Kisah Spiritual, Dentuman Waktu Alam Ghaib


Meski berat dan perih meraga.  Mas Dikonthole harus terus melangkah, walau satu demi satu saudaranya diambil para danyang. Dia tak peduli. Dia harus menetapkan langkah. Semakin kuat tekadnya, melakukan kembaraan yang panjang. Hingga sampai nanti dirinya akan menemukan titik terang, menjawab teka-teki dimanakah ‘titisan’ Ken Arok akan dilahirkan. Saat mana Satria Piningit akan datang. Dengan tekad dan semangat itu Mas Dikonthole memasuki dimensi baru. Dimensi tahun 2013 di tahun masehi.


Langit Jakarta, awannya bergulung-gulung. Pekat gelap menutupi pandangan. Menggiriskan. Ribuan manusia berduyun-duyun, dengan langkah kaki yang cepat. Seperti tak mengijak bumi. Hanya satu tujuan untuk segera sampai kejalan pulang. Begitulah. Dan besok kejadiannya, dipagi hari berulang lagi. Mereka keluar dari kantong-kantong ‘sarang’, menyerbu kota Jakarta. Bagai ‘laron-laron’ yang berterbangan menuju kepada cahaya ‘lampu’. Lampu yang kadang lebih sering akan membunuhnya. Dan Mas Dikonthole terjebak disini, di kota ini.

Sudahkah kita perhatikan, berapa ribu laron yang mati saat mendekati ‘lampu’ ?. Tak terhitung lagi. Namun ‘laron’ seperti  tidak peduli, jika mereka sesungguhnya tengah menyosong kematiannya sendiri. Apakah nanti ‘menjadi kematian yang berarti ?. Kembali, seperti tak dipikiri, jiwa  tak mampu memaknai. Manusia akhirnya tak mengerti akan ’makna’  kematian itu sendiri.

Keras betapa keras. Hidup diatas langkah kaki. Pulang dan pergi. Begitulah tersebut, sudah berbilang hari, puluhan tahun  berulang  kali. Masih saja seperti ini. Entah dimanakah  kesadaran dan hati. Sepertinya hujan kali ini tetap tak membawa arti. Meskipun curahnya telah mulai menggenangi dan juga luapannya telah membanjiri kampung-kampung diantaranya yang terlewati sungai dan kali.

Bilakah semua itu tak membekas dihati ?. Sepertinya semua  lewat bagai mimpi. Angan terus berjalan, berkeliaran dengan urusannya sendiri. Begitulah jiwa , dan kita tetap tak ‘mampu’ mengerti. Mas Dikjonthole diam dalam sendiri, mengamatio langit yang sudah tak biru lagi.

Lihatlah hari ini, awan ‘cummulus nimbus’ begitu pekat merayapi diatas langit Jakarta. Lihatlah jalannya kehidupan, bagaimanakah keadaannya. Bukankah tetap saja seperti biasa ?. Berbilang hari, dan berulang tahun begitu keadaannya. Seperti tak ada yang  peduli. Adakah yang mencoba mengamati fenomena alam ini ?. Tidak !. Sangat sedikit sekali yang mau memahami dan menetapi keadaannya. Alam yang tengah tersakiti. Ya, bukankah kehidupan masih seperti ini, manusia melaju saja seakan tak peduli ?. Begitulah ‘aroma’  hati yang sudah penat sehari-hari dalam kesibukannya sendiri. Hati dan kesadaran kita ‘sudah’ menjadi tak merasa dan tak berasa bahwa betapa setiap saat kita dalam bahaya. Bahwa setiap saat alam akan memanggil kita. Commuter Lines  dan Bus Trans Jakarta menjadi saksi kebisuan hati yang pulang dan pergi tengah didalam kepenatannya sendiri.  Dan..

Jika mereka melihat sebagian dari langit gugur, mereka akan mengatakan: "Itu adalah awan yang bertindih-tindih". (surat : Ath-Thuur Ayat : 42)

Jiwa mencoba bertasbih, bersama alam. Bersama angin yang mengkhabarkan. Bersama awan yang membawa air dan hujan.  Teringat kepada suatu kaum yang mendustakan dan mereka berkata, "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, ( surat : Al-Ahqaaf Ayat : 24)

Ugh..!. Disini didada sebelah kiri terasa ngilu. Mas Dikonthole membekap. Bertanya, Bilakah aku seperti kaum itu ?. Mengapakah bisa begitu ?. Semakin tertunduk, dan bertasbih. Memohon ampunan. “Jikalaulah kami harus diahzab, sungguh itu karena dosa-dosa kami. Jikalau kami diampuni karena memang sebab Engkaulah Dzat Yang Maha Pengasih dan penyayang. Maka ampunilah kami yang tidak mengerti.”   Menangis diri dalam pedih dan lirih yang menusuk-nusuki hati.

Awan ‘cummulus nimbus’ masih bertahta dilangit Jakarta. Masih terus mengawal bergantian tahun ini. Tinggal menghitung hari. Setelah rumor mengerikan kiamat Bangsa Maya, merangsak kesadaran manusia. Setelah sebagian umat Islam limbung dalam keyakinan diri. Antara percaya dan tidak. Antara hirau dan peduli. Kembalinya, manusia harus  menetapi. Bukankah, kini nyatanya kehidupan tetap sebagaimana keadaannya. Bumi dan langit masih tetap dengan urusan-urusannya sendiri. Dan demikian juga manusia,   semakin sibuk dengan dirinya sendiri.  Lantas bagaimana ini ?. Apakah semua itu tak mengkhabarkan apa-apa. Apakah semua harus sia-sia.  Apakah tidak harus dimaknai ?. Bagaimana dengan, kejadian demi kejadian yang terus berguliran, fenomena demi fenomena alam sepanjang peradaban. Apakah menjadi tiada arti ?.  Aduh..!. Dan sakit ini semakin dalam menghujam di dada. Melenguh Mas Dikonthole rebah di kursi kereta commuter line, yang membawanya dari Tanah Abang. Diam dalam tasbih berdoa.

Ya, Rabb. Demi waktu..!. Demi perguliran kesadaran diantara manusia. Sungguh kami telah kelewat batas dengan keadaan kami ini. Kami tidak mengerti keadaan dan waktu kini. Dan kami tidak mengerti keadaan diri kami sendiri. Keadaan kami yang dari waktu ke waktu tetap tak mampu mensyukuri atas segala nikmat ini. Keadaan kami yang tetap sulit memahami dimanakah letak ‘kasih sayang-MU’ di dalam diri kami. Keadaan kesibukan kami, telah menyulitkan diri kami, untuk memahami semua ‘kasih dan sayang-MU’. Sehingga karena itu kami lalai kepada ‘sang waktu’. Kami terbawa ego dan nafsu kami, yang perlahan telah melumatkan kesadaran kami. Sehingga kami tidak mampu memahami berita yang dibawa ‘awan’. Adalah  angin yang membawa berita gembira ataukah awan yang mendatang ahzab bagi kami. Sungguh kami tak mengerti. Sehingga kami menganggap perbuatan mungkar sebagaimana perbuatan baik.

Terus lidahnya tak henti melafadz, Kami masih belum mampu bertasbih sebagaimana angin dan awan. “..kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya ,...” (surat : An-Nuur Ayat : 41). Bagaimanakah kami mampu bertasbih bersama dengan apa-apa yang di langit dan di bumi dan juga burung-burung ?. Duh, sementara kami sendiri tidak mengetahui dengan sembahyang dan tasbih kami sendiri. Keadaannya kami sesungguhnyua dalam ego diri yang mengunci mati hati kami sendiri.

Demi waktu, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan kerugian. (surat : Al-'Ashr Ayat : 1-2). Beginikah cara kami ?. Dan sang waktu tak hirau kepada kami. Sebentar lagi waktu  berganti dan berlalu pergi menjauh.  Bersama isue dan rumor yang membelengu kesadaran manusia. Bersama galau dan kegamangan manusia menetapi hari-harinya sendiri.  Bersama manusia yang mencoba bertahan. Yaitu, “orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (surat : Al-'Ashr Ayat : 3).

Kembara melintas bumi

Dentuman besar telah terjadi di alam ghaib tepat pada 121212 dan efeknya pasti akan melibas naik ke permukaan. Sampai ke kerak bumi. Mas Dikonthole tidak tahu pasti,  butuh berapa lama gelombang getaran tersebut merambat dan  sampai ke alam materi. Pengetahuan itu masih misteri. Berapakah kecepatan cahaya di alam ghaib dan berapakah kecepatan di alam materi, perbedaan inilah yang mengakibatkan beda waktu. Bagi mereka 1 hari maka bagi kita 50 tahun, maka cobalah hitung kapan akan sampai gelombang itu ke alam kita.  

Misal gempa di laut perlu waktu beberapa jam hingga sampai menjadi sebuah gelombang Tsunami, maka seperti itulah kejadiannya. Kita tinggal menunggu kapan akibat dentuman besar di alam ghaib yang akan merambat dan getarannya sampai di alam kita. Sungguh karena itu, alam materi akan bergetaran, bumi akan merekah, air akan menerjang dimana-mana.

Kita sudah meninggalkan 2012 , meninggalkan  isue kiamat bangsa Maya. Kita kemudian terelena kembali seperti sedia kala. Seperti tidak terjadi apa-apa. Sungguh manusia kembali lupa. Bahwa ramalan kejadian itu sudah, tengah, dan akan terjadi, suatu kepastian. Tinggal menunggu saatnya saja, getaran itu pasti akan sampai ke alam materi. Sampai ke dunia ini.

Dentuman besar telah terjadi dari alam ghaib asal gempanya. Dan berikutnya akan merambah hingga ke alam materi. Sebagaimana tsunami yang dentumannya sering tak diketahui dimana sumbernya. Maka sampai kapankah getarannya akan kita terima. Semua dalam hitungan sang waktu. Dan siapakah yang tahu perihal sang waktu ?.  Masihkah manusia sabar menunggu ?. Mari kita sama-sama menunggu.

Kesadaran manusia tengah dan pasti akan dihancurkan. hancur dalam kiamat. Aib dan kesewenangan akan dibongkar. Menjadi kiamat bagi sebagian manusia yan memuja nafsu dan syahwat mereka. Alam akan mencari titik keseimbangan baru. Bumi dan langit akan menetapi tasbih mereka kepada yang Maha Kuasa.  Adalah tasbih untuk mempertahankan keadaan harmoni. Bumi dan langit tengah dalam urusannya. Memikul titah Tuhannya.  Menjaga urusannya tetap dalam keadaannya. Entah bagaimana nanti akibatnya. Mas Dikonthole hanya mampu bertsbih dan ber-istigfar memohon ampunan. Sungguh dirinya amat lemah.

salam




Komentar

  1. Assalamualaikum.
    Mohon di ijinkan sosok yg hina dina ini memahami & mempelajari hikmah dari peristiwa2 yg dialami Mas Dikontole.
    Saya coba bagi tau kawan2 terdekat secara samar2 ttg nusantara yg akan datang. Anehnya... tiada siapapun yg mempercayai nya. Mereka ASYIK dg keduniawian belaka. Sedihnya hati ini...
    Biarlah diri ini mencoba Berpasrah... Berserah diri... Kepada Yang MAHA AGUNG.

    BalasHapus
  2. Hanya Manusia yang sadar yang mau melihat keadaan alam ini. Sebagaimana firman Al qur an. Sesungguhnya jika dibawakan bukti sebesar gunung atau langit dibalikkan dihadapan mereka. Manusia tetap tidak akan percaya. Mereka selalu akan menantang untuk didatangkan ahzab. Maka janganlah menjadi resah. Bagi kita yang sadar. Sudah begitu keadaannya dari jaman nabi hingga sekarang ini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali