Kajian Mahabbah, Jebakan Bagi Pencinta-NYA


Menyembah Tuhan selain Allah. Mereka mencintai sesuatu yang mereka sembah itu, sebagaimana mereka (seakan-akan) mencintai Allah. Bagaimana keadaan itu, bagaimana rahsanya, mengapa bisa manusia dalam keadaan begitu ?. Apakah manusia begitu sulit membedakan rahsa diantara keduanya.  Kalau sulit , dimanakah  kesulitannya ?.

Bagaimanakah rahsa mencintai Allah dan bagaimanakah rahsa mencintai Tuhan selain Allah ?. Menjadi pertanyaan tersendiri. Menjadi pergulatan batin sepanjang waktu dan peradabannya. Masih ada pertanyaan lainnya , apakah manusia tahu dan mengenal rahsa cinta itu sendiri ?. Jikalau tidak mengenal rahsa cinta bagaimana kita mampu membedakan kedua rahsa  cinta , apakah cinta kita benar kepada Allah atau malahan kita terjebak cinta kepada selain Allah. Layaknya kita harus menguji kemana kecenderungan jiwa kita. Sehingga   kemudian kita mampu berhati-hati dan waspada terhadapnya.

Ketika kita sudah mampu membedakan kedua rahsa tersebut maka kemudian kita akan mampu menjaga hati kita,  agar senantiasa berada dalam keadaan cinta kepada Allah. Sungguh-sungguh kepada Allah, Tuhan semesta alam. Bukan kepada lainnya. Inilah perjuangan yang sangat berat, mengenali cinta ini, kemudian menetapi dan selanjutnya menjaga agar cinta tersebut tetap dalam keadaannya hingga akhir hayat.

Tidak ada satupun manusia  mau didakwa, bahwa  mereka telah melakukan penyembahan kepada selain Allah.  Bahwa mereka mencintai kepada selain Allah. Mereka benar-benar, dan seakan-akan sedang melakukan penyembahan kepada Allah. Mereka dalam keadaan seolah-olah sedang menyembah Allah. Sungguh ayat Al baqoroh ; 165 ini memperingatkan kepada diri kita. Menyadarkan kepada diri kita akan adanya, kemungkinan-kemungkinan tersebut. Aku, kami, kita, mereka, dan juga lainnya senantiasa dalam penyangkaannya masing-masing.  Dalam persepsinya masing-masing. (Maka masing-masing diri harus berani menguji diri mereka sendiri atas hal ini).

Sungguh keadaannya,  ketika ada orang yang mencoba memperingatkan kepada Aku, kami, kita dan mereka, atas kemungkinan-kemungkinan  itu,  diri pasti akan  marah dan tersinggung. Kita tidak pernah mau terima jika di sangka melakukan penyembahan kepada selain Allah. Kita akan marah besar bila kepadanya di sangkakan mencintai kepada selain Allah. Mengapa demikian..?. Karena sejatinya manusia sulit sekali jujur terhadap dirinya sendiri. Manusia selalu ingin dianggap baik, (karena kodrat jiwa yang ingin suci), manusia sulit sekali mengakui kelemahan dirinya. Inilah keadaanya yang terjadi sejak dari jaman para nabi hingga sampai sekarang ini. Menjadi penyebab kenapa manusia akhirnya bergolong-golongan dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Satu (Allah).

Sangkaan manusia

Sangkaan-sangkaan manusia, yang telah menganggap diri mereka sudah melakukan penyembahan dengan benar kepada Tuhan inilah, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan, yang kemudian memecah menjadi agama-agama di muka bumi ini. Sumber mata air yang satu, akhirnya bercabang menjadi beberapa anak sungai. Anak sungai ini bercabang lagi menjadi ratusan kali yang kecil. Berpecah lagi menjadi selokan-selokan. Maka kita dapati, ada anak sungai yang kemudian mengangkut banyak sampah, airnya keruh karena bercampur lumpur hitam dan oli, sehingga ketika bercabang juga sudah tidak bisa disebut air lagi. Ada yang air hanya kecoklatan saja, dan ada pula campuran diantara itu, betul-betul berwarna-warni. Bermacam-macam warna, rupa, bentuk  dan bau airnya.

Maka keadaan sekarang ini, menjadi kesulitan tersendiri bagi kita untuk mencari anak sungai yang masih jernih, yang masih sama dengan asalnya. Bahkan ironisnya  lagi , seperti apa air yang jernihpun,  kita juga sudah hampir tidak mengetahui bentuk dan baunya, seperti tahu nama namun tak kenal rupa, karena realitasnya yang kita dapati hampir semua air telah berubah, baik  rupa, warna, maupun baunya. Akhirnya sangkaan kita  itulah air yang dimaksudkan.  Sungguh kenyataannya air permukaan yang mengalir di sungai-sungai,  telah banyak berubah, jauh dari rupa air yang sebenarnya. Hanya sedikit dan mungkin langka sekali,  air yang tetap jernih, sebagaimana aslinya. Hanya ada satu yang benar, diantara ratusan anak sungai, diantara semua air permukaan, hanya ada satu jenis air yang dapat dikatakan benar-benar air, begitu keadaan sekarang ini. Seperti apakah itu, yang manakah itu, menjadi pertanyaan tak berkesudahan pula.  Menjadi keributan tersendiri.

Manusialah sendiri yang telah mengotori sungai itu sehingga airnya menjadi kotor. Sungai yang mengalir dalam setiap peradaban telah memikul beban . Setiap jamannya sungai tersebut membawa sampah-sampah. Maka sudah dapat kita bayangkan bagaimana kotornya, ketika aliran tersebut sampai ke jaman kita ini. Namun sekali lagi, anehnya semua manusia dalam sangkaan mereka  masing-masing. Sangkaan bahwa  sungai merekalah yang  memiliki air yang benar, yang paling jernih,  disebabkan karena sangkaan mereka berasal dari sumber mata air yang paling benar.  Kemudian ironinya, mereka masing-masing menolak keras jika dikatakan bahwa sumber air mereka , sesungguhnya adalah  berasal dari sumber mata air yang sama. Air tetap adalah air. Maka dalam terminologinya hanya akan ada dua macam saja  yaitu Air dan bukan Air. Beriman kepada Allah atau beriman kepada selain Allah (kafir). Inilah perumpamaan dalam kesadaran tauhid.  Semestinya  pemahaman agama demikian juga. 

Manusia bersikeras dalam sangkaan-sangkaan mereka, mereka mengambil sebagian dari Islam (ajaran dari para nabi)  dan membuang sebagiannya lagi, membuang sebagian dan mengambil lainnya lagi, berdasarkan sangkaan-sangkaan mereka sendiri, berikut membuat-buat sendiri sembahan dan penyembahannya, menjadikannya sebuah agama, maka munculah agama-agama selain Islam dalam kesadaran manusia. Begitu juga dalam Islam itu sendiri, meski mereka mengaku dirinya Islam, namun kejadiannya akan sama seperti itu. Akhirnya, kemudian manusia yang merasa pintar mengusung gagasan pluralisme.


Namun sekali lagi, sungguh mereka (setiap agama) tetap dalam sangkaan mereka sendiri bahwa mereka merasa telah melakukan penyembahan dengan benar. Menyembah Tuhan yang benar. Inilah problematikanya. Namun Allah ber firman,

“Sungguh, Allah mengetahui apa saja yang mereka sembah selain Dia. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana (Al-Ankabut ; 42). 

Allah mengetahui apa-apa yang mereka sangka kan kepada Allah. Sayang, tidak dengan manusia. Manusia tidak sadar, dan tidak tahu keadaan dirinya sendiri. Manusia merasa dalam kebenarannya sendiri, meskipun sudah datang kepada mereka ayat-ayat yang nyata. Keadaan seperti ini selalu up to date,  berlaku sepanjang jaman, melingkupi diri dan jiwa manusia setiap jaman.

Maka ajaran Islam pun tidak terlepas dari hal ini. Kepada setiap diri yang mengaku beragama Islam pun tidak luput dari keadaan sangkaan ini. Masing-masing dalam sangkaan (baca; golongan) masing-masing. Maka Islam terpecah menjadi 73 golongan. Di gabung dengan ajaran nabi-nabi terdahulu,  terserak menjadi ratusan golongan, bahkan mungkin mencapai ribuan.

Mereka dalam sangkaan dan persepsinya masing-masing. Mempertahankan kesadaran (baca; ajaran/agama)) nenek-moyang dan nenak moyang mereka masing-masing. Sehingga mau tidak mau kita harus introspeksi, dan kontemplasi terhadap diri kita sendiri, ketika di hadapkan pada suatu pilihan atas keadaan dan kondisi  itu.

Mencari sumber air

Semisal, ketika kita ingin sungguh-sungguh mengenal air. Yaitu Air jernih yang dimaksud seperti apa. Maka kita harus mencari tahu sendiri  air yang jernih yang dimaksudkan itu sebenarnya seperti apa. Mencari contoh air yang benar, seperti apa, bentuk, warna dan rupanya. Kita tidak harus percaya begitu saja, atas informasi yang kita terima. Manusia harus tahu se yakin-yakinnya bagaimana keadaan air tersebut sesungguhnya. Maka dengan pengetahuan ini, manusia akan mampu membedakan mana air yang benar sebagaimana yang dimaksudkan dan mana pula air yang bukan. Maka dengan pengetahuan  ini, dan keyakinan ini, manusia akan mampu membedakan seluruh air yang mengalir diatas permukaan tanah. Sebab diarenakan mereka sudah pernah mendapatkan sample (contoh) air tersebut. Mereka semua akan menjadi tahu dan dipahamkan, hakekat apakah air yang mengalir di sungai memang sungguh benar adalah air atau sesuatu yang disangkakan sebagai air. Inilah hakekat pencarian dalam penyucian jiwa.  

Manusia yang ingin mencari kebenaran, harus mau bekerja keras mencari sample air yang benar.  Salah satunya adalah menggali sendiri ke dalam tanah. Manusia harus berani menggali berapapun kedalaman yang diperlukan, hingga muncul air jernih yang di maksudkan. Mencari sumber air, dengan menggali tanah. Inilah perumpamaannya, dalam situasi dan kondisi terkini di jaman meilenium ini, jaman informasi tak terkendali, manusia harus mau menggali, dan terus menggali ke kedalaman hatinya,  harus sungguh-sungguh menggali di kedalaman hatinyaagar mendapatkan hakekat kebenaran yang sebenar-benarnya. Maka dengan hakekat ini manusia akan mampu memilih dan memilah manakah ajaran yang benar, manakah agama yang benar, diantara ajaran dan agama-agama yang berada dalam kesadaran kolektif manusia sekarang ini. Sehingga, jika kita sudah sampai dalam keadaan ini, kesadaran kita akan mampu dengan total meyakininya.

Setelahnya manusia mampu  memilih dan memilah, mencari manakah  jalan yang lurus dan jalan yang benar, maka dengan itu diri akan mampu mengenali Allah karena  hakekatnya  hanya hati yang mampu mengenal Allah.  Karenanya itu, kita menjadi yakin se yakin yakinnya (haqul yakin) bahwasanya kita sudah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya,   bukan menyembah selain Allah. Sebagaimana di isyaratkan surah Al baqoroh ‘ 165 tersebut.  Manusia diharapkan selalu dalam upaya kearah ini. Inilah yang di harapkan  dalam Islam. Sehingga setelahnya manusia akan dengan sadar mengamalkan ajaran (syariat) dalam keadaan sukarela (ikhlas), puas lagi ridho menetapinya. Meyakini kebenaran Al qur’an dan As sunnah.

Begitu halnya dalam cinta, dalam pengenalan cinta. Manusia harus menggali dan terus menggali ke dasar hatinya untuk mengenal dan mengerti bagaimana rahsanya  C-I-N-T-A  NYA.  Bagaimana cinta dibahasakan. Agar manusia tidak terjebak kepada cinta selain NYA. Yaitu Cinta kepada selain Allah.

Rumah laba-laba

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahu. (QS. Al Ankabut ; 41).

Bagaimanakah rahsanya jika kita ber putar-putar terus dalam suatu tempat, dalam lingkaran yang semakin lama, semakin mengecil dan kecil, kemudian menjadi semakin sempit. Kemudian kita di jepit , dihimpit dari segala sudut dengan tekanan yang semakin lama semakin membesar. Udara semakin lama semakin habis ?. Bagaimanakah pula rahsanya jika kegelisahan kita meluas, dari lingkaran kecil kemudian semakin membesar dan terus membesar menuju ke lingkaran yang lebih besar ?. Karena himpitan itu ?.

Itulah perumpamaan rahsa di jiwa jika manusia mengambil pelindung selain Allah.  Sebagaimana laba-laba membuat sarangnya, laba-laba akan meletakkan benangnya pada satu ranting, berpindah kepada ranting satunya lagi, kemudian berpindah lagi ke ranting lainnya, dari ujung yang satu kepada ujung yang lain. Mempercayakan talinya melekat  kepada ranting, berharap ranting tersebut akan mampu menjadi penyangga bagi talinya. Diikat kepada ranting yang satu. Masih belum yakin dia akan meng-ikatkan lagi kepada ranting yang lain dengan suatu pengharapan yang sama, selalu begitu, dan begitu seterusnya. Setelah merasa kuat. Kemudian dia mulai memintal, berputar-putar sendiri, dalam lingkaran kecil, membesar, dan membesar terus, berputar-putar disitu. Begitulah keadaannya, perumpamaan rahsa di jiwa,  dimana tingkat keresahan jiwa akan semakin membesar dan membesar , dan berputar-putar terus dalam lingkaran yang dibuatnya sendiri. Manusia sejatinya tengah memintal keresahan dan kegelisahannya , berputar-putar dalam angan yang dibuatnya sendiri. Begitulah perumpamaannya jika manusia mengambil  pelindung selain Allah.

Kontruksi yang lemah

Manusia dalam ber Tuhan, seperti yang diperbuat laba-laba, mengikatkan talinya (keyakinannya) kepada sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan. Belum mantap. Masih melum puas diikatkan lagi,  kepada sesuatu yang lain (seperti Tuhan) yang dianggapnya pula, akan memberikan perlindungan,  keamanan, kenyamanan, rejeki dan juga  lainnya. Begitu seterusnya sebagaimana yang dilakukan laba-laba yang membuat rumah. Meski telah diikatkan ke banyak tempat (Tuhan-Tuhan mereka), namun sejatinya dia tetap merasa was-was tidak tenang jiwanya, sebagaimana laba-laba yang telah mengikatkan talinya kepada banyak ranting, kemudian dia terus berputar putar memintal rumahnya, dari lingkaran kecil terus membesar. Itulah keadaannya. Kita diharapkan waspada dan mengerti perumpamaan ini. Berhati-hatilah, jika kondisinya jiwa kita masih terus dalam keadaan was-was , tidak tenang, tidak ikhlas, tidak ridho, dalam keadaan diri kita, maka kita harus waspadai perumpamaan ini.    

Dalam kehidupan sehari-hari , sebagai misal, sering kita dapati, perumpamaan ini. Misalnya saja pekerjaan. Kita  ikatkan tali (keyakinan) kita kepada pekerjaan, kita hadapkan diri kita kepada pekerjaan, menganggap bahwa pekerjaan tersebutlah yang akan menjamin kehidupan kita. Namun  semakin kita kita ikatkan tali (keyakinan) kepada pekerjaan, justru malahan kegelisahan kita, ketakutan kita akan kehidupan menjadi semakin hebat pula. Keadaannya begitu. Kita kemudian berusaha lagi, untuk mencari usaha lain, untuk menambah pendapat, karena pekerjaan yang pertama dianggap belum mampu membuat kita tenang. Selanjutnya kita mengikatkan tali (keyakinan) kita kepada pekerjaan lainnya  lagi. Berharap dengan itu kita menjadi tenang, karena ada jaminan pendapatan.

Begitulah seterusnya. Namun sayangnya, semua itu nyatanya tetap tidak membuat kita puas. Semakian kita kejar terus, kebutuhan dan tiongkat kepuasan kita  pun justru semakin meningkat pula. Hingga akhirnya kita justru malahan  semakin dikejar rasa was-was, rahsa ketakutan, dan rahsa-rahsa lainnya, lingkaran kegelisahan malahan menjadi semakin lebar, dan ketakutan kita akan kemiskinan menjadi semakin tinggi pula. Kita seakan akan dikejar-kejar oleh bayangan kita sendiri.  Semua melebar terus, seperti laba-laba yang membuat sarangnya.

Rumah laba-laba adalah kontruksi yang sangat lemah karena tiangnya diikatkan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu sendiri tak memiliki kekuasaan apapun atas dirinya sendiri, ranting misalnya, tentunya sewaktu-waktu dapat roboh atau patah. Ranting tak memiliki kekuasaan apapun atas dirinya sendiri, dia dapat layu dan mati, sewaktu-waktu. Itulah perumpamaannya. Maka jika kita ikatkan keyakinan kita kepada pekerjaan misalnya atau wanita misalnya bersiaplah untuk patah, kapan saja. Sungguh benar perumpamaan itu.

Sungguh, kita tidak sadar, jikalau  semua keadaan itu bisa terjadi, disebabkan  karena kita telah menuhankan pekerjaan kita.  Menggantungkan kehidupan kita kepada pekerjaan, kepada system, kepada atasan, dan sebagainya. Jiwa kita hanya tertuju kepada semua itu. Jiwa kita setiap hari dihadapkan kepada masalah-masalah kerja dan kerja. Kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar saja. Namun justru teologi Islam menganggap hal itu tidak wajar. Islam tidak membenarkan itu. Itulah sebab kenapa saya katakan pekerjaan akhirnya menjadi Tuhan kita. Terbukti,  setiap sholat pun kita hanya ingat kerjaan, lintasan hati hanya ada kerja dan kerja, bukankah berarti kita hanya menghadapkan jiwa kita kepada  kerjaan kita,  bukan kepada Allah ?. Dan itu semua terjadi begitu saja tanpa kita sadari, tanpa kita rekayasa,  jarang mampu kita tolak.

Namun sungguh berhati-hatilah. Itulah Hantu yang dianggap Tuhan, sangat tersamar sekali,  masuk dalam kesadaran kita. Inilah contoh Tuhan tandingan yang di maksudkan. Sering kita hanya menganggap bahwa Thogut  (Tuhan selain Allah) hanyalah sebatas patung dan berhala saja. Inilah kekeliruan, jutru berhala yang sebenarnya bermain dalam kesadaran kita . Apapun dapat menjadi berhala-berhala kita. Itulah perumpamaan, yaitu bagaimana  orang yang cintanya  kepada selain Allah, sebagaimana dia menganggap cintanya itu  kepada Allah.

Kesudahan pada akhir

Yang terpenting adalah bagaimana kesudahan rahsa dalam jiwanya. Bagaimanakah rahsanya diantara keduanya itu. Apakah ketenangan ataukah kegelisahan yang terus melebar sebagai efeknya. Ataukah range diantara itu. Karena sebab  (ketika) dia menganggap bahwa cintanya itu suatu yang benar. Maka (saat itu) dia dalam keadaan terhijab. Maka hanya sensasi rahsa nya saja yang dapat kita amati. Sensasi tersebut  mampu menjelaskan, apakah kita benar dalam penyembahan kita ataukah salah.  Sulit sekali merangkai kata, bagaimanakah menjelaskan keadaan ini?.  Menjadi problematika dari jaman dahulu hingga kini.  Namun sekali lagi, sungguh hasilnya akan dapat dirahsakan oleh jiwa kita bagaimana itu. Dan  jiwa kita sendiri akan mampu mengenalinya,perbedaan diantara keduanya itu,  karena sangat berbeda sekali sensasi rahsanya.

Sebagaimana ketika kita mencintai pekerjaan, kita ber alibi bahwa pekerjaan adalah  sebagai bentuk ibadah kita kepada Allah, kita kemudian tak sadar mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Namun benarkah dalam bekerja niat kita ibadah ?. Nyatanya hanyalah kita yang tahu, dan kita juga akan mengetahui bagaimana kesudahannya, jikalau kita nyatanya tidak lurus kepada-Nya.. (Maka bagaimanakah rahsanya ?). Orang yang mengerti dan pernah mengalaminya pasti tahu bagaimana rahsanya.  Ya..mereka mengerti, karena hasilnya adalah rahsa ketidak tenangan yang semakin lama semakin membuncah. Ketika dia menggantungkan dirinya kepada selain Allah, hekekatnya dia sedang memintal kegelisahannya sendiri, sebagaimana  laba-laba yang sedang membuat rumah, semakin membesar dan semakin membesar. Itulah kesudahanya. Itulah kepastiannya.

Masih banyak perumpamaan lainnya, orang yang mencintai ilmu, mencintai hartanya, karyanya, dan lain sebagainya, ketika mereka mencintai semua itu, pasti mereka akan dapat membenarkan perumpamaan tersebut (QS; Al Ankabut ; 41). Ketika masa sudah berlalu, mereka akan mengerti juga. Apakah manusia mau menunggu saat itu ?.

Masih adakah yang dipertanyakan ?

Cinta yang tak usai, cinta yang tak pernah tahu dari mana asal dan muaranya, menjadi kesulitan manusia menetapi. Cinta kembali diusik, dipertanyakan, di nafikan, dijauhi, dinista di hina. Namun cinta tetaplah cinta. Cinta adalah sebuah rahsa, hanya manusia yang mampu mengenal rahsa ini. Bukankah cinta patut kita syukuri.

Namun kebalikannya, ketika cinta manusia ditujukan hanya kepada selain-NYA, wanita misalnya , maka bersiaplah untuk diamuk rahsa kecewa, ketika cintanya tidak seperti yang diharapkan angannya, ketika cinta malahan kemudian telah menyakitinya. Sungguh, manusia kemudian hanya akan menghiba, jiwa diliputi nestapa dan lara, merana tak berkesudahan, jiwa dan raga diamuk rasa dendam rindu  dan sakit hati, bahkan membuncah menjadi benci. 

Sudah kejadiannya  begitu, jika  rahsa tersakiti,   dada menjadi seakan-akan hendak meledak . Aliran energy dalam system ketubuhannya akan terbolak-balik, mempengaruhi system hormonal ketubuhannya, mengacaukan system ketahanan tubuhnya, kemudian akan mengacaukan seluruh indranya. Hingga remuk redam raganya, rahsanya seperti ingin mati saja.

Bagaimana tidak,  segala macam rahsa  teramu dalam jiwa, mengharu biru, menutup akal dan logika,  dan selanjutnya hilang lenyap sudah harga diri.  Maka bersiap sajalah ketika manusia salah  mencintai, yaitu mencintai kepada selain Allah, (harta, tahta, wanita) bersiaplah  diamuk rahsa, yang akan membunuh dirinya. Itulah kesudahannya dan menjadi kepastian  bagi manusia .  Raga tak mampu menerima, akhirnya muncullah penyakit-penyakit degeneranitif lainnya.

Begitulah kerinduan akan mencinta dan dicinta, ketika manusia mencintai kepada selain Allah, hekaketnya dia sedang memintal bara dendam rindu yang semakin lama semakin menggelora, menyiksa jiwa dan raganya, tinggal menunggu saatnya saja, sebagaimana perumpamaan laba-laba yang sedang memintal rumahnya. Begitu rapuhnya kontruksi rumah laba-laba, jika kita mengetahuinya.


Maka ketika umur sudah mulai merenta, dan uban mulai nampak di kepala, bukankah saatnya sudah tidak ada pilihan bagi kita ?. Lantas kemudian mau kita arahkan kemana lagi cinta kita ini, jikalau bukan kepada-Nya. (Ataukah kita tetap tidak mau melepas cinta kepada harta, tahta dan wanita ?). Masihkah itu kita pertanyakan lagi ?!?.  Semoga saja ada (mereka) yang mengerti.
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, cinta-Mu dan cinta orang-orang yang Engkau cintai .

Walohualam,


Salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali