. Manusia muncul dari keghaiban, dari
setetes air mani, kemudian menjadi realitas raga manusia. Manusia muncul dari
ketiadaan, kemudian menjadi ada. Manusia ada dan kemudian
menjadi tiadalagi. Terus silih berganti. Dimana yang tetap melekat
adalah kesadaran demi kesadaran yang diturunkan lintas generasi. Maka menjadi
pertanyaan adalah, sesungguhnya yang manakah yang lebih realitas.. Ke tiada an
ataukah ke ada an. Ataukahkesadaran itu
sendiri ?.
(Yaitu) Kesadaran yang menyadari adanya ke ada an
dan ke tiada an. Kesadaran yang menyadari realitas dan
ghaib. Kesadaran yang memahami dunia dan akherat. Kesadaran yang mengerti
adanya dualitas di alam semesta ini. Kesadaran yang kemudian akan memasuki
dimensi tertingginya memahami adanya Dzat yang mengatur semua keadaan tersebut.
Kesadaran yang menerima bahwasanya dimensi realitas dan ghaib adalah
kehendak-Nya. Dia-l ah yang memiliki kuasa atas semua keadaan itu. Kesadaran
yang mampu melihat Tuhan sebagai penyebab semua itu. Kesadaran yang mampu
melihat Allah Tuhan semesta alam. Kesadaran yang mampu ber-IHSAN.
Kembali pemahaman ini diulang dan di ulang. Sebab pemahaman ini akan menjadi prasyarat
selanjutnya untuk memasuki kajian ini. Menjadi pondasi kita untuk memasuki
dunia yang hanya ada dalam kesadaran dan keimanan kita saja. Sebab
disayangkan, (bahkan) banyak manusia yang mengalami kesulitan tersendiri
dalam membedakan manakah yang malam dan manakah yang siang.
Inilah yang sering kita dapati. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi tidur
lagi. Begitulah kesehariannya. Kesadarannya tertidur, malas untuk mengamati,
malas untuk berfikir. Sebab dirinya dalam pengejaran materi dari hari ke hari,
dari waktu ke waktu. Malam bagi dia sepertinya tak ada. Dia tidak menyadari
istirahatnya. Pikirannya meloncat ke siang lagi. dan singa lagisebitu
seterusnya sepanjang hari, sepanjang kehidupannya. Maka bagaimanakah
jiwa seperti ini mampu meyakini ada sesuatu YANG DATANG DI MALAM
HARI (?). Jika hakekatnya kita sendiri tidak menyadari malam seperti apa
(?).
Kembali lagi, baiknya pertanyakan ini, kita tujukan kepada diri
kita sendiri saja. Selanjutnya, marilah kita kupas saja lanjutan dari
kajian ini. Untuk mengambil hikmah pelajaran atas kejadian.
Masa-masa terindah
Memasuki kajian ini, Pembaca akan saya ajak untuk mengarungi
masa-masa lalu, masa dimana kita kecil dahulu. Masa dimana kita tidak memiliki
prasangka. Masa-masa yang begitu indah terasanya. Mengapakah masa yang indah
ternyata adalah masa dimana kita tidak memiliki prasangka, tidak merasa
was-was, khawatir atau takut. Sungguh hal ini, menjadi tanda tanya kita.
Kok..bisa begitu yaa (?). Masa terindah dalam kehidupan kita adalah suatu
masa dimana kita tidak memiliki persepsi apa-apa atas segala sesuatu.
Saat kita selalu berbaik sangka dan tanpa praduga. Kenapa kembalinya kesitu ?.
Pada suatu masa, seiring dengan perkembangan diri kita. Dimana
kemudian hari, kita diajarkan oleh lingkungan dan orang tua kita. Banyak hal
yang diajarkan. Adalah kesadaran yang diturunkan kepada orang tua kita dari
nenek dan kakek moyang kita. Berikut pengajaran mereka. Kesadaran yang tanpa
kita minta merasuk kedalam jiwa kita, melalui pembelajaran mereka-mereka. Tanpa
kita mau, tanpa kita minta kita diajarkan banyak sekali. Kita kemudian
secara perlahan mulai memahami arti suku kata, kemudian memahami arti turunan
dalam sebuah kalimat, mengambil makna atas sebuah kata dan kalimat
pendukungnya. Selanjutnya kita mampu berkata-kata. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kemudian kita mengerti dan memahami rahsa, memahami symbol-simbol
sebagai ungkapannya. Memahami suatu kejadian dan belajar untuk meyakininya.
Memahami arti permusuhan, dan memahami arti perbedaan, memahami siapa aku
dan siapa engkau, siapa kita dan siapakah mereka, mengerti siapakah kami
dan siapakah dia. Memahami bahwa hakekatnya kita di bedakan atas
kata ganti manusia saja. Atas sebutan-sebutan yang melegalkan perbedaan.
Persepsi kita dibangun atas kata ganti manusia saja. Sebab aku bukanlah engkau,
dan kami bukanlah mereka. Tanpa kita sadar bahwasanya manusia dahulunya adalah
satu, manusia dahulunya tidak memerlukan kata ganti, manusia hanya ada satu
kata ganti saja, yaitu AKU. Tidak ada dia, atau mereka.
Kemudian semakin dewasanya jiwa manusia. Manusia perlahan mampu
memahami rahsa. Rahsa-rahsa ini memiliki turunan yang tak kalah sulitnya kita
pahami, rahsa iri-dengki, rahsa sakit hati, rahsa dendam, amarah dan lain
sebagainya. Banyak sekali turunan rahsa ini yang meliputi jiwa kita. Seperti
kabut rahsa ini menyaput jiwa kita, meliputi jiwa kita, sehingga kita sendiri
sudah tak mampu lagi mengenali siapakah sejatinya AKU. Cobalah kita resapi
pernyataan ini. Bukankah kita nikmat sekali ketika kita tidak memiliki
rahsa-rahsa model begini. Jika bisa mau kita kembali ke masa kecil kita dahulu.
Masa penuh derai tawa dan canda, masa dimana kita mampu memandang dunia yang
begitu indah. Masa yang penuh pesona. Disana hanya ada AKU.
Sayangnya masa itu telah berlalu. Si kecil tertatih taih memaknai.
Badai informasi, dengan kekuatan skala Megakilobite menghujani akal dan
pikirannya, merasuk di jiwa, menguasi kesadarannya. Jiwa manusia jiwa
pembelajar, ingin belajar apa saja. Dia serap seluruh informasi dari sekelilingnya,
dia serap pemahaman dari lingkungannya. Dia yakini kebenaran atas sesuatu
berdasarkan kesadaran masyarakatnya.
Pemahaman demi pemahaman di jejalkan oleh manusia dewasa kepada si
kecil. Persepsi manusia dewasa, persepsi orang tua tanpa sadar disuntikan ke
dalam jiwa si kecil yang tidak mengerti apa-apa. Si kecil tanpa daya, menerima
saja seluruh informasi dan pemahaman nenek dan kakek moyang mereka. Tak ada
waktu berfikir. Tak ada kesempatan memilah. Fakta demi fakta yang terpampang di
depan mata si kecil adalah realitas kehidupan dan dinamika kota. Realitasa
kehidupan yang memaksa setiap diri harus mengakui apa yang nampak di depan
matanya saja. Deraan hidup telah memaksa mereka untuk menerima fakta bahwa
realitas hidup sesungguhnya adalah apa yang mereka rasakan melalui indra
mereka. Rahsa-rahsa menjadi tolak ukur mereka. Menjadi anggapan kesadaran
mereka. Maka mereka melakukan pengejaran atas rahsa. Mereka melakukan
pengejaran atas kesenangan duniawi. Karena mereka merasa itu lebih realitas
dibandingkan akherat yang entah bagaimana keadaannya. Sungguh menjadi penat
sekali, setelahkita mengetahu fakta-fakta ini.
Kita lanjutkan lagi. Karena keterbatasan diri yang harus belajar
dengan cepat. Manusia harus cepat belajar, dilihatnya perkembangan peradaban,
dilihatnya teman sebaya, dilihatnya manusia-manusia diatasnya, dilihatnya
kenikmatan yang ada yang melekat pada diri manusia. Jiwa manusia ingin seperti
apa yang dilihatnya. Karena jiwa beranggapan bahwa itulah yang harus
dikejarnya. Kesadaran kolektif masyarakat melingkupi dan mengarahkan jiwa untuk
begitu. Maka pemahaman apapun mereka telan saja tanpa dikunyah lagi.
Pemahaman yang sejatinya adalah milik nenek dan kakek moyang mereka. Pemahaman
yang tidak pernah diuji kembali. Untuk apakah mereka menguji kembali
karena sepertinya nenek moyang mereka telah benar. Bahwa dunia lebih real
dari pada akherat. Argh..sungguh diri menjadi tak mengerti, kenapa kejadiannya
begini (?).
Pada suatu masa, jiwa tersadar. Apa-apa yang dilihatnya
nyatanya telah menipu dirinya. Apa yang dikejarnya nyatanya adalah semu belaka.
Jiwa kemudian mencari hakekat kehidup. Hakekat jati diri manusia. Kemudian
manusia yang mencari hakekat ini akan akan bertemu dengan suatu keadaan.
Keadaan yang harus terus menerus dipikirkannya, mengapa ada siang, mengapa ada
malam, mengapa ada sedih, mengapa ada senang. Dan dualitas-dualitas lainnya.
Maka ketika malam tiba, jiwa akan merenungkan ini semua, hingga
suatu saat nampaklah sesuatu yang datang di malam hari. Sesuatu
yang bersinar dengan tajam dalam hatinya. Sesuatu yang nyata yang menunjukan
jalan. Menjadi cahaya yang menerangi kalbunya. Cahaya itulah cahaya illahi yang
menuntunny. Mengantarkannya, menapaki jalan-jalan pencarian jati dirinya. Jiwa
kemudian mulai disempurnakan. Jiwa mulai di pahamkan atas segala sesuatu, atas
hakekat alam semesta, atas hakekat keberadaannya. Jiwa mulai terseok-seok,
tertatih-tatih. Apa yang selama ini dianggapnya suatu kebenaran nyatanya
hanyalah tipuan semata. Apa yang dianggapnya adalah suatu realitas nyatanya
adalah semu belaka. Jiwanya dibolak-balik atas suatu keadaan. Sungguh jiwa
payah mealkoni ini. Kesadarannya dibenturkan kepada realitas yang meski
diyakini, realitas yang sejati, bukan realitas sebagaimana yang nampak di depan
matanya selama ini. Jiwa dipaksa untuk memahami hakekat dualitas alam semesta.
Hakekat dunia dan akherat.
Begitulah keadaanya, siklus kelahiran dan kematian. Jiwa harus
kembali kepada-Nya sebagaimana saat jiwa di tiupkan pertama kali ke rahim
ibunya, jiwa harus kembali kepada-Nya dalam keadaan fitrahnya. Manusia
harus kembali dalam kondisi jiwa semasa bayinya. Renungkanlah masa-masa
etrindah dahulu, masa dimana kita tanpa prasangka dan tanpa praduga. Masa
dimana manusia dalam keadaan fitrahnya. Berusahalah kita untuk itu. Karena
inilah tantangan manusia, untuk dapat kembali kepada-Nya.
Menjawab tantangan itulah, manusia kemudian ber spiritual, yang
akan menghantarkan dirinya melewati tahapan demi tahapan hingga sampailah pada
suatu keadaan , mencapai makom pemahaman Inalilahi waa inailaihi
rojiun. Dimana jiwa mampu mengembalikan seluruh apa yang di punya dan
dia rahsa. Mengembalikan kepada pemilki-Nya. Ber parsah kepada Tuhannya atas
apapun yang menjadi ketentuan dan ketetapan-Nya. Sehinga bilamana kita
dipanggil oleh-Nya, sudah tidak ada apapun beban, yang memberatkan diri kita
lagi.
Begitulah sekelumit yang dapat disampaikan untuk mendasari
mengapakah manusia dewasa ini keadaanya menjadi demikian, untuk mendasari
kajian jiwa selanjutnya, dan bagimanakah mengenali suasana jiwa. Keadan hal setiap jiwa.
Salam
Komentar
Posting Komentar